Apa yang bisa disebut sebagai jurnalisme damai

Tabumania, adakalanya dalam berinteraksi sosial terdapat perbedaan atau perselisihan yang terkadang berujung pada konflik. Hal tersebut bisa terjadi pada individu, misalnya dengan teman atau pasangan, dan bisa juga melibatkan kelompok yang lebih besar, seperti organisasi atau komunitas tertentu. Penyebab konflik pun bisa karena berbagai hal. Mulai dari hal ekonomi, perbedaan pandangan politik, agama, etnis, budaya dan sebagainya. Bahkan, antar suporter klub sepak bola pun terdapat konflik.

Ketika terjadi konflik, keberadaan juru damai atau penengah yang mampu menerjemahkan keinginan masing-masing yang sedang bertikai begitu penting. Ketika seseorang memiliki perbedaan pendapat yang berujung pada konflik biasanya memiliki kecenderungan untuk sulit menerima pendapat dari lawan, begitu pula sebaliknya. Nah, di sinilah peranan juru damai diperlukan untuk mencegah agar jangan sampai konflik semakin meluas.

Lalu bagaimana kaitannya dengan media? Bagi media, terjadinya konflik bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang mengandung “nilai berita” karena biasanya menimbulkan pro dan kontra yang membuat publik penasaran ingin mengetahuinya. Media tentu berusaha memberitakannya karena publik penasaran dan media pun memperoleh “keuntungan”. Adanya sebuah peristiwa yang sedang “memanas” mendorong publik untuk mengakses media dengan membeli koran, membaca online media, dan sebagainya. Dengan kata lain, semakin “hot” berita maka semakin banyak jumlah klik yang diterima atau semakin banyak oplah yang terjual. Pemilihan judul berita adakalanya dibuat semenarik mungkin sehingga membuat pembaca tertarik untuk menge-klik berita tersebut.

Cara media memberitakan sebuah peristiwa bisa memberikan dampak yang lebih luas. Hal ini karena publik pasti akan berusaha mencari tahu mengenai peristiwa tersebut melalui media massa. Informasi yang ada pada media bisa memengaruhi opini publik bahkan berpengaruh pada proses pengambilan keputusan.

Misalnya pada kasus Tanjungbalai yang terjadi karena adanya keluhan salah satu warga terhadap suara adzan yang bergulir menjadi kasus penodaan agama. Tirto.id (Rekayasa Kebencian dalam Kasus Meiliana di Tanjung Balai, 24 Agustus 2018) menyebutkan bahwa dalam kasus tersebut pihak kepolisian agak kesulitan membangun kasusnya karena ketiga saksi kunci memberikan keterangan berbeda ketika menjelaskan peristiwa. Sementara, berdasarkan liputan media massa yang tim Tirto.id himpun menunjukkan sebagian besar media massa menyudutkan Meiliana sebagai pemicu kerusuhan dan tidak banyak yang memberitakan awal mula peristiwa berdasarkan versi dari Meiliana. Masih mengutip dari Tirto.id, konflik juga semakin berlarut karena terdapat kisruh politik dan protes anti-Ahok di Jakarta. Konflik Tanjungbalai ini tidak hanya menimbulkan dampak kerusakan bangunan tetapi juga memunculkan para pihak baru dalam konflik (conflict-generated parties).

Inilah mengapa media juga harus berhati-hati dalam memilih angle atau sudut pandang berita, termasuk ketika memilih fakta yang ada di lapangan dan bagaimana gaya penulisan yang diambil. Hal tersebut diperlukan agar situasi tidak semakin memburuk.

Dalam penulisan berita memang mutlak diperlukan 5W1H (what, who, why, when, wheredan how), namun pada situasi konflik perlu juga mempertimbangkan bagaimana dampak berita tersebut nantinya ketika benar-benar dipublikasikan secara luas. Jurnalis tidak serta merta menulis “apa adanya” tetapi juga perlu mempertimbangkan “kepekaan” mungkin tidaknya berita yang ditulis justru bisa menyulut kemarahan dan menambah permasalahan. “Kepekaan” ini berkaitan erat dengan risiko yang bisa ditimbulkan. Media bisa berada pada posisi “mendinginkan” atau justru “memanaskan” situasi yang sedang terjadi.

Dalam pemberitaan situasi konflik, meminjam istilah Farid Rusdi yang menyebutkan bahwa para jurnalis, melalui media massa, seperti dua sisi uang logam. Pada satu sisi bisa menyulitkan proses pendamaian dan di sisi lain bisa mengedepankan pentingnya proses penyelesaian konflik. Hal ini dikarenakan meskipun dituntut netral dan tidak beropini, namun dalam penulisan berita jurnalis mengonstruksi fakta-fakta yang diperoleh di lapangan. Oleh karena itu, para jurnalis memiliki peran signifikan dalam mengurangi dampak konflik hingga mempercepat proses perdamaian (Wolsfeld dalam Rusdi, 2012 : 389).

