Sebutkan apa saja deklarasi yang menjadi tonggak sejarah perjuangan HAM di dunia?

Sebutkan apa saja deklarasi yang menjadi tonggak sejarah perjuangan HAM di dunia?

Perkiraan Waktu Membaca: 7 menit

Robin Hood, siapa yang tak kenal dengan tokoh yang satu ini? Namanya begitu kesohor melalui sejumlah film layar lebar dengan dukungan aktor-aktor Hollywood papan atas. Hingga kini masih menjadi perdebatan apakah kisah Robin Hood itu fiksi atau nyata?

Namun, terlepas dari perdebatan fiksi atau nyata, kisah Robin Hood seringkali dikaitkan dengan sejarah Magna Charta, yang diklaim sebagai dokumen HAM tertua di jagat Bumi. Sebagaimana juga dikisahkan dalam film-filmnya, Robin Hood disebut memiliki andil di balik lahirnya Magna Charta pada sekitar tahun 1215.

Andil dimaksud terkait dengan kegigihan Robin Hood beserta rekan-rekannya melawan kesewenang-wenangan Kerajaan Inggris. Setelah melalui berbagai benturan fisik, perjuangan Robin Hood berbuah manis, Kerajaan Inggris akhirnya sepakat untuk mengurangi kekuasaan absolutnya serta mengakui hak-hak rakyat Inggris. Kesepakatan itu konon dituangkan dalam bentuk Magna Charta.

Mau ikut jadi Mediator Tersertifikasi? Segera ikut Pendidikan Mediator Bersertifikat (PMB) Kelas Online Angkatan IV yang dimulai pada Agustus 2022. Akreditasi dari Mahkamah Agung!

Segera daftarkan diri melalui PKPA Jakarta

Salah satu adegan dalam film Robin Hood yang dirilis tahun 2010 menggambarkan sebuah dialog antara Robin Hood yang diperankan oleh Russell Crowe dengan Raja John tentang jaminan hukum atas hak-hak rakyat. Dengan gagah berani, Robin Hood berkata, ?What we would ask, Your Majesty, is liberty. Liberty by law!?

Magna Charta yang lahir di Britania Raya adalah tonggak sejarah pengakuan HAM di dunia. Setelahnya, muncul dokumen-dokumen HAM lainnya di berbagai negara. Antara lain the English Bill of Rights (1689), the French Declaration on the Rights of Man and Citizen (1789), and the US Constitution and Bill of Rights (1791).

Puncaknya adalah lahirnya Deklarasi Universal HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 yang kemudian diikuti dengan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966), International Covenant on Civil and Political Rights (1966), Convention relating to the Status of Refugees and the Protocol relating to the Status of Refugees (1951), dan sejumlah instrumen hukum internasional lainnya.

Di Indonesia, sejarah HAM jika ditarik ke periode sebelum kemerdekaan ditandai dengan momen pergerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pergerakan Boedi Oetomo dipandang sebagai sebuah penegasan pentingnya hak atas kebebasan berpendapat dan berserikat. Hak atas kebebasan berserikat kemudian semakin digaungkan dengan maraknya kemunculan sejumlah organisasi seperti Sarekat Islam, Perhimpunan Indonesia, dan Indische Partij.

Dalam proses menuju kemerdekaan, para pendiri bangsa seperti Soekarno, Soepomo, Mohammad Yamin dan Mohammad Hatta dalam forum Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) juga intens mendiskusikan HAM. Mereka ingin materi HAM diatur dalam konstitusi Republik Indonesia (RI).

Keinginan para pendiri bangsa akhirnya terwujud. Meskipun telah beberapa kali berganti nama dan konsep, konstitusi RI selalu mencantumkan materi HAM. Dan titik pencapaian tertinggi pengaturan HAM dalam konstitusi terjadi pada periode 1999-2002 ketika UUD 1945 mengalami empat kali amandemen.

Dari ratusan pasal baru hasil amandemen UUD 1945, pasal-pasal yang mengatur HAM cukup dominan. Alokasi pengaturan HAM ditempatkan di Pasal 28 yang membentang dari huruf a hingga j. Materi HAM yang diatur meliputi antara lain: hak untuk hidup dan tumbuh, hak menjalankan ibadah agama, hak berpendapat, hak berorganisasi, dan hak atas status kewarganegaraan.

Pengaturan dalam konstitusi ternyata dirasa masih belum cukup. Makanya kemudian lahir sejumlah undang-undang yang mengatur lebih terperinci pelaksanaan HAM seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan sebagainya.

Kini, seiring dengan perkembangan teknologi, isu HAM menghadapi tantangan baru. Teknologi, khususnya internet ternyata bak pedang bermata dua. Di satu sisi, berdampak positif dalam hal hak menyatakan pendapat semakin dimudahkan dengan berbagai platform internet yang tersedia. Namun, di sisi lain, internet juga mengancam privasi setiap orang khususnya dalam hal perlindungan data pribadi.

Negara yang berkewajiban melindungi warganya sebenarnya telah berupaya menjawab tantangan tersebut dengan menerbitkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, UU ITE ternyata masih memiliki kelemahan sehingga mengalami perubahan yakni dari UU Nomor 11 Tahun 2008 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka patut kita akui dan syukuri bahwa kondisi HAM saat ini di Indonesia jelas lebih baik dari era sebelumnya. Namun, patut kita sadari pula bahwa kondisinya masih jauh dari sempurna. Sejumlah pekerjaan rumah seperti perlindungan hak-hak kaum minoritas dan rentan serta kasus pelanggaran HAM yang mangkrak harus tetap menjadi perhatian otoritas negara.

Sebagai warga negara, hal minimum yang dapat kita lakukan setidaknya adalah memahami tentang seluk beluk HAM. Pemahaman tentang HAM itu penting agar kita dapat melindungi HAM kita sendiri dan menghargai HAM orang lain. Untuk mendapatkan pemahaman HAM yang baik metodenya bisa beragam, paling sederhana adalah membaca buku-buku yang relevan.

Metode lainnya dengan memanfaatkan teknologi anda dapat mengikuti E-Learning yang diselenggarakan oleh ICJR Learning Hub dengan tema Pengantar HAM dengan instruktur yang sangat kompeten, Roichatul Aswidah, Peneliti Senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Kunjungi https://learninghub.id/courses/pengantar-hak-asasi-manusia/

Sebutkan apa saja deklarasi yang menjadi tonggak sejarah perjuangan HAM di dunia?

Hak asasi manusia adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut. Hak asasi manusia juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi, sosial dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan).

Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut “dianugerahkan secara alamiah” oleh alam semesta, Tuhan, atau nalar. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam “kehidupan bangsa”, dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini. Selama perang, hukum kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex especialis. Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan.

Masyarakat kuno tidak mengenal konsep hak asasi manusia universal seperti halnya masyarakat modern. Pelopor sebenarnya dari wacana hak asasi manusia adalah konsep hak kodrati yang dikembangkan pada Abad Pencerahan, yang kemudian memengaruhi wacana politik selama Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Konsep hak asasi manusia modern muncul pada paruh kedua abad kedua puluh, terutama setelah dirumuskannya Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia (PUHAM) di Paris pada tahun 1948. Semenjak itu, hak asasi manusia telah mengalami perkembangan yang pesat dan menjadi semacam kode etik yang diterima dan ditegakkan secara global. Pelaksanaan hak asasi manusia di tingkat internasional diawasi oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Badan-Badan Traktat PBB seperti Komite Hak Asasi Manusia PBB dan Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, sementara di tingkat regional, hak asasi manusia ditegakkan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika, serta Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk Afrika. Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) sendiri telah diratifikasi oleh hampir semua negara di dunia saat ini.

Sejarah HAM atau Hak Asasi Manusia berawal dari dunia Barat (Eropa).Serorang Filsuf Inggris pada abad ke 17 ,John Locke,merumuskan adanya hak alamiah (natural right) yang melekat pada setiap manusia,yaitu hak atas hidup,hak kebebasan dan hak milik. Pada masa itu,hak masih terbatas pada bidang sipil (pribadi) dan bidang politik. Sejarah perkembangan HAM ditandai dengan adanya tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta,Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis.

Piagam perjanjian anatara Raja John dari Inggris dengan para bangsawan disebut Magna Charta. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya,seperti hak untuk tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh para bangsawan. Sejak saat itu,jaminan hak tersebut berkembang dan menjadi bagian dari sistem konstitusional Inggris.

Perang kemerdekaan rakyat Amerika Serikat saat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika. Declarational of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) dan Amerika Serikat menjadi negara merdeka pada tanggal 4 Juli 1776 merupakan hasil dari revolusi itu.

Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration droits de fhomme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan Revolusi Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite). Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan (The Four Freedom). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt.

Keempat macam kebebasan itu meliputi :

a.Kebebasan untuk beragama (freedom of religion);

b.Kebebasan untuk berbicara dan berpendapat (freedom of speech);

c.Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want);

d.kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).

Perkembangan HAM di Indonesia

  1. Periode sebelum Kemerdekaan (1908-1945)

Pemikiran HAM pada masa sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam sejarah kemunculan organisasi. Pergerakan Nasonal Budi Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indesche Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (1925), Partai Nasional Indonesia (1927). Lahirnya pergerakan–pergerakan yang menjunjung berdirinya HAM seperti ini tak lepas dari pelangaran HAM yang dilakukan oleh penguasa (penjajah). Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia Boedi Oetomo merupakan organisasi pertama yang menyuarakan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang di tunjukan ke pada pemerintah kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar.

  1. Periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)

Perdebatan tentang HAM berlanjut sampai periode paska kemrdekaan:

Pemikiran HAM pada periode ini menekankan wacana untuk merdeka (Self Determination), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik mulai didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di Parlemen.

Periode ini dikenal dengan periode parlementer, menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM di Indonesia tercrmin dalam empat indikator HAM:

munculnya partai politik dengan berbagai idiologi, adanya kebebasan pers, pelaksanan pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratris, kontrol parlemen atas eksekutif.

Periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal dan digantikan dengan demokrasi terpimpin yang terpusat pada kekuasan persiden Seokarno, demokrasi terpimpin (Guided Democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan presiden Seokarno terhadap demokrasi parlementer yang dinilai merupakan produk barat.

Melalui sistem demokrasi terpimpin kekuasan terpusat di tangan persiden. Persiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen. Sebaliknya parlemen dikendalikan oleh persiden. Kekuasaan persiden Sokarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai persiden seumur hidup. Dan akhir pemerintahan peresiden Seokarno sekaligus sebagai awal Era pemerintahan orde baru yaitu masa pemerintahan persiden Seoharto.

Pada mulanya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM di Indonesia. Janji–janji Orde Baru tentang HAM mengalami kemunduran pesat pada tahu 1970-an hingga 1980-an. Setelah mendapat mandat konstitusional dari siding MPRS. Orde Baru menolak ham dengan alasan HAM dan Demokrasi merupakan produk barat yang individualistik yang militeristik. Bertentangan dengan prinsip lokal Indonesia yang berprinsip gotong-royong dan kekeluargaan.

Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah perkembangan HAM di Indonesia, setelah terbebas dairi pasungan rezim Orde baru dan merupakan awal datangnya era demokrasi dan HAM yang kala itu dipimpin oleh Bj.Habibie yang menjabat sebagai wakil presiden. Pada masa pemerintahan Habibie misalnya perhatian pemerintah terhadap pelaksanan HAM mengalami perkembangan yang sangat segnifikan, lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator pemerintah era reformasi.

Komitmen pemerintah juga ditunjukan dengan pengesahan tentang salah satunya, UU No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, pengesahan UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

ANALISIS

Hak Asasi Manusia di dunia Internasional sedang mengalami penurunan atau kemunduran, banyak negara-negara yang sedang mengalami kekacauan terutama tentang penegakan HAM. Banyaknya terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh masa. Negara Palestina yang masyarakatnya belum mendapat Hak Asasi Manusia (terutama hak untuk hidup) karena penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh zionis Israel,dan masih banyak negara-negara yang mengalami hal serupa tentang penegakan HAM.

Hak Asasi di Indonesia juga sedang mengalami kemunduran. Tetapi, HAM di Indonesia mengalami kemunduran bukan semata mata karena faktor masyarakat Indonesia yang kurang menghargai satu sama lain, dan bersifat egois atas haknya sendiri sehingga menimbulkan tidak terpenuhinya hak orang lain. Tetapi,karena adanya beberapa faktor mengapa Indonesia mengalami kemunduran dalam urusan Hak Asasi Manusia, yaitu:

  1. Kemunduran pada demokratis di Indonesia,mulai dari politik kebencian yang mengatas namakan agama dan nsionalisme. Hal ini dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak betanggungjawab untuk mengajak masyarakat ikut membenci mereka yang berbeda dari masyarakat umum lainnya;
  2. Pemerintah yang terkesan anti-kritik yang memperburuk HAM di Indonesia,contohnya adalah dalam kasus pemghinaan/pengkritikan terhadap presiden,terlihat sekali itu untuk melindungi pemerintah daripada memberikan jaminan kepada masyarakat untuk memberikan kritik tanpa dibayang-bayangi ancaman hukum;
  3. Polisi dan militer masih menggunakan wewenangnya secara berlebihan,pemerintah justru keberpihakan ideologis.

Penulis: Al Sayeed