Mengapa nugroho notosusanto disebut sebagai sejarawan

Sekilas Nugroho Notosusanto: Karir dan Kehidupan

Dunia pendidikan Indonesia mencatatkan nama seorang sejarawan Indonesia pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Beliau adalah Nugroho Notosusanto. Pria kelahiran Pati ini menjadi Menteri P dan K pada periode Kabinet Pembangunan IV, masa Orde Baru. Pada saat menjabat sebagai Menteri P dan K, Nugroho juga menjabat sebagai Rektor UI. Jadi beliau melakoni jabatan rangkap. Nugroho merupakan alumnus Universitas Indonesia dengan program studi sejarah, fakultas sastra.

Keaktivan beliau semasa remaja (SMA) pernah menjadi anggota militer—tentara pelajar. Pada saat tamat dari SMA, ia merasa bingung hendak akan melanjutkan kemana, apakah akademi militer atau masuk perguruan tinggi. AKhirnya ia masuk perguruan tinggi. Saat dalam dunia mahasiswa pun Nugroho juga aktiv dalam kegiatan kemahasiswaan, terutama dalam dunia pers dan sastra. Tulisan-tulisan sastra—puisi ataupun cerpen yang ditulis ditujukan untuk mengkritik pemerintah—Orde Lama. Jadi bisa dikatakan, Nugroho Notosusanto tidak hanya seorang sejarawan, namun juga sastrawan.

Setelah menamatkan jenjang pertama dalam dunia mahasiswa, Nugroho mengabdikan diri sebagai dosen di UI. Kemudian ia juga ditunjuk sebagai Kepala Lektor FSUI. Nugroho juga mendapat beasiswa ke Inggris untuk memperdalam keilmuan sejarahnya tentang metode dan filsafat sejarah. Sebelum berangkat, Nugroho mempersunting seorang wanita bernama Erma Savitri. Sepulang dari Inggris, Nugroho aktiv lagi dalam dunia militer, ia menjadi Direktur Pusat Sejarah ABRI. Termasuk beberapa proyek yang dibuat oleh militer diserahkan kepada Nugroho Notosusanto. Maka ada yang menyebut Nugroho Notosusanto merupakan sejarawan militer. Dan Nugroho Notosusanto diberi pangkat tituler dengan pangkat Letkol hingga sampai pada Brigjen.

Realitas Pengajaran Sejarah: Dualisme dan Indoktrinasi

Nugroho Notosusanto melakukan banyak perubahan dalam skema pendidikan Indonesia. Mulai dengan merubah kurikulum 1975 menjadi  kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984, penjurusan seperti, Bahasa, IPA, IPS, dihapuskan. Pada kurikulum 1984 terdapat dua jenis mata pelajaran yakni—wajib dan pilihan. Selain itu juga, ada yang mencolok dalam kebijakan yang dikeluarkan olehnya yakni berdirinya PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) sebagai program yang berdiri sendiri. Mata pelajaran Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia (SNID), tidak integral lagi dengan IPS. Untuk PSPB sendiri merupakan alternative dalam penyelenggaraan Pendidikan Pancasila, walaupun demikian, isi materinya tetap peristiwa-peristiwa sejarah dalam kurun waktu mulai dari kemerdekaan.

Kedua mata pelajaran itu—SNID dan PSPB—masuk dalam kategori mata pelajaran wajib bagi semua jenjang pendidikan. Hal ini dikarenakan bahwasanya Nugroho berkaca pada periode sebelumnya yang begitu sainstik karena kurang mengedepankan akhlak dan karakter. Nugroho melihat diperlukan pendidikan berpikir dan humaniora untuk menanggulanginya, salah satunya sejarah. Melalui sejarah, generasi muda diberi pengetahuan tentang pengalaman leluhur dan para pahlawan. Semangat kebangsaan dan nasionalisme dipertaruhkan di dalam sejarah. Sekilas memang, kebijakan beliau ini sangat cerdas, namun yang menjadi permasalahan adalah kebijakan itu diterapkan pada masa yang kurang tepat.

Penguasa Orde Baru menggunakan sarana itu melegitimasi kekuasaan. Sejarah hanyalah milik satu fihak, penguasa Orde Baru dan juga militer, terutama Angkatan Darat (AD). PSPB sangat militeristik, hanya menonjolkan perjuangan militer. Begitu juga dengan SNID, terutama untuk kelas tiga, juga tidak luput dari militerisme. Pengajaran sejarah yang militerstik itu ditunjang melalui buku-buku acuan yang digunakan tiap-tiap mata pelajaran. PSPB, pada awalnya menggunakan buku acuan “30 Tahun Irandonesia Merdeka”, terbitan seketrariat negara yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sendiri dan kalangan sejarawan Pusat Sejarah ABRI. Sedangkan buku acuan untuk SNI menggunakan buku babon yang kontroversial yakni SNI mulai dari jilid I hingga VI. Jilid IV lah yang mengundang tanda tanya besar karena peranan militer lebih ditonjolkan dari pada diplomasi.

Buku SNI itu saja sudah menuai kontroversi dalam pembuatannya, walaupun didalam tim pembuatannya, mencantumkan nama-nama besar seperti Sartono Kartodirjo, Taufik Abdullah, dan masih banyak lagi. Konflik internal mewarnai pembuatan SNI tersebut hingga ada yang mengundurkan diri. Nugroho yang juga ikut menyunting buku tersebut justru seperti takluk pada permintaan penguasa. Nugroho menjadi editor untuk jilid VI yang banyak menuai kritik. Pada terbitan tahun 1984, nama Sartono Kartodirjo tidak ada lagi dalam daftar sampul, yang ada hanyalah Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened P.

Nugroho Notosusanto. Sumber: //kalamkopi.wordpress.com/

Perjalanan awal dengan tulisan esai

Nugroho Notosusanto, salah satu sastrawan sekaligus orang yang berpengaruh dalam pembangunan Indonesia pada masa Orde Baru lahir di Rembang, Jawa Tengah, pada 15 Juli tahun 1930 memiliki rentetan catatan sejarah yang menarik untuk disimak. Nugroho Notosusanto merupakan sastrawan pada kelompok angkatan 66 periode sekitar tahun 1950-an. Nugroho pada masanya terkenal suka menulis esai, dibandingkan dengan sastrawan lain yang lebih banyak atau suka menulis cerpen atau sajak. Cerita-cerita yang ditulis Nugroho selalu berbau perjuangan karena memang pada masa itu Indonesia masih ada pada zaman kedudukan Belanda, sehingga esai-esai yang ditulisnya sangat mencerminkan semangat nasionalisme yang sesuai dengan keadaan era itu

Sebagai seorang sastrawan, selain esai Nugroho juga memiliki karya sajak, dan tulisan-tulisannya itu sebagian besar pernah dimuat pada surat-surat kabar atau majalah terkenal seperti Kompas, Siasat, Nasional, Kisah, dan lainnya. Selain menulis ceritanya sendiri, Nugroho juga memiliki hasil tulisan terjemahan yang tak kalah menarik perhatian masyarakat.

Dari tentara pelajar hingga militerisasi sejarah

Tak hanya aktif menulis, Nugroho juga turut serta membela Indonesia dengan mencicipi dunia militer sedari ia masih remaja. Saat Nugroho berumur 15 tahun, lebih tepatnya pada tahun 1945, ia tergabung kedalam BKR (Badan Keamanan Rakjat) di Jakarta dan juga pernah tergabung menjadi anggota Tentara Pelajar di Kompi Prapantja, Batalyon A MBT.

Nugroho tumbuh pada lingkungan yang membuatnya tak lelah untuk berjuang demi menuju Indonesia yang lebih baik. Setelah lulus dari universitas dengan segudang prestasi pada masa kuliahnya dulu, Nugroho mengajar di almamaternya Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada jurusan Sejarah dan ia juga merupakan dosen dari Soe Hok Gie, salah satu aktivis 1966 yang juga memiliki catatan sejarah yang atraktif sama sepertinya.

Dari perjalanan pendidikannya tersebut, Nugroho juga dikenal sebagai seorang sejarawan. Nugroho Notosusanto memiliki pemikiran tentang sejarah dimana ia meyakini bahwa sejarah lebih dapat dikatakan sebagai seni atau sastra dibandingkan kajian akademis yang ilmiah. Dari kemahirannya dalam bidang sejarah pula inilah yang akhirnya menjadikan sebuah kesempatan datang kepada Nugroho, dimana ia diminta untuk menuliskan sejarah Indonesia yang akhirnya menjadi sebuah cerita yang masih berlanjut hingga sekarang. Nugroho yang diketahui juga aktif dalam bidang militer ini akhirnya diminta oleh pihak ABRI untuk menuliskan buku Sejarah Nasional Indonesia, dimana buku ini akhirnya menjadi kontroversi. Nugroho menggarap buku ini tidak sendirian, bersama dengan sejarawan yang lain buku ini ditulis dengan isi yang kental dengan militerisme. Akhirnya setelah dinilai bahwa kesesuaian fakta dan nilai kenyataan yang dianggap terlalu menonjolkan peran militer, buku ini mendapat banyak kritik bahkan kecaman.

Terus berkarya diatas tumpuan kritik

Buku yang kental dengan miterisme tersebut tentu bertentangan dengan ciri-ciri kebenaran dalam suatu tulisan, yaitu korespondensi, dimana teori ini menjelaskan bahwa suatu tulisan haruslah ada kesesuaian antara pikiran dengan kenyataan. Meski begitu, Nugroho terus berkarya dalam sejarah perjuangan dan pembangunan Indonesia. Pada tahun 1984, Nugroho diangkat menjadi Menteri pendidikan, kesempatan itu ia gunakan untuk merevisi kurikulum sejarah Indonesia. Kurikulum yang diciptakan Nugroho memuat penjelasan mengenai sejarah Indonesia yang menekankan nilai-nilai moral. Tak hanya penulisan buku sejarah untuk dunia pendidikan, sumbangsih karya Nugroho yang terkenal lainnya adalah penulisan skenario film G30S PKI, dimana film itu dipertontonkan kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya para pelajar hingga tahun 1997.

Penulisan skenario film Pengkhianatan G30S PKI yang ditulis Nugroho berisi tentang versi Orde Baru dimana film yang ia garap bersama sutradara Arifin C. Noer itu menjadi salah satu alat propaganda pada zaman itu, yang juga menjadi alasan bagaimana ide-ide PKI akhirnya hilang. Karya sekaligus peran Nugroho pada masa itu masih membekas hingga sekarang, meski Orde Baru sudah lama berakhir namun gumaman mengenai PKI dan sejenisnya masih sering terdengar bahkan diperdebatkan hingga saat ini. Inilah yang menyebabkan cakupan sejarah menjadi semakin luas, banyak pemikiran-pemikiran dari orang hebat lainnya yang berusaha membuktikan bagaimana sejarah ini sebenarnya terjadi. Hal-hal yang dulu dihidupkan oleh Nugroho melalui karyanya ternyata masih dibawa hingga sekarang oleh sejarah bangsa kita yang tiada henti diwariskan untuk dipelajari kepada generasi-generasi selanjutnya.

Nugroho Notosusanto dan sejarah Indonesia

Nugroho Notosusanto menandatangani naskah penyerahan gedung Program Pasca Sarjana Kegiatan Wilayah Penerima tak Pasca Sarjana UI 19 Maret 1984. Sumber: //sekar.ui.ac.id/

Dari perannya sebagai salah satu tokoh penting di Indonesia itulah Nugroho mendapatkan banyak penghargaan. Penghargaan besar yang diterima Nugroho berupa penghargaan Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha, Dharma Naraya, Satyalencana Penegak. Namun sayangnya penghargaan tersebut diberikan ketika ia telah tiada. Nugroho Notosusanto meninggal pada tanggal 3 Juni 1985 di umur 54, sebelum meninggal selain menjabat sebagai Menteri Pendidikan Indonesia, ia juga menjadi Rektor Universitas Indonesia periode 1982-1983. Nugroho Notosusanto memberikan banyak sumbangsih karya-karya hebatnya kepada Indonesia, khususnya dalam pernyataan mengenai sejarah Indonesia. Berawal dari penulis cerita pendek dan sajak, Nugroho lalu berlanjut ke jalur militer untuk turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tak sampai disitu, perjuangannya berlanjut kedalam penulisan-penulisan sejarah yang menjadi cikal bakal pemikiran-pemikiran terkemuka lainnya hingga sekarang.

Dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Sejarawan, Nugroho menuliskan tentang bagaimana sejarah seharusnya ditulis. Dalam aspek kelima yang ia tulis di dalam buku yang terbit pada tahun 1963 ini, ia berkata bahwa sejarah seharusnya ditulis sesuai dengan apa adanya dan peranan sejarawan adalah untuk menuliskan kisah sejarah yang tidak memalsukan peristiwa kepada masyarakat. Sesuai dengan kaidah teori kebenaran dalam filsafat ilmu, sebuah pernyataan yang benar adalah pernyataan yang mengandung makna yang logis serta berhubungan dengan pernyataan lainnya yang relevan. Hal ini tentu berlaku dalam penulisan sejarah, agar tercipta sebuah tulisan-tulisan sejarah yang akan membawa generasi selanjutnya ke masa yang lebih baik.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA