Bagi orang Melayu hakikat rumah Belah Bubung dikaitkan dengan

Mata Pelajaran: Budaya Melayu Riau (BMR)Kelas: XII SMA/SMK/MA

Bab 8: Kreasi Teknologi Melayu Riau

Soal-soal evaluasi ini merujuk kepada buku siswa Muatan Lokal (Mulok) Pendidikan Budaya Melayu Riau (BMR) K13 Kelas XII terbitan Narawita Swarna Persada. Buku ditulis oleh Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, dan Syaiful Anuar. Klik di sini untuk melihat tinjauan buku.

I Pilihan Ganda

Pilihlah satu jawaban yang benar!

1. Setiap puak, negeri, dan daerah (kerajaan, kedatuan, dan perbatinan) memiliki rumah dengan bentuk yang berbeda-beda. Namun, terdapat persamaan yang mendasar yakni…

a. bentuk atap b. jumlah tiang c. lantai rumahd. tuah rumah

e. jenis kayu

2. Tata letak dan arah halaman rumah orang Melayu berbeda dengan letak bangunan rumah suku bangsa lain. Rumah orang Melayu biasanya menghadap ke…

a. matahari terbit b. selatan c. daratd. utara

e. sungai

3 Bendul merupakan ujung balok lantai atau (rasuk) rumah. Bendul terletak di bagian bawah dinding untuk memperkokoh konstruksi tiang atau memperkuat dinding. Dalam adat, bendul bermakna…

a. status sosial b. marwah c. keserakahand. kebaikan

e. kesederhanaan

4. Terdapat beberapa jenis rumah orang Melayu. Satu di antaranya dinamakan rumah limas. Penamaan rumah limas dilihat dari bentuk…

a. atap rumah b. dinding rumah c. luas rumahd. jumlah ruang

e. lantai rumah

5. Bangunan limas dianggap sebagai perlambangan status sosial. Pada zaman dahulu, bangunan limas identik dengan, kecuali…

a. istanab. bangsawan c. balai kerajaand. fasilitas umum

e. balai adat

6. Selain rumah limas, terdapat pula rumah belah bubung atau disebut juga rumah bubung melayu atau rumah perabung panjang. Terdapat dua penamaan rumah belah bubung berdasarkan curam atapnya, yakni…

a. lipat kajangdanlipat pandanb. rumah bumbung sekaki & bumbung sama bagi c. bubung tinggi dan bubung rendahd. ramah panjang dan ruma besar

e. bubung tingkap dan bubung gajah menyusu

7. Bila atap rumah belah bubung dibuat bertingkat, disebut rumah ampar labu atau rumah bertinggam atau rumah tebar layar atau rumah bersayap. Pembangunan atap bertingkat selain menambah keindahan, juga difungsikan sebagai….

a. pintu anginb. memperkokoh rangka atapc. penanda strata sosiald. penanda rumah bangsawan

e. memperkuat rangka bangunan

8. Bangunan rumah Melayu atau rumah belah bubung menggambarkan lambang-lambang dan falsafah. Bagi orang Melayu, hakikat rumah belah bubung dikaitkan dengan…

a. lurus, benar, dan adilb. kegotong-royongan dan kesetiakawananc. menjunjung tinggi musyawarah dan mufakatd. a, b, dan c salah

e. a, b, dan c benar

9. Rumah lontik disebut juga rumah pencalang atau rumah lancang. Kata lontik diambil dari bentuk…

a. lantai rumahb. tulang bubungan atapc. tiang-tiang rumahd. bendul rumah

e. atap rumah

10. Rumah lontik dijadikan rumah tempat tinggal. Rumah ini terdapat di daerah-daerah masyarakat adat yakni…

a. Sakai dan Petalanganb. Kampar, sebagian Rantau Singingi dan Kuantanc. Suku Akit dan Talang Mamakd. Bonai dan Rokan

e. Inderagiri dan Siak

11. Terdapat ketentuan adat yang mengharuskan anak tangga berjumlah lima batang. Lima anak tangga ini mengandung makna….

a. lima Koto di Kamparb. puak persukuanc. rukun Islamd. keindahan dan kecantikan

e. filosofi kekekuatan

12. Lancang adalah alat transportasi air yang digerakkan dengan menggunakan layar. Terdapat dua penamaan layar yang dipasang pada lancang, yakni…

a. layar satu dan layar duab. layar penuh dan layar separuhc. layar panjang dan layar pendekd. layar agung dan layar topang

e. layar apit dan layar batang

SUSURI JUGA:  Soal-soal Evaluasi BMR Kelas I SD/MI Bab 4 Juadah Melayu Riau

13. Lukah, kelobut, atau pengilar yang dipasang di kepala pulau (ujung tanjung) sering menggunakan belat atau pepah. Fungsi belat atau pepah adalah…

a. umpan b. jalan jalan c. penguat aliran aird. penghambat air

e. penopang lukah

14. Setiap pertimbangan dan keputusan bergantung kepada norma-norma yang agung dan dimuliakan. Berikut peribahasa yang tepat untuk menggambarkan pernyataan tersebut…

a. pucuk jala pumpunan ikan
b. sekali mendayung dua tiga pulau terlampau
c. ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun
d. ringan sama dijinjing berat sama dipikul
e. bagaikan layar menimpa tiang

15. Wahai ananda cahaya rumah
dalam ibadah janganlah lengah
kerjakan suruh jauhkan cegah
supaya hidupmu beroleh berkah

Pernyataan yang paling selaras dengan tunjuk ajar di atas adalah…

a. anak adalah kebanggaan keluargaab. supaya hidup selamat, tinggallah di dalam rumahc. supaya bercahaya, bangunlah rumahd. bekerja dan berusaha di dalam rumah

e. anak soleh merupakan cahaya rumah

II Esai

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas dan benar!

1. Jalaskanlah tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan orang Melayu sebelum dan sesudah membangun rumah!

2. Jelaskanlah fungsi tempayan yang terdapat di samping tangga rumah orang Melayu!

3. Selembayung adalah ciri khas rumah Melayu. Jelaskan fungsi selembayung dalam kebudayaan Melayu!

4. Jelaskan tahapan pekerjaan yang dilakukan orang Melayu ketika membuat perahu!

5. Wahai ananda cahaya rumah
dalam ibadah janganlah lengah
kerjakan suruh jauhkan cegah
supaya hidupmu beroleh berkah
Jelaskanlah makna tunjuk ajar di atas!

III Tugas Individu

Identifikasilah alat tangkap ikan yang ada di tempat tinggalmu. Setelah mengamati, Kamu diharapkan mampu membuat miniaturnya.

IV Tugas Kelompok

Identifikasilah rumah Melayu yang ada di tempat tinggalmu. Setelah mengamati, Kamu diharapkan mampu membuat miniaturnya.

Isi: Penulis memperkenalkan makna lambang-lambang yang terkandung dalam seni bangunan di Riau. Menurutnya, sandaran atau sumber seni bangunan tradisional di Riau dapat dijumpai dalam berbagai bentuk puisi tradisional serta ungkapan-ungkapannya yang khas. Oleh karena itu, untuk mengetahui dengan tepat makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional tersebut diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai sastra lisan, tulisan, dan ungkapan lama. 1. Pendahuluan tenas effendyBangunan tradisional yang disebut juga "seni bina" Melayu, terutama untuk rumah kediaman, pada hakekatnya amat diutamakan dalam kehidupan orang Melayu. Rumah bukan saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu menyebutkan rumah sebagai "cahaya hidup di bumi, tempat beradat berketurunan, tempat berlabuh kaum kerabat, tempat singgah dagang lalu, hutang orang tua kepada anaknya". ltulah sebabnya rumah dikatakan "mustahak", dibangun dengan berbagai pertimbangan yang cermat, dengan memperhatikan lambang-lambang yang merupakan refleksi nilai budaya masyarakat pendukungnya. Hanya dengan cara demikian diyakini bangunan akan benar-benar memberikan kesempurnaan lahir dan batin bagi penghuni rumah dan bagi masyarakat sekitarnya. Lambang-lambang yang berkaitan dengan bangunan tradisional Melayu bukan saja terdapat pada bagian-bagian bangunan, tetapi juga dalam bentuk berbagai upacara, bahan bangunan dan namanya, serta letak bangunan. Oleh karena perjalanan masa, lambang-lambang tersebut tidak mudah dilacak lagi. Berbagai masalah kebudayaan harus turut diperhitungkan, karena cukup banyak nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam suatu masyarakat telah terabaikan dan punah karena pergeseran dan perubahan nilai budaya yang terus terjadi. Nilai budaya Melayu Riau umumnya berpunca dari tiga aspek dominan, yaitu agama Islam, adat Melayu, dan tradisi Melayu. Adat dan tradisi yang kian melonggar berangsur-angsur menyebabkan nilai-nilai asli semakin kabur dan kehilangan warna. Dalam seni bangunan tradisional, pergeseran dan perubahan sangat jelas terlihat. Di seluruh Riau, bangunan tradisional semakin sedikit, sedangkan lambang-lambang yang dikandungnya nyaris tidak lagi dikenal oleh masyarakat. Musyawarah, upacara, dan kegotong-royongan dalam pelaksanaan pendirian bangunan sudah sangat diabaikan. Tempat bangunan pun tidak lagi dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat. Bentuk dan ukuran rumah telah digantikan oleh gaya arsitektur masa kini. Menurut tradisi, bahan bangunan harus dipilih dengan cara tertentu, namun kini bahan bangunan tergantung dari pasaran. Begitu pula dengan ragam hias dan lain sebagainya. Di kampung-kampung masih banyak sisa-sisa bangunan tradisional, namun pemilik atau orang tua-tua di sana tidak banyak lagi yang mengetahui makna lambang-lambangnya. Kalaupun masih ada para tukang yang dapat membuat bangunan berpola tradisional, mereka kurang mengetahui arti yang terkandung dalam lambang-lambang tersebut. Masalah lain yang merupakan penghambat adalah kurangnya bahan bacaan tentang arsitektur tradisional Melayu Riau. Tulisan ini hanya membahas tentang seni bangunan Melayu Riau dan bukan seni bangunan Melayu seluruhnya karena sulitnya mendapatkan sumber tertulis yang berkaitan dengan seni bangunan Melayu seluruhnya. Sumber informasi tulisan ini sebagian besar berasal dari sastra lisan di pedalaman Riau, seperti Bilang Undang dan Nyanyi Panjang yang masih kuat tertanam dalam ingatan masyarakat pendukungnya. 2. Arti, Fungsi, Dan Bentuk Bangunan Setiap bangsa dan sukubangsa tentu mengenal arti, fungsi, dan bentuk bangunan tradisional dengan ciri khasnya, di samping nilai-nilai universal yang dikandungnya. Demikian pula dengan orang Melayu. Bangunan tradisional Melayu adalah suatu bangunan yang utuh, yang dapat dijadikan sebagai tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, dan tempat berlindung siapa saja yang memerlukannya. Ini tergambar pada sebuah ungkapan tradisional Riau yang berbunyi: Yang bertiang dan bertangga Beratap penampung hujan penyanggah panas Berdinding penghambat angin dan tempias Berselasar dan berpelantar Beruang besar berbilik dalam Berpenanggah dan bertepian Tempat berhimpun sanak saudara Tempat berunding cerdik pandai Tempat bercakap alim ulama Tempat beradat berketurunan Yang berpintu berundak-undak Bertingkap panjang berterawang Berparan beranjung tinggi Berselembayung bersayap layang Berperabung kuda berlari Berlarik jerajak luar Bertebuk kisi-kisi dalam Bidainya tingkat bertingkat Kaki dan atap berombak-ombak Berhalaman berdusun Di situ berlabuh kaum kerabat Di situ bertambat sanak famili Di situ berhenti dagang lalu Menurut tradisi, orang Melayu Riau percaya pada empat cahaya di bumi yang terdiri dari rumah tangga, ladang bertumpuk, beras padi, dan anak-anak muda. Rumah tangga sebagai cahaya pertama hendaknya dipelihara sebaik-baiknya dengan dipagari adat atau tradisi, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan: Empat hutang orang tua kepada anaknya Pertama mandi ke air Kedua jejak tanah Ketiga sunat Rasul bagi anak laki-laki Tindik dabung bagi anak perempuan Keempat mendirikan rumah tangganya Rumah ada adatnya Tepian ada bahasanya Jalan bersetabik Cakap bersetina Duduk berbatuh Makan berkatab Kandungan makna dan fungsi bangunan dalam kehidupan orang Melayu sangat luas, sehingga menjadi kebanggaan dan memberikan kesempurnaan hidup. Oleh karena itu bangunan hendaknya didirikan dengan tata-cara yang sesuai dengan ketentuan adat, sehingga bangunan itu dapat disebut "rumah sebenar rumah". Bentuk bangunan tradisional Melayu biasanya ditentukan oleh bentuk atapnya, seperti Atap Belah Bubung, Atap Limas, dan Atap Lontik. Rumah dengan perabung lurus pada tengah puncak atap, dengan kedua bagian sisi atapnya curam ke bawah seperti huruf V terbalik disebut Atap Belah Bubung, Bubung Melayu, atau Rabung Melayu. Jika atapnya curam sekali disebut Lipat Pandan. Sebaliknya, jika atapnya mendatar disebut Lipat Kajang. Jika pada bagian bawah atap ditambah atap lain, disebut Atap Labu, Atap Layar, Atap Bersayap, atau Atap Bertinggam. Keterangan mengenai hal ini dapat dijumpai dalam salah satu ungkapan tradisional yang berbunyi: Perabung lurus di tengah-tengah Atap mencucur kiri kanan Yang mengembang lipat kajang Yang tegak berlipat pandan Atap bertingkat Ampar Labu Berempang leher Atap Bertinggam Menguak ke samping Atap Bersayap Tadahan angin Atap Layar Jika perabung atap bangunan itu sejajar dengan jalan raja, orang Melayu menyebutnya Rumah Perabung Panjang. Sebaliknya, jika tidak sejajar disebut Rumah Perabung Melintang. Ungkapan tradisional menyebut bangunan ini secara teliti. Di mana letak Perabung Panjang Pada labuh dan tambak panjang Lurusnya bagai antan disusun Selari bagai induk tangga Kalau perabung bersilang tambak Bertelingkai bagai ranting Bagai tangga dengan induknya ltu tandanya Perabung Melintang Jika perabung bangunan itu melentik ke atas pada kedua ujungnya, disebut Rumah Lontik, Rumah Pencalang, atau Rumah Lancang, karena bentuk hiasan pada kaki dinding di depan dan di belakang seperti bentuk perahu. Ini dinyatakan dalam ungkapan: Lontik rumah pada perabung Lontik sepadan ujung pangkal Tempat hinggap sulo bayung Tempat bertanggam tanduk buang Jika atap Rumah Lontik ini bertingkat, disebut Rumah Gorai atau Gerai. Rumah atap limas yang diberi tambahan di bagian muka dan belakang dengan atap lain yang berbentuk limas disebut Limas Penuh, tetapi jika atap tambahan itu berbentuk Belah Bubung, maka rumah itu disebut Limas Berabung Melayu. Keterangan yang ada dalam ungkapan tradisional mengatakan: Bersorong limas dengan limas Padanan disebut limas penuh Yang di muka ke selasar Yang di belakang ke penanggah Kalau berpatut limas dengan kajang Berpandan dengan lipat pandan Di situ tegak kunyit-kunyit Yang di muka ke selasar Yang di belakang ke penanggah Bangunan di atas umumnya berbentuk persegi panjang dan jarang sekali berbentuk bujur sangkar. Lagi pula bangunan itu dinyatakan sebagai "tinggi lucup kepala, rendahnya seanjing duduk", yang menggambarkan rumah panggung. 3. Lambang-Lambang Dalam Bangunan Melayu Riau Kunci utama dalam mewujudkan bangunan dan lambang-lambangnya adalah musyawarah. Oleh karena itu, langkah pertama sebelum mendirikan bangunan adalah melakukan musyawarah, baik antarkeluarga maupun dengan melibatkan anggota masyarakat lain. Musyawarah membicarakan tentang jenis bangunan yang akan didirikan, kegunaannya, bahan yang diperlukan, lokasi bangunan, tukang yang akan mengerjakan, dan waktu pekerjaan dimulai. Biasanya dalam musyawarah juga dijelaskan tentang segala pantangan dan larangan, serta adat dan kebiasaan yang harus dilakukan dengan tertib. Pengerjaannya ditekankan pada asas kegotong-royongan yang disebut batobo, besolang, bepiari, atau betayan. Seseorang yang mendirikan suatu bangunan tanpa mengadakan musyawarah dapat dianggap sebagai orang yang "kurang adab" atau "tak tahu adat". Orang tua-tua akan merasa dilangkahi dan orang muda-muda merasa ditinggalkan. Bangunan yang didirikan tanpa musyawarah akan menyebabkan pemiliknya mendapat umpatan masyarakat, sedangkan bangunan itu sendiri dianggap gawal atau sewal, yaitu mendatangkan sial, seperti ungkapan: Rumah siap pahat berbunyi Yang mati berbalik hidup Terkena tangkap sesentak Berseliu bulan berkalan Bersilang tongkat dengan tugal Lantai berjungkat tengah rumah Kasau jantan menyundak kepala Ke hilir terhelah-helah Ke hulu terdudu-dudu Sebuah bangunan yang ideal digambarkan dalam ungkapan berikut: Mangkuk penuh pinggan berisi Rumah siap pahat tidak berbunyi Melenggang tidak berpepas Menyundak tidak tertumbuk Berarang tidak patah Berotan tidak putus Tak ada rumput nan menyungkat Tak ada tanah nan bertingkah Kilaunya sudah kemas Tak berundang di balik tanah merah Tak ada kayat di balik mati Jadi, musyawarah dan kegotongroyongan menjadi dasar kehidupan tradisional dan merupakan landasan dalam membuat sebuah bangunan. Hal ini jelas sekali dalam ungkapan yang berbunyi: Orang kaya menurut kayanya Orang miskin dengan tulang uratnya Kalau tak ada beban sepikulan Sehelai rotan terbelit juga Lambang-lambang yang berkenaan dengan bangunan tradisional Melayu tergambar dengan baik dalam upacara, ukuran bangunan, bagian-bagian bangunan, dan ragam hiasnya. 4. Upacara Mendirikan bangunan secara tradisional memerlukan bermacam-macam upacara agar harapan pemilik dan semua orang yang terlibat dalam pengerjaannya terpenuhi. Selain itu, upacara juga ditujukan supaya mereka semua terhindar dari malapetaka. Upacara yang umum dilakukan dalam pekerjaan ini adalah Beramu, Mematikan Tanah, dan Menaiki Rumah. a. Upacara Beramu Upacara Beramu disebut juga Mendarahi Kayu, Meramu, atau Membahan. Tujuannya agar orang-orang yang terlibat dalam pembuatan bangunan tidak mendapat gangguan dari "penunggu hutan", sebagaimana yang tergambar dalam mantra yang dibacakan oleh Pawang, Dukun, atau Kemantan yang melakukan upacara: Assalamualaikum ibu ke bumi Assalamualaikum bapa ke langit Si Dogum namanya bumi Si Coca namanya kayu Induk Alim namanya tanaman Menentukan salah dengan silih Jangan diberi rusak Jangan diberi binasa Pada anak sidang manusia Berkat aku mengambil kayu Tiang Tua Berkat Lailahaillallah Upacara ini disebut Mendarahi Kayu, karena Pawang yang memimpin upacara ini lebih dulu menyiram kayu yang akan ditebang dengan darah ayam sebelum ditepungtawari. Darah ayam yang disiram ke pangkal pohon itu melambangkan bersebatinya darah manusia dengan darah semua makhluk dalam hutan, sehingga mereka tidak akan mengganggu orang-orang tersebut. Lambang-lambang yang terdapat dalam upacara ini mencerminkan sikap hidup orang Melayu yang senantiasa menghormati orang lain serta selalu ingin menjalin persahabatan dan persaudaraan dengan siapa saja di bumi ini. b. Upacara Mematikan Tanah Upacara Mematikan Tanah bertujuan untuk membersihkan tanah tempat bangunan akan didirikan dari segala makhluk halus yang mendiaminya. Upacara yang dilakukan secara besar-besaran ini disertai dengan penyembelihan seekor kerbau. Jika diadakan secara sederhana, upacara itu disertai dengan penyembelihan seekor kambing atau seekor ayam. Peralatan yang dipakai dalam upacara ini mengandung lambang dengan arti yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya Melayu, yaitu: (1) Kain Campo Tengkuluk Godang, yakni sejenis selendang yang terdiri dari 3, 5, atau 7 warna untuk diselimutkan pada Tiang Tua. Kain melambangkan ibu rumah tangga yang akan mendiami rumah itu, sedangkan penyelimutan pada tiang menggambarkan kasih sayangnya kepada suami, anak-anak, dan keluarganya. Warna-warna kain pun mempunyai arti, yaitu merah sebagai lambang persaudaraan, hitam untuk keberanian atau kedubalangan, hijau untuk kesuburan atau bertunas, biru untuk kebahagiaan atau cayo langit, putih untuk kesucian atau putih hati seperti kapas, dan kuning untuk kekuasaan atau ono ajo; (2) Sirih setangkai yang melambangkan penghormatan kepada masyarakat yang ikut membantu mendirikan bangunan tersebut; (3) Bibit kelapa dua jurai yang melambangkan hubungan berkeluarga dan berketurunan; (4) Mayang pinang satu jurai yang melambangkan kecantikan dan keselarasan hidup dalam rumah tangga; (5) Payung, melambangkan tempat berlindung bagi siapa saja yang memerlukannya; (6) Kain panji dan umbul-umbul sebagai lambang keragaman suku yang ada dalam masyarakat yang telah turut membantu mendirikan bangunan tersebut; (7) Alat musik celempong, tetawak, dan gendang yang melambangkan kegembiraan dan kebahagiaan; (8) Seperangkat peralatan tepung tawar yang terdiri dari daun Setawar yang berarti obat segala bisa, daun Sedingin untuk mendinginkan kepala yang panas, menyejukkan hati, dan berlapang dada, daun Ati-ati yang berarti bijak berkata-kata dan baik tingkah-laku, daun Gandarusa untuk penangkal malapetaka dari luar, bedak Limau untuk membersihkan jasmani dan rohani, air Percung yang mengandung arti "memberi tidak diminta, melepas tidak disentak" atau ikhlas dan rela berkorban, dan beras kunyit, beras basuh, dan bertih yang mengandung arti keselamatan, kemakmuran, dan kesucian hati; (9) Bebara dan kemenyan sebagai tanda persahabatan dengan segala makhluk serta ajakan dan pernyataan bahwa di tempat itu diadakan upacara; (10) Limau Purut, penyembuh segala penyakit, tangkal penolak bala; (11) Hewan sembelihan untuk semah atau sedekah kepada makhluk di sekitar tempat itu; (12) Tahi besi dan besi berani sebagai lambang kekuatan, kebulatan hati, dan daya pikat dalam pergaulan; (13) Lumpur laut atau lumpur tanah bekas perumahan keluarga tertua yang melambangkan kelemah-lembutan, tidak kaku, dan kekal abadi; (14) Inggu untuk menolak makhluk halus yang jahat; (15) Daun Juang-juang, lambang hidup dan mati, serta sebagai penangkal sihir; (16) Tunam, yaitu semacam obor dari kulit kayu dan damar yang melambangkan cahaya, seri atau rumah tangga yang terang benderang. c. Upacara Menaiki Rumah Upacara Menaiki Rumah ditujukan sebagai ucapan terima kasih dari pemilik rumah atau bangunan itu kepada orang-orang yang telah ikut membantu. Kadang-kadang upacara ini diikuti kenduri atau makan bersama yang didahului doa selamat. 5. Letak Bangunan Tempat-tempat yang baik untuk mendirikan bangunan menurut tradisi Melayu Riau adalah: pertama, tanah liat yang berwarna kuning dan hitam. Rumah di atas tanah ini diyakini akan membuat penghuninya tidak diserang penyakit jerih, pitani, dan sawan babi, sebagaimana dikatakan dalam sebuah ungkapan, Tegak pada tanah liat Liat nyawa di badan Serit jerih menimpa Yang kuning penolak pening Yang hitam penawar pitam Penawar sawan babi Kedua, tanah yang datar. Rumah yang didirikan di sini dipercayai akan membuat penghuni bangunan selalu tenang hidupnya dan disenangi dalam pergaulan, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan lama, Datar tanah perumahan Datar pula halamannya Tak ada batang melintang Tak ada onak menjemba Ketiga, tanah yang miring ke belakang. Rumah di sini dipercayai akan membuat penghuninya tidak kekurangan rezeki, seperti dinyatakan dalam ungkapan, Miring tanah ke penanggah Tanda tungku kan menyala Tanda puntung kan berasap Tanda periuk kan berisi Kalau curam ke halaman Yang datang menggolek pergi Tak terhempang dek pengkelang Tak tersangkut dek tangga turun Sumpit kempis, langau tak hinggap Keempat, tanah belukar. Rumah yang dibangun di sini dipercayai akan membuat penghuni mendapat rezeki yang halal, bebas dari gangguan hantu dan makhluk halus lain, seperti dinyatakan dalam ungkapan, Terkena pada tanah belukar Kok codingnya bernas-bernas Tak menjelau jin pelesit Tak menyonggol jembalang tanah Kelima, tanah yang dekat dengan sumber air. Menurut kepercayaan, rumah di atas tanah ini akan membuat penghuninya mendapat rezeki melimpah, seperti dinyatakan dalam ungkapan, Dekat telaga di bawah bukit Dekat suak anak sungai Dekat segala ucap pinta Kalau labu berisi penuh Kalau petak acap-acapan Makan tak termakan-makan Minum tak terminum-minum Tempat yang tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk untuk mendirikan bangunan menurut tradisi Melayu Riau antara lain adalah: pertama, tanah dusun atau kebun yang belum ada tanaman tua atau tanaman keras. Menurut kepercayaan Melayu, penghuni bangunan di sini tidak akan melarat hidupnya, tetapi rezekinya juga tidak melimpah. Ini dinyatakan dalam ungkapan lama, Tanah ladang berbelukar Belukar turun ke purun Purun singgah ke tanah dusun Terkena ke tanah dusun Yang tak berdurian bercempedak Tidak bermacang bermempelam Tidak bermanggis berbuah rambai Dapat pagi makan pagi Bersua malam makan malam Tapi tidak gadai menggadai Tidak pula dibelit hutang Tidak berjuak dan berjurai Kedua, tanah bercampur pasir. Orang Melayu percaya bahwa penghuni di sini akan terhindar dari penyakit sampar, seperti diterangkan dalam ungkapan, Berserak pasir di perumahan Kisik-berkisik di halaman Tak kan singgah jembalang tanah Tak kan hinggap awe sampar Ketiga, tanah bekas perumahan lama. Rumah di lahan ini dipercaya akan membuat penghuninya mendapat nasib seperti pemilik bangunan lama, seperti ungkapan, Mengunut jejak mengulang langkah Kalau unut di bawah betis Kalau jejak di bawah tapak Keempat, tanah terbuang atau terlantar. Menurut kepercayaan mereka penghuni rumah di sini akan berhasil dalam hidup jika kesialan tanah tersebut dibuang. Tempat yang dipantangkan untuk mendirikan bangunan antara lain adalah: pertama, tanah gambut. Penghuni bangunan di atas tanah ini diyakini akan menderita penyakit tulang, seperti tersebut dalam ungkapan lama, Kalau gambut tiang rumah Kok tegak tak berdiri Kok cangkung tak terlipat Kok duduk tak tersila Ngilu tulang yang kan tiba Kedua, tanah kuburan. Menurut kepercayaan orang Melayu penghuni di atas lahan ini akan diganggu oleh hantu atau diserang berbagai penyakit, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan, Berumah di atas kubur Kok hantunya silau bersilau Penyakit ulang-berulang Betah pagi petang tiba Betah petang pagi berbalik Ketiga, tanah bekas orang mati berdarah. Rumah di atas tanah semacam ini dipercayai akan membuat penghuninya mendapat celaka dan diganggu oleh hantu orang yang mati di situ, seperti dikatakan, Berumah di atas tanah berani Bagai menghimbau musuh tiba Bagai mengimak bala datang Keempat, tanah bekas orang yang mati karena penyakit sampar. Penghuni bangunan di atas tanah ini dipercaya akan mendapat nasib yang sama, seperti dinyatakan dalam ungkapan, Berumah di tanah Awe Gilo Bagai menghimbau induk awe Bagai mengimak jembalang awe Kelima, tanah "tahi burung", yaitu tanah berlekuk-lekuk. Menurut kepercayaan orang Melayu penghuni rumah di atas tanah seperti ini akan mendapat penyakit bubul, sebagaimana dinyatakan Tanah lekuk-berlekuk Tanah bernama tahi burung Dibuat ladang padinya kerit Dibuat kebun batang meranggas Dibuat rumah sakit bubul Dibuat gelanggang mematahkan Dibuat tepian tak berair Keenam, tanah berbusut dan beranai-anai. Orang Melayu percaya bahwa penghuni rumah di atas tanah ini akan melarat, seperti diungkapkan dalam pantun, Tanah berbusut beranai-anai Busutnya penyemput bala Anai-anai penyemput hutang Tak kering kain di pinggang Tak bersiang tak bermalam Ketujuh, tanah wakaf. Penghuni rumah di atas tanah ini dipercayai akan ditimpa kutukan, sebagaimana diungkapkan, Membuat rumah di tanah wakaf Kepala menjunjung bala Bahu memikul siksa Delapan, "lidah tanah", yaitu tanah yang berbusut panjang. Penghuni bangunan di atas tanah ini diyakini tak akan tetap mendiami rumahnya, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan, Busut panjang lidah tanah Tak menahan gelegar rumah Tak memapan lantai tengah Kekalnya sehari dua Ketiga mati ditimpa alang Keempat terbuang ke laut luas 6. Arah Bangunan Setelah memilih tempat yang baik, untuk mendirikan bangunan juga harus diperhatikan arah hadap bangunan. Oleh karena itu seni bangunan Melayu Riau mempunyai beberapa patokan berkenaan dengan arah. Pertama, menghadap ke Utara. Arah hadap utara dianggap baik sekali, karena diyakini mendatangkan banyak rezeki, jarang ditimpa penyakit, dan selalu hidup berkecukupan, seperti dinyatakan ungkapan lama, Kalau rumah menghadap ke utara Bagai menahan belat di kuala Satu dipasang dua isinya Dua dipasang empat mengena Kedua, menghadap ke Timur. Arah ini juga dianggap baik sekali, karena dipercayai akan membuat penghuni rumah mendapat rezeki melimpah, jauh dari segala macam penyakit, seperti dinyatakan, Kalau rumah menghadap ke timur Bagai lukah di pintu air Pagi direndam petang berisi Petang direndam malam penuh Bukan penuhnya oleh apa Penuh emas dengan urai Penuh gelak nan berderai Ketiga, menghadap ke Barat. Arah hadap ini dianggap tidak baik, karena bisa membuat penghuni bangunan selalu diserang penyakit panas dan tidak tenteram, seperti diungkapkan, Kalau rumah menghadap ke barat Bagai lesung batu tidak beranak Lada ada sambal tak lumat Garam sebuku tak tergiling Keempat, menghadap ke Selatan. Arah hadap ini dianggap kadang-kadang mendatangkan kebaikan pada penghuni rumah, kadang-kadang tidak, seperti diungkapkan, Kalau rumah menghadap ke selatan Bagai peluntang di tengah sungai Tuah kail puntung mengena Sial kail umpannya habis 7. Memilih Bahan Bangunan Sastra lisan yang berupa ungkapan tradisional Riau memberi petunjuk tentang bermacam-macam kayu yang tidak baik untuk dijadikan bahan bangunan, misalnya kayu yang dililit akar. Kayu ini dikatakan dapat menyebabkan bangunan sering dinaiki ular atau penghuninya mendapat kesulitan, seperti ungkapan, Kalau kayu dililit akar Tumbangnya tak jejak ke tanah Ditebang menyangkut beliung Dibawa pulang diikut susah Kayu yang berlubang digirik kumbang atau kayu yang berlubang di tengahnya juga dianggap tidak baik, seperti ungkapan, Kalau kayu digirik kumbang Dilintangkan ia patah Ditegakkan ia rebah Kalau kayu berlubang panjang Empulurnya membawa miang Tatalnya melenting mata Patut dibuat kayu api Kayu yang sedang berpucuk muda. Kayu ini dianggap dapat menyebabkan penghuni bangunan sakit-sakitan dan sulit mendapat rezeki, seperti ungkapan, Kalau kayu berbunga lebat Buahnya mengunjung dahan Pucuknya menjarum-jarum Kalau panas ia pecah kalau hujan ia lapuk Terasnya tidak berurat Empulur menggenang getah Kayu yang batangnya berpilin. Kayu ini dianggap akan dapat menyebabkan penghuni bangunan mendapat fitnah, seperti ungkapan, Batang kayu berpiuh pilin Di hutan menyundak dahan Di rumah menyundak atap Yang lurus membengkokkan Yang tegak merebahkan Kayu tunggal, yaitu kayu yang jenisnya hanya ada sebatang di suatu tempat. Menurut kepercayaan penghuni rumah yang dibuat dengan kayu ini akan bercerai dengan keluarganya, sebagaimana diungkapkan, Kayu tunggal penunggu rimba Kalau ditebang menghabiskankan Kalau ditutur mematikan Kayu bekas tebangan orang. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini diyakini akan membuat penghuninya cepat bercerai dengan keluarganya, seperti ungkapan, Kalau ada bekas beliung Tak boleh dikerat lagi Di situ letak silang sengketa Di situ pertemuan dihabisi Kayu yang tidak langsung tumbang di tanah ketika ditebang. Bangunan yang dibuat dari kayu ini menurut kepercayaan akan mendatangkan bahaya kematian bagi penghuninya, seperti ungkapan, Yang rebah tak mencecah tanah Menyandar ke kayu lain Memutus ranting meretas dahan Matinya mati menganggang Tergantung lapuk tertegak busuk Kayu yang akarnya menjulur ke air. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini dianggap akan dapat menyebabkan penghuninya mendapat sial, seperti ungkapan, Sebelah akar di tebing Sebelah akar di air Satu dipegang satu lepas Satu dapat satu menghilang Kayu bekas terbakar. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini dianggap akan menyebabkan penghuninya menderita kemiskinan dan berbagai penyakit, seperti ungkapan, Terpanggang kayu di tengah ladang Terasnya menjadi gubal Diketam tidak bertatal Kulit dikubik berisi arang Banir diseluk tak berurat tunggang Dipesandar timpa-menimpa Ditampung tak tertampung Dikerat tak terkerat Mematah pada beliung Memecah hulu parang 8. Ukuran Bangunan Ukuran bangunan juga dipercaya dapat menentukan baik tidaknya sebuah rumah. Secara tradisional patokan untuk mengukur adalah ukuran bagian tubuh si pemilik, seperti tinggi hasta, serta ukuran berdasarkan banyaknya kasau dan gelepar. Tinggi bangunan yang paling baik adalah sepemikulan atau setinggi bahu karena ini berarti beban hidup akan dapat dipikul sepenuhnya oleh si pemilik. Tentang hal ini ungkapan lama menyebutkan, Tinggi rumah sepemikulan Terpikul bendul nan empat Terpikul ladang bertumpuk Tak bertingkat tungku di dapur Tak tersingkap kain di pinggang Jika tinggi bangunan itu sejunjungan, yaitu setinggi puncak kepala si pemilik, hal itu juga berarti baik. Tinggi rumah sejunjungan Terjunjung adat dengan lembaga Terjunjung harta dengan pusaka Terjunjung pintak dengan bagi Terjunjung ico dengan pakaian Jika tinggi bangunan itu sepenjangkauan, itu juga berarti baik karena dipercaya si pemilik akan dapat menjangkau segala keperluan rumah tangganya serta mencapai cita-cita. Tinggi rumah sepenjangkauan Tergapai kasau dengan alang Teraih padi dalam petak Tertutup baju di dada Tercapai ucap dengan pinta Jika tinggi bangunan itu sepenyangup, yaitu setinggi mulut, itu berarti tidak baik, karena menurut kepercayaan si pemilik akan menjadi rakus, kikir, serta bertengkar dengan tetangga di sekitar. Tinggi rumah sepenyangup, langau lalat dimakannya, berlapis kancing pintunya, duduknya di atas-atas, cakap tengking-menengking, tak lawan musuh dicari. Jika tinggi bangunan itu selutut, berarti sangat tidak baik, karena si pemilik dianggap tidak tahu adat serta akan berada dalam kemiskinan. Kalau rumah tinggi selutut Tak beradat pintu rumah Tak beradat tangga rumah Berbeliung tak berpoda Berparang tidak berasah Ke hulu pinta-meminta Ke hilir kata-mengata Untuk ukuran tinggi bangunan digunakan ukuran tinggi badan pria (suami), sedang untuk ukuran besar bangunan diutamakan menggunakan ukuran tangan wanita (istri). Untuk mengukur besar rumah yang tepat dipakai seutas tali. Hasta pertama disebut ular berang yang berarti tidak baik, karena bangunan yang ukurannya jatuh pada hasta pertama ini akan mengakibatkan sengketa. Hasta kedua disebut meniti riak, juga berarti tidak baik, karena dipercaya akan membuat penghuninya menjadi sombong. Hasta ketiga disebut riak meniti kumbang berteduh, yang berarti baik sekali, karena dapat membuat penghuninya mendapat ketenteraman, kebahagiaan, rezeki melimpah, serta menjadi tempat bernaung keluarga dan masyarakat sekitarnya. Hasta keempat disebut habis hutang berganti hutang yang berarti tidak baik, karena akan membuat penghuninya miskin akibat berhutang. Hasta kelima disebut hutang lalu tidak terimbuh yang berarti tidak baik, karena menurut kepercayaan penghuni bangunan seukuran itu akan bertambah miskin bila mendiaminya. Ada cara mengukur yang disebut bilang kasau yang juga diserahkan kepada wanita (istri). Ukurannya disebut setulang, yakni sepanjang ujung siku hingga ke ujung buku jari tergenggam. Tulang pertama disebut kasau yang berarti baik, karena membawa kebahagiaan lahir dan batin. Tulang kedua disebut risau yang berarti akan mendatangkan malapetaka. Tulang ketiga disebut rebe yang berarti selalu diancam oleh bahaya dan melarat. Tulang keempat disebut api yang berarti sering terjadi perselisihan, pertengkaran, dan mungkin sekali rumah itu terbakar. Cara mengukur bilang gelegar sama dengan kasau. Tulang pertama disebut gelegar yang artinya baik sekali, karena ukuran ini membawa kesejahteraan dan kebahagiaan. Tulang kedua disebut geligi, artinya tidak baik karena penghuni bangunan akan selalu sakit, mendapat sial, dan susah. Tulang ketiga disebut ubur, artinya tidak baik karena mendatangkan kesusahan dan kemelaratan. Tulang keempat disebut bangkai, yang berarti sangat tidak baik karena membawa malapetaka dan bahaya maut bagi penghuninya. 9. Tiang Dalam bangunan tradisional Melayu terdapat beberapa macam tiang seperti tiang seri, yaitu tiang yang terletak pada empat sudut bangunan induk. Sastra lisan di Riau mengungkapkan tentang tiang seri seperti berikut, Tiang seri di empat sudut Empat cahaya di langit Empat cahaya di bumi Empat seri ke muka Tempat dinding bertemu kasih Tempat belebat bergalang ujung Kalau tegak tiang nan empat Kalau hutang ke anak jantan Empat hutang ke anak betina Empat alim berkitabullah Empat sahabat Rasulullah Empat alam ditunggunya Empat asal kejadiannya Tiang Penghulu adalah tiang yang terletak di antara pintu muka dengan tiang seri di sudut kanan muka bangunan. Dalam ungkapan dikatakan, Tegak rumah dek tiang seri Kokoh rumah dek tiang penghulu Tempat bersandar datuk-datuk Tempat bertumpu alim ulama Tiang penghulu bertiang panjang Lurusnya bagai alif Nan menahan beban rumah Nan memikul berat atap Nan menyangga dinding belebat Tertegak tiang penghulu Tegak adat selilupnya Tiang Tua adalah tiang yang terletak pada deretan kedua sebelah kiri dan kanan pintu tengah. Dalam ungkapan dikatakan, Tiang tua sebelah kiri Tempat kelapa dua jurai Tiang tua sebelah kanan Tempat selendang kain campo Tiang tua di pintu tengah Tempat bersandar bendul panjang Tempat adat dipalangkan Tempat langkah dihentikan Tiang Tengah adalah tiang-tiang yang terdapat di sekeliling bangunan induk. Dalam ungkapan dikatakan, Tiang tengah pemasak rumah Terpasak kaki ke bumi Terpasak kepala ke langit Terpasak dengki dengan aniaya Terpasak salah dengan silih Tiang Bujang adalah tiang yang khusus dibuat di bagian tengah rumah. Dalam ungkapan dikatakan, Tiang bujang di tengah rumah Bertanduk rusa bersangkutan Tempat membuat peluh busuk Tempat mengusap-usap muka Tempat menggaru-garu belakang Tempat kenyang dilepaskan Tiang dua belas adalah gabungan dari 4 buah tiang seri, 4 buah tiang tengah, 2 buah tiang tua, 1 buah tiang penghulu, dan 1 buah tiang bujang. Dalam ungkapan dikatakan, Tertegak rumah tiang dua belas Dua belas cahaya naik Dua belas cahaya turun Dua belas tiang dikandungnya Dua belas bulan ditunangnya Selain tiang-tiang utama tersebut, juga terdapat tiang-tiang pembantu, yaitu tiang tongkat, tiang sokong, dan tiang sulai atau tiang banga. Bentuk tiang-tiang tersebut bulat atau bersegi. Tiang bulat dan bersegi mempunyai makna tertentu seperti yang terungkap dalam khazanah sastra lisan. 10. Tangga Pada bangunan tradisional Melayu, tangga depan dikatakan mengandung makna lambang-lambang, sehingga diungkapkan, Leher berpanggak pada bendul Kepala bersandar ke jenang pintu Anak bersusun tingkat-bertingkat Tempat pusaka melangkah turun Tempat mengisik-ngisik debu Tempat membasuh-basuh kaki Ada dua jenis tangga. Pertama, tangga bulat, yakni tangga yang dibuat dari kayu bulat. Jenis ini dikenal dengan tangga bertanggam. Kedua, tangga picak, yaitu tangga pipih yang terbuat dari papan tebal. Susunan anak tangga, cara mengikat tali tangga, dan bagian-bagian induk tangga mengandung makna tertentu sesuai tradisi seni bangunan Melayu seperti yang diungkapkan dalam sastra lisan. Misalnya, pangkal kayu anak-anak tangga harus diletakkan di sebelah kanan tangga. Hal ini dijelaskan dalam ungkapan lama, Pangkal kayu sebelah kanan Ujung terletak di sebelah kiri Tak bersilang adik-beradik Tak menyunsang sampan dikayuh Tak terkejut tengah malam Tak tergempar orang di banjar Ikatan tangga harus dibuat secara khusus yang disebut lilit selari atau belit bercengkam. Disebut seperti itu karena ikatan tali tidak boleh terputus-putus, mulai dari anak tangga paling atas sampai ke anak tangga terbawah, seperti ungkapan, Belit bercengkam tali tangga Lilit selari sambung-bersambung Dari atas turun ke bawah Ikat bercengkam simpul mati Tak bertelingkah cakap di rumah Tak kerit padi di ladang Kalau ya dipakai, kalau tidak dibuang Bagian yang disebut leher tangga, yang tersangkut di atas bendul pintu, melambangkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dalam ungkapan lama dikatakan, Leher terpangguk pada bendul Bagai memangku anak menyusu Kasih menurut sepanjang jalan Tak bersekat berhempang-hempang Bagian yang disebut kepala tangga tersandar ke jenang pintu melambangkan kepala rumah tangga yang senantiasa menjaga martabat keluarganya, seperti ungkapan, Kepala bersandar ke jenang pintu Memberi tahu orang di rumah Memberi kabar orang di tanah Entah orang salah duduk Entah orang salah cakap Jumlah anak tangga dalam bangunan tradisional Melayu dinyatakan dalam ungkapan tradisional sebagai berikut, Yang pertama memberi salam Yang kedua pengisik debu Yang ketiga pelepas penat Yang keempat peninjau laman Yang kelima pijakan adat Yang keenam gantung rantungan Anak tangga bersusun lima Lima rukun di dalamnya Anak tangga bersusun enam Enam pula kandungannya Yang sesuai menurut syara‘ Yang lulus menurut kitab 11. Bendul Dan Lain-Lain Bendul atau bendul pintu kadang-kadang disebut juga "batas adat", karena bendul merupakan batas tempat tamu lelaki dibenarkan masuk apabila di rumah tersebut tidak ada lelaki. Sang tamu hanya dibenarkan duduk di bendul pintu muka dengan sebelah kaki berjuntai di anak tangga. Dalam rumah yang tidak berbilik permanen, bendul dijadikan sekat atau batas yang biasanya ditutup dengan tabir. Dalam ungkapan dikatakan, Rumah ada adatnya Selilup bendul tepi Selingkup bendul tengah Kalau rumah tak berjantan Sebelah kaki di bendul Sebelah tinggal di anak tangga Kalau dihimbau naik ke rumah Masuk terpalang bendul tengah Itu tandanya rumah beradat Berbendul sekat menyekat Bagai durian beruang-ruang Bagai buluh ruas-beruas Selain bendul, gelegar, pintu, jendela, kasau, alang, dinding, bilik, anjungan, lubang angin, bidai, atap, dan ruangan juga dinyatakan dalam ungkapan tradisional yang termasuk dalam sastra lisan, yang masih diingat para penduduk di beberapa pelosok Riau. 12. Ragam Hias Dalam Seni Bangunan Melayu Riau Hiasan yang terdapat dalam seni bangunan Melayu Riau bermacam-macam. Misalnya, sepanjang kaki dinding di bagian depan dan belakang rumah lontik diberi ukiran yang disebut gando ari. Motif ukiran mengambil bentuk daun, bunga, kuntum, dan akar-akaran yang menggambarkan kekayaan flora sebagai pernyataan dekatnya hubungan manusia dengan alam. Juga terdapat motif-motif hewan dan alam sekitar. Motif-motif dari seluruh daerah Riau dapat disebut secara garis besar seperti misalnya Kaluk Pakis, Bunga Hutan, Bunga Kundur, Tampuk Manggis, Pucuk Rebung, dan lain-lain yang berasal dari alam flora, dan Itik Pulang Petang, Semut Beriring, Siku Keluang, dari alam fauna, dan motif lainnya dari alam seperti Bulan Sabit, Bintang-bintang, Awan Larat, dan lain sebagainya. Hiasan-hiasan itu dibuat di dinding-dinding bangunan, di daun pintu, di kisi-kisi jendela, di tangga, dan di bagian atap. Hiasan pada bagian atap biasanya dibuat pada cucuran atap atau pada perabung. Di antara hiasan yang dibuat pada perabung atap adalah selembayung. Selembayung disebut juga Sulo Bayung atau Tanduk Buang, yaitu hiasan yang terletak bersilangan di kedua ujung perabung bangunan Belah Bubung dan Rumah Lontik. Di bagian bawahnya kadang-kadang juga diberi hiasan tambahan seperti tombak terhunus yang bersambung dengan kedua ujung perabung. Selembayung yang diletakkan di bagian paling tinggi suatu bangunan mengandung lambang yang sangat tinggi artinya. ltulah sebabnya selembayung disebut juga Tajuk Rumah atau mahkota suatu bangunan yang dipercaya dapat membangkitkan seri atau cahaya bangunan itu. Sebagai Tajuk Rumah ungkapan tradisional daerah Riau mengatakan, Sepasang tajuk di ujung Sepasang tajuk di pangkal Tajuk pembangkit seri pelangi Membangkit cahaya di bumi Membangkit cahaya di langit Membangkit cahaya di laut Membangkit cahaya di dalam rumah Selembayung disebut juga Pekasih Rumah sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan, Selembayung jantan sebelah kanan Selembayung betina sebelah kiri Bagai balam dua selenggek Kalau mengukur balam jantan Angguk-mengangguk balam betina Selembayung disebut juga Pasak Atap sebagai lambang keserasian hidup yang "tahu diri". Hal ini dinyatakan dalam ungkapan, Terpacak selembayung bubung Melayu Tegak pemasak atap rumah Bagai tangan tadah-tadahan Yang tahu kecil dirinya Yang tahu papa dengan kedana Yang tahu nasib dengan untungnya Yang bercakap di bawah-bawah Yang mandi di hilir-hilir Selembayung juga disebut Tangga Dewa yang dipercaya sebagai tempat turun dewa, mambang, akuan, soko, dan roh orang sakti. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan, Selembayung balai belian Tangga Desa nama asalnya Tempat berpijak Dewo Mambang Tempat turun soko akuan Tempat pijakan keramat sidi Tempat melenggang wali-wali Yang turun ke balai puncak Yang turun ke bilik dalam Yang turun ke tanah sekepal mula jadi Yang turun ke bumi selebar dulang Yang turun dari langit sekembang payung Selembayung dua kemuncak Ujungnya menyundak langit Kaki menyusun-nyusun atap Tempat turun nenek di gunung Tempat turun nenek di padang Tempat turun nenek bunyian Tempat turun Nek Bia Sati Turunnya turun beradat Turun berpijak pada kemuncak Turun ke Balai Dewo Balai Ancak Ancak berisi panggang mondung Lengkap dengan nasi kunyitnya Di muka tempat pelesungan Di belakang beras bertih Di bawah lantai selari Di atas berselembayung Turun segala penghulu lawang Turun bermanis-manis muka Membawa obat dengan mawar Membuang salah dengan silih Selembayung juga dinamakan Rumah Beradat, karena bangunan yang berselembayung merupakan tanda kediaman orang berbangsa atau kediaman orang patut-patut/terhormat. Dalam ungkapan dikatakan, Di mana tegak selembayung Di balai tingkat bertingkat Di istana beranjung tinggi Di rumah besar berbilik dalam Tempat berunding bermufakat Tempat bertitah raja berdaulat Tempat berpetuah datuk-datuk Tempat dubalang kuat kuasa Tempat penghulu pemangku adat Tempat orang nan patut-patut Tempat beradat berlembaga Kalau tingginya tampak jauh Kalau dekatnya tidak tergamak Selembayung yang berbentuk seperti bulan sabit disebut juga Tuan Rumah, yang dipercaya akan mendatangkan tuah kepada pemilik bangunan. Dalam ungkapan dikatakan, Yang bernama Sulo Bayung Bagai mengetam bulan naik Mengetam cahaya ke muka Menyimbah tuah ke rumah Mengetam cahaya ke kaki Menyimbah tuah mendaki Selembayung yang dilengkapi dengan tombak-tombak melambangkan penjaga, agar rumah atau bangunan tenteram, juga menggambarkan kewibawaan dan keperkasaan pemiliknya. Dalam ungkapan dikatakan, Selembayung bertombak-tombak Untuk penunggu-nunggu rumah Untuk penyedap-nyedap hati Kan penahan balak dan bala Kan penahan salah dan silih Motif ukiran selembayung terdiri dari daun-daunan dan bunga yang melambangkan perwujudan kasih sayang, tahu adat, tahu diri, berlanjutnya keturunan, dan serasi dalam rumah tangga. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan, Jalin berjalin akar pakis Lapis berlapis kelopak bunga Susun bersusun kuntum jadi Seluk berseluk daun kayu Yang berjalin kasih sayang Yang berlapis panggilan gelar Yang bersusun gadis pingitan Yang berseluk sanak saudara Hiasan yang terdapat pada keempat sudut cucuran atap bentuknya mirip dengan selembayung dan disebut sayap layang-layang atau sayap layangan. Hiasan dipakai sebagai padanan untuk setiap bangunan yang berselembayung. Hiasan sayap layang-layang yang diletakkan pada keempat sudut cucuran atap itu diungkapkan sebagai empat penjuru hakekat sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan, Empat sudut cucuran atap Empat sayap layang-layangan Empat alam terkembang Empat pintu terbuka Pertama pintu rezeki Kedua pintu hati Ketiga pintu budi Keempat pintu Ilahi Hiasan ini juga digambarkan sebagai lambang kebebasan sesuai dengan namanya, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan, Nan bernama sayap layangan Nan membumbung ke langit tinggi Menengok alam sekelilingnya Ditebang tidak tertebang Ditebas jua jadinya Dihempang tidak terhempang Dihepas jua jadinya Tapi walaupun dihepas Diberi bertali panjang Hendak menyimpang tali digenjur 13. Penutup Demikian selintas pandang tentang makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional Melayu. Tentu masih banyak lambang-lambang yang tercecer dari pandangan penulis. Keragaman warna budaya daerah Riau memungkinkan adanya perbedaan penafsiran atas lambang-lambang suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini memerlukan telaah yang lebih tajam dan mendalam. Daftar Pustaka Abdullah, M. (Nakula) B. 1978. Bentuk-bentuk Bangunan Mesjid Kunci Memahami Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Malaysia. Effendy, T. 1980. Bilang Undang Membayar Tanda. Naskah. Effendy, T. 1981. Kumpulan Mantra Melayu. Naskah. Effendy, T. 1983a. Ragam Pantun Melayu. Naskah. Effendy, T. 1983b. Upacara Belian. Naskah. Effendy, T. dan O. K. Nizami Jamil. 1980. Seni Ukir Daerah Riau. Riau: Pemda Riau. Pemda Riau. 1982. Anjungan Riau di TMII Jakarta. Booklet. Sabrin, A. 1978/1979. Bentuk-bentuk Ornamen Daerah Riau. Kumpulan naskah kesenian Daerah Riau. Proyek Pengembangan Kesenian Riau. Tim Penulis IDKD. 1982/1983a. Ungkapan Tradisional Daerah Riau. Tim Penulis IDKD. 1982/1983b. Arsitektur Tradisional Daerah Riau. Tim Penulis IDKD. 1982/1983c. Isi dan Kelengkapan Rumah Tradisional Daerah Riau. Tim Penulis IDKD. 1983/1984. Ungkapan Tradisional yang Berkaitan Dengan Sila-sila dalam Pancasila di Daerah Riau. Dr (HC).Tenas Effendy, dilahirkan pada 9 November 1936, di Dusun Tanjung Malim, Desa Kuala Panduk, Pelalawan, dari ayah yang bernama Tengku Said Umar Muhammad Aljufri dan Ibu Tengku Syarifah Azamah binti Tengku Said Abu­bakar. Tengku Nasaruddin Said Effendy atau dikenal dengan Tenas Effendy melarutkan dirinya menekuni seluk-beluk budaya Melayu, khasnya bu­daya Melayu Riau. Minatnya yang besar untuk mengangkat dan mengekalkan ni­lai-nilai luhur budaya ini, mendorongnya untuk menulis dan merekam ke­beragaman budaya Melayu. Selama lebih dari 30 tahun ia bergelimang dalam pengkajian budaya Melayu. Dengan modal pendidikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Guru (SGB dan SGA), ia belajar sendiri, termasuk menimba pengalaman dari berbagai seminar dan per­temuan, baik di dalam maupun di luar negeri. Karenanya, karya Tenas Effendy terasa sederhana dan "apa adanya" dengan bahasa yang mudah dipahami awam. Selain aktif memenuhi permintaan ceramah tentang budaya Melayu di berbagai seminar kebudayaan di dalam dan luar negeri, Tenas Effendy juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Kerapatan Adat, Lembaga Adat Melayu, Riau. Beliau juga sebagai pendiri dan penasehat Tenas Foundation, Tenas sudah melahirkan lebih dari 67 judul karya tulis, sebagian besar diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Riau, sebagian lainnya di luar Riau, termasuk oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia dan beberapa penerbit lain. Di rumahnya masih tersimpan berjilid-jilid karya tulis yang belum diterbitkan, dan ratusan pita rekaman seni budaya Melayu dari berbagai puak dan berbagai bidang seni budaya, termasuk kumpulan ungkapan tradisional Melayu yang berisi lebih dari 17.500 buah ungkapan dan koleksi pantun yang berisi lebih dari 10.000 bait pantun Melayu. Makalah ini disampaikan pada Seminar "Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya", yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. (Dengan penambahan hyperlink dari MelayuOnline.com) Mengingat pentingnya makalah ini, Redaksi MelayuOnline.com memuat ulang dengan penyuntingan seperlunya. Kumpulan makalah (prosiding) seminar ini telah dibukukan dengan judul "Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan", dengan editor Prof. Dr. Heddy Shri Ahmisa-Putra, setelah dilakukan penyuntingan ulang pada klasifikasi dan urutan pada daftar isi, bahasa, maupun perubahan judul. Editor juga memberikan Wacana Pembuka dan Wacana Penutup serta Kata Pengantar pada setiap bagian. Diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM), Edisi Eksklusif (Hard Cover), 965 halaman.

Seluruh makalah pada buku tersebut akan dimuat berdasarkan urutan bagian secara bergantian. Buku tersebut terdiri atas 36 (tiga puluh enam) makalah pilihan yang terbagi dalam 8 (delapan) bagian yakni, 1) Sejarah dan Keragaman Kesulatanan Melayu; 2) Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia; 3) Sastra Melayu dan Sastrawan Melayu; 4) Naskah Melayu dan Penelitiannya; 5) Seni Pertunjukan Melayu; 6) Kepribadian, Adat Istiadat dan Organisasi Sosial Melayu; 7) Teknologi Melayu; dan 8) Melayu dan Non-Melayu.