6 sahabat utama yang dipilih Umar bin Khattab ra untuk bermusyawarah menentukan siapa penerus beliau menjadi pemimpin kaum muslimin?

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ayatulloh Marsai*

Subuh itu Umar bin Khattab, seperti biasa menjadi imam shalat subuh di Masjid Nabawi. Setelah takbiratul ihram, tiba-tiba muncul seorang laki-laki, langsung menikam dada dan perutnya enam kali bertubi-tubi. Tubuh Umar roboh. Lalu para jamaah memapahnya ke rumahnya di sebelah masjid.

Dalam detik-detik kematiannya, yang terpikir oleh Umar adalah bagaimana supaya sepeninggal dirinya, kekhalifahan lebih baik lagi. Dia melihat ambisi sahabat-sahabatnya begitu besar, sehingga tidak mungkin menunjuk salah satu diantara mereka, seperti apa yang dilakukan Abu Bakar As-Sidiq kepada dirinya.

Situasinya jelas berbeda dengan masa dia diangkat oleh Abu Bakar As-Sidiq. Pada akhir kepemimpinan Umar, semua kelompok merasa berjasa menegakkan panji Islam, hingga merasa layak (berhak) menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab.

Umar terbayang dua tokoh, Abu Huzaifah dan Abu Ubaidah,  “seandainya salah satu diantara mereka masih hidup akan saya serahkan kepadanya.”

Tabib yang memeriksa Umar rupanya sampai pada diagnose akhir, lalu berkata, “berwasiatlah, ya Amirulmukminin!” Umar tidak tenang. Bukan karena kematiannya, tetapi karena dia belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikannya. Lalu, orang-orang berkata, “kenapa tidak Abdullah bin Umar saja yang menggantikan urusan anda.” Umar marah, “sekali-sekali tidak akan saya serahkan urusan ini kepada orang yang tidak mampu menceraikan istrinya”.

Akhirnya Umar menunjuk enam orang untuk memilih satu diantara mereka, yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdur-Rahman bin Auf dan Sa’d bin Abi Waqqas. Alasannya, Umar pernah mendengar Rasul berkata bahwa mereka adalah penghuni surga. Umar menyuruh Abdullah bin Umar bergabung untuk mengawasi, tidak boleh dipilih karena dia anak dari Umar bin Khattab.

Dari kisah di atas, paling tidak ada 3 (tiga) pelajaran (ibrah) yang bisa kita petik sebagai kriteria memilih pemimpin. Pertama, integritas agama. Jaminan masuk surga oleh Rasul, bagi Umar cukup sebagai dasar kualitas agama mereka.

Kedua, Umar tidak mengangkat anaknya sebagai penggantinya, meskipun umat menganjurkannya. Inilah satu diantara keteladanan kepemimpinan Umar bin Khattab, dia enggan melibatkan keluarga untuk urusan “negara,” bukan hanya urusan kekayaan “negara,” namun juga jabatan, lebih-lebih jabatan nomor satu.

Ketiga, Umar tidak mengangkat orang yang tidak mampu menceraikan istrinya. Tentu saja kepada istri yang sudah melakukan kesalahan fatal. Artinya, Umar tidak mengharapkan pemimpin yang menggantikannya nanti orang yang tidak tegas. Umar ingin pemimpin berikutnya tegas seperti dia. Seperti langkahnya yang tidak segan-segan memecat pejabat-pejabat yang tidak berlaku adil kepada rakyatnya.

Jika kita tengok pemimpin-pemimpin kita pada setiap levelnya, dari RT sampai Presiden, sudahkah bebas dari tali hubungan keluarga dan karib-kerabat (nepotisme)? Apakah pemimpin kita tidak memanfaatkan fasilitas negara, akses politik dan ekonomi untuk keluarganya? Terakhir, sudahkah tegas kepada pejabat-pejabat yang jelas-jelas merugikan negara dan rakyatnya?

* Penulis adalah Pengajar di Al-Khairiyah Karangtengah Cilegon, Banten

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Umar bin Khattab adalah pemimpin Islam yang mengenalkan cara pemilihan pemimpin (khalifah) melalui pengambilan suara terbanyak. Gagasan ini beliau sampaikan pada tahun terakhir kekhilafahan, guna menentukan siapa pemimpin pengganti beliau.

Sebetulnya, dalam pandangan pribadi Umar bin Khattab sudah dipetakan dan diperhitungkan siapa yang layak memimpin umat Islam setelah dirinya. Kandidat terkuat ialah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Tapi, jika beliau mengikuti jejak Abu Bakar dengan cara menunjuk pemimpin penggantinya, maka hal itu sulit dilakukan. Sebab, Utsman maupun Ali adalah dua tokoh kepercayaan Rasulullah untuk mencatat firman-firman Allah.

Atas dasar pertimbangan itulah beliau menunjuk tokoh-tokoh di antara sahabat Nabi yaitu: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaid, Zubayr bin al-Uwam, Sa'd bin Abu Wa'i. Umar tidak melibatkan dalam tim formatur itu, Abdurrahman bin Auf. Sebagaimana beliau tidak menunjuk Said bin Zaid bin Amr bin Nafil karena alasan masih sepupu khalifah sendiri. Padahal Said bin Zaid adalah salah satu dari sepuluh yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah. 

Namun, oleh sahabat yang lain, dimintakan satu perwakilan dari khalifah Umar. Lalu disepakatilah Abdullah bin Umar: Dengan catatan ia memiliki hak suara tapi tidak memiliki hak untuk dipilih.

Umar bin Khattab berpesan kepada mereka: "Aku tidak menerima perintah untuk menunjuk penggantiku baik di waktu  hidupku maupun matiku (dengan cara berwasiat). Namun yang pasti aku akan mati. Maka untuk kelangsungan masa depan umat Rasulullah Saw, aku kumpulkan kalian untuk menentukan masa depan kalian."

Umar bin Khattab tampaknya sudah memprediksi proses pemilihan khalifah penggantinya akan berlangsung ketat dan alot. Untuk itu, beliau berwasiat agar Suhaib bin Sinan al-Rumi berkenan memimpin shalat jamaah dan berdoa selama tiga hari, sesudah wafat beliau dan sampai ada kesepakatan siapa khalifah pengganti beliau.

Ramalan Umar itu terbukti. Sahabat-sahabat yang ditunjuknya membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan tugas memilih khalifah ke-3. Pada hari pertama dan kedua, dari 6 orang yang telah ditunjuk semua hadir, terkecuali Talhah bin Ubaid. Sahabat yang lain sempat ragu dan bertanya-tanya tentang sikap Thalhah. Tapi keragu-raguan itu akhirnya terjawab sesudah Thalhah hadir di tengah-tengah mereka.

Mula-mula dari tokoh yang hadir, tiga di antaranya memilih Zubair. Tapi Zubair menolak dan melimpahkan tiga suara yang didapatnya kepada Ali. Menantu Rasulullah yang rendah hati inipun menolak dan melimpahkan suara yang diperolehnya kepada Sa'ad. Tapi lagi-lagi karena ketawadhuan Sa'ad beliau malah "melemparkan" suaranya kepada Abdurrahman bin Auf.

Hari pertama rapat menghasilkan keputusan yang belum bulat sebab di antara peserta justru memilih tokoh yang tidak termasuk dalam tim formatur yang telah disepakati.

Pada hari kedua, tim formatur menghadap Abdurrahman bin Auf untuk menyampaikan hasil keputusan sementara mereka. Tapi Abdurrahman sendiri ketika dikonfirmasi menolak penunjukan dirinya menjadi khalifah. Beliau justru berkata: “Di antara kita yang lebih berhak menjadi khalifah ialah Utsman dan Ali." 

Tim formatur tak puas dengan jawaban Abdurrahman. Sa'ad bin Abu Wa'y selaku juru bicara mendesak agar Abdurrahman memilih salah satu di antara dua tokoh: Utsman atau Ali. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya Abdurrahman memilih Utsman bin Affan. Sekalipun sudah ada penegasan Abdurhman tapi ada yang mempertanyakan bagaimana dengan hak suara Thalhah yang belum juga hadir sampai hari kedua rapat?

Untunglah pada hari ketiga Thalhah yang sudah dinanti-nanti hadir dalam forum musyawarah sahabat-sahabat Nabi. Ketika ditanya pilihannya, beliau spontan menjatuhkan pilihan kepada Utsman bin Affan. Dengan demikian, suara terbanyak telah menunjuk Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khattab. Pemilihan ini diikuti dengan pembaitan yang dilakukan oleh 50 sahabat terkemuka kepada khalifah terpilih.

Demikianlah kisah pertamakali pemilihan secara langsung al-khalifatur-rasyidun ke-3 dalam sejarah Islam. Walaupun berjalan alot, tapi demi kepentingan bersama, suksesi kepemimpinan dapat dilakukan secara aman dan damai. Semoga kisah ini memberikan inspirasi bagi umat Islam Indonesia dalam menyalurkan hak suara pada Pemilu 2019.