Sebelumnya pada pemberitaan konflik, dikenal dengan war journalism atau jurnalisme perang yang lebih menitik beratkan pada sisi kekerasan dan kemenangan salah satu pihak saja. Kemudian pada awal 1970 istilah peace journalismatau jurnalisme damai diperkenalkan pertama kali. Adalah Johan Galtung, seorang sosiolog asal Norwegia yang mendengungkan istilah tersebut setelah menyelesaikan Journal of Peace Research pada 1964. Galtung mengatakan bahwa jurnalisme damai bertujuan pada perdamaian, kebenaran dan pemberitaan pihak yang terkena dampak dari konflik seperti perempuan, anak-anak dan lanjut usia, termasuk memberi suara pada pihak-pihak yang tidak bisa bersuara. Jurnalisme damai juga dikatakan menyoroti prakarsa kedamaian untuk pencapaian resolusi dan rekonsiliasi.

Dalam jurnalisme perang, kebanyakan liputan atau pemberitaan berorientasi pada tempat atau arena dimana konflik terjadi, jumlah korban terluka maupun meninggal, perilaku membantai, melukai, menghancurkan, menembak, mengebom dan sebagainya. Aspek sensasional dan dramatisasi lebih ditonjolkan (Anto dalam Juditha, 2016). Sementaraitu, jurnalisme damai, seperti yang dikatakan mantan wartawan Kompas, Satrio Arismunandar, pada prinsipnya untuk masyarakat luas, tidak memihak salah satu pihak atau memojokkan salah satu kelompok tetapi melihat korban-korban dari konflik yang terjadi.

Beberapa contoh judul berita yang menerapkan jurnalisme damai diantaranya “Thahjo minta Sumut cegah konflik di Tanjungbalai meluas” (merdeka.com, 31 Juli 2016), “Kapolda Minta Kapolres Koordinasi Cegah Konflik Sara” (antaranews.com, 30 Juli 2015), “Umat Islam dan Umat Kristen Tolikara Sepakat Saling Memaafkan” (kompas.com, 11 Agustus 2015) dan seterusnya. Dalam hal ini bisa dikatakan media melalui jurnalisnya berada di “situasi tengah” di antara pihak yang berkonflik. Jurnalis harus menjaga sikap netral, obyektif berimbang, akurat dan benar sehingga jurnalis harus berada dalam posisi independen dan tidak memihak (Burns, 2002 : 22-24).

Publik pun bisa menjadikan media sebagai jendela untuk melihat apa yang sedang terjadi di luar sana sebagaimana yang dikatakan McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000). Inilah mengapa media massa dituntut untuk memberikan informasi secara akurat karena kesalahan informasi bisa memunculkan gambaran yang salah pula terhadap obyek (Santosa, 2016).

Idealnya, media bisa memberitakan konflik secara komprehensif, mendukung resolusi konflik serta menghindari pemberitaan dengan gambar vulgar seperti mayat bergelimpangan, korban berdarah-darah, aktifitas kekerasan yang justru bisa memicu kemarahan atau memperparah konflik yang terjadi.

Konflik memang bisa terjadi kapan saja dengan berbagai macam pemicunya danberdampakpadakehidupan bermasyarakat. Namun, media massa merupakan sumber informasi yang bisa memengaruhi pola pikir masyarakat.  Posisi media sangat strategis untuk “memanaskan” atau “mendinginkan” situasi dengan memilihkan berita yang akan dipublikasikan. Di sinilah peranan pengelola media sangat diperlukan untuk menerapkan jurnalisme damai bukan jurnalisme perang. Media harus turut menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Dan kita, Tabumania, harus mengawalnya. (DKP)


Jurnalisme Damai

Istilah Jurnalisme Damai (Peace Journalism) tidak dikenal dalam teori-teori pers klasik. Asumsi ini, paling tidak, kalau kita merujuk pada unsur-unsur pembentuk berita — seperti aktual (terbaru), menarik (unik, penting), jarak (kedekatan), keluarbiasaan, akibat (dampak), ketegangan dan pertentangan (konflik dan perang), seks, penemuan-penemuan baru, emosi, humor dan lain-lain — yang kemudian menjadi referensi utama bagi lahirnya teori-teori pers klasik.

1.1 Pengertian Jurnalisme Damai

a. ACEH NEWS WATCH

http://www.isai.or.id/aceh/ind/01/03.html

Jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri bagi masyarakat.

Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua semua pihak memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik atau perang.

b. Pantau, edisi 09, 2000:47

http://www.isai.or.id/aceh/ind/01/03.html

Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik itu sendiri. Jurnalisme damai memberi porsi yang sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik. Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil-doers) di kedua belah pihak.

c. SUARAMERDEKA,Muhammad Ali

http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/14/opi4.htm

Sesuai dengan istilah yang dipakai, “jurnalisme damai” adalah jenis jurnalisme yang lebih mengarah pada penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian. Istilah ini bisa saja digunakan untuk membedakan dari “jurnalisme perang”. Yakni jenis jurnalisme yang mengobarkan peperangan dengan penyampaian informasi yang bersifat provokatif, intimidasi, dan desas-desus. Penganut paradigma jurnalisme perang tidak hanya mengobarkan konflik tetapi juga memotret kekerasan secara telanjang.

Istilah jurnalisme damai ini mulai diperkenalkan kali pertama oleh Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan pada 1970-an. Galtung mencermati, banyak jurnalisme perang yang mendasarkan kerja jurnalistiknya pada asumsi yang sama, seperti halnya para jurnalis yang meliput olahraga. Yang ditonjolkan hanyalah kemenangan dan kekalahan dalam “permainan kalah-menang” antardua pihak yang berhadapan.

Jenis jurnalisme damai disosialisasikan secara intensif di berbagai negara di dunia, khususnya di wilayah-wilayah konflik mulai akhir 1980-an.

Di Indonesia, jurnalisme damai menjadi sebuah wacana ketika terjadi konflik Ambon, menyusul konflik-konflik lain atas dasar SARA.

d. Harian Kompas, Jumat 22 Juni 2001

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0106/22/nasional/jadi06.htm

Jurnalisme damai merupakan laporan jurnalistik yang berperspektif kepentingan bersama untuk tidak mengobarkan konflik lewat media massa jangan hanya menjadi sebuah wacana atau bahan diskusi hangat di forum seminar atau diskusi. Jauh lebih penting adalah bagaimana memunculkan semangat bersama agar bisa membuat paradigma baru dalam penulisan berita tentang konflik.

http://en.wikipedia.org/wiki/Peace_Journalism

Peace Journalism is a form of journalism that frames stories in a way that encourages conflict analysis and a non-violent response.

Peace journalism aims to shed light on structural and cultural causes of violence, as they bear upon the lives of people in a conflict arena, as part of the explanation for violence. It aims to frame conflicts as consisting of many parties, pursuing many goals, rather than a simple dichotomy. An explicit aim of peace journalism is to promote peace initiatives from whatever quarter, and to allow the reader to distinguish between stated positions and real goals.

f. Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (2000)

Jurnalisme Perdamaian (JD) melaporkan sesuatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.

g. Jurnalisme Damai, Iswandi Syahputra

Jurnalisme damai merupakan sebuah pendekatan alternatif dalam tiap agenda peliputan media di aerah konflik atau rawan konflik.

1.2 Tujuan Jurnalisme Damai

http://jurnal damai\cefil19 mempromosikan perdamaian dengan jurnalisme damai.htm

Tujuan utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JD adalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus,

perdamaian = nonkekerasan + kreatifitas (Purnawan Kristanto, Jurnalisme yang membawa perdamaian, tt)

Bab II

Sejarah Jurnalisme Damai

2.1 Sejarah Jurnalisme Damai di Dunia

Kekerasan yang dilakukan media dapat juga menempa atau membentuk perang (forging war), seperti yang terjadi di Rwanda, Bosnia dan Kosovo, di mana peran media sangat dominan untuk memprovokasi pihak-pihak yang bertikai.
Pada prinsipnya media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik atau kekerasan. Seringkali, saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan para pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur dan pemodal lebih suka menggunakan pendekatan Jurnalisme Kekerasan (Violence Journalism) agar lebih laku “dijual” untuk kepentingan industri medianya. Dan memang pada kenyataannya pengguna menjadi tertarik “membeli” yang akhirnya “tergiring” larut dalam suasana dan bahasa yang dibentuk oleh media sebagai opininya.

Kita bisa lihat saat ini, media dengan tampilan kekerasan, konflik seksualitas, gosip/isu dan sejenisnya, menjadi pilihan yang cukup diminati khalayak. Padahal kalau mau dicermati, gambaran yang ada di benak khalayak yang “dibentuk” oleh informasi inilah yang nantinya menjadi dasar proses penentuan sikap, perilaku atau respons masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk konflik dan kekerasan.

Bisa dibayangkan bahwa kebebasan pers yang diberikan dalam era reformasi ini akan membuat ruang publik yang mengantar khalayak sangat akrab dengan budaya kekerasan, konflik, seksualitas, gosip/isu dan sejenisnya. Boleh jadi bila kondisi ini terus menerus dipertahankan, maka tidak mustahil media ini menjadi jurnalisme yang sakit (anomaly) demikian juga dengan khalayak ini, bisa menjadikan masyarakat yang sakit, pemarah, pendendam, senang bertikai, senang gosip/isu dan tidak cinta damai.

Masih teringat jelas ketika Amerika bersama sekutunya menyerang Irak yang dipimpin Saddam Husein dalam “Operasi Badai Gurun” pada Perang Teluk tahun 1997. Salah satu jaringan televisi dunia CNN, melakukan peliputan eksklusif siaran langsung detik demi detik peristiwa yang meluluh lantahkan bangunan-bangunan di Irak serta mencabut ribuan nyawa mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Semua itu disiarkan secara terbuka dan tervisualisasi dengan vulgar sebagai sebuah sajian “hiburan”. Hingga pada akhirnya di Amerika sendiri, terjadi protes keras dari kalangan akademisi, jurnalis, politisi dan masyarakat. Intinya menolak berbagai liputan perang tersebut yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur jurnalisme dari sudut kemanusiaan.

Dengan dipelopori oleh Prof. Johan Galtung dan para penggiat dan pakar perdamaian lainnya, mereka menggagas kembali Jurnalisme Damai (Peace Journalism) pada suatu pertemuan di Taplow Court, Buckinghamshire, Inggris, pada tahun 1997, yang dihadiri oleh para wartawan, ilmuwan dan mahasiswa dari Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Momentum ini dimanfaatkan betul untuk merevitalisasi peran jurnalisme dalam sebuah konflik yang terjadi.
Rangkaian peristiwa inilah yang menggagas kembali jurnalisme damai (peace journalism) sebagai antitesis terhadap jurnalisme perang/kekerasan (war/violence journalism) yang telah berkobar terlebih dahulu. Boleh jadi, bahwa jurnalisme damai menjadi populer ketika audience mulai jenuh dan tidak suka dengan pemberitaan yang berbau konflik, kekerasan dan kurang manusiawi.

Jurnalisme damai pada prinsipnya melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi. Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia.

Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis dituntut untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media, untuk menjadi bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas konflik dan perpecahan dalam jangka pendek maupun panjang. Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme modern, yaitu memegang asas imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan kekerasan.

2.2 Sejarah Jurnalisme Damai di Indonesia

Sebenarnya Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan yang berbau SARA sejak 1998, mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998. Namun Jurnalisme damai di Indonesia mulai menjadi wacana saat terjadi kerusuhan di Maluku pada tahun 1999.

Saat itu media yang menjadi andalan setiap orang dalam memperoleh informasi juga terseret dalam perpecahan. Adanya pemisahan kerja wartawan muslim dan wartawan kristen saat itu menjadi suatu pemicu semakin terpecahnya golongan masyarakat di Maluku. Akibatnya, konflik pun semakin memanas. Ternyata media yang ada tidak menyajikan berita secara berimbang. Karena keberpihakan media itulah, pertikaian terus berlangsung. Wartawan muslim dalam Ambon Ekspres dan wartawan kristen dalam Suara Maluku masing-masing saling menyudutkan lawan. Mereka pun mengeksploitasi sebuah peristiwa secara berpihak dan vulgar. Seringkali dalam meliput berita pun mereka hanya mengandalkan beberapa narasumber yang bahkan kadang-kadang diragukan kredibilitasnya. Mulai dari situlah jurnalisme damai mulai dirasakan penting untuk digunakan dalam kegiatan jurnalistik khususnya dalam pemberitaan konflik. Tujuannya agar media yang sifatnya umum tidak dijadikan alat propaganda dan pemberitaan yang disajikan pun bersifat lebih manusiawi.

Jurnalisme damai di Indonesia juga untuk menghindari apa yang disebut dengan ”talking journalism” atau jurnalisme omongan. Dimana kaidah pers ”big name big news, no name no news” masih berlaku. Pada masa Orde Baru, orang-orang penting seperti pejabat tinggi negara dan militer menjadi narasumber yang omongannya dipercaya dan menjadi sebuah fakta kebenaran. Dimana setiap pejabat dengan pangkat dan nama besarnya dianggap mewakili klaim atas seluruh kejadian dan kebenaran. Setiap terjadi suatu peristiwa, mereka selalu dijadikan narasumber. Sehingga jelas bahwa berita tidak bersifat komprehensif dan berat sebelah.

Jurnalisme damai dapat berjalan apabila ada upaya dari penguasa untuk menerapkan keadilan. Maka dari situ muncul apa yang dinamakan dengan jurnalisme advokasi.

Perbedaan jurnalisme perang dan jurnalisme damai

Jurnalisme Damai

Jurnalisme Perang

Penentuan Angle dan Fokus

1. Fokus pada proses terjadinya konflik: pihak-pihak yang terlibat, penyebab pertikaian, permasalahan yang menyertai, berorientasi pada opsi ”menang- menang”

2. Ruang dan waktu yang terbuka ; sebab-akibat dalam perspektif sejarah

3. Memberikan konflik apa adanya

4. Memberi ruang pada semua suara / versi ; menampilkan empati dan pengertian

5. Melihat konflik atau perang sebagai sebuah masalah, fokus pada hikmah konflik

6. Melihat aspek humanisasi di semua sisi atau pihak

7. Pro-aktif: pencegahan sebelum konflik/perang terjadi.

8. Fokus pada dampak nonfisik kekerasan (trauma dan kemenangan, kerusakan pada struktur dan budaya masyarakat)

1. Fokus pada arena konflik: dua kubu bertikai, hanya satu tujuan (kemenangan), situasi peperangan, orientasi ”menang- kalah”

2. Ruang dan waktu tertutup; sebab-akibat terbatas arena konflik, mencari siapa yang menyerang duluan

3. ada fakta yang sengaja disembunyikan

4. Berita memilahkan ”kita-mereka”, suara propaganda, dari dan untuk ”kita”

5. Melihat ”mereka” sebagai masalah, fokus pada siapa yang menang perang

6. Dehumanisasi di pihak ”mereka”, humanisasi di pihak ”kita”

7. Reaktif: menunggu terjadi konflik baru buat reportase

8. Fokus hanya pada dampak fisik kekerasan (pembunuhan, luka, kerugian material)

Orientasi Liputan

Ketidakbenaran belah pihak membongkar ”cover-up”

Hanya mengungkap ketidakbenaran ”mereka” dan menutupi ketidakbenaran ”kita”

Cara Pandang Terhadap Akhir Konflik

1. fokus pada pemberitaan semua: perempuan, anak-anak, orang tua; memberi suara pada korban

2. menyebut nama pelaku dalam kejahatan di dua belah pihak

3. Fokus pada para penggiat perdamaian di tingkat akar rumput

1. Fokus pada penderitaan ”kita”; memberi suara hanya pada panglima perang

2. Menyebut nama pelaku kejahatan di pihak ”mereka”

3. Fokus pada penggiat perdamaian di tingkat elit

Pandangan terhadap ”akhir” konflik

1. perdamaian = anti kekerasan + hikmah

2. Mengangkat inisiatif perdamaian dan mencegah perang lanjutan

3. Fokus pada struktur dan budaya masyarakat yang damai

4. Usai konflik: resolusi, rekonstruksi, rekonsiliasi

1. Perdamaian: kemenangan + genjatan senjata

2. Menyembunyikan inisiatif perdamaian, sebelum kemenangan diraih

3. Fokus pada pakta dan institusi masyarakat yang terkendali

4. Usai konflik, siap bertempur lagi jika ”luka lama kambuh”

Praktek jurnalisme damai di Indonesia memang sulit untuk dilaksanakan. Faktor keamanan menjadi salah satu alasan mengapa wartawan Indonesia sulit untuk cenderung tidak berpihak. Selain itu, unsur ”kekerasan” dianggap masih menjadi sebuah daya tarik bagi pemberitaan. Padahal sebenarnya audience sudah mulai bosan melihat tayangan yang tidak manusiawi. Dengan melihat perbedaan antara jurnalisme damai dan jurnalisme perang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jurnalisme damai berorientasi pada perdamaian/konflik, kebenaran, masyarakat dan korban, penyelesaian dan penghentian kekerasan. Sedangkan jurnalisme perang berorientasi pada perang/kekerasan, propaganda, elite dan pelaku kekerasan, kemenangan.

Pemberitaan di Indonesia sendiri jurnalisme damai tidak hanya dapat melihat reportase mengenai masalah-masalah dalam negeri, namun juga masalah-masalah internasional. Seperti pada kasus bom WTC.

Di Indonesia, jurnalisme damai ini diperkenalkan secara luas melalui berbagai training dan penerbitan dari LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). Dan memang sudah sepantasnyalah jurnalisme damai ini diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai agama serta adat istiadat yang berbeda yang rawan timbulnya konflik.

Bab III

Karakteristik Jurnalisme Damai

3.1 Gaya Peliputan Jurnalisme Damai

Dalam beberapa tahun terakhir jurnalis di seluruh dunia mencoba mencari cara baru untuk melaporkan konflik. Metode baru ini bisa dideskripsikan dengan judul-judul yang berbeda: jurnalisme peka konflik, reportase menurunkan konflik atau jurnalisme damai.

Tiap pendekatan mengakui bahwa, ketika sampai kepada reportase soal konflik, jurnalis memiliki tanggungjawab khusus – dan pilihan-pilihan khusus. Dan dalam dunia yang kompleks dan membingungkan seperti sekarang ini, gagasan lama soal ‘obyektifitas’ tidak lagi menolong, atau bahkan tidak lagi memungkinkan. Sebaliknya, jurnalis mulai menggunakan kosa kata etika yang berbeda: kosa kata yang menggunakan kata-kata seperti:

• adil

• seimbang

• jujur

• bertanggung jawab

Jadi bagaimana, dalam terminologi praktisnya, seharusnya kita melaporkan dalam cara yang peka-konflik? Jurnalis di Indonesia menyusun petunjuk sederhana ini, dalam sebuah lokakarya ‘Peliputan untuk Perdamaian’:

Sebelum Anda Meliput:

• Dengarkan dan perhatikan;

• Waspadalah terhadap agenda tersembunyi dan prasangka-prasangka;

Ketika Meliput:

• Pertama-tama, jangan membuat kerusakan!

• Gambarkan secara luas, hindari menyalahkan orang lain;

• Hati-hati terhadap bahasa yang bermuatan negatif;

• Fokuskan pada persamaan & pertanyakan setiap stereotipe;

• Terbukalah pada kemungkinan-kemungkinan kreatif, yang bisa membawa ke solusi yang sehat.

Program ‘Peliputan untuk Perdamaian’ yang diselenggarakan oleh Internews mendapatkan inspirasinya dari serangkaian nara sumber dan pengalaman peliputan dalam konflik. Program tersebut, yang mentargetkan para jurnalis yang tinggal dan bekerja dalam lingkungan yang ada kekerasan – atau berpotensi adanya kekerasan – didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

• Dalam situasi konflik media bisa memainkan sebuah peran yang vital dalam kaitannya dengan ‘menurunkan suhu’ dan mempromosikan

Bagaimana sebuah media bisa “menurunkan suhu” disusun berdasarkan dialog yang berorientasi pada solusi di dalam masyarakat. Pendekatan seperti itu membutuhkan standar jurnalistik yang sangat keras, sementara itu juga menantang nilai-nilai berita yang umum.

• Media juga bisa melakukan intervensi yang positif dalam situasi sebelum dan sesudah konflik:

­ dalam kaitannya dengan merefleksi atau menantang sikap yang mengeras atau pen-stereotipe-an;

­ dan dalam membantu mempromosikan pengertian, rekonsiliasi dan penyembuhan.

• Intervensi seperti itu perlu untuk ditangani dengan sensitivitas dan kesadaran diri: karenanya setiap pelatihan ‘Peliputan untuk Perdamaian’ seharusnya dimulai dengan individu yang bersangkutan, dan seharusnya bisa membantu dia untuk mendalami pengetahuan mereka sendiri tentang konflik dan situasi konflik.

• Saling pengertian dan hubungan kerja yang positif antara media dan masyarakat sipil bisa membantu untuk membangun sebuah demokrasi yang sehat..

Bagi para jurnalis ini berarti dalam terminologi praktis:

• Meredifinisikan nilai berita kita dan memperluas definisi kita soal siapa dan apa yang punya nilai berita sehingga kita tidak meninggalkan satu bagian pun dari masyarakat;

• Mengenali bahwa berita adalah bagian dari sebuah proses dan bukan janya serangakaian kejadian yang tidak berkaitan;

• Menjadi lebih mengenali pilihan-pilihan terbatas kita, dan mengetahui bahwa dalam peliputan berita apapun kita tidak bisa menghindari untuk tidak memasukkan lebih banyak dari yang kita bisa masukkan;

• Membuat sebuah usaha yang disadari untuk memisahkan: untuk menunjukkan dengan setiap pengelompokkan akan ada opini – opini dan pengalaman-pengalaman beragam yang kompleks dan bahkan mungkin berubah.

Dari skema singkat ini, dua buah poin utama muncul.

Pertama, pelaporan yang peka konflik adalah masalah yang sangat keras, membutuhkan standar jurnalistik tertinggi.

Kedua, ada potensi kemiripan yang sangat besar antara pekerjaan jurnalis peka konflik dan praktisi resolusi konflik.

Seberapa dekat peran keduanya bisa saling melengkapi adalah masalah yang masih diperdebatkan. Namun bukan merupakan tugas jurnalis untuk memberikan jawaban atau solusi: hanya membagi informasi yang bisa dipercaya dan seimbang agar masyarakat dapat (lihat ‘Jurnalisme Damai: Bagaimana Melakukannya’ oleh Annabel McGoldrick dan Jake Lynchwww.transcend.org/pjmanual.htm)

3.2 Gaya Penulisan jurnalisme Damai

Aktivitas jurnalisme memang menggunakan bahasa sebagai bahan baku untuk memproduksi berita. Namun bagi surat kabar, bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan informasi atau peristiwa. Bahasa juga bukan sekedar alat untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran-gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik (pembaca). Penggunaan bahasa atau kata-kata yang mengandung kekerasan mungkin bisa memprovokasi pembaca.

Di sinilah jurnalisme damai muncul dengan gaya penulisan halus, menggunakan kata-kata yang sebisa mungkin menghindari provokasi. Konflik memang hal yang tidak bisa dihindari, sebagai seorang jurnalis yang harus memaparkan konflik apa adanya seringkali membuat berita yang justru memfokuskan diri kepada konflik tersebut dan mengabaikan hal lainnya.

Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik itu sendiri. Jurnalisme damai memberi porsi yang sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik Para jurnalis berusaha menghindari menyalahkan salah satu pihak sebagai penyebab konflik.  Yang mereka lakukan adalah dengan memaparkan masalah yang sebenarnya, dampak yang telah ditimbulkannya, lalu menawarkan alternatif penyelesaiannya.

Jangan terlalu banyak mengekspolitasi konflik. Lakukanlah jurnalisme damai. Konflik memang menarik untuk media tapi harus tahu batasnya. Jurnalisme damai harus memilih topik-topik yang bisa menawarkan solusi, bukan hanya memaparkan masalah.

Pers dapat diibaratkan pedang bermata dua. Pada satu sisi pers berpotensi mempertajam konflik ketika pemberitaan yang disajikan sarat dengan muatan yang tendensius, provokatif, dan sensasional. Namun pada jurnalisme perdamaian, media berpotensi untuk menjadi peredam konflik, salah satunya dengan cara membangun opini menyejukkan. Sensasi itu masih bisa dikemas. Jadi, konflik bisa dikemas agar hasilnya bukan konflik

Dalam jurnalisme damai (peace journalism) wartawan bertindak memetakan masalah, menganalisa konflik dan mengungkapkan akar persoalan. Wartawan tidak memvonis siapa yang kalah dan menang. Namun, menyelesaikan konflik secara damai, dengan menempatkan kepentingan masyarakat luas, di atas kepentingan kelompok dan golongaan tertentu.

Jurnalisme damai dalam upaya menyampaikan fokus beritanya lebih pada efek kekerasan yang tidak tampak (invisible effect of violence), seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya moral, hancurnya masa depan, maupun trauma pihak yang menjadi korban, bukan produk fisik dari konflik dan kekerasan semata, seperti potongan mayat, rumah ibadah yang hangus, wanita dan anak terlantar. Hal ini bertujuan untuk menarik empati audience, bahwa konflik yang disertai kerasan hanya mendatangkan kerugian.

Disamping itu aspek keseimbangan pemberitaan (cover both side) tidak hanya pada sisi materinya saja, akan tetapi juga sumber berita. Suara korban seperti orang tua, wanita dan anak-anak harus mendapat tempat lebih banyak dalam pemberitaan dibanding porsi para elit yang bertikai. Selanjutnya kebutuhan akan suatu kemasan yang manis terhadap suatu fakta konflik, sama artinya dengan menangkap ikan tanpa membuat keruh air di sekitarnya.

Pemberitaan jurnalime damai menghindari penggunaan kata-kata yang sangat berpengaruh dalam konflik (Iswandi 2006:97), contohnya:

Hindari adjektif negative seperti; “brutal”, “licik”, atau “barbar”

Hindari label negatif seperti; “teroris”, “ekstremis”, “radikal”, “sparatis”, “pemberontak”, “pengkhianat”, atau “fundamentalis”

Hindari label yang menggambarkan seseorang sebagai korban seperti “tak berdaya”, “putus asa”, atau “korban”.

Isi berita dalam jurnalisme tidak boleh memihak suatu pihak, penggunaan kata-kata juga bergantung dari cara peliputan wartawan.

Kelebihan Jurnalisme Damai:

· Dengan adanya jurnalisme damai, maka media massa dan jurnalis dapat menunjukkan peran mereka untuk mampu mengelola konflik agar tetap terkendali dan mencegah tindak kekerasan dengan mempertahankan iklim kondusif suasana damai serta mendorong terciptanya suatu kreativitas yang sangat inovatif dan dinamis dalam mengeksplorasi ide-ide baru yang tiada batasnya.

· Jurnalisme damai pada prinsipnya melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih luas, lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.

· Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia.

· Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis dituntut untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media, untuk menjadi bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas konflik dan perpecahan dalam jangka pendek maupun panjang.

· Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme modern, yaitu memegang asas imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan kekerasan.

· Jurnalisme damai mengungkapkan akar masalah yang terkait dengan sejarah, psikologi, sosial, budaya, dan lainnya. Dengan demikian media akan mampu mengungkap fakta lebih komprehensif dan holistik agar dapat dilakukan analisis dan pemetaan permasalahan untuk memunculkan berbagai alternatif solusinya.

· Melalui strategi publikasi yang tepat, maka jurnalisme damai tidak menjadi bagian dari konflik, akan tetapi berperan aktif menjadi bagian dari solusinya

· Jurnalisme damai dalam upaya menyampaikan fokus beritanya lebih pada efek kekerasan yang tidak tampak (invisible effect of violence), seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya moral, hancurnya masa depan, maupun trauma pihak yang menjadi korban, bukan produk fisik dari konflik dan kekerasan semata, seperti potongan mayat, rumah ibadah yang hangus, wanita dan anak terlantar. Hal ini bertujuan untuk menarik empati audience, bahwa konflik yang disertai kerasan hanya mendatangkan kerugian. Disamping itu aspek keseimbangan pemberitaan (cover both side) tidak hanya pada sisi materinya saja, akan tetapi juga sumber berita. Suara korban seperti orang tua, wanita dan anak-anak harus mendapat tempat lebih banyak dalam pemberitaan dibanding porsi para elit yang bertikai.

· Pendekatan jurnalisme damai memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus, perdamaian = non – kekerasan + kreatifitas (Purnawan Kristanto, Jurnalisme yang membawa perdamaian, tt).

· Logika jurnalisme damai menggunakan pendekatan menang-menang ( win-win solutions) untuk menyelesaikan konflik. Jurnalisme damai percaya, kreatifitas menjadi salah kuncinya. Caranya dengan menyediaan alternatif penyelesaikan konflik. Hal itu diyakini mampu mengurangi konflik sampai menuju titik perdamaian.

· Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada dasarnya adalah seruan kepada semua pihak agar memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik atau perang.

· Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan kontinyu tentang jalannya konflik itu sendiri. Jurnalisme damai memberikan porsi yang sama kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik.

· Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak, bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil doers) di kedua belah pihak (Pantau, edisi 09, 2000:47).

· Dalam jurnalisme damai wartawan bertindak memetakan masalah, menganalisa konflik dan mengungkapkan akar persoalan. Wartawan tidak memvonis siapa yang kalah dan menang. Namun, menyelesaikan konflik secara damai, dengan menempatkan kepentingan masyarakat luas, di atas kepentingan kelompok dan golongaan tertentu.

Kelemahan Jurnalisme Damai

· Meski baisanya mengaku segmentasi pembaca yang dituju untuk minim dan menggarap media dengan prinsip jurnalisme yang profesional, pemberitaannya sering kali membela kelompok tertentu.

· Tidak adanya koordinasi dan rapat redaksi bersama membuat media tidak mampu membuat perencanaan yang lebih baik, berperanan positif mengeliminasi atau mengurangi konflik.

· Pada prinsipnya media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik atau kekerasan. Sering kali saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan para pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur, dan pemodal lebih suka menggunakan pendekatan jurnalisme kekerasan (violence journalism) agar lebih laku “dijual” untuk kepentingan industri medianya. Dan memang pada kenyataannya pengguna menjadi tertarik ‘membeli’ yang akhirnya tergiring’ larut dalam suasana dan bahasa yang dibentuk oleh media sebagai opininya, yang nantinya menjadi dasar proses penentuan sikap, perilaku, atau respons masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk konflik dam kekerasan dan dapat menjadikan masyarakat yang sakit, pemarah, pendendam, senang bertikai, senang gosip/isu dan tidak cinta damai.

· Kualitas jurnalis dalam meliput konflik tidak langsung sehingga berpengaruh pada kualitas penyampaian. Peristiwa di lapangan tidak dilihat secara tajam. Ini memengaruhi efek dan pemberitaan.

Bab IV

Contoh

1. Liku-liku Kerja Jurnalis di Medan Konflik Aceh

Pers, Dara di Antara Dua Jejaka

PR, 30 Mei 2004

Drama penyanderaan kamerawan RCTI Ferry Santoso oleh pihak GAM (Gerakan Aceh Merdeka) memang sudah berakhir. Ibarat sebuah film, dengan Ferry sebagai sang protagonis, cerita penyanderaan berakhir happy ending. Setelah melewati perjalanan hidup yang berliku, sejak ditangkap GAM 29 Juni 2003 lalu, Ferry resmi diserahkan Panglima GAM wilayah Peureulak Ishak Daud di Desa Lhok Jok, Peudawa, Aceh Timur, Minggu (16/5) lalu. Ferry pun bisa menghirup udara kebebasannya, bisa bertemu Presiden Megawati dan Ketua MPR Amien Rais, dan yang paling penting, ia bisa kembali berkumpul bersama istri dan anak yang dicintainya.

Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana Ferry bisa bebas, padahal sebelumnya pihak GAM selalu sulit dan mengulur-ngulur waktu untuk membebaskan Ferry? Ada apa dengan Ferry, sehingga seperti sebuah kartu “As” yang statusnya sangat diperlukan baik oleh GAM maupun oleh TNI? Lantas, siapa pihak paling berperan dalam memuluskan jalan sehingga Ferry benar-benar bebas?

Berbicara tentang pembebasan Ferry Santoro, ada banyak pihak yang pantas untuk disebutkan di sini. Pihak pertama, tentu saja GAM, yang terlepas dari apa pun motifnya, kita pantas memberinya apresiasi. Setidaknya, GAM masih punya itikad baik membebaskan Ferry, seorang jurnalis, yang semestinya pantas dilindungi oleh GAM atau pun TNI.

Selain GAM, banyak aktor yang berperan di balik bebasnya Ferry. Katakan saja RCTI yang dalam hal ini diwakili Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) Imam Wahyudi, Gotzon Onandia Zarrabe asal Spanyol dari ICRC/Komite Palang Merah Internasional, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Endang Suwarya (TNI)), Mar’ie Muhammad (PMI), juga Alamsyah Hanafiah dan Alfian (pengacara dan orang dekat Ishak Daud).

Yang juga tak kalah pentingnya adalah peran enam orang jurnalis —Imam Wahyudi termasuk didalamnya–seperti Munir (RCTI), Nezar Patria (Tempo), Solahudin (free lance The Nation Bangkok), Nani Afrida (The Jakarta Post), dan Husni Arifin (Republika), menjadi perwakilan para kuli tinta sebagai negosiator. Dengan keberanian luar biasa dan atas nama kemanusiaan, mereka rela menjadi “penjamin” dengan tinggal bersama-sama GAM untuk kebebasan Ferry, berikut ratusan sandera warga sipil lainnya.

Dalam bahasa lain, sukses pembebasan Ferry adalah keberhasilan bersama yang luar biasa, dalam sejarah baru yang menunjukkan peran media (jurnalis) bukan hanya sebagai pembuat berita, namun juga bisa menjadi bagian dari proses perdamaian. Selain itu, berangkat dari akhir drama penyanderaan ini, tentu hal lain yang patut kita kemukakan yakni pelajaran berharga bagi para jurnalis semua. Yakni, menjadi jurnalis bukan saja hanya cukup berbekal keterampilan dan kecakapan menulis atau menyiarkan berita dengan bebas dan benar saja kepada publik.

Lebih dari itu, untuk meliput di daerah konflik seperti Aceh, ternyata dibutuhkan nyali, selain pula harus memiliki integritas diri yang kukuh. Profesi jurnalis ternyata mensyaratkan keberanian menghadapi konsekuensi di medan tugas yang berat, sulit, dan berbahaya seperti medan konflik dan peperangan. Bahkan di antara para jurnalis muncul seloroh, penugasan ke daerah konflik bersenjata seperti halnya Aceh, sesungguhnya bukan sekadar mencari berita. Tetapi, sudah masuk dalam sebuah petualangan penuh uji nyali.

Bertugas meliput berita di daerah konflik bersenjata, bukan saja menuntut setiap para jurnalis jauh-jauh hari mempersiapkan bekal fisik, mental, kecerdasan, dan kemampuan menempatkan diri pada waktu dan tempat yang tepat. Para jurnalis juga, sejak jauh-jauh hari harus sudah sadar, bahwa wilayah liputan mereka adalah “neraka” yang sangat mungkin sampai batas tertentu dan dengan alasan tertentu pula akan memberi sebuah konsekuensi sangat berat kepada jurnalis. Jika tidak selamat, ya mungkin tertembak. Jika tidak cedera, ya mungkin kehilangan nyawa. Atau bisa pula seperti halnya Ferry, tertangkap salah satu pihak yang bertikai, dalam hal ini GAM, untuk kemudian dijadikan sandera.

Memang, kasus penyanderaan Ferry adalah sebuah contoh, di mana seorang sandera dapat melewati masa-masa sulit selama masa penyanderaan, untuk kemudian akhirnya dibebaskan. Medan seperti peperangan di Aceh atau daerah lain yang dilanda konflik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dikenal memang sebagai salah satu arena tugas profesional jurnalis yang sangat berbahaya. Sebab, di medan seperti itu, raga atau jiwa para jurnalis menjadi taruhan. Tapi dengan segala konsekuensinya, ternyata medan peperangan atau konflik bersenjata tetap saja menarik minat bagi para jurnalis untuk meliputnya.

2. Beberapa kisah dari liputan konflik di aceh dalam buku Jurnalisme Damai Karangan Iswandi Syahputra :

  • Terima Kasih Marinir
  • Si Anak Emas, William Nelson
  • Si Anak Tiri Ersa (Alm) dan Fery
  • Ekslusifisme Media
  • Pengungsi, Sapi, dan Kopi
  • Awas, Bom 5 Ton!
  • Antara GAM, TNI, dan Keuchick
  • dan Lain-lain.