Hubungan iptek terhadap pembangunan suatu bangsa

Rabu, 05 Apr 2017, 23:57:34 WIB - 8061 View

Hubungan iptek terhadap pembangunan suatu bangsa

Sejatinya, Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat lengkap untuk menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat. Kekayaan alam yang beragam dan melimpah, baik yang di daratan, apalagi di lautan. Jumlah penduduk 255 juta jiwa, terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan AS merupakan human capital dan potensi pasar domestik yang luar biasa besar. Posisi geoekonomi Indonesia juga sangat strategis, di mana 45 persen dari seluruh barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS per tahun diangkut ribuan kapal melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2012). Namun, sudah 70 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berkembang berpendapatan menengah-bawah dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, kesenjangan kelompok kaya versus miskin kian melebar, dan daya saing serta IPM (indeks pembangunan manusia) yang rendah. Tingkat kemajuan dan kemakmuran Indonesia jauh di bawah negara tetangga (Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Cina, dan Thailand) yang potensi pembangunannya lebih kecil. Banyak faktor yang menyebabkan kinerja pembangunan Indonesia tertinggal. Salah satu faktor terpenting adalah rendahnya kapasitas iptek dan inovasi bangsa kita. Padahal, sejarah dan fakta empiris membuktikan, kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa sejak zaman keemasan Romawi, umat Islam (Fatukh Makah 657 M hingga Revolusi Industri 1752 M) sampai peradaban kapitalisme Barat sekarang sangat bergantung pada kemampuan suatu bangsa dalam menguasai, menghasilkan, dan menerapkan iptek dalam kiprah kehidupannya. Dengan kapasitas iptek dan inovasi yang tinggi, 34 negara industri maju nan makmur (bangsa Eropa, Amerika, Jepang, dan Korea) yang tergabung dalam OECD telah mampu memproduksi segenap barang dan jasa berdaya saing tinggi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor secara berkelanjutan. Iptek dan inovasi telah memberikan kemakmuran dan kejayaan bagi mereka. Sayangnya, para pemimpin dan elite politik kita kurang serius membangun pendidikan, penelitian, dan pengembangan (R&D), daya kreativitas, dan inovasi bangsa. Hal ini tecermin dari rendahnya anggaran pembangunan ristek (riset dan teknologi) Indonesia yang hanya 0,08 persen dari PDB. Negara-negara OECD, Cina, Singapura, dan Malaysia menggelontorkan dana untuk ristek di atas tiga persen dari PDB. Penghargaan para pemimipin, elite politik, dan bahkan masyarakat kepada para peneliti, ilmuwan, dosen, dan guru pun umumnya sangat rendah. Tak ayal, bila kapasitas iptek dan daya inovasi bangsa Indonesia hingga saat ini masih begitu rendah. Atas dasar indeks kapasitas teknologi, UNESCO (2012) mengklasifikasikan negara-negara menjadi empat kelompok. Pertama, technology innovator countries terdiri atas negara anggota OECD. Kedua, technology implementer countries (seperti Singapura, Malaysia, Cina, Brasil, India, Afrika Selatan, Cile, Turki, Iran, Uni Emirat Arab, dan Qatar). Ketiga, technology adaptor countries meliputi 63 negara, termasuk Indonesia yang di peringkat 60 dalam kelompok negara kasta ketiga ini. Keempat, technologically marginalized countries terdiri dari negara-negara miskin di Afrika, Pasifik Selatan, Amerika Latin, dan Asia Selatan. Daya inovasi bangsa Indonesia pun tergolong rendah, hanya di peringkat 85 dari 142 negara yang disurvei (Cornell University, Insead, and WIPO, 2013). Untuk mengembangkan kapasitas iptek dan inovasi, mulai sekarang kita harus memperbaiki bidang pendidikan, R&D, dan kesehatan. Di bidang pendidikan, pemerintah dengan program Kartu Pintar-nya harus mampu membuat semua anak dan remaja bisa menyelesaikan jenjang pendidikan SLTA. Sesuai bakat dan keinginan masing-masing anak serta kemampuan ekonomi orang tua, sebagian lulusan SLTA itu bisa langsung bekerja, sebagian yang lain melanjutkan ke politeknik (sekolah vokasi), dan sebagian lainnya meneruskan program S-1, S-2 bahkan ke S-3 di dalam maupun luar negeri. Pemerintah mesti memiliki master plan untuk mengatur proporsi jumlah lulusan SLTA yang boleh langsung bekerja, melanjutkan ke politeknik, ke S-1, S-2, atau S-3. Demikian pula perihal proporsi bidang