Mengapa organisasi organisasi mengalami penolakan saat menggagas sebuah PERUBAHAN

Dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Seni Kepemimpinan dalam Change Management” telah disebutkan bahwa tidak banyak orang yang suka akan perubahan sehingga ketika pemimpin mengangkat hal ini ke permukaan akan terjadi banyak penolakan, baik yang terlihat jelas maupun yang bentuknya tersirat.

Menurut Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behaviour: Concepts, Controversies, and Applications (1991), sumber resistansi perubahan sebenarnya terbagi dua, yaitu yang datang dari individu dan kelompok.

Untuk individual resistance, ada 5 penyebab mengapa perubahan ditolak. Yang pertama, jika perubahan tersebut mengharuskan seseorang untuk mengubah kebiasaannya yang sudah dilakukannya sepanjang hidup. Ia sudah merasa nyaman dengan kebiasaannya itu sehingga enggan untuk berubah.

Yang kedua, jika kondisi saat ini memberi rasa aman dan seseorang membutuhkan rasa aman tersebut dalam kadar yang relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan akan semakin besar.

Yang ketiga, jika perubahan akan mengurangi pendapatan atau tidak ada keuntungan yang bisa mereka dapatkan, mereka cenderung untuk menolak.

Yang keempat, seseorang yang menolak perubahan biasanya takut akan ketidakpastian di masa depan. Mereka akan cenderung memilih kondisi yang ada sekarang dan tidak ingin melakukan perubahan.

Penyebab terakhir adalah persepsi. Masing-masing orang memiliki persepsinya sendiri terkait dengan perubahan. Dan tidak semuanya memiliki persepsi yang baik. Itulah mengapa seorang pemimpin perlu meluruskan persepsi anak buahnya dan membuat mereka melihat sisi positif dari perubahan ini.

Penolakan tidak hanya bersumber dari individu, tetapi juga dari kelompok dengan alasan yang berbeda.

Baca selanjutnya (Part 2)

Informasi training:  follow @kubikleadership dan like Kubik Leadership

Subscribe Video Motivasi Jamil Azzaini di Youtube Channel Kubik Leadership

Dewasa ini, keanekaragaman karyawan dalam sebuah organisasi adalah hal yang sangat wajar dan dapat ditemui dengan mudah pada hampir semua organisasi. Karyawan mungkin tidak berasal dari satu daerah yang sama, tidak berjenis kelamin sama, tidak mempunyai agama yang sama, berasal dari ras yang berbeda.

Keanekaragaman tersebut membawa satu implikasi penting bagi organisasi, yaitu: budaya dan nilai-nilai yang diyakini oleh karyawan juga akan berbeda-beda. Tetapi, sayangnya banyak organisasi yang mengabaikan hal tersebut. Organisasi tidak menyadari dan memperhatikan perbedaan tersebut, organisasi selalu berpegang pada asumsi bahwa orang lain akan mempunyai nilai dan budaya yang sama seperti dirinya, organisasi tidak pernah melakukan komunikasi secara terbuka dengan anggota organisasinya. Akibatnya adalah sering terjadi cross-cultural miscommunication (Kirkman and Shapiro, 1997).

Kesalahan tersebut berpotensi besar untuk menimbulkan resistensi terhadap transformasi organisasional. Idealnya, organisasi harus menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, dan memikirkan bagaimana cara mengelola perbedaan-perbedaan tersebut sehingga perbedaan yang ada justru menjadi peluang bagi organisasi untuk meningkatkan kinerja dan efektifitasnya.

Kirkman and Shapiro (1997) menyarankan organisasi untuk menyusun daftar cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi. Kirkman and Shapiro (1997) mengidentifikasi ada lima cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi, antara lain: sampai seberapa jauh suatu komunitas menerima ketidakadilan distribusi kekuatan dalam sebuah institusi atau organisasi, orientasi karyawan terhadap pekerjaan, kepercayaan seseorang terhadap kekuatan dirinya sendiri dalam menentukan nasib hidupnya, sikap karyawan terhadap kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan.

Berdasarkan cultural values yang berpotensi memunculkan resistensi, organisasi dapat memetakan posisi anggota organisasinya saat ini, dan memprediksikan sikap anggota organisasi terhadap proses transformasi organisasional. Hasil prediksi tersebut akan menjadi pedoman bagi organisasi dalam merumuskan dan mengimplementasikan transformasi organisasional. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, belum adanya upaya membangun budaya organisasi yang dapat mendukung proses transformasi organisasional menyebabkan terjadinya resistensi.

Mengapa budaya organisasi menjadi isu yang sangat penting dalam proses transformasi organisasional?

Goffes and Jones (1996) menyatakan:

“Without culture, a company lacks values, direction, and purpose”.

Namun, sayangnya banyak organisasi yang justru tidak memahami apa yang dimaksud dengan budaya organisasi. Budaya itu sendiri secara semantik diartikan sebagai suatu komunitas. Budaya adalah hasil dari interaksi individu-individu dalam sebuah komunitas.

Reichers dan Schneider seperti dikutip Nelson (1996) menyatakan:

“culture refers to subconscious assumptions, shared meanings, and ways of interpreting things that pervade the whole organization”.

Selain mengetahui potret budaya dan nilai-nilai yang diyakini anggota organisasinya, adalah penting bagi organisasi untuk mengetahui potret budaya organisasinya sendiri saat ini. Mengapa penting? Karena jika organisasi tidak tahu budaya organisasinya sendiri, maka sangat mustahil bagi organisasi untuk membangun budaya organisasi yang dapat mendukung transformasi organisasional.

Berdasarkan dimensi sociability dan solidarity, menurut Goffe and Jones (1996) ada empat tipe budaya organisasi yang digambarkan dalam matriks berikut ini:


Gambar Two Dimension, Four Cultures

Yang dimaksud dengan sociability adalah ukuran keramahtamahan, intensitas komunikasi antar anggota komunitas, dengan kata lain sociability mengukur hubunganhubungan emosional antar anggota komunitas.

Solidarity adalah ukuran kemampuan komunitas untuk mencapai tujuan bersama secara cepat dan efektif, dengan kata lain solidarity mengukur hubungan-hubungan yang didasarkan atas common tasks, mutual interests, or shared goals.

Berdasarkan dua dimensi ini, ada empat tipe budaya, yaitu:

  1. Networked, ditandai dengan adanya high sociability dan low solidarity. Perilaku anggota-anggota organisasi dengan tipe budaya seperti ini cenderung seperti sebuah keluarga, mereka sering bersama-sama menghadiri suatu acara, merayakan ulang tahun salah satu anggotanya, menghadiri pesta perkawinan, dll. Karakterisitk networked cultures lain adalah hirarki dalam organisasi tersebut sangat rendah, jarang ditemui, tetapi informalitas dalam organisasi tersebut sangat tinggi.

    Informalitas tersebut akan menyebabkan tingkat fleksibilitas organisasi lebih tinggi, karena jalur-jalur birokrasi akan terpotong oleh informalitas. Informalitas ini menyebabkan hubungan interpersonal sangat tinggi intensitasnya, akibatnya toleransi antar anggota organisasi sangat tinggi. Akhirnya, tingkat toleransi terhadap kinerja yang buruk juga tinggi.

  2. Mercenary, ditandai dengan low sociability dan high solidarity . Karakteristik mercenary cultures adalah semua komunikasi yang dilakukan dalam organisasi berfokus pada masalah bisnis, kemampuan untuk merespon ancaman dan peluang di luar organisasi sangat cepat dan kohesif, ada dinding pembatas antara pekerjaan dan kehidupan sosial, hubungan interpersonal sangat rendah sehingga tidak ada toleransi atas kinerja yang buruk.

  3. Fragmented, ditandai dengan low sociability dan low solidarity. Karakteristik fragmented cultures adalah kesadaran anggota organisasi bahwa dirinya adalah anggota organisasi tersebut sangat rendah, tingkat keterlibatan anggota organisasi sangat rendah, hubungan interpersonal sangat rendah, sering terjadi perdebatan tentang tujuan yang harus dicapai organisasi.

  4. Communal, ditandai dengan high sociability dan high solidarity. Communal cultures biasanya ditemui pada perusahaan kecil yang baru berkembang pesat. Tetapi, ada juga perusahaan yang mempunyai tipe budaya ini. Karakteristiknya adalah karyawan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi atas status dan identitas organisasinya, kehidupan berorganisasi dilakukan dengan social events, saling berbagi penghargaan dan resiko antar anggota yang tinggi, sangat menghargai keadilan, setiap anggota organisasi mengetahui misi organisasinya dengan jelas, setiap anggota organisasi mengetahui dengan jelas siapa pesaing organisasi.

Tidak ada satu pun tipe budaya organisasi yang terbaik, yang terpenting adalah organisasi harus mengetahui potret budaya organisasinya saat ini, dan kemudian mengevaluasinya apakah budaya organisasi tersebut dapat mendukung proses transformasi organisasional.

Untuk mengidentifikasi budaya yang ada dalam sebuah organisasi, Goffe and Jones (1996) memberikan panduan berupa serangkaian pertanyaan yang dapat membantu organisasi menemukan potret budayanya. Perlu ditegaskan kembali, di awal tulisan ini, telah dikemukakan transformasi organisasional adalah suatu perubahan yang sifatnya radikal.

Perubahan-perubahan radikal dalam suatu organisasi pasti memerlukan perombakan budaya organisasi itu sendiri. Ilustrasi berikut ini akan lebih memperjelas alasannya: Dalam interview dengan para pemenang Malcolm Baldrige National Quality Award, Blackburn dan Rosen (1993) menemukan adanya perubahan-perubahan praktek HR dalam perusahaan pemenang award untuk dapat mencapai Total Quality Management.

Perubahan-perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang revolusioner dalam hal pelatihan dan pengembangan, pemberdayaan, penilaian, penghargaan terhadap individual dan terhadap tim. Perusahaan pemenang harus membawa anggota dalam perusahaan dalam budaya yang sama lebih dahulu, yaitu: total quality culture, untuk memperlancar dan mempermudah karyawan menerima transformasi organisasional yang dilakukan perusahaan.


Sumber: Goffe and Jones, 1996.

Goffe and Jones (1996) mengemukakan langkah-langkah yang lebih detil dan spesifik untuk melakukan upaya membangun budaya organisasi yang mendukung transformasi organisasional, yaitu:

  1. Meningkatkan usaha-usaha untuk saling berbagi ide, minat, dan emosi dengan cara merekrut orang-orang yang kira-kira cocok dengan organisasi, dan menjadi “teman” bagi organisasi.

  2. Meningkatkan interaksi sosial di antara anggotanya dengan membuat acara-acara informal di dalam dan di luar organisasi, misalnya pesta, pertemuan mingguan, klub olahraga, dll.

  3. Mengurangi formalitas antar anggota organisasi. Manajer dapat menata ruangannya sedemikian rupa sehingga anggota organisasi lain tidak merasa canggung untuk berinteraksi dengannya.

  4. Membatasi perbedaan-perbedaan yang lebih disebabkan oleh unsur hirarki dalam organisasi. Ini dapat dilakukan dengan menghapus tingkatan-tingkatan yang ada dalam organisasi, serta menghilangkan fasilitas-fasilitas dan penghargaan yang diberikan karena unsur hirarki.

  5. Pimpinan organisasi harus menunjukkan sikap peduli dan bertindak seperti layaknya seorang teman kepada anggota organisasinya.

  6. Meningkatkan komitmen anggota organisasi untuk mencapai tujuan bersama.

Usaha membangun budaya organisasi yang dapat mendukung transformasi organisasional membutuhkan alat, alat utamanya adalah komunikasi. Komunikasi efektif dengan semua anggota organisasi akan memperlancar usaha membangun budaya organisasi. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang sifatnya top-down, horizontal, lateral, dan multidirectional.

Selama ini organisasi cenderung berkomunikasi dari atas ke bawah saja, sehingga tidak terjadi interaksi yang sesungguhnya antara organisasi dengan anggotanya. Dengan komunikasi yang efektif, organisasi dapat mengomunikasikan pentingnya perubahan, organisasi dapat menampung saran, masukan dari anggota organisasi, hubungan antar anggota organisasi akan lebih baik, keterlibatan anggota organisasi makin tinggi.

Tingginya keterlibatan anggota organisasi dalam segala hal yang dilakukan organisasi akan menjamin suksesnya upaya membangun budaya organisasi yang dapat mendukung transformasi organisasional, alasannya adalah semua anggota pasti akan mendukung perubahan tersebut (Blackburn and Rosen, 1993).

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA