Yang mengusulkan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah

Kemerdekaan Indonesia membawa begitu banyak dampak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah mengutamakan kepentingan negara demi menjaga persatuan dan kesatuan di atas kepentingan golongan. Hal ini tercermin dalam Pengubahan Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” hal ini dilakukan setelah mengalami kritik dari kelompok kristen di Indonesia Timur. Menurut T.M Hassan, persatuan dan kesatuan lebih utama dibandingkan kepentingan golongan dan hal ini dilakukan dalam rangka menggalang persatuan dan kesatuan karena Indonesia terdiri multietnis.

1343524362617659712

[caption id="attachment_196946" align="alignright" width="400" caption="foto:ruangjuang.wordpress.com "][/caption]

Dalam buku sejarah yang ada di sekolah sudah mafhum rasanya bahwa sebelum pancasila seperti sekarang ini, ada tujuh kata (ejaan pada saat itu) yang dihilangkan oleh para tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. Tujuh kata itu terdapat dalam sila pertama, yaitu Ketuhanan, Dengan Menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Ada yang mengatakan bahwa ini merupakan gentlement Agreement dari umat islam, karena bersedia ‘mengalah’ demi terciptanya kesatuan bangsa. Ini didasari ada rumor yang berkembang bahwa jikalau tujuh kata itu tidak dihapus, maka wilayah Indonesia di bagian timur akan memisahkan diri. Praktis setelah proklamasi dikumandangkan, tanggal 18 Agustus 1945 setelah rapat dan dialog yang alot oleh kelima tokoh yakni, Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman Singodimejo, Muhammad Hatta, dan Teokoe Mohammad Hasan akhirnya disetujui penghapusan tujuh kata itu, tapi dengan catatan Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa.  Sementara itu ada sebagian orang yang mengatakan bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu sebagai pengkhianatan terhadap umat islam oleh tokoh-tokoh nasionalis yaitu Bung Karno dan Bung Hatta.

Sejarah penghapusan tujuh kata itu kiranya jangan hanya dipahami sekelibat saja, tapi perlu direnungkan dan dipikir secara mendalam mengenai alasan mengapa tujuhkata yang telah disepakati bersama dalam piagam Jakarta itu tiba-tiba dihapus begitu saja satu hari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Tujuannya agar sedikit-sedikit tidak menyalahkan bahkan mencela tokoh-tokoh yang telah berjuang demi kemerdekaan bangsa ini. Saya yakin orang-orang seperti Bung Karno, Bung Hatta, Wahid Haasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman Singodimejo dan tokoh-tokoh lainnya adalah orang-orang yang tulus memperjuangkan negerinya agar menjadi negeri yang rukun dan tentram.

Kalau kita mengedepankan ego dan ‘ingin menang sendiri’ mungkin penghapusan tujuh kata dalam piagam Jakarta yang telah disepakati tanggal 22 Juni 1945 itu adalah bentuk pengkhiantan Bung Karno dan Bung Hatta kepada umat Islam. Alasannya karena Bung Hatta-lah yang mengusulkan penghapusan itu, setelah menerima telepon dari seseorang bahwa Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Indonesia, kalau tujuh kata itu tidak dihapus.

Jujur saya tidak sependapat dengan orang, golongan atau kelopmpok yang menyatakan seperti itu bahkan saya mengecam orang-orang yang menuduh Bung Karno, Bung Hatta atau tokoh-tokoh yang lainnya berkhianat kepada umat Islam. Saya kadang heran, mengapa begitu entengnya mereka mengatakan bahwa tokoh-tokoh itu adalah pengkhianat umat Islam. Melihat kenyataan hampir orang seperti Bung Karno dan Bung Hatta harus merelakan usia mudanya dihabiskan di dalam penjara guna memperjuangkan agama, bangsa dan negaranya.

Yang membuat saya geli adalah ada sebagian orang yang mengatakan bahwa mengapa Indonesia sampai sekarang ini masih terpuruk dan semakin terpuruk? Karena disebabkan penghapusan tujuh kata itu. Seandainya tujuh kata itu dibiarkan tentu Indonesia tidak akan menjadi negeri seperti ini. Pernyataan seperti ini bisa dibalik, bagaimana kalau tujuh kata itu tetap dipertahankan? Mungkin wilayah Indonesia tidak akan seperti sekarang ini, karena banyak wilayah-wilayah yang akan memisahkan diri dari negera kesatuan republic Indonesia, bahkan keamanan dan ketentraman hidup di Indonesia akan sangat mengkhawatirkan karena adanya persinggungan dan pertentangan sana-sini. Tapi berkat tangan dingin, kebijaksanaan dan kearifan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa ini, yang rela menghapus tujuh kata itu, demi kemenangan dan cita-cita bersama yakni tercapainya Indonesia merdeka, berdaulat adil dan makmur. Akhirnya keutuhan dan persatuan tetap terjaga.

Apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa ini seperti Bung Karno, Bung Hatta, Wahid Haasyim, Ki Bagoes Hadikusuma, Kasman Singodimejo yang bersedia menghapus tujuh  kata dalam piagam Jakarta, saya yakin bukannya tanpa dasar dan pertimbangan yang matang. Orang seperti Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikuma, Kasman Singodimejo adalah orang-orang yang mapan pengetahuan agamanya, begitu pula Bung Karno dan Bung Hatta, meskipun dikenal sebagai golongan nasionalis tetapi begitu religius dalam setiap pengambilan keputusannya, misalnya seperti pemilihan tanggal kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dalam pengakuannya, Bung Karno mengatakan bahwa sejak di Saigon sudah merencanakan proklamasi pada 17 Agustus 1945 karena diyakini angka 17 merupakan angka yang istimewa, al-Qur’am ditunkan pada 17 Ramadhan dan shalat dalam sehari semalam juga terdiri dari 17 rakaat. Dan dipihnya hari mulia pada Jum’at Legi.