keahlian (program studi) para lulusan di setiap jenjang pendidikan. Bidang keahlian yang mesti diprioritaskan adalah yang dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa serta menunjang terwujudnya kedaulatan pangan, energi, farmasi, hankam, dan barang dan jasa lain yang menjadi kebutuhan pokok manusia. Master plan semacam ini sangat penting untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi (pengetahuan dan keahlian) mumpuni dan berkelas dunia, etos kerja unggul, dan akhlak mulia. Para lulusan (SDM) yang bekerja di pemerintahan, swasta, koperasi maupun sebagai wirausaha memiliki produktivitas, kapasitas inovasi, dan daya saing tinggi serta mampu menggerakkan roda perekonomian dan pembangunan bangsa sebagaimana di negara-negara maju. Sistem dan mekanisme kerja R&D harus mampu mentransformasi bangsa Indonesia dari selama ini sebagai pembeli teknologi menjadi inovator dan produsen teknologi. Untuk itu, pemerintah mesti memiliki roadmap pembangunan ristek yang tepat dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan. Prasarana dan sarana R&D harus diperbaiki dan dikembangkan, kualitas dan kesejahteraan para peneliti mesti ditingkatkan, dan suasana serta iklim kerjanya harus dibuat lebih kondusif bagi tumbuh-kembangnya kreativitas dan daya inovasi. Semua ini tentu memerlukan dukungan dana ristek yang cukup, sedikitnya tiga persen dari PDB. Sesungguhnya banyak hasil temuan peneliti Indonesia yang bagus dan bermanfaat, tetapi hampir semuanya hanya berakhir pada prototipe atau tulisan ilmiah. Sangat sedikit yang menjadi produk teknologi komersial yang laku di pasar domestik atau global. Itulah sebabnya, lebih dari 75 persen jenis teknologi yang kita gunakan masih berupa produk impor. Karena itu, kerja sama segitiga antara peneliti, swasta (industri), dan pemerintah harus diperkuat dan dikembangkan secara lebih produktif dan sinergis. Pemerintah dan swasta berkewajiban untuk scaling up (mengindustrikan) beragam hasil temuan peneliti dari yang bersifat skala laboratorium (prototipe) menjadi teknologi (berupa produk baru, teknologi proses, teknologi rekayasa, model bisnis dan manajemen, atau rekayasa sosial). Pemerintah perlu memberikan insentif dan penghargaan kepada pengusaha nasional maupun asing yang mau mengindustrikan hasil temuan peneliti kita menjadi produk teknologi komersial untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan mancanegara. Peningkatan imtaq Akar dari semua masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan adalah perilaku hidup manusia kapitalis yang sangat konsumtif (boros), hedonis, serakah, dan tidak peduli sesama. Sikap dan perilaku hidup kapitalis yang sangat destruktif ini tecermin dari tingkat konsumsi pangan, energi, air, dan mineral penduduk di negara-negara industri maju (OECD) yang mencapai 4-70 kali lipat penduduk di negara-negara miskin. Warga negara-negara industri maju juga mengeluarkan gas rumah kaca puluhan kali lipat ketimbang mereka di negara-negara berkembang. Contohnya, penduduk AS membuang emisi CO2 ke atmosfer rata-rata 20 ton per hari dan Jerman 10 ton per hari. Sedangkan, Indonesia, India, dan Kamerun berturut-turut hanya 1,5 ton, 1 ton, dan 0,2 ton per hari (IPCC, 2013). Menurut Pokja Ilmuwan Redefining Progress, Harvard University (2002), diperlukan delapan bumi untuk menunjang gaya hidup manusia yang konsumtif dan hedonis seperti yang diperagakan oleh kaum kapitalis di negara-negara OECD. Gaya hidup konsumtif, serakah, dan tak peduli sesama ini karena mereka tidak percaya kehidupan akhirat yang hakiki dan abadi. Mereka yakin, hidup manusia itu hanya di dunia fana. Setelah mereka wafat, ya sudah, hanya jadi tanah. Tidak ada iman di hati mereka bahwa di alam akhirat mereka akan dihidupkan kembali dan akan dihitung (hisab) amal perbuatannya selama hidup di dunia. Maka, selain unggul di bidang iptek, bangsa Indonesia harus lebih meningkatkan imtaq (iman dan taqwa) menurut agama masing-masing. Islam mengajarkan, hanya orang beriman dan bertaqwalah yang akan hidup sukses dan bahagia di dunia sampai akhirat (QS 3: 133). Allah SWT juga menjamin, "Jika suatu bangsa (penduduk) suatu negara itu beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan melimpahkan berkah (kemajuan, kesejahteraan, dan kedamaian) yang datangya dari langit dan bumi ..." (QS 7: 96).

Mengapa demikian? Karena, orang yang beriman dan bertaqwa pasti akan mencegah dirinya dan sesama insan dari semua perbuatan munkar, kejahatan, dan maksiat. Dan, mereka akan menyeru diri dan sesama umat manusia untuk bekerja keras dan ikhlas, mencintai dan menuntut ilmu, profesional, memelihara lingkungan hidup, peduli dan berbagi kepada sesama, dan kebajikan serta amal saleh lainnya.

Oleh: Rokhmin Dahuri

Sumber: Republika, Rabu, 19 Agustus 2015

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Oktober 2005 lalu telah mencanangkan tahun 2005-2006 sebagai Tahun Indonesia untuk Ilmu Pengetahuan (TIIP 05-06). Pencanangan tersebut merupakan amanat dari Deklarasi Ilmuwan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Indonesia VIII (KIPNAS-VIII), yang diselenggarakan pada tanggal 9-11 September 2003. Mengapa perlu dicanangkan adanya TIIP 05-06 ini

Ada dua pertimbangan utama. Pertama, perkembangan teknologi di suatu negara akan berkembang secara kokoh dan pesat, bila didukung oleh penguasaan dan penghayatan khazanah ilmu pengetahuan mendasar yang kuat. Kedua, negara harus lebih menekankan pada upaya pengembangan khazanah ilmu pengetahuan secara memadai dan konsisten, agar pertumbuhan teknologi yang berbasiskan prinsip pembangunan yang berkelanjutan selalu bisa digalakkan.

Oleh karena itu, para ilmuwan Indonesia mendorong pemerintah untuk memunculkan pengarus-utamaan (mainstreaming) ilmu pengetahuan sebagai gerakan nasional untuk memperkokoh landasan pembangunan bangsa. Pencanangan TIIP 05-06 yang telah dilakukan presiden merupakan jawaban positif atas amanat KIPNAS-VIII itu. Di samping itu, pencanangan TIIP 05-06 juga dalam rangka menyambut Tahun 2005 sebagai The International Year of Physics yang telah diputuskan UNESCO dalam General Conference ke-32 tahun 2003.

Pencanangan Tahun Fisika Internasional 2005 oleh UNESCO adalah untuk menyambut adanya three anniversaries yang sangat berhubungan dengan perkembangan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, utamanya fisika. Three anniversaries tersebut meliputi, pertama, 100 Tahun Penemuan Teori Relativitas Umum oleh Dr. Albert Einstein. Kedua, 80 Tahun Padua Meeting tentang Ilmu Fisika. Ketiga, 10 tahun terbentuknya COMEST (the World Commission on Ethics of Scientific Knowledge and technology) oleh UNESCO.

Berdasarkan pertimbangan di atas, LIPI menyelenggarakan pertemuan ilmiah yang kita sebut sebagai The Two Day Meeting of Indonesian Scientists in the 21st Century: Towards Bright and Brilliant Indonesia, 18-19 November 2005. Pertemuan dua hari tersebut merupakan langkah pertama dalam aktivitas-aktivitas LIPI tahun 2005-2006 untuk menyambut TIIP 05-06.

Dalam pertemuan ilmiah tersebut, LIPI mendapatkan kehormatan, yaitu kesediaan hadirnya Prof. Douglas Dean Osheroff, Nobel Laureate 1996 di bidang fisika dari Stanford University, AS. Ia menjadi pembicara kunci (keynote speaker).

Pertemuan ilmiah juga diramaikan oleh 16-17 kertas kerja ilmiah yang berupa laporan penelitian beberapa ilmuwan unggul Indonesia, yang relatif masih muda. Mereka adalah para pemenang scientific awards dari lembaga-lembaga terkemuka, baik nasional maupun internasional, seperti Toray Science Foundation, The Habibie Award, UNESCO International Basic Sciences Program, Sarwono Prawirohardjo Award, bahkan juga para pemenang Lindau meeting with Nobel laureates.

Mereka --para ilmuwan muda tersebut--umumnya berasal dari berbagai lembaga ilmiah, baik universitas maupun lembaga penelitian lainnya. Beberapa peneliti/ilmuwan unggul Indonesia ini diharapkan mampu menjadi contoh bagi para generasi muda peneliti lainnya untuk mengikuti jejak langkah mereka, serta mampu membangkitkan pengarus-utamaan ilmu pengetahuan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan yang dilakukan bangsa Indonesia bagi terwujudnya suatu knowledge based society (masyarakat yang berbasis pengetahuan), yang kita cita-citakan bersama.

"Basic science "

The 2nd World Science Forum (WSF-2) yang diselenggarakan dari tanggal 10-12 November di Budapest, Hungaria, baru-baru ini, telah menekankan kembali akan pentingnya penelitian di bidang basic science, baik natural and life sciences maupun social and humanity sciences. Dalam deklarasi yang dikeluarkan setelah selesainya WSF yang kedua tersebut dijelaskan bahwa There will be no applied science without science to be applied (tidak ada ilmu terapan jika kita sendiri tidak menerapkan ilmu).

Dalam WSF-2 tampak sekali keinginan negara-negara berkembang (developing countries) untuk mengembangkan basic science. Prof. Mohammad Hassan, Sekretaris Jenderal TWAS (Academic Sciences for Developing Countries) melaporkan, beberapa negara berkembang yang telah mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dasar serta aplikasi industrialnya adalah Cina, India, dan Brazil, di samping Korea Selatan yang sudah berada lebih dahulu di depan. Negara-negara yang diprediksikan akan menyusul ketiga negara berkembang di atas adalah Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan.

India merupakan contoh negara yang pantas untuk kita cermati dan contoh dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan aplikasi industrialnya. Tidak saja karena jumlah penduduk serta heterogenitas etnik/budayanya yang hampir mirip dengan Indonesia, namun juga dari segi perkembangan ekonominya pada dekade terakhir abad ke-20 lalu, tidak jauh berbeda dengan Indonesia.

Gerakan Swadhesi yang diajarkan Mahatma Gandhi, menjadi motor utama masyarakat India dalam mengejar ketertinggalan mereka di segala bidang, utamanya bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Presiden India saat ini, Dr. Abdul Kalam selalu menekankan, "Kalau kita bisa buat, mengapa harus beli. "

India juga menghadapi masalah brain drain (hengkangnya ilmuwan dari negaranya-red.), terutama pada dekade-dekade terakhir abad ke-20. Namun, dengan terobosan yang brilian yang dilakukan Prof. Dr. R. Anand Mashelkar, Wakil Presiden the Indian Academy of Sciences, mereka mampu mengubah brain drain menjadi brain gain. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan ilmuwan India yang berada di luar negeri untuk membantu pengembangan ilmu di India, dengan membuat jaringan ilmu pengetahuan yang kokoh.

Prof. Anand Mashelkar juga mengakui adanya brain circulation dalam realitas masyarakat global sekarang ini. Dengan prinsip pengakuan atas realitas adanya brain circulation inilah, India mampu mengubah brain drain menjadi brain gain, yang ternyata mampu membangkitkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di India.

Hal ini pula yang sudah lebih dahulu dilakukan oleh Cina, yang menganggap para ilmuwan mereka yang berada di luar negaranya, sebagai pool scientists, yang tentu akan kembali jika ekonomi Cina telah membaik dan mampu memberi intensif yang pantas bagi mereka.

Prof. Attaur Rahman, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Pakistan yang juga seorang UNESCO Science Laureate membuat policy pemerintahnya untuk meningkatkan intensif para "peneliti unggul " mereka dengan empat kali gaji menteri.

Prof. Attaur Rahman mengatakan kepada Presiden Musharraf, If you are really serious with science, then you have to follow my policy (Kalau Anda serius terhadap ilmu, maka Anda harus ikuti kebijakan saya-red.). Kenaikan insentif peneliti unggul itulah yang diusulkan dan diterima oleh Presiden Musharraf. Sejak itulah, banyak peneliti unggul Pakistan yang berada di luar negaranya, kembali ke Pakistan. Bagaimana dengan para peneliti Indonesia

Penulis : Umar Anggara Jenie (LIPI) Sumber : Pikiran Rakyat (16 Desember 2005)