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten)
 

6 sahabat utama yang dipilih Umar bin Khattab ra untuk bermusyawarah menentukan siapa penerus beliau menjadi pemimpin kaum muslimin?

Syura enam orang (bahasa Arab:شورى الخلافة بعد عمر) adalah syura yang diprakarsai oleh Umar bin Khattab menjelang wafatnya (tahun 23 H/644) untuk menentukan pemilihan khalifah setelahnya dan menyebabkan dipilihnya Utsman bin Affan sebagai khalifah kaum Muslimin. Umar mengharuskan semua orang untuk menerima pendapat syura dan memerintahkan uutuk dipenggal leher bagi para penentang. Imam Ali as dengan memperhatikan orientasi dan tujuan anggota-anggota yang dipilih memprediksi bahwa syura akan menyebabkan dipilihnya Utsman.

Penjelasan Kejadian

Menurut sebagian sejarah, seseorang yang bernama Firuz atau Abululu anaknya Mughirah bin Syu'bah melukai Umar bin Khattab khalifah kedua pada tanggal 23 Dzulhijjah tahun hijriah dan akibat dari luka tersebut, ia wafat 3 hari setelahnya. [1] Umar dalam kondisi sakit berpikir untuk menentukan penggantinya dan berkata:"Apabila Ma’adz bin Jabal, Abu 'Ubaidah bin Jarah dan Salim Maula Hudzaifah masih hidup, maka aku akan menyerahkan khilafah kepada mereka[2], namun karena mereka telah meninggal, ia membuat metode baru untuk pemilihan khalifah setelahnya.

Pembentukan syura

Sebelum pemilihan khalifah dengan cara seperti ini, sebagian sahabat setelah Rasulullah saw wafat, mereka berkumpul di Saqifah tanpa memperhatikan peristiwa yang pernah terjadi di Ghadir, 9 orang memilih Abu Bakar sebagai khalifah, kemudian dengan metode dan cara khusus meminta baiat semua orang. Argumentasi mereka adalah bahwa perkara pemilihan khalifah diserahkan kepada orang dan orang harus mengemukakan pendapat tentang khalifah mereka. Namun Abu Bakar di akhir-akhir hayatnya merubah cara tersebut tanpa melibatkan pendapat orang lain dalam perkara ini, mengangkat Umar sebagai penggantinya.

Umar bin Khattab mengenyampingkan (meninggalkan) dua cara sebelumnya dan memilih cara yang lain dan mengakui bahwa pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah tidak berdasarkan pendapat kaum Muslimin. Oleh karena itu, maka harus bermusyawarah dengan mereka[3] , memilih salah satu dari anggota syura yang terdiri atas 6 orang sebagai khalifah. Anggota-anggota syura ini adalah Imam Ali as, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. [4]

Menurut pendapat Umar, pemilihan khalifah harus berdasarkan kesepakatan mayoritas (suara terbanyak) anggota syura. Namun sebagaimana yang ia inginkan, apabila ada dua kelompok, masing-masing 3 orang dari kelompok tersebut memiliki pendapat yang berbeda, maka pendapat yang diterima adalah pendapat yang ada Abdurrahman dalam kelompok tersebut. Umar juga berkata:"Apabila seseorang dari anggota syura menentang pendapat mayoritas, maka lehernya dipenggal. Apabila ada perbedaan, kelompok yang berbeda dengan kelompok Abdurrahman tidak menerima pendapatnya, maka 3 penentang tersebut dibunuh, dan apabila anggota syura tidak bisa memilih seseorang setelah 3 hari, maka semua dipenggal lehernya". [5] 50 orang dari kaum Anshar bertugas untuk mengontrol dan mengawasi pelaksanaan wasiat ini. [6]

Orientasi Dan Tujuan syura

Sebagian meyakini bahwa penyusunan syura seperti ini akan berakhir dengan terpilihnya Utsman, karena sesuai dengan prediksi Imam Ali as, Sa'ad tidak menentang anak pamannya Abdurrahman dan Abdurrahman yang merupakan suami dari saudara perempuan Utsman, memberikan suara kepadanya. Dengan demikian, apabila Zubair dan Thalhah sepakat untuk memilih Ali juga tidak memberikan faedah, karena Abdurrahman adalah kelompok pendukung Utsman. [7]

Sa’ad sejak awal memberikan suaranya kepada Abdurrahman. Zubair membatalkan dukungannya kepada Ali sebagai kandidat khalifah. Abdurrahman mengumumkan bahwa dirinya tidak menginginkan khilafah, Thalhah adalah anak pamannya Abu Bakar dan penentang Ali, membatalkan dukungannya kepada Utsman. Oleh karena itu, hanya Ali dan Utsman kandidat khalifah[8] dan pendapat Abdurrahman menjadi sangat penting.

Keputusan Abdurrahman

Abdurrahman setelah 3 hari berunding dan berkonsultasi kepada beberapa orang terutama pemuka-pemuka arab dan pejabat, pertama-tama ia meminta Ali untuk berjanji, seandainya jika ia menjadi khalifah akan berbuat sesuai dengan kitabullah, sirah nabi, Abu Bakar dan Umar. Ali as dalam menjawabnya berkata: "Aku hanya ingin berbuat sesuai dengan ilmu, kemampuan dan ijtihadku berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasulullah". Kemudian Abdurrahman menyampaikan syarat tersebut kepada Utsman dan ia langsung menerimanya.

Sebagian sumber menyebutkan bahwa Ali menganggap syarat Ibnu Auf adalah suatu bentuk tipu daya dan beliau berkata kepadanya: "Kau memilih Utsman supaya khilafah kembali kepadamu". Ini bukanlah pertama kali kau mencegah dan menghalangi hak kami. Perkara ini telah berganti menjadi sunnah (kebiasaan) untuk melawan kami.[9] [10]

Catatan Kaki

  1. Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 320 dan 321.
  2. Al-Imāmah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 42.
  3. Al-Musannif, jld. 5 hlm. 445; Al- Thabaqāt al-Kubrā, jld. 3, hlm. 344.
  4. Suyuthi, Tārikh khulafa, hlm. 129.
  5. Tārikh al-yakubi, jld. 2, hlm. 160; Baladzuri, Ansāb al-Asyraf, jld. 2, hlm. 261.
  6. Suyuthi, Tārikh Khulafā, hlm. 129 dan 137.
  7. Dasyti, Nahjul Balāghah, hlm. 30; Ibnu Abi al Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, , jld. 1, hlm. 188.
  8. Thabari, Tārikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 3 hlm. 296; Ibnu Abi al Hadid, Syarh Nahjul Balāghah, jld. 1 hlm. 188.
  9. (catatan 1:) Thabari menyebutkan peranan Amr bin Ash dalam peristiwa ini dan mengisyaratkan syarat-syarat yang dibuat oleh Ibnu Auf.
  10. Tārikh al-Ya'qubi, jld. 2, hlm. 162; Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 3, hlm. 296 dan 302; al-Musannif, jld. 5, hlm. 447; al-Tanbih wa al-Asyraf, hlm. 252 dan 253; Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 1, hlm. 194, al-Saqifah wa Fadak, hlm. 87.

Daftar Pustaka

  • Al-Bad'u wa al-Tarikh, Muthahhar bin Thahir Al Muqaddasi, Bur Sa’id, Maktab al-Tsaqafah al-Diniyyah Bi Ta.
  • Al-Imamah wa al-Siyasah al-Ma’ruf bi tarikh al khulafa, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad-Dinawari, tahqiq Ali Syiri, Beirut Dar al Adlwa, cet. pertama 1990/1410.
  • Al-Saqifah wa al-Fadaq, Abi Bakar Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauharial-Bashari, Beirut, Syarikat al-Katbi, 1413 Q.
  • Al-Tanbih wa al-Isyraf, Abu al-Hasan Ali bin al-Husein al-Mas'udi, Tashih Abdullah Ismail al-Shawi, al-Qahirah, Dar al-Shawi Bi Ta (Offet: Qom, Muassasat Nasyri al-Manabi al-Tsaqafah al-Islamiyah).
  • Kitab Jamal min Ansab al-Asyraf, Ahmad bin Yahya bin Jabir Al Biladzari, tahqiq Suhail Zakkar wa Riyadl Zarikli, Beirut dar al-Fikr, cet. pertama 1996/1417.
  • Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abi al-Hadid, Mesir, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1387, 1382 Q.
  • Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, tahqiq Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim, Beirut, Dar al-Turats, cet. kedua 1967/1387Tarikh al-Ya’qubi, Ahmad bin Abi Ya’qub bin Ja’far bin Wahab Wadlih al-Katib al-Abbasi al-Ma’ruf bi al-Ya’qubi, Beirut, Dar Shadir, bi Ta.
  • Tarikh Khulafa, Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, Halb, Dar al-Qalam al-Arabi, 1413 Q, 1993 M.