Mengapa perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat

Palembang, 18 November 2015
Sosialisasi, Sebenarnya Perlu Nggak sih?
Mengapa perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
Oleh:
Nurachmi Ayu Susanti
TA Sosialisasi OC 2 P2KKP Sumatera Selatandan

Nina Firstavina

Web Editor KMP P2KKP
Mengapa perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat

Di sela-sela kesibukan menyunting, notifikasi browser di smartphone saya menunjukkan, pesan masuk di inbox media sosial facebook pribadi saya. Cukup lama saya abaikan, karena masih fokus dengan pekerjaan. Ketika akhirnya saya buka, ternyata pesan berasal dari sahabat dan rekan kerja saya, Tenaga Ahli (TA) Sosialisasi OC 2 Program Peningkatan Kualitas Kawasan Permukiman (P2KKP) Provinsi Sumatera Selatan Nurachmi Ayu Susanti. Pesannya, bisa dibaca di bawah ini.

Beberapa hari yang lalu melalui broadcast di BBM, saya mendapat sebuah pertanyaan untuk sosialisasi, sebagai berikut: (1) Kapasitas apa yang dibutuhkan oleh tim korkot dan tim fasilitator untuk sosialisasi? (2) Media apa yang cocok digunakan untuk sosialisasi kepada masyarakat? (3) Siapa yang bisa dijadikan agen sosialisasi paling strategis dan potensial di Pemda dan masyarakat?

Memang terlihat simpel karena hanya terdiri dari tiga pertanyaan. Tetapi tiga pertanyaan ini juga merupakan pertanyaan-pertanyaan yang selalu silih berganti bermain di alam pikir saya. Selaku TA Sosialisasi yang mempelajari dunia sosialisasi secara otodidak, dan untungnya memiliki para senior baik hati berada di OC 2 Provinsi Sumatera Selatan dan KMP, menjadi tantangan tersendiri bagi saya untuk melakukan tugas sesuai dengan MSAP yang telah ditetapkan.

Sebagaimana diketahui, pengertian sosialisasi adalah proses pembelajaran seseorang untuk mempelajari pola hidup sesuai nilai, norma dan kebiasaan. Dalam lingkup tugas kita artinya proses seseorang, atau masyarakat, mempelajari program. Pengertian ini menggarisbesarkan kata “proses”. Artinya, sosialisasi memang membutuhkan sebuah proses, dan proses ini merupakan hal paling penting dalam menentukan keberhasilan program dalam mencapai tujuannya.

Sebelum bicara proses, permasalahan kapasitas pelaku khususnya Tim Korkot dan Tim Fasilitator untuk melakukan sosialisasi menjadi hal pertama yang harus disorot. Betapa lucunya jika prajurit pergi berperang tanpa membawa senjata apapun. Sang prajurit akan berperang dengan irama masing-masing. Ada yang berlari cepat, karena berhadapan dengan musuh yang mudah ditaklukkan, tapi juga ada yang terseok-seok bercucuran air mata karena bernasib jelek, harus berhadapan dengan musuh yang mempunyai ilmu mumpuni. Halaah, kenapa alur cerita nya kayak film perang ya, hehehe..

Tapi ini adalah kenyataan yang dihadapi program. Seperti sebuah pengakuan dosa, khususnya pengakuan saya, selaku TA Sosialisasi otodidak. Banyak sekali Tim (Korkot dan Fasilitator) yang melakukan proses sosialisasi dengan kapasitas sangat “minimalis”. Seperti perputaran jarum jam, semua melakukan kegiatan sosialisasi yang hampir sama setiap tahunnya, berulang-ulang dalam waktu yang menahun. Akibatnya, substansi kegiatan sosialisasi yang dilakukan, terbang seperti angin lalu.

Rasa jenuh pun merajalela. Tak hanya di kalangan Tim Korkot dan Tim Fasilitator, tetapi di tingkatan masyarakat dan Pemda. Dan, yang lebih parah, seperti sebuah perangkap, kejenuhan ini membentuk “lingkaran setan” yang berevolusi menjadi sebuah monster yang sangat berbahaya, yaitu bekerja dan melakukan kegiatan dengan prinsip ABS—Asal Bapak Senang.

Teringat di era program tahun 2006-an, ketika sosialisasi kerap mengibaratkan istilah “sebuah gelas penuh”. Sebagian besar pelaku program kini tampaknya dalam kondisi yang sama; dan ini tak menutupi terjadi juga di jajaran tenaga ahli. Proses belajar dan pembelajaran pun ditepiskan. Yang dikejar adalah progres dan progres. Kiblat keberhasilan sekarang adalah penyelesaian setiap progres. Alhasil, kuantitas terpenuhi, tetapi kualitas menjadi sebuah pertanyaan.

Pesan tak berhenti di situ. Masih ada.

Palembang hujan. Terus yo jari menari sendiri, sambil teringat tiga pertanyaan yang sampai sekarang belum bisa terjawab.

Saya menanggapi dengan satu kata singkat: gubraks. Menunjukkan bahwa saya terkejut dengan ungkapan uneg-uneg yang diungkapkan oleh Amibae—begitu nama pena Nurachmi Ayu Susanti, yang sudah saya kenal sejak tahun 2009, meski belum pernah bersua muka secara langsung, hanya melalui blog, pesan di inbox dan BBM.

Kembali ke isi pesan, hal yang membuat saya terkejut adalah kesamaan cara berpikir kami soal sosialisasi di program ini. Sebenarnya, penting nggak sih, sosialisasi dilakukan? Kalau penting, kenapa kesannya selalu jadi anak tiri (di program), meski rekan-rekan tenaga ahli sosialisasi di seantero Indonesia sudah bekerja keras dan bekerja cerdas “mengeksiskan diri” seraya mengangkat tinggi-tinggi misi utama: mengenalkan program ini di tengah masyarakat, Pemda dan stakeholder. Mulai dari membuat event khusus sosialisasi: lewat lokakarya, pawai, pertemuan, dan seterusnya, yang membutuhkan biaya lumayan besar, hingga sosialisasi yang dilakukan kecil-kecilan dan gratisan: melalui media sosial dan informasi mulut ke mulut. 

Kenapa saya katakan anak tiri; akui saja, karena sosialisasi masih kalah pamor dengan progres, pencairan BLM, masalah aduan indikasi penyimpangan dana dan data SIM. Sebagai personel yang berdiri (dan duduk) di garda depan publikasi melalui media website—yang artinya masih dalam lingkaran sosialisasi juga selama 10 tahun terakhir di KMP, itulah kesan yang sayang lihat. Apa cemburu dengan unit lain? Tidak. Kecil hati? Agak. Jengkel? Hmmm... ya!

Kenapa? Karena ketidakmampuan kita—ya, kita, semua—untuk memberikan perhatian dan berkolaborasi secara paralel. Padahal semua unit sama pentingnya. Apalagi ada pepatah, “Tak kenal maka tak sayang.” Artinya, dengan sosialisasi, program akan lebih “user friendly”, dan bisa lebih cepat diserap pemahaman substansinya, bahkan jadi tolok ukur buat masyarakat, Pemda dan stakeholder. Namun, sudah cukup kah itu semua? Lantas kenapa masih ada sebagian besar personel dan masyarakat di perkotaan yang belum mengetahui program ini? Tak usah eksternal, di internal konsultan dan pelaku P2KP-PNPM Mandiri Perkotaan-P2KKP sendiri, masih ada lho di antara kita yang tidak tahu kalau program ini punya website! Kok bisa? Ya, itulah, "luar biasa" bukan?

Oke, pembahasan sudah mulai hot sepertinya. Sebelum melanjutkan artikel dengan fakta dan referensi lebih lanjut, kita tunda dulu artikel ini. Nantikan “episode” berikutnya di website ini, sekalian akan kita jawab tiga pertanyaan penting di atas. Bersambung.. [Redaksi]

(dibaca 3042)


Page 2

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 3

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 4

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 5

Bagi rekan pelaku dan pemerhati KOTAKU yang ingin mengirimkan tulisan partisipatif, silakan kirim berita/artikel/cerita/feature terkait kegiatan KOTAKU ke Redaksi:

Tulisan yang dikirim berformat document word (.doc) disertai foto dan keterangan foto. Foto sebaiknya berformat .jpg atau .bmp, dikirimkan via email dan dilampirkan terpisah dari dokumen tulisan (tidak di dalam dokumen). Font tulisan Times New Roman ukuran 12, spasi single, 1 - 2 layar atau maksimal 2.500 karakter (tanpa spasi).

Atau, dapat langsung dikirim melalui web (klik "kirim"), syaratnya, Anda sudah terdaftar sebagai member web KOTAKU. Selanjutnya, bila tulisan tersebut dianggap layak, maka tunggu tanggal tayangnya di web KOTAKU.


Page 6

Total pengunjung hari ini: 832, akses halaman: 888,
pengunjung online: 55, waktu akses: 0,016 detik.

Mengapa perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
Mengapa perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat
Mengapa perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat