Jelaskan apa saja tugas pokok Kabinet Ampera? Apabila membahas mengenai kabinet ini, kita akan mengetahui beberapa sebutan-sebutan kuno seperti Dwidarma dan Catur Karya. Dikutip dari wikipedia, tugas pokok kabinet Ampera ditetapkan melalui ketetapan MPRS No. XIII tahun 1966. Kabinet Ampera dibentuk pada tanggal 28 Juli 1966, jumlah total anggotanya 30. Kabinet ini dibentuk untuk menggantikan Kabinet Dwikora III, kemudian pada perkembangan selanjutnya kabinet ini digantikan dengan Kabinet Ampera II.
Baca : Latar Belakang Lahirnya Orde Baru Jadi dapat kalian pahami, pembahasan kali ini merupakan tugas pokok Kabinet Ampera 1. Letjen Soeharto merupakan ketua Presidium kabinet, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Tugas pokok kabinet Ampera dikenal dengan sebutan nama Dwidharma, yakni mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Berikut ini penjelasan tugas kabinet Ampera yang ditetapkan oleh MPRS pada tahun 1966, meliputi :
Baca : Sistem Pemerintahan Masa Orde Baru Setelah mengetahui tugas pokok kabinet Ampera, sekarang tinggal kita bahas mengenai program kerjanya. Catur karya merupakan sebutan dari empat program kerja kabinet Ampera, program-program tersebut antara lain :
Demikian pembahasan berjudul 2 Tugas Pokok Kabinet Ampera dan Program Kerjanya, semoga bermanfaat dan menambah wawasan sejarah kita. Baca juga artikel menarik terkait lainnya. Terima kasih. Rekomendasi Artikel: Kebijakan Ekonomi Pada Masa Orde Baru Share ke teman kamu:Tags : Orde Baru Related : 2 Tugas Pokok Kabinet Ampera dan Program Kerjanya
Sejarah Orde Baru Tonggak sejarah Orde Baru diawali dari kelahiran supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) yang ditujukan kepada Lenan Jenderal (Letjen) Soeharto yang menjabat menteri panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (pangkopkamtib). Surat ini diterbitkan Soekarno untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban. Demonstrasi dan kekacauan di ibukota tak berubah, meski Soekarno telah melantik Kabinet Dwikora yang Disempurnakan atau lebih dikenal dengan sebutan “Kabinet 100 menteri” pada tanggal 11 Maret 1966. Dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden Soekarno pada tanggal tersebut, Letjen Soeharto tidak hadir dengan alasan sakit. Akhirnya, Presiden Soekarno tidak dapat menyelesaikan rapat dan pergi ke Bogor demi alasan keamanan. Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amir Machmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Letjen Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam. Namun, sayang sekali supersemar yang asli sampai sekarang tidak ditemukan. Sejarawan Asvi warman Adam dalam catatan kritisnya pada buku “Habibie, Wiranto, dan Prabowo Bersaksi” menilai Soeharto memiliki alibi ketika situasi ibukota yang kacau karena ia beralasan sakit dan tidak hadir dalam rapat kabinet. Pasukan Kostrad diduga seolah membiarkan demonstrasi di istana Negara berkembang begitu rupa. Dengan mengacu kepad ketetapan MPRS No.XIII/MPRS/1966, Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan menyerahkan wewenang kepada Letjen Soeharto untuk membentuk Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Pada tanggal 25 Juli 1966 Letjen Soeharto membentuk Kabinet Ampera, dengan unsur-unsur sebagai berikut: -Pimpinan yaitu Presiden Soekarno -Pembantu pimipinan, terdiri lima orang menteri utama yang secara bersama merupakan presidium dan Letjen Soeharto sebagai ketua presidium. -Anggota kabinet terdiri 24 orang menteri masing-masing memimpin departemen dan di bawah koordinasi presidium kabinet Program Kabinet Ampera disebut Catur Karya, yaitu: -Memperbaiki perikehidupan rakyat di bidang sandang dan papan -Melaksanakan pemilihan umum selambat-lambatnya 5 Juli 1968 -Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif demi kepentingan nasional -Melanjutkan perjuangan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya Dengan demikian, Kabinet Ampera menimbulkan “dualisme kepemimpinan nasional” antara Soekarno dan Soeharto. Atas prakarsa Soekarno untuk mencegah konflik, ia mengumumkan penyerahkan kekuasaan kepada Soeharto pda tanggal 20 Februari 1967. Sebelumnya pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto mengupayakan normalisasi hubungan dengan Malaysia pada perundingan di Bangkok 29 Mei-1 Juni 1966. Seblumnya, Indonesia pernah keluar dari PPBB pada tanggal 7 Januari 1965 di bawah pemerintahan Soekarno. Indonesia keluar dari PBB karena usulnya agar Malaysia tidak diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB tidak diterima. Delegasi Indonesia pada waktu itu adalah Menteri Luar Negeri Adam Malik. Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru secara resmi ketika Letjen Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presdien Republik Indonesia pada tanggal 12 Maret 1967. Soeharto pun dengan cerdik mempertahnakan jabatannya dengan menunda pemilu. Pemilu yang seharusnya direncanakan pada tahun 1968 akhirnya mundur. Pemilu baru dilaksanakan 1971 dan diikuti 10 partai politik. Selain itu, pada tahun 1973 dilakukan fusi (penggabungan) partai secara paksa. Partai-partai Islam bergabung menjadi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan partai-partai nasionalis (PNI, IPKI, Murba) dan Kristen, serta Katholik bergabung menjadi PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Fusi partai memperlemah partai-partai besar di zaman Soekarno karena partai-partai yang berbasis ideologi tersebut sulit mengembangkan dirinya karena dipaksa bergabung. Pemerintah Orde baru pun relative mudah mengawasi dan bahkan membatasi ruang gerak lawan-lawan politiknya. Enam kali pemilu yang diadakan Orde Baru selalu menjadikan Partai Golkar sebagai pemenang. Golkar sebagai parati pemerintah selalu distimewakan. Partai PPP dan PDI tidak boleh memiliki struktur kepenguruswan di bawah tingkat kecamatan. Kebijkan “floating mass” atau “massa mengambang” ini membuat parati-partai lainnya tercabut dari akarnya karena sulit mendekati dengan pendukungya. Pemerintahan Seoharto yang otoriter makin tampak ketika pasca malari (malapetaka 15 Januari 1974). Peristiwa malaria terjadi dilatarbelakangi demonstrasi mahasiswa yang menolak dominasi ekonomi Jepang di Indonesia. Aksi demonstrasi bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka ke Indoensia. Soeharto menilai hal ini sangat mencoreng mukanya di mata internasional. Hariman Siregar sebagai Ketua Dewan Mahasiswa dan juga sejumlah tokoh lainnya ditangkap. Peristiwa malari diduga terjadi karena konflik antara Jenderal Soemitro yang yang waktu itu menjabat sebagai pangkopkamtib dan Ali Moertopo yang menjabat asisten pribadi Presiden Soeharto. Satu ciri Orde baru yang menonjol yaitu kuatnya doktrin dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Peran ABRI bukan hanya sebagai kekuaatan pertahanan keamanan, ABRI pun sebagai kekuatan sosial dan politik. Doktrin dwi fungsi ABRI ini menjadi alasan ABRI memimpin jabatan-jabatan pemerintahan di luar militer. David Jenkins mencatat dalam bukunya “Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983” bahwa pada tahun 1977 jumlah personel ABRI yang bertugas di sector sipil sebanyak 21.118 orang (David Jenkins, 2010; 263-266). Mereka menjabat menteri beserta sejumlah jabatan di pemerintah pusat, gubenrur, walikota, bupati, duta besar, serta jabatan konsuler. Oleh karena itu, militer hingga sekarang merasa paling layak mengisi jabatan pemerintahan dari pusat hingga daerah, termasuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. |