Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah jika terjadi konflik antar suku di daerahnya

Peristiwa konflik memiliki dampak yang sangat buruk bagi kemajemukan masyarakat yang selama ini dipupuk dan dirawat bersama. Dampak buruk akan semakin terasa apabila pemerintah, baik pusat maupun daerah melakukan pembiaran sehingga dampak konflik sangat mungkin untuk semakin meluas. Masyarakat tentu tidak ingin pembiaran terhadap konflik kemudian berpotensi membuka luka-luka lama yang dulu pernah dialami saudara kita di Poso, Sampit, dan Maluku. Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki peran yang sangat vital guna meredam atau bahkan meminimalisir bibit-bibit konflik, khususnya konflik horizontal yang pada umumnya mengatasnamakan etnis, golongan, maupun agama.

Peran pemerintah daerah tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan Pemerintah ini mengatur berbagai ketentuan mengenai pencegahan dini konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan dan kekuatan militer, pemulihan pasca konflik, peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan penanganan konflik, pendanaan penanganan konflik, dan monitoring dan evaluasi konflik.

Mencegah Lebih Baik dari Mengobati

Upaya pencegahan menjadi hal yang sangat mendasar dan penting ditekankan dalam upaya manajemen konflik horizontal yang dilakukan pemerintah daerah. Upaya pencegahan konflik yang dilakukan dengan terstruktur, mendalam dan konsisten tentu akan membuat akar konflik mati dan potensi-potensi konflik tidak muncul kepermukaan. Sebagaimana tertuang dalam pasal 2 hingga pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015, upaya pencegahan konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya membangun sistem peringatan dini konflik, penguatan kerukunan umat beragama, pendidikan bela Negara dan wawasan kebangsaan dan juga pemetaan wilayah konflik melalui penelitian yang komprehensif guna membabat habis akar konflik.

Pemerintah daerah juga dalam hal ini harus mulai merubah paradigma pencegahan konflik, bahwa upaya pencegahan konflik tidak dapat dilakukan dengan cara reaktif terhadap kasus konflik yang sedang terjadi dan cenderung “jalan sendiri”. Pemerintah harus mampu merangkul berbagai kalangan, baik masyarakat, aparat kepolisian dan militer, organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan guna mendapatkan masukan-masukan dalam setiap upaya pencegahan konflik karena merekalah yang pada umumnya berada pada ranah akar rumput (grassroot) dan memahami akar konflik. Pemerintah juga harus menyadarkan berbagai golongan tersebut bahwa semua golongan tersebut memiliki potensi yang sama besarnya untuk mengalami konflik sosial.

Dengan adanya kesadaran tersebut diharapkan satu dengan lainnya bahu membahu mencegah timbulnya konflik sejak dini. Pencegahan konflik yang terstruktur, konsisten, dan aktif merangkul berbagai kalangan tersebut nantinya diharapkan mampu menghasilkan upaya pencegahan konflik yang tepat sasaran sehingga mampu memutus rantai ledakan konflik face to face antar kelompok yang banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi. Pencegahan konflik yang tepat sasaran juga pada akhirnya akan lebih menjamin rasa keamanan dan kenyamanan masyarakat.

Penelitian ini membahas peran pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik antar suku dan implikasinya terhadap ketahanan wilayah. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui peran pemerintah daerah dalam proses penyelesaian konflik antar suku di Kabupaten Timika. (2) Menganalisis cara atau bentuk-bentuk solusi konflik antar suku di Kabupaten Mimika. (3) Menganalisis implikasi konflik antar suku di Kabupaten Mimika terhadap ketahanan wilayah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Mimika. Adapun data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara kepada para pemangku adat, pemuka agama, aparat pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Mimika.Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis diskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa (1) Pemerintah Daerah belum sepenuhnya dapat berfungsi menjalankan peranan pemerintah daerah dalam proses penyelesaian konflik antar suku di Kabupaten Mimika baik peranan di bidang keamanan dan keselamatan (security and safety) maupun peranan dalam bidang kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity). Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya terjadi pelanggaran hak-hak dasar rakyat bahkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) khususnya di Kabupaten Mimika yang memicu terjadinya konflik-konflik politik dan sosial yang pada akhirnya menimbulkan konflik antar suku di Kabupaten Mimika baik antar suku asli Papua maupun dengan suku-suku etnis pendatang. (2) Cara solusi konflik antar suku di Kabupaten Mimika adalah dengan meningkatkan peranan Pemerintah Daerah sebagai fungsi keselamatan negara, pemegang kekuasaan fungsi informasi dan komunikasi antar warga masyarakat, berperan besar menjadi komunikator dalam penyelesaikan persoalan konflik etnik di Kabupaten Mimika. Perlu dibuka suatu lembaga rekonsiliasi dalam penyelesaian konflik etnik dan konflik sosial pembangunan secara terbuka, adil dan benar dalam kerangka Negera Kesatuan Republik Indonesia dan membuka dialog untuk penyelesaian konflik etnik Papua sehubungan dengan pelurusan sejarah Papua yang adil, transparan dan jujur. (3) Implikasi penyelesaian konflik antar suku di Kabupaten Mimika akan meningkatkan ketahanan wilayah baik di wilayah Kabupaten Mimika maupun ketahanan wilayah Papua.

The study is the role of local government in ethnic conflict resolution and its implications for regional security. The purpose of this study was (1) Determine the role of local governments in the process of ethnic conflict resolution in the Timika Regency. (2) Analyzing how or other forms of ethnic conflict resolution in Timika Regency. (3) Analyzing the implications of ethnic conflict in Timika Regency of regional resilience. This research was conducted in Timika Regency. The data used are primary and secondary data. The primary data obtained by conducting interviews to the tribal leaders, religious leaders, local government officials and community of Timika Regency. Analysis tools used in this study is qualitative analysis. Based on the analysis concluded that (1) Local Government can not fully function to run local government role in the process of ethnic conflict resolution in both the role of Mimika regency in the field of security and safety and a role in the field of welfare and prosperity. It can be seen from the still many violations of basic rights of the people even human rights violations, especially in Mimika regency which triggered the political conflicts and social, which in turn led to conflicts between tribes in Timika Regency, both among the native tribes of Papua and with the tribes of ethnic immigrants. (2) How ethnic conflict resolution in Timika Regency is to enhance the role of local government as a safety function of the state, holder of power of information and communication functions between members of the community, plays a major role to be a communicator in ethnic conflict settlement issues in Timika Regency. Need to open an agency of reconciliation in ethnic conflict resolution and development of social conflicts openly, fairly and correctly in the framework of the State of Indonesia Republic and open a dialogue for the resolution of ethnic conflicts in relation to the streamlining of Papua Papuan history fair, transparent and honest. (3) Implications of ethnic conflict resolution in Timika Regency will increase the resilience of the region in both the region and resilience Mimika regency of Papua region.

Kata Kunci : Peran pemerintah daerah,Konflik antar suku,Ketahanan wilayah,Mimika, The role of local governments, ethnic conflict, regional security, Mimika