Gerak yang terdapat pada tari gatotkaca tanding kebanyakan berupa gerak dengan level ... .

KATA PENGANTAR Kesenian dapat hidup tumbuh dan berkembang karena terdepat tiga komponen utama. Masing-masing komponen yakni seniman sebagai daya cipta, masyarakat sebagai daya penyangga, dan karya seni sebagai daya penggerak. Seniman merupakan daya cipta yang menyebabkan kesenian ada, terlahir, dan mewujud dalam bentuk-bentuk. Komponen kedua adalah komunitas dan/atau masyarakat apresian yang menentukan keberlanjutan kehidupan kesenian itu sendiri. Komponen ketiga adalah karya seni yang di dalamnya termuat nilai-nilai bermakna, memberi umpan balik bagi kehidupan lahir batin masyarakatnya sehingga secara dinamis dapat menggerakkan dan memberi pengaruh perkembangan serta perubahannya. Tumbuh dan kembangnya kesenian berlangsung dari dua sisi, yaitu kualitas dan kuantitas. Sisi kualitas diwujudkan dengan cara penyemaian nilai-nilai ke dalam bentuk seni, ketepatan metode dalam pelaksanaan teknik-teknik, dan kepantasan yang dihayati oleh budaya penyangganya. Sisi kuantitas diwujudkan dalam bentuk memperbanyak pelaku seni dan perluasannya melalui persebaran. Tari, adalah cabang seni yang menuntut ketiga persyaratan dimaksud untuk kelangsungan hidupnya. Persebarannya ditentukan oleh bagaimana pelaku seni dapat diperluas dengan kemampuan teknik-teknik yang mumpuni. Maka konteks pembelajaran teknik tari disertai pemahaman mendalam atas tata nilai yang melatarbelakangi merupakan kontens yang tepat untuk dipersiapkan. Perkembangan dalam arti persebaran dalam tari menyangkut pembelajaran dengan materi, pengajar dan metode yang tepat. Materi disusun dalam suatu program yang dijabarkan pada rencana pembelajaran. Pengajar dipilih yang memiliki kualifikasi profesi dan kompetensi linier dengan muatan pembelajaran. Tari gaya Surakarta adalah yang dimaksud dalam tulisan ini dipersiapkan untuk kelengkapan profesionalitas kepengajaran. Maka materi ajar merupakan pengetahuan berbasis teknik dan sain dipersiapkan melalui penelitian. Tari silang gaya Surakarta merupakan salah satu kontens mata kuliah yang dibelajarkan kepada mahasiswa Jurusan Seni Tari di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Sebagai wujud pengkayaan bentukbentuk tari nusantara, tari gaya Surakarta dinyatakan sebagai materi ajar yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa dan wajib lulus. Persyaratan ini menghendaki pengajarnya untuk mempersiapkan secara baik dan benar i materi dan metode ajarnya. Amanah ini termuat dalam Undang-undang, no: 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menyatakan dosen sebagai ilmuan profesional. Dan Peraturan Menteri Koordinator Pengawasan dan Pengembangan Pendayagunaan Aparatur Negara (Menkowasbangpan) no: 38 tahun 2009 perihal Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dosen sebagai ilmuan profesional mengemban tugas utama Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga tugas utama dosen berurutan saling berkait satu sama lain. Pendidikan dan pengajaran ditunjang oleh hasil-hasil penelitian. Pengabdian kepada masyarakat merupakan implementasi kompetensi profesi sebagai bentuk sumbangsih dosen kepada masyarakat berupa ketrampilan dan keilmuan. Untuk menjadi profesional, dosen dituntut menyiapkan dan mengembangkan materi pembelajaran melalui kegiatan penelitian. Sesuai dengan kompetensinya, jalur penelitian dipetakan atas penelitian pustaka, penelitian lapangan, juga penelitian pustaka dan lapangan. Ketiga jalur ini merupakan ranah-ranah penelitian, dikembangkan sesuai capaian setiap standar kompetensi mata kuliah. Oleh sebab itu dosen mengemban kuajiban menguatkan keahlian keilmuan dan ketrampilan agar pada waktunya sampai pada peringkat kepakaran. Posisi kepakaran sangat signivikan bagi dosen, mahasiswa dan institusi. Bagi dosen, kepakaran merupakan nilai legitimasi atas dedikasi menggeluti ilmu di bidangnya. Bagi mahasiswa, kepakaran menjadi tolok ukur bahwa dosen layak ditimba ilmunya. Bagi institusi, kepakaran dosen berfungsi tidak sebatas menaikkan derajat kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi tetapi produk-produk karya ilmiah dosen dapat meningkatkan prestasi institusi. Surat Keputusan Mendiknas No. 3712/A2.7/KP/2006 perihal Jabatan Lektor Kepala terhitung mulai tanggal 1 Januari 2006 yang menugaskan peneliti sebagai pengampu matakuliah Tari Surakarta, dan Kreativitas tari, adalah modal hukum peneliti untuk melaksanakan tugas profesi kedosenan. Atas dasar pemikiran tersebut, penulis berkesempatan ikut berpartisipasi dalam program Lembaga Penelitian dan Pengabdia Kepada Masyarakat STK Wilwatikta Surabaya pada bidang penerbitan buku referensi bagi mahasiswa Jurusan tari pada khususnya dan kepada para pembaca sekalian tentunya. Buku referensi ini berisi deskripsi Tari Klana, Tari Gunungsari, dan Tari Golek Manis disertai latar belakang kesejarahan, perihal gaya, kaidah-kaidah, jenis genre dan jenis kualitas, konsep keindahan, ii koreografi, dan teknik pelaksanaan gerak. Secara hukum, Silang Tari Gaya Surakarta merupakan mata kuliah yang wajib penulis ampu. Kuajiban penulis pula untuk membina dan mengembangkan keilmuannya. Melalui penelitian dan selanjutnya diterbitkan dalam bentuk buku referensi ini penulis berharap mata kuliah tari gaya Surakarta mendapatkan acuan yang jelas dalam materi dan pengembangannya. Perlu dipahami bahwa matakuliah teknik repertoar tari tidak membidik kemampuan mahasiswa sekedar teknik tari tetapi aspek pengetahuannya penting untuk dibelajarkan. Aspek pengetahuan yang dimaksud mencakup pengertian gaya tari, nilai histori, filosofi, dan estetikanya. Dalam kaitan ini, penelitian tari gaya Surakarta merupakan bagian signifikan dalam pengembangan bahan ajar. Semoga usaha ini mendapat Ridlo-Nya, dan saran dari berbagai pihak penulis harapkan untuk lebih baiknya. Salam, Penulis iii DAFTA ISI Halaman Judul Halaman Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Bagan Daftar Gambar 0 i iv vi vii BAB. I PENDAHULUAN 1 BAB. II GAMBARAN UMUM TARI GAYA SURAKARTA 6 1. 2. 3. 4. 5. BAB. III Pengertian Gaya Tari Jenis Tari Gaya Surakarta 9 10 a. b. 10 27 Jenis Genre Tari Gaya Surakarta Jenis Kualitas Tari Gaya Surakarta Kaidah-Kaidah Tari Gaya Surakarta Garap Koreografi Tari Gaya Surakarta Tema Sebagai Pembentuk Karakter Tari Gaya Surakarta 38 42 43 KONSEP KEINDAHAN DAN TEKNIK GERAK TARI GAYA SURAKARTA 49 1. 2. 49 53 3. Konsep Keindahan Tari Gaya Surakarta Konsep Repertoar dan Teknik Gerak Tari Gaya Surakarta Fungsi Tari Gaya Surakarta BAB. IV DESKRIPSI IDEASI REPERTOAR TARI GAYA SURAKARTA 1. 2. 3. 4. 5. 6. Deskripsi Ideasi Tari Klana Topeng Deskripsi Repertoar Tari Klana Topeng Deskripsi Ideasi Tari Gunungsari Deskripsi Repertoar Tari Gunungsari Deskripsi Ideasi Tari Golek Manis Deskripsi Repertoar Tari Golek Manis 65 69 69 73 95 98 116 118 iv BAB. V PEN UTUP 138 1. 2. 183 141 Intisari Pembahasan Epilog DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN 142 v DAFTAR BAGAN Bagan. 1 Diagram struktur kualitas tari gaya Surakarta 28 Bagan. 2 Diagram kaidah teknik gerak tari gaya Surakarta 40 vi DAFTAR GAMBAR Gambar. 1 Bentuk Tanjak Kanan Putri Dilihat Dari Depan 29 Gambar. 2 Posisi Bentuk Kaki 30 Gambar. 3 Bentuk Tanjak Kanan Alus Dilihat Dari Depan 30 Gambar.4 Posisi Bentuk Kaki 31 Gambar.5 Bentuk Tanjak Kanan Gagah Dilihat Dari Depan 31 Gambar.6 Posisi Bentuk Kaki 32 Gambar.7 Bentuk Adeg (Ng)groda 32 Gambar.8 Bentuk Adeg Angrau Akung 33 Gambar.9 Bentuk Adeg (n)Duran Tinangi 34 Gambar.10 Dalam Gerakan Mengangkat Tungkai 35 Gambar.11 Angkat Tungkai Lurus 35 Gambar.12 Angkat Tungkai Tekuk 36 Gambar.13 Lumaksana Impur 36 Gambar.14 Lumaksana Mager Timun 37 Gambar.15 Bentuk Tubuh Tarian Gagah (kualitas Bratasena) 46 Gambar.16 Bentuk Tubuh Tari Gagah (kualitas Gatutkaca) 46 Gambar.17 Bentuk Tubuh Tari Alus (kualitas Arjuna) 47 Gambar.18 Bentuk Tubuh Tari Putri (kualitas Sinta) 47 Gambar.19 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putri Luruh (Oyi) 55 Gambar.20 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putri Lanyap (Endhel) 56 Gambar.21 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Alus Luruh 57 Gambar.22 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Lanyap 58 Gambar.23 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Dugangan Kalang 58 Kinantang Kasatriyan Gambar.24 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Dugangan Kalang 59 Kinantang Punggawan Gambar.25 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan Jenis 60 vii Bapang Raja Gambar.26 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan jenis 60 Bapang Kasatriyan Gambar.27 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan Jenis 61 Bapang Punggawan Gambar.28 Sikap Dasar Kualitas Gerak Putra Gagah Agalan Jenis 61 Bapang Jeglong Gambar.29 Gareng (tokoh wayang kulit) Karakter Gecul 62 Gambar.30 Petruk (tokoh wayang kulit) Karakter Gecul 62 Gambar.31 Pola bentuk serupa Bapang Punggawan 62 Gambar.32 Pola bentuk Kambeng Cekithingan 63 Gambar.33 Pola gerak Kambeng Bithen 64 Gambar.34 Pola gerak Kambeng Gegeman 64 Gambar.35 Pola gerak Kambeng Cekithingan 64 Gambar.36 Pola gerak Kambeng Kepelan 65 Gambar.37 Topeng Klana Sewandana Tampak Depan 72 Gambar.38 Topeng Klana Sewandana Tampak Samping Kanan 72 Gambar.39 Topeng Klana Sewandana Tampak Samping Kiri 72 Gambar.40 Sosok Tari Klana Topeng dengan Rincian Busananya 73 Gambar.41 Topeng Gunungsari Tampak Depan 97 Gambar.42 Topeng Gunungsari Tampak Samping Kanan 97 Gambar.43 Topeng Gunungsari Tampak Samping Kiri 97 Gambar.44 Sosok Tari Gunungsari dengan Rincian Busananya 