Kalau kita menengok sejarah, sebenarnya apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa ini dengan kesediannya menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta itu adalah meniru bentuk dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw yang dalam berdakwah  tidak terlalu kaku dalam mempertahankan teks-teks dan formalitas lahiriah, selama tujuan pokok yang hendak dicapai terpenuhi. Dalam perjanjian Hudaibiyah misalnya, Nabi Muhammad saw bersedia menghapus kata Bismillahirrahmanirrahim dalam teks tertulis perjanjian itu. Karena ditolak oleh Suhail bin Amr dari pihak Makkah jika menggunakan kata tersebut. Meskipun para sahabat termasuk Ali bin Abi Thalib yang ditunjuk sebagai sekretaris untuk menulis perjanjian keberatan dengan keputusan Nabi Muhammad saw, tapi Nabi saw tetap pada keputusannya menghapus kata itu, bahkan yang disepakati ditulis dalam teks perjanjian itu hanya Muhammad bin Abdullah yang sebeumnya ditulis Muhammad Rasulullah yang juga ditolak oleh Suhail.

Tidak bijak rasanya kalau menuduh orang-orang seperti  Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh-tokoh lain yang berjuang untuk kemerdekaan dan bersatunya bangsa yang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai bangsa plural dengan ‘pengkhianat’ gara-gara hanya menghapus tujuh kata itu. Lihatlah dengan kacamata bijak, agar kita tidak mudah menyalahkan, bahkan menuduh yang sebenarnya kita sendiri tidak mengetahuinya. Kiranya langkah yang ditempuh oleh mereka adalah langkah yang tepat dan bijak.

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan kembali menyelenggarakan Santri Cendekia Forum pada Selasa malam (15/12). Topik yang dibahas ialah tentang Kasman Singodimedjo dan Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia, terutama terkait dengan peristiwa penghapusan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta.

Anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Yogyakarta Farid Setiawan mengatakan bahwa baik Ki Bagoes maupun Kasman, keduanya merupakan tokoh Muhammadiyah yang menurut beberapa ahli sejarah sangat besar peranannya terhadap awal mula pembentukan dasar negara Indonesia. Terutama saat menjelang detik-detik sidang terakhir PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.

“Jika Ki Bagoes adalah pribadi yang teguh memegang prinsip, maka Mr. Kasman ini piawai dalam melakukan lobi. Bisa dibilang, Mr. Kasman ini ialah singa podium pada masanya, layaknya Soekarno kalau berpidato itu sangat menggebu-gebu,” terang dosen Universitas Ahmad Dahlan ini.

Ki Bagoes merupakan anggota PPKI yang gigih menghendaki dimasukkannya persuasi kewajiban menjalankan syariat Islam dalam sistem konstitusi negara. Sebagai figur kharismatik yang disegani baik oleh kalangan muslim maupun nasionalis, seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penentuan dasar negara sebenarnya terletak pada pundak Ki Bagoes.

Bagaimana pun, bagi Ki Bagoes, Piagam Jakarta sebelumnya yang memuat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah kesepakatan bersama (gentlemen’s agreement), dan sudah siap diputuskan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Ki Bagoes memegang komitmennya untuk tidak mengubah kesepatan bersama sejak awal.

Akan tetapi, Mohammad Hatta mengusulkan agar kesepakatan ini digugurkan berdasarkan laporan dari seorang perwira Angkatan Laut Jepang yang menyatakan bahwa orang-orang Kristiani di wilayah timur tidak akan bergabung jika terdapat unsur-unsur formalistik Islam dalam Piagam Jakarta. Salah satu tokoh muslim yang dimintai persetujuannya ialah Ki Bagoes.

“Beberapa waktu sebelum sidang PPKI diselenggarakan, Hatta mengajak Ki Bagoes, Wahid Hasyim, Teuku Hasan dan Kasman untuk membincangkan terkait dengan kegelisahan dan keberatan sebagian warga bangsa kita yang berada di kawasan timur,” tutur penulis buku Genealogi dan Modernisasi Sistem Pendidikan Muhammadiyah 1911-1942 ini.

Farid mengatakan bahwa Kasman menjadi juru kunci pemecah kebuntuan dialog antara kelompok Muslim dengan Nasionalis pada detik-detik akhir sidang-sidang PPKI tersebut. Dengan bahasa Jawa halus, Kasman meyakinkan Ki Bagoes bahwa UUD harus segera disahkan karena posisi bangsa Indonesia sekarang terjepit di antara pasukan Jepang dan Belanda.

Ketenangan dan argumentasi logis Kasman berhasil meyakinkan Ki Bagoes agar menerima usul pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta tersebut. Selain faktor kapasitas individu Kasman yang memang piawai berdiplomasi, faktor kedekatan ideologis, yaitu hubungan antara keduanya sebagai kader Muhammadiyah, juga turut menyukseskan proses negosiasi yang cukup alot.

“Dalam narasi sejarah, tokoh yang terlibat di dalam pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah Ki Bagoes, Mr. Kasman, dan Hatta,” tegas Farid Setiawan.