98 Gambar.45 Sosok Tari Golek Manis dengan Rincian Busananya 117 viii BAB I PENDAHULUAN Tari gaya Surakarta, oleh kalangan umum dikenal sebagai kesenian Mataraman 1 . Fakta sejarah mengabarkan bahwa tarian ini merupakan produk kebudayaan kerajaan Mataram masa lampau di Jawa Tengah. Semantara kita diingatkan bahwa Mataram telah terbagi menjadi dua ketika terjadi Perjanjian Gianti pada tanggal 12 Februari 1755. Perundingan Gianti menghasilkan perjanjian pemisahan Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta. Di Surakarta, disusul lagi perundingan yang dikenal perjanjian Salatiga 2 tahun 1757 yang menandai pecahnya kerajaan di Surakarta menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagara. Pecahnya kekuasaan kerajaan di Surakarta menjadi Kasunanan dan Kadipaten, diikuti pula terbaginya Keraton Ngayogyakara menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman Yogyakarta. Peristiwa ini berpengaruh besar terhadap hidup, tumbuh, dan berkembangnya kesenian Mataraman tersebut. Di Yogyakarta dikenal sebagai tari tradisional klasik (Kussudiardjo, 2000:35), di Surakarta memiliki gaya tari tersendiri yang tradisional romantis (Sedyawati, 1981:4). Dalam perkembangannya, di Yogyakarta terdapat gaya Yogya Kasultanan dan Yogya Pakualaman, di Surakarta berkembang gaya Surakarta Kasunanan dan Surakarta Mangkunegaran. Demikian ini merupakan konskuensi kekuasaan keraton yang memiliki hak dan kuajiban menumbuh kembangkan produk-produk kebudayaan keseniannya. Maka di setiap kekuasaan keraton berkembang gaya sendiri-sendiri yang berbeda. Tulisan ini difokuskan pada tari Surakarta di Kasunanan, yang kemudian dikenal sebagai tari Surakarta gaya Kasunanan. Gaya Kasunanan lebih berkembang luas di luar tembok keraton dibandingkan dengan tari Surakarta gaya Mangkunegaran. Masyarakat umum di luar keraton-pun lebih mengenal tari Surakarta gaya Kasunanan dibanding tari Surakarta gaya 1 Sebutan Mataraman dikenakan kepada kebudayaan beserta produk-produknya berasal dari kerajaan (keraton) Mataram di Jawa tengah. Kekuasaan Mataram (Lama –Hindu— dan baru –Islam--) masa lampau cukup lama, menghasilkan kesenian termasuk tari. Seni tari hidup di keraton dan kemudian menyebar ke luar keraton hingga dikenal luas masyarakat umum. Karena lahir dari kerajaan (keraton) Mataram, maka orang selanjutnya menyebut produk kebudayaan tersebut sebagai kesenian Mataraman. 2 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Baru 1500-1900 (Jakarta Gramedia, 1987:233- 234) 1 Mangkunegaran. Oleh sebab itu, orang kemudian lebih tahu dan mengenal tari Surakarta gaya Kasunanan sebagai tari gaya Surakarta. Penulispun menyebut tari gaya Kasunanan Surakarta ini sebagai tari gaya Surakarta. Dalam tulisan ini juga menggunakan sebutan tari gaya Surakarta untuk menyebut tari Surakarta gaya Kasunanan. Ketika keraton kehilangan kekuasaan politik karena Indonesia menjadi republik, tidak ada lagi kekuatan keraton untuk menghasilkan karya-karya seni baru. Kekuasaan tinggal sebatas melestarikan budaya seni dan aspek budaya lain yang masih dapat dipelihara. Para seniman ndalem 3 karena untuk bertahan di dalam benteng kerajaan tidak lagi mampu meneruskan pekerjaannya sebagai empu atau budayawan keraton, maka ia melestarikan dan menumbuh kembangkan hasil-hasil pekerjaannya di luar tembok keraton. Tersebarlah karya tari gaya Kasunanan di luar tembok keraton, tidak hanya di lingkungan dekat tetapi tersebar jauh bahkan di luar wilayah teritorialnya. Berkembang pula seniman-seniman baru di luar keraton untuk menciptakan tari berkiblat pada tari gaya Kasunanan ini. Sederet nama-nama seniman tari seperti K.R.T Kusumakesawa, R. Ng Wignyahambeksa, Pamarditoyo, Prawirarejo, S. Ngaliman, dan R.M Suseno, serta Pancasewoko. Mereka semua mempunyai peran penting bagi perkembangan tari gaya Surakarta dengan berbagai karya tari yang diciptakannya. Karya-karya tari yang diciptakan oleh K.R.T Kusumakesawa dan S. Ngaliman sampai saat ini masih berkembang dan acapkali dipertunjukkan (Widyastutieningrum, 1012:3). Widyastutieningrum menjelaskan pula bahwa tari gaya Surakarta terdapat tiga kualitas tari yaitu: 1) kualitas tari putri, 2) kualitas tari alus, dan 3) kualitas tari gagah. Perbedaannya ditentukan oleh ciri-ciri gerak yang digunakan. Kualitas tari putri menggunakan gerak anggota badan yang cenderung sempit hampir lekat dengan tubuh. Kualitas tari alus lebih luas dari volume gerak tari putri, dan begitu selanjutnya tari gagah menggunakan gerak anggota badan dengan volume yang luas. Supanggah membagi genre tari gaya Surakarta menjadi empat yang utama yakni: Bedhaya 4 , Srimpi 5 , Gambyong 6 , dan Golek 7 serta Wireng 8 dan 3 Seniman ndalem adalah sebutan budayawan seni di dalam kerajaan yang mendapat gaji dari kerajaan karena pekerjaannya ketika kerajaan masih memiliki kekuasaan politik. 4 Tari bedhaya ditarikan penari putri berjumlah sembilan (9) orang. Tarian ini di dalam keraton bersifat sakral merupakan bagian dari upacara kerajaan. Tari srimpi dikatakan juga tari bedhaya dalam bentuk mini karena ditarikan oleh empat (4) penari perempuan. 5 2 Pethilan 9 disamping ke empat genre (Supanggah, 2007, 123). Genre tarian ini merupakan jenis tari utama yang dimiliki oleh keraton Kasunanan Surakarta dan juga Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjalanan waktu, tarian yang diciptakan dan dipertunjukkan di dalam keraton ini telah berkembang di luar keraton. Tak ubahnya tari Bedhaya yang bersifat sakral sebagai bagian dari upacara kerajaan, keluar juga dari keraton. Genre terus berkembang yakni Wireng Pethilan, Wayang Wong, Dramatari atau Sendratari, bahkan Kelompok Bertema (Nanik dkk, 2007: 38). Berdirinya pendidikan seni tari seperti KOKAR, ASKI (sekarang ISI) Surakarta telah melakukan rekonstruksi dan pemadatan berbagai genre tari yang ada di dalam keraton dan menciptakan genre baru tersebut. Sebagai tarian yang mengalami perjalanan waktu cukup panjang, struktur, repertoar gerak, dan tekniknya membaku dalam bentuk yang pasti. Pola geraknya seakan mengkristal dan lekat dalam jenis kualitas dan genrenya hingga dikatakan sebagai tari tradisi. Sebegitu kuat wujud jenis dan genre, tari gaya Surakarta menciptakan kepastian keindahannya sendiri yang dikatakan adi luhung. Dalam penyajiannya yang berhasil penari telah harus melampaui tahapan ketrampilan hingga penghayatan. Tahapan tersebut dikatakan sebagai yang wiraga, wirama, dan wirasa. Sedangkan pola-pola gerak, ritme, tempo, volume dan hubungan gerak dengan gendhing tari, dibakukan dalam kaidah-kaidah yang disebut sebagai: Hasta Sawanda 10 yakni: 1) pacak, 2)pancat, 3) ulat, 4)lulut, 5)luwes, 6)wilet, 7) irama, dan 8) gending. Konsep Hasta Sawanda ini merupakan gagasan R.T Atmokesowo (alm) mengenai tolok ukur bagi penari tradisi Surakarta yang disebut “sampurna” atau dasar seseorang untuk mencapai kualitas kepenarian tari Surakarta yang lebih baik (Nanik dkk, 2007:46). Disamping konsep teknik dan rasa tersebut 6 Tarin gambyong inspirasi dari tayub yang ada di tengah-tengah masyarakat yang diangkat ke dalam keraton untuk mendapatkan stilisasi hingga struktir dan pola geraknya tertata halus dan rapi 7 Tari golek diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja putri dalam keraton, menggambarkan kegembiraan anak-anak menuju remaja 8 Tari wireng. Susunan tari tunggal atau atau pasangan, baik berjumlah dua atau kelipatannya yang dapat terdiri darimputra saja, putyri saja, atau putra dan putri, bertema prajurit. 9 Tari pethilan, suatu bentuk koreografi dengan menggunakan tema/karekter tokoh yang diambil atau me3ndapat inspirasi dari suatu cerita tertentu. Terdapat satu atau dua sosok tokoh karakter dari cerita tertentu yang dikenal masyarakat Jawa. 10 Hasta Sawanda yang berarti delapan menyatu dalam tubuh (wanda) merupakan kosep teknik menari yang sempurna. 3 terdapat juga konsep menari pada tingkat kepantasan budaya tari yang disebut: sengguh, mungguh, lungguh (empan papan) 11 . Melihat dengan seksama bahwa isi tari atau yang disebut tema, tari gaya Surakarta memilih persoalan-persoalan batin manusia secara membudaya. Gejolak batin manusia dalam persoalan hidupnya, dalam interaksinya dengan individu pribadi, dengan individu pihak lain, individu dengan lingkungan, bahkan individu dengan yang ada dimana yang mengatasi dirinya. Peristiwa batin manusia itu selanjutnya dicarikan wadah yang diambil dari cerita-cerita terkenal seperti Mahabarata, Ramayana, Cerita Panji, Serat Lokapala, dan cerita terkenal lain yang diakrabi masyarakat Jawa utamanya. Namun ada pula diambil dari cerita rakyat, mitos, legenda, dan juga benda-benda yang dekat dengan lingkungannya. Tema atau isi tari dikemas dalam perwujudan tokoh manusia ideal yang fiktif maupun yang nyata ada dalam kehidupan. Ideal dalam pengertian karakteristik yang dimiliki setiap tokoh menggambarkan sifat-sifatnya yang jelas. Sifat buruk, sifat serakah, angkara murka, pemarah, licik, dan sifat-sifat negatif lainnya. Dibalik itu terdapat sifat yang baik, jujur, pemaaf, kasih sayang, lembut, dan sifat positif lainnya. Namun ada pula sifat jenaka yang sekedar lucu, tetapi juga jenaka yang kritis terhadap fenomena yang terjadi di lingkungan, dan masih banyak karakteristik yang menggambarkan sifat manusia seluruhnya. Tema digambarkan dengan ketokohan dan karakteristiknya diperhatikan secara seksama melalui berbagai tindakan. Bisa melalui sifat fisiologi (tubuh fisik), pemilihan gerak, suara dan dialog, pewarnaan dalam atribut busana dan tata riasnya, rasa gendhing, dan lain-lain. Membahas tari gaya Surakarta secara komprehensip membutuhkan waktu yang cukup lama dan kajian yang mendalam karena teba wilayahnya sangat luas. Pada kesempatan kali ini dipilih tiga repertoar tari yang digolongkan dalam genre Golek, Pethilan dan/atau Wireng Pethilan. Repertoar tari yang dimaksud adalah tari Klana, Gunungsari, dan Golek Manis. Tari Klana digolongkan genre Pethilan dengan struktur Wireng 12 . Tari Golek Manis termasuk genre Golek, sedangkan tari Gunungsari tidal ada beda dengan tari Klana yaitu Pethilan dengan struktur Wireng. Tulisan ini difokuskan pada deskripsi gerak dan dijelaskan pula struktur, jenis kualitas, genre, 11 Periksa Wahyu Santosa Prabowo, “Tari Wireng Gaya Surakarta Refleksi Kearifan Budaya (Pidato Dies Natalis XLIII ISI Surakarta, 14 Juli 2007). 30-31 12 Genre Pethilan menggunakan struktur Wireng selanjutnya dapat disebut Wireng Pethilan merupakan perkembangan yang kemudian setelah sebelumnya Wireng ada terlebih dulu kemudian lahir genre Pethilan. 4 karakteristik, tema dan aspek keindahannya. Alasan pemilihan dan fokusnya perlu dijelaskan di sini bahwa ketiga tarian ini merupakan materi ajar pada Jurusan Seni Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Sebagai materi silang gaya tari, pembelajarannya adalah kemampuan mahasiswa untuk menguasai secara teknik repertoar gerak sehingga keluaran mata kuliah adalah kemampuan menyajikan tari yang dimaksud. Namun demikian sebagai masyarakat akademis, tujuan utama bukan saja pada kemampuan penguasaan repertoar tari atau penguasaan teknik gerak tari yang berujung pada penyaajiannya. Tetapi bagaimana yang teknik tersebut dapat merangsang kepada kemampuan telaah sebagaimana dipersyaratkan sebagai warga akademik. Tersebab itu, aspek lain sebagai penguat nilai akademik perlu dan penting dibelajarkan. Bahwa tari bukan sekedar penataan gerak kemudian dipamerkan di atas pentas, tetapi tari merupakan produk budaya, di dalamnya termuat nilai-nilai yang signifikan bagi masyarakatnya, oleh karenanya signifikan pula untuk diketahui sebagai pengetahuan. Nilai histori, nilai filosofi, nilai artistik dan nilai keindahannya. Dengan jangkauan pengetahuan tentang tari tersebut, mahasiswa mampu menguasai secara teknik juga lebih dapat mengapresiasi secara luas. Atas dasar pemikiran tersebut, perlu diadakan catatan dalam bentuk buku referensi yang memuat secara teknik juga aspek pengetahuan yang melatar belakanginya. Catatan atau buku referensi ini terbilang dalam tataran pemula, kedepan perlu diadakan pengembangan yang lebih luas sehingga cakupan wilayah teknis dan non teknis tari gaya Surakarta dapat memberikan pengetahuan yang lebih bermakna akademis bagi mahasiswa pada khususnya dan para pembaca pada umumnya. 5 BAB II GAMBARAN UMUM TARI GAYA SURAKARTA Telah disebut pada bab. terdahulu bahwa tari gaya Surakarta merupakan hasil kebudayaan Kerajaan Mataram utamanya Mataram Baru. Setelah terpecah menjadi kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta, dan lebih kecil lagi di Yogyakarta menjadi Kasultanan dan Pakualaman, sementara di Surakarta menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran, tari gaya Surakarta 13 mengalami perkembangan pesat justeru di luar tembok keraton. Ketika keraton tidak lagi memiliki kekuasaan politik, maka seniman yang sebelumnya bekerja untuk kesenian di keraton lebih mengembangkan hasilhasil karyanya di luar keraton. Kehadiran para seniman keraton di dalam masyarakat mendapat sambutan yang positif utamanya bagi para penggiat seni tari. Keberadaannya menginspirasi banyak kalangan lebih-lebih ketika berdiri pendidikan dasar tingakat menengah atas (Konservatori Karawitan disingkat KOKAR) dan ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Surakarta tingkat perguruan tinggi, serta kelompok-kelompok dan/atau sanggar yang mengelola seni tari. Seniman tari seperti K.R.T Kusumakesawa, R.T Atmokesowo, S. Maridi, S. Ngaliman, memiliki pengaruh besar bagi perkembangan tari gaya Surakarta di luar tembok keraton dan utamanya bagi pendidikan seni. K.R.T 14 Kusumakesawa tahun 1930-an menyusun gerak dasar tari putri, alus dan gagah dengan repertoar gerak yang disebut sebagai tayungan dan sekaran. Tayungan adalah gerak berbagai jenis berjalan (lumaksana) dan sekaran merupakan bentuk repertoar gerak dengan berbagai jenis variasi (kembangan). Susunan gerak berjalan dan sekaran ini kemudian disebut rantaya adalah dasar belajar menari tari gaya Surakarta 15 . Berikutnya tahun 1960-an beliau menciptakan cukup banyak tarian yang ber-genre Wireng dan Gambyong. Diantara karya karyanya adalah: Retna Pamudya, Pancaretna, Nawaretna, Mandraretna, Saptaretna, Retna Aditya, 13 Tari gaya Surakarta yang peneliti maksud adalah tari yang tumbuh dari keraton Kasunanan di Surakarta. 14 K.R.T adalah kependekan dari Kanjeng Raden Tumunggung merupakan gelar kehormatan kerajaan yang diberikan kepada orang yang dekat atau berjasa kepada kerajaan di Jawa 15 Periksa Sri Rochana Widyastutieningrum, Revitalisasi Tari Gaya Surakarta, 2012:6, ISI Press Surakarta bekerja sama dengan Pascasarjana ISI Surakarta. 6 Kridarini, Kridakusuma, Surenglaya, Sukaretna, dan Kukila. Dari kreativitasnya juga tercipta tari Tandingan Putra Alus, Nagapasa, Ngrenas (Ngrenaswara) Gambyong Pangkur, Sri Pamasa dan Rama Adilaga (Sumargana, 2001:57). Dari tangan dinginnya juga terlahir Sendratari Ramayana yang pola koreografinya dapat disaksikan pertunjukannya hingga saat sekarang ini. Periode berikutnya S. Ngaliman menunjukkan eksistensinya dengan menciptakan banyak genre tarian. Sederet nama karya tarinya dapat disebut disini adalah: Tari Prawiraguna, Sembadra Larung, Kridawarastra, Sendratari Keong Mas, Bathik, Retna Tinanding, Taman Soka, Burung untuk Ramayana, Gambyong Campursari, Bondan Mardisiwi, Bondan Tani, Kartini, panggayuh, Jaka Tarup, Pejuang, Retna Ngayuda, Rahwana Badra, Ciptoning, Pemburu Kijang, Yudasmara, Kumbakarna Gugur, Pamungkas, Panji Topeng, Babad Alas Wanawarto, Gambyong Pareanom, Manggalaretna, Sancaya Kusumawicitra, Begawan Wisrawa, Topeng Gunungsari, Panji Tunggal, Bedhaya Anglirmendung, Bedhaya Pangkur, pemadatan Karna Tinanding, Panji Kembar, Srimpi Gambir Sawit Srimpi Dhempel, Srimpi Anglir Mendung, dan Srimpi Gandakusuma. Dekade berikutnya S. Maridi juga menciptakan tari Eko Prawiro, Prawira Watang, Pethilan Anoman Anggada, Merak, Karonsih, Enggar-enggar (endah), Lutung, Dramatari Bangun Majapahit, Srikandi Mustakaweni, Dramatari Harya Penangsang Gugur, Lambangsih, Adaninggar Kelaswara, Garudayaksa, Ramayana, Dramatari Wandansari, Dramatari Panji Semirang, Pethilan Wirapratama, Wayang Orang, Golek Mugi Rahayu, Harjunasasra Sumantri, Pasanggrahan, dan Dramatari Langen Sorengpati. Karya-karya tari yang diciptakan oleh seniman tersebut berpijak secara ketat pada tari tradisi yang tumbuh dari Keraton Kasunanan Surakarta, karena meraka semua adalah abdi dalem langentaya di keraton Kasunanan Surakarta (Widyastitieningrum, 2012; 7-8). Selanjutnya adalah peran lembaga Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT) dan pendidikan tinggi yang dalam hal ini adalah Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta yang kedua lembaga tersebut dipimpin oleh S.D Humardani. Upaya yang dilakukan untuk kelangsungan hidup tari gaya Surakarta adalah: 1) Penggalian, 2) Penggarapan dan/atau Pemadatan, 3) Penciptaan karya tari baru disertai peningkatan mutunya, dan 4) Penyebarluasan. Proyek penggalihan, dua lembaga tersebut melibatkan seniman keraton seperti: Darsodipuro, Sulomo, Sutjiati Djoko Suharjo, ibu Yudadiningrat, dan Satrio Suripto. Dari kegiatan penggalihan tersusunlah kembali Srimpi Tamenggito, Srimpi Gambirsawit, Srimpi Sangupati, Srimpi Gandakusima, Bedhaya Pangkur, dan Bedhaya Duradasih. Dalam bentuk tari 7 Wireng, tersusun kembali Karna Tanding, Palguna Palgunadi, Lawung, Panji Enem, dan sebagainya. Dari penggalian tersebut dilanjutkan dengan pemadatan untuk mengurangi pengulangan-pengulangan gerak agar lebih mantap tidak membosankan. Periode berikutnya, kerjasama Agus Tasman, S. Maridi, Sunarno, dan Wahyu Santosa Prabawa pada tahun 1971 tercipta Dramatari Bangun Majapahit yang dipentaskan beberapa kali bahkan tahun 1974 dipentaskan di luar Jawa. Karya Dramatari Bangun Majapahit kemudian menginspirasi lahirnya tari Pethilan yaitu tari enggar-enggar (endah) oleh S. Maridi dan Minakjiggo Ronggolawe karya Sunaro Purwolelono. PKJT dan ASKI merupakan semangat baru bagi hidup, tumbuh, dan berkembangnya tari gaya Surakarta. Perubahan dalam arti pengembangan telah dilakukan kedua lembaga tersebut dalam bentuk pola “baru” yang sangat berbeda dengan yang hidup dan berkembang di dalam keraton Kasunanan. Perbedaan itu sangat terasa karena perubahan utamanya pada tari gagah dan tari putri. Untuk tari gagah berkembang pola onclangan, ayun, junjungan kaki, genjotan, juga pola gerak kiprahan. Perubahan juga dilakukan pada perluasan volume, dinamika dan kualitas gerak. Pola rampak juga dihasilkan oleh lembaga ini sehingga lahir konsep baru yaitu rampak dalam tari Kelompok Bertema (Widyastutieningrum, 2012:42-51) Sinergi PKJT dan ASKI melahirkan karya-karya baru. Seluruh genre tari gaya Surakarta mendapatkan perhatian dan penanganan serius. Melalui kerja penggalian, pemadatan, dan penciptaan susul menyusul hingga menghasilkan karya baru tak terhitung jumlahnya. Sebagiannya dimanfaatkan untuk meteri ajar bagi mahasiswa kuliah, untuk kepentingan festival, dan event-event penting lainnya. Pada era ini dan sesudahnya muncul seniman-seniman baru yang produktif. Ada nama Sardono W. Kusuma, Sulistya Tirtakukuma, dan Retno Maruti. Di dalam kampus sebagai pengajar adalah para seniman juga seperti: Agus Tasman, Sunarno Purwolelono, Wahyu Santosa Prabawa. Lebih muda lagi S. Pamardi, dan Nuryanto, Didik Wahyudi, Bambang Suryono (mbesur) dan diteruskan yang lebih muda lagi Eko Supriyanto, Eko Supendi dan lain-lain. Sedangkan untuk seniman perempuan ada nama Nora Konstantina Dewi, Rusini, lebih muda lagi Darmasti dan lain-lain. Sederet nama ini adalah seniman produktif hingga karya-karyanya tak bisa disebutkan dalam tulisan ini. Dari keberadaan para seniman tersebut tari gaya Surakarta mendapatkan perhatian dan penanganan yang terus berkembang. Berkembang kuantitas juga berkembang kualitas, berkembang warna dan genre-genre baru yang mungkin belum terdeteksi dan terdefinisi dengan baik, berkembang pula persebarannya. 8 1. Pengertian Gaya Tari Pada bab. satu (I) disinggung perihal pengertian gaya tari. Namun jika bercermin kepada batasan tersebut, kita belum mendapatkan gambaran riil perilaku yang memberi ciri khusus tentang gaya tari dimaksud. Kita memang dipahamkan bahwa keaneka-ragaman budaya melahirkan gaya-gaya tari. Pertanyaannya adalah, ciri khusus yang bagaimana yang memberikan pengertian tentang gaya tari. Edy Sedyawati menyoroti tari Jawa yang secara khusus mempunyai kaidah sebagai perilaku tari dan standar nilai yang menyangkut rasa keindahanya. Tari Jawa menurut Sedyawati digambarkan sebagai berikut: Tari Jawa pada umumnya ditandai sikap dada yang tegap, langkah yang serba tenang, dan sangat lekat dengan tanah, gerak lengan dengan variasi arah yang halus tetapi dengan posisi stabil pada siku, gerak serba halus tertahan berkelanjutan, gerak leher tertoleh dalam variasi, selendang digunakan untuk memperluas kemungkinan bentuk, wajah tenang tidak dimainkan (Sedyawati, 1986: 16). Generalisasi tari Jawa menurut konsep Sedyawati ini bisa dimengerti sebagai konsep umum tentang tari Jawa, karena kalau kita melihat secara rinci dari masing-masing wilayah budaya tari Jawa masih memiliki ciri unik yang membedakan dari wilayah Jawa yang lain. Lebih sempit lagi pada wilayah sub. kultur dalam satu wilayah. Sebagaimana dalam pembahasan ini adalah menyangkut produk budaya Kerajaan Mataram yang satu terpecah menjadi empat wilayah yang berkembang pula empat sub. kultur. Yogyakarta yang Kasultanan dan Pakualaman, Surakarta yang Kasunanan dan Mangkunegaran. Berkaitan dengan perbedaan yang semakin mengecil ini, lebih khusus Sedyawati (1986:13) melihat kekhususan gaya tari sebagai sifat pembawaan tari, yaitu menyangkut cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri pengenal dari gaya yang bersangkutan. Makna yang disampaikan mengangkat ciri yang menonjol dalam gaya tari di samping karena teknik pelaksanaan gerak adalah juga bentuk dan kualitasnya. Suatu tari tertentu dilandasi oleh teknik tertentu dan dijiwai oleh sikap badan dan sikap batin tertentu. Yang dimaksud dengan teknik tari adalah cara-cara melaksanakan gerak-gerak tari secara tepat sehingga mencapai bentuk serta gaya yang dikehendaki. Sedangkan sikap-sikap dari segi yang lain adalah: sikap badan yang tepat, yang dapat diperinci atas sikap masing- 9 masing anggota badan seperti: torso, leher, kepala, lengan, dan tungkai; arah bergerak yang tepat bagi setiap anggota badan. Ritme yang tepat dalam melakukan rangkaian gerak dan kualitas gerak atau rasa gerak yang tepat yang menandai keseluruhan tari, atau kualitas-kualitas gerak yang tepat bagi bagian-bagian pada tari tertentu. Pengertian ketepatan disebutkan di atas bukan ketepatan matematik yang dinyatakan dengan ukuran-ukuran metrik. Tetapi ketepatan itu adalah ukuran-ukuran yang harus bisa dirasakan sebagai sesuatu yang pantas dalam kerangka gaya tari yang bersangkutan, dan dalam tata nilai kebudayaan yang bersangkutan. Nah. Sikap, teknik, ketepatan dan kualitas yang disebutkan itu menghasilkan bentuk-bentuk yang dapat diamati oleh penglihatan. Bagi penonton bentuk-bentuk itu memberikan pengalaman visual dan sekaligus pengalaman penghayatan rasa tari. Bentuk mewujud dalam ruang membawa lambang-lambang ide yang hendak disampaikan melalui tari yang bersangkutan. Sedangkan kualitas atau rasa gerak merupakan segi teknik tari yang mempunyai pengaruh terhadap penonton karena kualitas gerak tertentu menghasilkan rasa gerak dengan karakter tertentu. Inilah kemudian menghasilkan gaya tari dengan sebutan gaya tari Surakarta, gaya tari Yogyakarta, gaya tari Minangkabau, gaya tari Bali, Malang, Madura dan sebutan-sebutan gaya personal seperi gaya S. Ngaliman, S.Maridi, Munali Pattah, Ali Markasah, Toebi, Bolet dan lain sebagainya. Kesemuanya merupakan kesatuan wujud tari dengan gaya yang dibentuk oleh budaya lingkungannya. Dalam pembahasan berikutnya dibicarakan lebih rinci mengenai sikap, teknik, ketepatan, kualitas dan karakter yang kemudian menghasilkan gaya tari Surakarta. 2. Jenis Tari Gaya Surakarta Memperbincangkan perihal jenis terdapat dua jenis yakni jenis sebagai genre dan jenis yang menunjukkan kualitas. Pada pembahasan berikutnya akan dibedakan keduanya. a. Jenis Genre Tari Gaya Surakarya Seperti disinggung pada bab. pendahuluan bahwa tari gaya Surakarta terdapat setidaknya empat (4) genre utama dari dalam keraton, Yakni Bedhaya, Srimpi, Gambyong, dan Golek (empat genre utama), dan dua genre lagi yang lebih baru yaitu Wireng dan Pethilan, (Supanggah, 2007: 123). Berikutnya tumbuh genre baru lagi menjadi sepuluh (10) ketika 10 berkembang di luar keraton yakni: Wireng Pethilan, Wayang Wong, Dramatari atau Sendratari, dan kelompok Bertema. Berikut akan dibahas setiap genrenya. 1. Genre Bedhaya Bedhaya dari asal kata ambudhaya yang menurut Wedha Pradangga adalah jajar-jajar sami beksa sarta tinabuhan ing gangsa Lokananta (gending kemanak) binarung ing kidung sekar kawi atawi sekar ageng (diterjemahkan: menari dalam posisi berbaris diiringi gamelan Lokananta disertai nyanyian Sekar Kawi atau Sekar Ageng (Prajapangrawit, 1990: 5, dalam Prabawa, 1990:114). Tari Bedhaya pada dasarnya bukan tarian tontonan karena merupakan bagian dari upacara atau atribut raja-raja Jawa (Kasunanan dan Kasultanan). Di keraton, tari Bedhaya disajikan oleh sembilan (9) penari lajang dengan gerakan yang nyaris sama, tata rias dan asesori busana yang sama menyajikan suatu “ceritera” tertentu, biasanya bertema perang dan/atau percintaan yang diungkapkan dengan cara yang sangat abstrak, sehingga sulit untuk dimengerti oleh orang yang tidak biasa dengan genre tari ini. Untuk mengetahui jalan ceritanya, seseorang perlu mengikuti cakepan sindhenan, pola lantai (gawang), dan tentunya koreografi tari ini yang gerakan dan (warna) kostum dan aksesorinya sarat dengan simbol. Tari Bedhaya cenderung menggunakan ekspresi wajah yang “beku” nyaris seperti topeng. Hal ini berbeda sekali dengan Dramatari yang selalu menampilkan ekspresi wajah untuk menunjang dan menguatkan watak tokoh (Supanggah, 2007:124-125). Keraton Kasunanan Surakarta memiliki Bedhaya yang sangat dikeramatkan yaitu Bedhaya Ketawang, kalau di Kasultanan Yogyakarya Bedhaya Semang namanya. Keberadaan Bedhaya dalam keraton ini banyak menyimpan misteri. Hal ini dikaitkan dengan pemilihan penari yang masih lajang, dalam keadaan suci ketika menari, dan melakukan ritual terlebih dahulu selama beberapa hari menjelang pementasan. Begitu teliti dan rumit maka tari Bedhaya dikatakan sebagai bentuk ritual semedi. Ini juga tidak terlepas dari terciptanya tari Bedhaya awal mulanya yaitu pada pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang gemar semedi dan kebiasaan itu diteruskan oleh raja-raja berikutnya untuk mendapatkan petunjuk gaib. Inilah kemudian tari Bedhaya sarat dengan simbol-simbol. 11 Sembilan (9) penari adalah semacam simbolis yang ditafsirkan berbagai macam. C.A Van Peursen memberi tafsiran bahwa sembilan penari Bedhaya berhubungan erat dengan eksistensi sembilan syakti Dewa Syiwa 16 . Ini terkait dengan pola kepercayaan para ningrat Jawa yang berlatar belakang pemikiran Hindu. Prabawa dalam tesisnya menyebut sembilan sebagai simbol mikrokosmos (jagat kecil manusia) ditandai dengan organ tubuh manusia yang terdiri dari: jantung atau hati, kepala sebagai perwujudan pikiran dan jiwa, dua lengan, dua tungkai, leher, dada, dan kelamin sebagai keinginan hati (Prabawa, 1990:119). Maka penari dalam tari Bedhaya mempunyai peran sendirisendiri. Pada tari Bedhaya Yogyakarta disebut: endhel (semua nafsu yang timbul dari hati), bathak (kepala dengan akal), jangga (leher), apit ngajeng (lengan kanan), apit wingking (lengan kiri), dhadha (dada), endhel wedalan ngajeng (tungkai kanan), endhel wedalan wingking (tungkai kiri), dan buntil (alat kelamin atau organ seks). Penamaan itu agak berbeda dengan Bedhaya di Surakarta, yaitu: bathak, endhel, endhel ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, gulu, dada, dan buncit. Rusini dalam tulisannya mengutip sembilan (9) sebagai jumlah lubang pada tubuh manusia: kedua mata, kedua telinga, kedua lubang hidung, mulut, dubur dan kelamin yang dikatakan sebagai babahan hawa sanga. Menari Bedhaya adalah semedi untuk menutup lubang sembilan (9) agar tidak tergoda nafsu jahat dan mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa (GPH. Brontodiningrat 1982, Prodjopangrawit, 1990:57) dalam rusini 1999:122). Setyoasih melihat angka sembilan (9) merupakan pengaruh Hindu yang menyebut sebagai pancaran rasa: cinta, tawa, kesedihan, kemarahan, semangat, ketakutan, kemuakan, keheranan, dan ketenangan atau ketenteraman hati (Setyoasih, 2000:32). Tafsir angka sembilan (9) yang simbolik memang berseliweran di sana sini, tetapi kita bisa melihat bagaimana angka sembilan (9) dalam tari Bedhaya bermula. Bahwa Sultan Agung setelah menciptakan gending yang diberi nama: Gendhing Ketawang 17 , Sultan memilih putri 16 Periksa C.A Van peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976. P. 18. Ketawang berarti angkasa. Diberinama gendhing ketawang karena Sultan Agung dalam semadinya mendengar suara gaib dari angkasa, kemudian diingat suara tersebut dan dicatatnya dalam ingatan beserta suasana yang menyelimuti malam sepi saat semadinya. Kemudian diciptalah gendhing ketawang. Periksa R.T Warsadiningrat, 1943. Wedhapradangga. 17 12 untuk menarikan Bedhaya dari nayaka wolu (delapan pejabat istana) yang masing-masing diambil seorang. Kemudian ditambah satu lagi agar menjadi sembilan yaitu cucu perempuan patih dalem (patih raja) untuk berperan sebagai bathak. Seperti inilah awal mula adanya tari Bedhaya Ketawang dengan sembilan (9) penari di dalam kerajaan Mataram Islam. Lantas jumlah sembilan (9) juga dikaitkan dengan jumlah para wali yang berada pada kekuasaan Mataram Islam. Tari Bedhaya Ketawang hingga sekarang tetap menjadi milik keraton dan ditarikan oleh abdi keraton. Ketika PKJT dan ASKI memerankan program penggalian, muncul tari Bedhaya dari program ini. Tari Bedhaya Ela-ela adalah yang pertama hasil penggalian kemudian dipadatkan. Ela-ela selanjutnya diubah menjadi Lala atau Bedhaya Lala. Agus Tasman berperan penting dalam penafsiran gerak yang sebelumnya telah ada gendhing Ela-ela yang direkonstruksi oleh Martapangrawit. Berikutnya bermunculan tari Bedhaya masih dalam hasil penggalian dan pemadatan seperti: Bedhaya Pangkur dan Bedhaya Tolu, Bedhaya Alok, Bedhaya Kadukmanis atau Si Kadukmanis, dan Bedhaya Lemah Putih oleh A. Tasman. Selanjutnya Nora Konstantina Dewi mencipta Bedhaya Candrakirana, Rusini mencipta Bedhaya Banguntulak dan Badhaya Timasan serta memadatkan tari Bedhaya Duradasih. Sri Sumarni adalah mahasiswa Jurusan Tari di STSI (yang dulu ASKI) dalam tugas akhir kesarjanaannya menciptakan Bedhaya namanya Bedhaya Dudu. Bahkan sebelumnya Bagong Kussudiardjo menciptakan Bedhaya Gendheng. Berikutnya terus lahir Bedhaya-Bedhaya seperti Bedhaya Pajang oleh Eulalia Gunarti, Bedhaya Pulung oleh S. Ngaliman, Bedhaya Ciptoning oleh Sulistyo Haryanti, Bedhaya Arumdalu oleh Dwi Maryani, Bedhaya Kakung Siguse, dan Bedhaya-Bedhaya lain yang tidak disebut dalam tulisan ini (periksa Widyastutieningrum, 2010: 59-79) Bedhaya yang sampai saat ini sering dipertunjukkan adalah Badhaya Lala, Bedhaya Duradasih. Selain dipertunjukkan untuk acaraacara resmi upacara di Institusi ISI Surakarta juga untuk materi mata kuliah pada jurusan tari. Naskah tulisan tangan huruf Jawa yang ditransliterasikan oleh R. Nwiranto Wijoyosuwarno (1972), kemudian disunting oleh Sri Hastanto dan Sugeng Nugraha (1990), P. 54-55. 13 2. Genre Srimpi Tari Srimpi hampir sama dengan tari Bedhaya, jika ditinjau dari tata rias, busana dan aksesoris, ekspresi penari yang dingin dan beku. Bahkan orang menyebut genre tari Srimpi sebagai jenis tarian yang tidak ada bedanya dengan Bedhaya, hanya saja Tari Srimpi memiliki format yang lebih kecil yaitu ditarikan oleh empat (4) remaja putri. Persyaratan pemilihan kualitas penari juga tidak seketat dan seberat tari Bedhaya. Tetapi panari Srimpi di keraton berasal dari keluarga atau kerabat, anak cucu raja. Jika Bedhaya merupakan sarana upacara kerajaan yang bersifat ritual, Tari Srimpi ini sedikit berbeda yakni untuk kelangenan, sarana hiburan keluarga kerajaan, juga untuk disuguhkan dihadapan tamu agung kerajaan. Bahkan Tari Srimpi acap kali dibawa keluar dari keraton untuk dipamerkan, dipergelarkan dalam acara jamuan penting seperti dengan gubernur atau residen Belanda waktu itu. Atau dimana saja diperlukan dalam rangka kunjungan kerja pejabat kerajaan 18 . Di Keraton dapat dijumpai berbagai jenis tari Srimpi, diantaranya: Srimpi Dempel, Srimpi Ludiramadu, Srimpi Gandakusuma, Srimpi Anglir Mendung, Srimpi Sangopati, Srimpi Tamenggito, Srimpi Lobong, Srimpi Sekarsih, dan masih ada lagi Srimpi-Srimpi lain yang tidak disebutkan pada tulisan ini. Secara musikal tari Srimpi juga memiliki kesamaan dengan musikal tari Bedhaya utamanya pada penggunaan alat musik spesial yang disebut kemanak 19 dan keplokalok 20 . Pada era sekarang ini pertunjukan tari Srimpi makin jarang dijumpai di dalam keraton karena posisi keraton tidak lagi memiliki kekuasaan politik sehingga tamu atau kunjungan kerja tidak ada lagi yang memerlukan jamuan istimewa dengan menghadirkan tarian. Tetapi tari Bedhaya Ketawang tetap menjadi bagian upacara yang pada saat jumenengan 21 atau tingalan dalem 22 raja. 18 Periksa Rahayu Supanggah, 2007. Bothekan Karawitan II: Garap. Surakarta, ISI Press. 19 Kemanak adalah alat musik berbentuk pisang dibelah, terbuat dari perunggu. Kemanak yang digunakan adalah sepasang dengan nada yang berbeda. 20 Keplok alok merupakan bunyi dan suara yang berasal dari tepuk tangan (keplok) dan suara dari rongga mulut para wiraswara pengrawit (alok) yang ditata sedemikian rupa dalam ritme yang pasti 21 Jumenengan adalah pengangkatan raja baru yang harus dirayakan besar-besaran dan tari Bedhaya Ketawang hadir menjadi bagian dari upacara kebesaran raja baru. 14 Di luar tembok keraton, tari Srimpi telah banyak dipentaskan oleh kelompok-kelompok, komunitas, dan/atau sanggar-sanggar tari yang mengelola tari gaya Surakarta. Termasuk juga ISI Surakarta 23 adalah lembaga perguruan tinggi seni yang mengelola seni tradisi Surakarta banyak berperan melestarikan dan mengembangkannya. Tari Srimpi juga menjadi perhatian untuk dikembangkan dengan cara pemadatan dan pemantaban kualitasnya. Atas anjuran S.D Humardani, para pengajar di perguruan tinggi seni di Surakarta (isi), diantaranya adalah: Agus Tasman, Rusini, dan Nora Konstantina Dewi (alm) berhasil memadatkan beberapa tari Srimpi, yakni: Srimpi Sangopati, Srimpi Anglir Mendung, Srimpi Ludiramadu, Srimpi Gandakusuma, Srimpi Sukarsih. Berikutnya Rusini memadatkan lagi Srimpi Lobong untuk 1000 hari meninggalnya Martapangrawit. Dilanjutkan memadatkan lagi Srimpi Dhempel. Nora Konstantina dewi (alm) dan Rusini lagi-lagi memadatkan Srimpi Tamenggito untuk materi pembelajaran di jurusan seni tari ISI Surakarta (Widyastutieningrum, 2012:30). Fenomena tari Srimpi tidak berhenti pada rekonstruksi dan pemadatan yang masih lekat dengan kaidah-kaidah tradisi secara ketat. Terdapat pula kreativitas sebagai bentuk pernyataan yang kekinian. Apakah bertujuan untuk menanggapi pola yang cenderung beku ataukah untuk memberi warna lain dari kebiasaan komposisi yang formal. Kreativitas terus berlangsung meskipun tetap berpijak pada tradisi yang ada. Seperti ungkapan Sal Murgianto: Para koreografer yang cenderung terikat pada kaidah-kaidah tari tradisi berusaha melakukan revitalisasi tari tradisi. Dalam revitalisasi diperlukan kreativitas untuk dapat menyusun kembali tari yang kreatif dalam membuat bervariasi (Murgianto, 2004:xii) Sinyal yang dihembuskan Sal Murgianto ditangkap oleh penata tari dengan menciptakan tari Srimpi Kesrimpet. Citra baru dikembangkan melalui penataan gerak, komposisi ruang, busana dan musikalitas, bahkan terdapat vokal berlagu (tembang) dari penarinya. 22 Tingalan dalem adalah hari ulang tahun diangkatnya raja. Pada setiap tahun selalu dirayakan dengan pertunjukan Bedhaya Ketawang. ISI Surakarta yang pada masa awal berdiri berstatus Akademi yaitu Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Kemudian berubah status menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, yang pada saat penelitian ini dilakukan sudah berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 23 15 Konstruksi yang membangun imajinasi tari Srimpi sebagai tari yang dingin dan beku dalam ekspresi dibongkar habis dalam Srimpi Kesrimpet. Bahwa Srimpi baru yang diciptakan kelompok sagita 24 ini bersifat sarkastis, emosional, dan lucu berbaur padu menciptakan imajinasi paradoks. Tari Srimpi, apapun jenis dan namanya telah berkembang baik kualitas dan persebarannya. Tari Srimpi kemudian dapat dinikmati tidak sebatas di dalam keraton yang melahirkannya tetapi telah dapat disaksikan jauh dari wilayah budayanya. Di Surabaya, oleh kelompok Tri Bhuana, dan Mustika Yuastina, tari Srimpi bahkan tari Bedhaya telah menjadi bagian dari nomor-nomor pertunjukan yang dapat dinikmati oleh khalayak umum. 3. Genre Gambyong Tari Gambyong, nama generiknya yang lebih tua disebut Sedyawati sebagai Runggeng (Sedyawati, dalam Widyastutieningrung, 2004: xi) merupakan tarian yang semula berasal dari tayub dan/atau tledhek 25 . Berita tari Gambyong yang bermula dari tayub dan/atau tledhek ini banyak diceritakan pada tulisan-tulisan lama seperti: Serat Centini, Serat Sastramiruda, bahkan dalam buku The History of Java, dan Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Fakta ini menunjukkan bahwa Gambyong memang terkait dengan pertunjukan Tayub. Tayub sebagai nama genre pertunjukan terdapat di dalamnya waranggana yang sekaligus bisa menari itulah tledhek sebagai cikal bakal tari Gambyong. Dalam penulisan ini peneliti tidak membahas sejarah Gambyong dengan mengambil data dalam tulisan-tulisan seperti disebutkan sebelumnya, tetapi melihat Gambyong sebagai genre tari yang juga tumbuh sementara waktu di dalam lingkungan kerajaan dan keluar lagi dalam bentuk kemasan yang menarik dan berkembang pesat di luar tembok keraton. Di Kasunanan Surakarta, Gambyong pada awalnya disebut sebagai tayub. Data yang menyebutkan adanya tayub juga tertulis dalam Babad Cariyos Lampahanipun Swargi R.Ng. 24 Sagita merupakan nama kelompok kesenian yang lebih banyak bergerak pada pertunjukan tari. Kelompok sagita lahjir dari kota Solo yang memanfaatkan tari unhtuk dikemas ulang menghadirkan nuansa barun yang komedian. 25 Iastilah tledhek cukup beragam dalam sebutan dan penulisannya, seperti: kaledhek, taledhek, atau ledhek saja. Dalam tulisan ini peneliti menyebut secara beragam. 16 Ronggowarsito. Buku tersebut mengungkap adanya pertunjukan tayub dalam acara syukuran atau kaul karena R.Ng. Ronggowarsito yang ketika muda bernama Bagus Burham telah selesai menempuh pendidikan di pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo. Disebut dalam terjemahan sebagai berikut: Pada waktu itu tayub segera mulai atas persetujuan M.Ng. Ronggowarsito, yang diminta tampil lebih dahulu adalah Kramaleya didampingi oleh Ki Tunajaya, dan Ki Jasana, diiringi gendhing Cangklek Panaraga. Tingkah laku mereka sangat lucu dan segala gerak geriknya membuat penonton tertawa. Penari taledhek bernama Gambyong memiliki ketrampilan menari dan kemerduan suara, sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu (Sudibyo, 1979:180). Tampaknya dalam tulisan tersebut nama Gambyong disebut sebagai nama taledhek. Tetapi itu tidak serta merta nama tari Gambyong diambil dari nama teledhek, karena nama tari Gambyong sudah disebut jauh sebelum masa R.Ng. Ronggowarsito, yakni pada masa Serat Centini ditulis oleh Susuhunan Paku Buwana IV dan Susuhunan Paku Buwana V. Sementara R.Ng. Ronggowarsito hidup pada masa Susuhunan Paku Buwana IX. Nama tari Gambyong juga dikaitkan dengan gendhing yang mengiringi tarian tersebut yakni gendhing Gambirsawit dilanjutkan gendhing Boyong. Namun sekali lagi tulisan ini tidak sedang mengungkap sejarah Gambyong, oleh sebab itu kita hentikan polemik tentang asal usul nama tarian Gambyong karena peneliti terdahulu-pun yang meneliti sejarah tari Gambyong belum mendapatkan jawaban yang pasti. Terdapat beberapa nama tari Gambyong, seperti: Gambyong Gambirsawit, Gambyong Pareanom, Gmbyong Pangkur, Gambyong Mudatama, Gambyong Ayun Ayun, Gambyong Sumyar, Gambyong Pangkur Langen Kusuma, Gambyong Sala Minulya, Gambyong Campursari (Widyastutieningrum, 2004:88). Nama-nama tari Gambyong tersebut diambil dari nama gendhing yang mengiringinya. Masih terdapat nama tari Gambyong yang lain seiring perkembangan tari Gambyong itu sendiri seperti Gambyong Pancasila, Gambyong Dewandaru, Gambyong Pancarena, dan terdapat nama Gambyong lain yang tidak disebut disini. Berbagai ragam dan macam tari Gambyong menunjukkan tingkat penerimaan masyarakat yang baik. Sudah barang tentu setiap tari Gambyong memiliki ciri-ciri yang spesifik menunjukkan karakter internalnya yang unik. Namun demikian semua menuju karakter 17 umumnya yang “menampilkan olah keprigelan wanita yang meliputi: tregel (lincah), kenes (genit), kewes (lemah gemulai), luwes (tidak canggung), dan prenes (lincah). Nyi Bei Mardusari 26 menambahkan bahwa tari Gambyong itu menampilkan rasa berag (gembira) (Widyastutieningrum, 2004:8). Dari beragam nama Gambyong yang tercipta, ada beberapa tari Gambyong yang memiliki keunggulan. Keunggulan tari Gambyong tersebut dapat dicermati dari eksistensinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yakni mendapat kesempatan hadir dalam berbagai perhelatan. Tari Gambyong yang dimaksud seperti Tari Gambyong Pareanom, Tari Gambyong Pangkur, dan berikutnya tari Gambyong Gambirsawit. Tari Gambyong yang baru disebutkan banyak dijadikan materi ajar pada lembaga-lembaga pengelola tari seperti untuk materi pelajaran atau materi kuliah atau juga materi pelatihan di sanggar-sanggar tari. Keberadaan tari Gambyong tersebut acapkali kita saksikan di hajatan-hajatan kemasyarakatan seperti pernikahan dan juga pada acara instansional pembukaan operasional perusahaan. Bahwa tari Gambyong masih memiliki fungsinya yang utama yakni untuk menghibur masyarakat. 4. Genre Wireng Genre Wireng, disebut sebagai tari tunggal atau pasangan, baik berjumlah dua atau kelipatannya, yang dapat terdiri dari putra saja, putri saja atau putra dan putri (Supanggah, 2007: 129). Pada awal mula, penciptaan tari Wireng tidak menggambarkan karakter tokoh tertentu, tetapi hanya menunjukkan gerak dan penyatuannya dengan gendhing dalam orkestra gamelan Jawa sebagai musik tari (Purwolelono dalam Nanik dkk, 2007: 119). Istilah Wireng, menurut Supanggah merupakan kata jadian dari bahasa Jawa wira yang mendapat sufiks ing. Wireng dengan demikian berarti prajurit atau kesatria, dan faktanya dapat dilihat bahwa kebanyakan Wireng gaya Surakarta merupakan beksan atau tari yang bertemakan perang atau latihan perang-perangan (Supanggah, 2007: 129). Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa tarian Wireng diantaranya: Tari Kusuma Tanding untuk Wireng tunggal putri, tari Eko 26 Nyi Bei Mardusari adalah tokoh penari Gambyong dari Pura Mangkunegaran pada masanya 18 Prawira untuk Wireng tunggal putra gagah, tari Dhadhap untuk Wireng putra alus. Sedangkan untuk Wireng pasangan seperti tari Bandayuda, tari Jemparing Alit dan Jemparing Ageng, Tari Lawung Alit dan tari Lawung Ageng. Untuk tari Wireng pasangan ini bisa juga dilipatgandakan jumlah penarinya yaitu empat, enan, dan seterusnya. 5. Genre Wireng Pethilan Genre Wireng Pethilan terdapat beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan genre Wireng. Wireng Pethilan menggambarkan tokoh tertentu dengan karakter tertentu yang diambil dari cerita tertentu. Seperti istilahnya yaitu pethil yang berarti mengambil sebagian. Jadi Pethilan adalah menggambil sebagian tokoh dari cerita tertentu. Dalam Wireng Pethilan dapat diketahui misalnya: Tari Arjuna Sasara dan Sumantri, Karna Tanding, Anila Prahasta, Sancaya Kusumawicitra, Setyaki Burisrawa, Duryudana Wrekudara, Handaga Bugis, Tohjaya Bugis, untuk Wireng Pethilan pasangan dua jenis karakter. Tari Panji Kembar, Bugis Kembar, untuk pasangan sejenis satu karakter. Tari Klana Gandrung, Gunungsari, Burisrawa Gandrung, Gatutkaca Gandrung, adalah tari Wireng Pethilan tunggal. Terdapat juga Wireng Pethilan tiga karakter dan empat karakter. Tiga karakter seperti tari Klana Sekartaji yang terdiri dari tokoh Klana Sewandana, Dewi Sekartaji, dan Panji Inukertapati. Sedangkan empat karakter yaitu tari Kusumayuda yang menggambarkan empat kesatria dari tokoh Gatutkaca, Abimanyu, Antareja, dan Setyaki. Tentu masih banyak lagi jenis Wireng Pethilan yang tidak disebut dalam tulisan ini. Ciri-Ciri Genre Wireng Struktur tari Wireng terdiri dari: a. Maju Beksan, yaitu awal sebuah tarian Wireng dimulai. Lantunan vokal atau yang akrab dikatakan sebagai ada-ada. Pada bagian ini penari menuju posisi yang disebut gawang. Posisi atau gawang yang dituju adalah posisi tengah bagian paling belakang. Penari duduk bersila menunggu gending berikutnya yaitu gendhing srepeg. Ketika gendhing Srepeg dimulai, penari mulai dengan gerak sembah dengan dua level yaitu sembah sila dan sembah jengkeng. Dilanjutkan penari berdiri 19 melakukan gerak penghubung, sabetan namanya. Dilanjutkan lumaksana, ombak banyu, srisig atau berjalan dengan cara jinjit dilakukan dengan cepat menuju gawang atau posisi tengah atau gawang beksan, dan penari duduk bersila kembali. b. Beksan, yaitu bagian utama pada tari Wireng. Pada bagian utama ini memperlihatkan gladi atau latihan perang-perangan, dan juga perang sungguhan. Terdapat setidaknya dua macam perang yaitu perang simbolik dengan beradu posisi lengan dalam pola gerak sekaran. Yang kedua perang sungguhan yang terdiri dari perang tangkepan dan perang ruket. Perbedaan perang ini ditandai juga perubahan suasana yang dipacu oleh perubahan pada musik tari. Pada peristiwa perang ini terdapat dua pola yaitu tidak ada yang kalah dan salah satu ada yang kalah. Pada bagian beksan diakhiri dengan posisi kembali pada sikap yang sama pada kedua penari untuk menuju akhir tarian. c. Mundur Beksan, yaitu bagian akhir pada tari Wireng . Kedua penari melakukan gerakan sembah dilanjutkan sabetan, srisig menuju gawang tengah belakang yang disebut gawang supana dan berakhir sembah juga pada gawang ini. Struktur musik tari Wireng lazim menggunakan urutan gending sebagai berikut: a. Lancaran, untuk maju beksan b. Landrang, untuk beksan, c. Lancaran, ulangan dari lancaran pertama, untuk gladi perang atau perang d. Ladrang sebagai ulangan untuk ladrang sebelumnya, untuk beksan kedua dengan durasi yang lebih pendek, kemudian diakhiri dengan lancaran yang sama, seperti lancaran pertama dan kedua untuk mundur beksan. Kadangkala, sebelum lancaran yang pertama, disajikan dulu adaada untuk menyertai masuknya penari (Supanggah, 2007: 130) 6. Genre Pethilan Pethilan merupakan bentuk koreografi dengan menggunakan tema, dan/atau karakter tertentu yang diambil atau mendapatkan 20 inspirasin dari cerita tertentu. Tema dan struktur tari dengan genre Pethilan ini bisa sama dengan Wireng. Oleh karena itu disebut juga Wireng Pethilan. Dan dapat diketahui Wireng Pethilan yang strukturnya sama dengan Wireng adalah bertema peperangan. Beberapa contoh sudah disebutkan pada genre Wireng Pethilan. Tari Pethilan yang temanya di luar perang-perangan adalah gandrungan dan pengelanaan. Dapat kita jumpai seperti Gatutkaca gandrung, Klana Sewandana Gandrung, dan juga Gambiranom adalah genre Pethilan bertema gandrung. Gunungsari, dan Panji Sepuh menggambarkan perjalanan atau berkelana untuk menemukan kesejatian diri. Terdapat perbedaan struktur Pethilan dengan Wireng utamanya pada bagian beksan. Pada tari Pethilan yang bertema gandrung, bagian beksan diisi gerakan atau sekaran gandrungan, kiprah dan Gambyongan. Demikian pula pada Pethilan yang bertema perjalanan pengelanaan, pada bagian beksan diisi gerakan atau sekaran kiprahan, pengenalan diri, dan gerakan kembangan yang mengadopsi nama-nama (tumbuhan dan juga hewan) yang ditemui disekelilingnya. Pada bagian mundur beksan, penari tidak kembali pada gawang supana 27 , tetapi srisig keluar panggung acapkali melewati sudut kanan belakang atau sudut kiri belakang. Kita bisa ketahui misalnya tari Gunungsari. Tarian ini menggambarkan pengelanaan. 7. Genre Golek Tari Golek menggambarkan keadaan kejiwaan anak-anak menuju remaja putri. Manja, ingin tahu, dan meniru adalah sifat-sifat yang lekat pada anak-anak. Kebiasaan anak-anak putri jawa, boneka merupakan mainan utama sebagai teman bermain. Yang dituju adalah pengembangan karakter keputrian yang feministis. Keadaan kejiwaan seperti ini ditanggapi pula oleh seniman tari Jawa Surakarta, maka diciptakanlah tarian khusus untuk kebutuhan perkembangan jiwa anak-anak putri yaitu tari Golek. Berkaitan dengan tari Golek kita dapat mengetahui beberapa jenis tari Golek seperti misalnya: Tari Golek Ayun-Ayun, Tari Golek 27 Gawang Supana tidak di tengah belakang tetapi kembali pada gawang supana di belakang panggung tempat persiapan rias dan busanan yang disebut gedhongan. 21 Surung Dayung, tari Golek Sri Rejeki, tari Golek Montro, Golek Sukarena, Golek Manis, tari Golek Bondan Sayuk, dan juga Tari Golek Bondan Kendi. Seperti sifat anak-anak perempuan, tari Golek menggunakan gerak yang relatif mudah dilakukan utamanya oleh anak-anak putri, karakteristiknya juga menggambarkan feminitas anak perempuan yang lemah lembut, sedikit gemulai, manja, sedikit genit, juga ada unsur lincahnya. Meskipun genre tari Golek kurang dirasakan perkembangannya, baik perkembangan kuantitas yang ditandai munculnya karyakarya baru, juga persebarannya juga tidak menunjukkan eksistensinya yang bergairah. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kondisi sosial yang dominan dikuasai perubahan sistim kemasyarakatan yang mengarah pada peningkatan mobilitas sosial sehingga berpengaruh pada kurang keberpihakannya mengajarkan tari Golek pada anak-anak putri. Justeru yang bersemangat dilatihkan adalah yang bertema semangat seperti tari kreasi baru: Soyong, Wira Pertiwi, tari Kidang, dan tari yang bersemangat lainnya. Tari Golek diciptakan dimaksud mengharap perkembangan jiwa keputrian anak-anak tumbuh sewajarnya. Untuk memberikan pesan bahwa kelembutan, keanggunan, dan luwes dalam bersikap memberikan keseimbangan yang bermakna bagi kehidupannya kelak di masa remaja dan dewasa. Atas pemikiran ini Jurusan tari STK Wilwatikta Surabaya tidak melihat popularitas jenis tari yang harus diajarkan kepada mahasiswa, tetapi pembekalan yang sewajarnya untuk memberi pembelajaran bahwa tari dari berbagai strata telah diciptakan berdasarkan tingkat usia dan karakteristiknya. Maka tari Golek juga menjadi perhatian untuk diajarkan dalam rangka mengingatkan bahwa tari dapat mendidik kejiwaan, tingkah laku, moralitas, dan kelembutan perasaan berdasarkan tingkat dan golongannya. 8. Genre Wayang Wong Wayang Wong atau juga disebut Wayang Orang menurut Soedarsono merupakan personifikasi dari Wayang Kulit (Soedarsono, 22 1997:1). Jennifer Lindsay menyebut Wayang Orang sebagai Wayang Kulit yang ditarikan 28 . Supanggah menyebut: Wayang Wong adalah satu bentuk teater drama yang mengadopsi pertunjukan Wayang Kulit dibawa ke atas panggung dan dimainkan aktor manusia. Aktor yang terdiri dari pria dan wanita ini selain berakting, mereka juga menari, melakukan ontowecono, dan kadang-kadang juga nembang. Wayang Wong juga melibatkan dalang yang bertugas memimpin jalannya pertunjukan wayang, mengatur gending, membawakan sulukan, memainkan keprak untuk memberi tuntunan kepada aktor-aktor dalam menari. Seperti pada Wayang Kulit, Wayang Orang atau Wayang Wong menggunakan cerita yang bersumber dari Mahabarata, Ramayana, dan Serat Lokapala. (Supanggah, 2007: 273) Lebih jauh Supanggah menjelaskan bahwa struktur Wayang Wong mengikuti struktur pertunjukan Wayang Kulit. Gending yang digunakan juga umumnya gending–gending pewayangan namun digarap layaknya gending beksan. Adegan percintaan dan tantangtantangaan ( sumbar) memprovokasi tokoh lainnya juga menggunakan gending-gending sekar. Wayang Orang menjadi bagian penting bagi keberadaan tari Surakarta. Meskipun sebenarnya yang dapat dilihat tariannya lebih kental dengan pola-pola gerak gaya Mangkunegaran. Pada Wayang Wong berbagai karakteristik kemanusiaan tercermin dalam tokohtokoh yang ada. Karena acuan utama Wayang Orang yang umum dilakonkan adalah kisah Mahabarata dan kemudian Ramayana. Pada cerita Mahabarata terdapat cukup banyak tokoh dengan berbagai peran dan karakteristiknya. Penggambaran karakter tidak hanya diwujudkan melalui gerakan, tetapi juga ditunjukkan dengan cara bicara, tata rias dan busananya. Dari pengambaran itu muncul berbagai karakter seperti pada karakter manusia senyatanya. Keberadaan Wayang Orang di dalam keraton merupakan bagian dari upacara kebesaran raja. Berfungsi untuk legitimasi raja bahwa raja masih merupakan keturunan dewa yang dipuja. Pada perkembangannya, Wayang Orang keluar dari keraton dan bertempat di kompleks Taman Sriwedari Surakarta. Dari Sriwedari inilah Wayang 28 Lindsay menyebut Wayang Orang sebagai Wayang Kulit yang ditarikan karena ada hubungan Wayang Orang dengan Wayang Kulit sebagai penentu utama yang membuatnya berbeda dari jenis Dramatari lainnya. 23 Orang kemudian dikenal luas oleh masyarakat. Lahir tokoh-tokoh Wayang Orang dengan perannya sendiri-sendiri. Masih di Sriwedari, pada era perkembangannya yang mencapai puncak keemasan, muncul tokoh legendaris Gatutkaca dan Pregiwa yakni Rusman sebagai Gatutkaca dan Darsi sebagai Pregiwa. Kedua tokoh legenda ini merupakan sepasang suami istri yang berprofesi sebagai pemeran Wayang Orang di Sriwedari. Ke dua tokoh legenda ini didukung oleh tokoh-tokoh sejamannya seperti Surono yang dikenal sebagai pemeran petruk legendaris. Yang diceritakan baru saja merupakan sebagian kisah dari banyak kisah yang terdapat pada Wayang Orang di Sriwedari. Jauh dari zaman Rusman juga telah muncul tokoh tokoh terkenal dan dikenal masyarakat luas. Dari Sriwedari, Wayang Orang berkembang meluas. Di Semarang, Jogyakarta, Jakarta, bahkan di Malang, Blitar dan di Surabaya. Di Surabaya, pada tahun 1960-an sampai tahun 1980an berkembang perkumpulan Wayang Orang lebih dari jumlah duapuluh (20). Hingga sekarang yang masih hidup menetap sebagian perkumpulan Wayang Orang bertempat di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Disamping itu terdapat pula komunitaskomunitas anak muda yang berminat ikut melestarikan Wayang Orang. Terdapat komunitas Tri Bhuana dan Mustika Yuastina. Dua komunitas ini meskipun tidak banyak menghasilkan nomor-nomor tampilan, namun berupaya serius ketika ambil bagian dalam pementasan Wayang Orang. Yang dapat disimak dalam Wayang Orang adalah: peran aktor wayang meniru senyatanya pada Wayang Kulit, baik gerak, suara (ontowecono) dan rias busananya. Pada aspek gerak terdapat gerak putra gagah, putra alus, dan gerak putri dengan pembagian karakternya masing-masing 29 . Porsi gerak pada Wayang Orang lebih sedikit karena yang diutamakan dalam teater Wayang Orang ini adalah dialog. Oleh karena itu aktor Wayang Wong dituntut mampu secara baik meramu kata-kata untuk dijadikan kalimat dialogis. Meskipun gerak pada porsi sedikit namun yang sedikit tetap menunjukkan kualitas karakternya. Tembang juga menjadi bagian dari eksistensi Karakter Gagah misalnya terdapat gagah bithen, gagah punggawa, gagah satriya, gagah wanara, gagah yakso dan masih dirinci lebih detail lagi. Demikian pula pada karakter alus dan putri juga dapat dibagi lagi menjadi berbagai karakter yang lebih spesifik menggambarkan perilaku yang khusus pula. 29 24 aktor Wayang Wong. Dengan tembang, dramatikalnya menjadi semakin variatif dan menarik. Rias dan busana Wayang Orang dilakukan sendiri-sendiri oleh sang aktor (profesional) dan tidak memerlukan bantuan pihak lain. Keberadaan aktor Wayang Wong yang sedemikian ini lahirlah aktor-aktor Wayang Orang yang mumpuni karena multi talenta-nya terasah dengan baik dan keras. 9. Genre Dramatari atau Sendratari Dramatari adalah tarian yang terikat oleh adegan-adegan dalam cerita sehingga bisa saja tarian ini bukan merupakan tarian yang selesai karena terikat oleh adegan secara keseluruhan. Berpijak pada alur cerita atau plot. Bisa dilakukan dengan menggunakan dialog atau tidak menggunakan dialog (Admadibrata, 1986:185-186). Seperti pada Wayang Wong, Dramatari atau Sendratari terikat oleh adegan-adegan, alur cerita atau plot. Namun yang berkaitan dengan alur cerita tidak sepenuhnya benar. Pada prinsipnya memang menggunakan adegan dan berlandaskan cerita, tetapi untuk menata alur garap tidak selalu berbanding lurus dengan cerita yang sudah ada. Seringkali penggarap Dramatari membolak-balik alur cerita yang telah ada menjadi beberapa adegan karena prinsif efektif. Namun juga adegan tidak berdasar urutan cerita tetapi menggunakan peristiwa batin tokoh untuk disusun dalam bentuk adegan dan/atau plot. Kita dapat menyaksikan Dramatari atau Sendratari spektakuler awal muncul yakni Sendratari Ramayana di panggung amphiteater di kompleks Candi Rorojonggrang Perambanan Jawa Tengah. Selanjutnya di Pandaan Pasuruan Jawa Timur juga dibangun panggung besar dalam kapasitas penonton yang besar pula seperti di Perambanan. Pada tahun 1970-an terjadi peristiwa besar yaitu festival Sendratari Ramayana Internasional di panggung amphiteater Pandaan Pasuruan. Dari pengalaman itu diteruskan dengan ciptaan-ciptaan baru Sendratari atau Dramatari dalam volume yang lebih kecil dengan mengambil cerita tidak saja Ramayana, tetapi cerita seputar Panji dan sejarah Majapahit. SMKI atau Sekolah Menengah Kesenian Indonesia Surakarta, Yogyakarta dan juga Surabaya, dalam menyelesaikan tugas akhir kelulusan siswanya selalu menggelarkan Sendratari yang bercerita tentang Majapahit. 25 Di ASKI, STSI, dan Sekarang ISI Surakarta, karya Dramatari merupakan karya monumental yang selalu dipergelarkan pada momen-momen penting, selanjutnya menjadi materi uji pada Tugas Akhir Mahasiswa dalam menyelesaikan kesarjanaannya. Dapat dihitung karya-karya Dramatari monumentalnya seperti: Bangun Majapahit, Ronggolawe Bakti (gugur), Duryudana Gugur, dan Gatutkaca Gugur. Diteruskan oleh para mahasiswa yang tugas akhir studinya menggarap Dramatari, maka Dramatari seperti dikatakan Admadibrata bahwa Dramatari bisa dilakukan dengan tanpa dialog atau dengan menggunakan dialog (Dramatari berdialog). Selanjutnya juga berkembang lagi ditambah dengan tembang bagi aktor penarinya. Perkembangan tak bisa ditolak. Dramatari awal lahir tanpa dialog, selanjutnya berkembang menggunakan dialog seperlunya dengan alasan bahwa ungkapan yang tidak mampu disampaikan dengan gerak, diperpanjang dengan dialog seperlunya, singkat, dan padat, orang Jawa bilang “wos”. Selanjutnya ditambah dengan tembang secukupnya (satu pupuh untuk dua tokoh yang saling berhadapan, atau mungkin satu pupuh tembang dibagi tiga tokoh yang saling terkait, dan seterusnya untuk keperluan garap). Kesemua bentuk Dramatari menciptakan ciri khas dan spesifikasi yang menampilkan citranya sendiri-sendiri. Gerak merupakan unsur utama dalam Dramatari, selebihnya (dialog dan tembang) merupakan unsur yang menunjang keberhasilan garap koreografi Dramatari. 10. Genre Kelompok Bertema Sebagai genre yang lahir pada era terakhir saat sekarang ini, genre Kelompok Bertema mendapatkan tempatnya sendiri. Tidak menghadirkan figur tokoh spesifik, tari Kelompok Bertema menyajikan keadaan atau peristiwa batiniah tokoh atau figur tertentu tanpa harus hadir sebagai tokoh dengan ciri-ciri atributnya. Secara berkelompok, peristiwa batiniah diolah dalam susunan plot atau adegan untuk mendapatkan kepastian suasana dan rasa yang dikehendaki. Dan permainan komposisi dalam koreografi yang memanfaatkan jumlah penari, level penari, pembagian ruang penari, permainan ritme dan tempo gerak kaitannya dengan musik tari, dan juga mungkin vokal (monolog dan tembang) secukupnya. 26 Genre ini muncul dari pendidikan tinggi seni di Surakarta (yang untuk materi gaya Surakarta). Acuan cerita diambil atau terinspirasi dari berbagai sumber. Dalam kenyataannya dapat dilihat bersumber dari cerita Mahabarata seperti: karya Kelompok Bratasena, karya Kelompok Anoman, Karya Kelompok Srikandi, dan lainnya. Dari cerita rakyat yang diambil dari Reyog misalnya: tari Kelompok Wewarokkan, tari Kelompok Jejathilan, dan tari Kelompok Ganongan. Dari cerita Ramayana berjudul: Ramayana, dengan mengambil sebagian dari kisah Ramayana yaitu Sinta ilang. Sudah barang tentu masih ada lagi jenis tari Kelompok Bertema ini yang tidak disebut dalam tulisan ini. Jenis genre ini untuk saat ini mewarnai ramainya jagat tari. Tidak hanya di dalam pendidikan seni, tetapi juga meluas menjadi bagian dari visi festival yang menggunakan genre Kelompok Bertema ini sebagai materi pertunjukannya. Sementara waktu pernah muncul genre baru lagi yakni genre kelompok dengan konsep rampak, temanya rampak, sehingga penataan koreografinya dibatasi pada aspek kerampakan. Kerampakan diupayakan pada aspek fisiologi penari (racak bentuk tubuh, tinggi, pendek, kualitas dan kemampuan bergeraknya). Kerampakan pada tata rias dan busana yang serba rampak (seragam). Dan yang pasti rampak pada teknik pelaksanaan geraknya. Namun genre ini tidak berkembang karena rampak dan kerampakan sebagai sebuah nilai kurang bisa memberi andil pendidikan moral pada aspek kemanusiaan. b. Jenis Kualitas Tari Gaya Surakarya Disebutkan dalam buka Pengetahuan Tari ditulis Wahyudiyanto (2008: 120-130), bahwa ciri umum pada tari tradisi gaya Surakarta ditandai oleh sikap dada yang tegap, gerak leher yang terolah dalam berbagai variasi, langkah-langkah yang tenang dan terukur, gerak lengan dengan variasi arah yang halus dan tetap pada posisi stabil pada siku, gerak cenderung tertahan dan berkelanjutan, Tenang pada wajah, sampur digunakan untuk memperluas kemungkinan bentuk. Ciri-ciri tersebut didukung oleh iringan musik yang tenang dengan ritme yang cenderung rata. Gerak dalam tari gaya Surakarta memiliki kualitas yang dapat dibedakan dalam tiga golongan: 27 a. Kualitas gerak putri b. Kualitas gerak putra alus c. Kualitas gerak putra gagah Ketiga jenis kualitas gerak tersebut dianggap jenis kualitas gerak yang paling pokok, artinya di samping ketiga jenis kualitas tersebut masih dapat dirinci lebih kecil lagi menurut tingkatannya. Pada Kualitas gerak tari putri dibagi menjadi dua yaitu: 1) Jenis Kualitas tari putri oyi (luruh) 2) Jenis Kualitas tari putri emoral atau endhel (lanyap) Pada Kualitas tari putra alus dibagi menjadi dua yaitu: 1) Jenis Kualitas tari putra alus luruh 2) Jenis Kualitas tari putra alus lanyap. Pada Kualitas gagah dibagi menjadi empat yaitu: 1) Gagah Telengan 2) Gagah Agalan 3) Gagah dugangan 4) Gagah gecul (Santoso Prabawa, wawancara, 1991: 3) Di samping pembagian Kualitas jenis gerak tersebut, terdapat pembagian jenis Kualitas yang lain dan sedikit berbeda dalam pengelompokannya tetapi sama dalam penjabarannya. Menurut Pardi (wawancara, 1990: Mei 26, dalam Wahyudiyanto, 2008: 120). Kualitas Tari Gaya Surakarta Alus Gagah Putri oyi Priya Lanyap Luruh Agal Dugang Lanyap Bapang Raja Bapang Kasatriyan Bapang Punggawa Gecul Dugang Agal Kalang Kinantang Kasatriyan Kalang kinantang Punggawan Bapang Punggawan Raksasa Besar Bapang Jeglong Agal Gecul kambeng Bagan: 3. Diagram Struktur Kualitas Tari Gaya Surakarta 28 Pembagian kualitas gerak tari gaya Surakarta ini mempunyai semacam ketentuan-ketentuan yang mendasarinya. Ketentuanketentuan itu tampak pada/dalam sikap-sikap tertentu, misalnya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sikap tanjak Sikap adeg (posisi tubuh) Sikap polatan (arah pandangan) Sikap Junjungan (angkat/angkatan tungkai) Sikap Jangkahan (langkah kaki) Sikap seleh irama (penggunaan irama) 1. Sikap Tanjak Bentuk tanjak dalam tari gaya Surakarta memperhatikan beberapa faktor. Diambil contoh sikap tanjak kanan: a. Untuk jenis Kualitas Putri Kedua tangkai membuka ke samping, kaki kanan berada tepat di depan kaki kiri, jari-jari kaki kanan di angkat ke atas (nylekenthing), posisi membuka ke samping, lutut ditekuk (mendak) (Periksa gambar 1 dan 2). Gambar 1 Bentuk Tanjak Kanan Putri Dilihat Dari Depan 29 Gambar 2 Posisi Bentuk Kaki Tanjak Kanan b. Untuk Jenis Kualitas Putra Alus Bentuk kedua tungkai dibuka ke samping, tungkai kiri ditekuk sampai lutut kiti mayungi ibu jari kaki kiri, tungkai di bawah kaki kanan tegak lurus. Sedangkan untuk posisi kaki membuka ke samping membentuk garis lurus dari ibu jari kaki kiri dengan tumit kaki kanan, jari-jari kaki kanan diangkat. Lihat gambar 3 dan 4. Gambar 3 Bentuk Tanjak Kanan Alus Dilihat Dari Depan 30 Gambar 4 Posisi Bentuk Kaki Tanjak Kanan c. Untuk Jenis Kualitas Putra Agal (gagah) Bentuk kedua tungkai dibuka ke samping, tungkai kiri ditekuk sampai ujung jari kiri sejajar (lurus) dengan lutut kiri, tungkai kanan ditekuk, tungkai bawah kanan sedikit ke luar dari garis tegak lurus. Sedangkan untuk posisi kaki dibuka ke samping membentuk garis lurus ibu jari kaki kiri dengan tumit kaki kanan, jari-jari kaki kanan diangkat. Lihat gambar 5 dan 6. Gambar 5 Bentuk Tanjak Kanan Gagah Dilihat Dari Depan 31 Gambar 6 Posisi Bentuk Kaki Tanjak Kanan 2. Bentuk Adeg Adeg adalah sikap badan pada posisi tanjak. Dalam tari tradisi Surakarta sikap badan adeg terdapat beberapa macam bentuk. Setiap bentuk memiliki karakteristik yang berbeda. Bentuk adeg yang dimaksud adalah: a. Adeg (Ng)groda b. Adeg angrau akung c. Adeg (n)duran tinangi Dalam penerapannya, bentuk-bentuk adeg ini disesuaikan dengan tari yang dibawakan. Misalnya : a). Bentuk adeg (Ng)groda. Untuk tari putra alus dipakai dalam tari alus cakrak/lanyap seperti tari Bramastro. Untuk tari agal (gagahan) alus lanyap seperti perang Baladewa, untuk gagah agal seperti perang Kangsa dan Rahwana. Adeg bentuk (Ng)groda seperti pada gambar 7. 90 ◦ Gambar 7 Bentuk Adeg (Ng)groda 32 Sikap badan pada posisi ini kepala dan badan sejajar. Bila ditarik dengan garis lantai membentuk sudut 90 derajat. b. Bentuk Adeg Angrau Akung Bentuk angrau akung dipakai secara rata-rata dalam tari putri, terutama pada peran-peran yang bertemperamen lanyap, misalnya: Srikandi, Mustakaweni, Trijatha, dan peran putri lanyap lainnya. Untuk kualitas tari putra alus, adeg angrau akung dipakai untuk peran-peran lanyap seperti tari Karno Tanding, Gambir Anom, Panji. Untuk tari putra gagah bentuk adeg angrau akung dipergunakan untuk karakter gagah agalan, misalnya: Gatutkaca, Antasena, Klana, dan karakter tokoh sejenis. (Perhatikan gambar 8). 60 ◦ Gambar 8 Bentuk Adeg Angrau Akung Sikap badan pada posisi angrau akung kepala dan badan sejajar. Bila ditarik dengan garis lantai membentuk sudut 60 derajat. d. Bentuk Adeg (n)Duran Tinangi Bentuk ini diapakai untuk peran tokoh yang sudah lanjut usia. Untuk tari putra gagah tidak menggunakan bentuk adeg ini karena kualitas gerak yang digunakan tidak/kurang memungkinkan untuk menggunakan bentuk adeg angrau akung. Kualitas tari alus lebih memungkinkan untuk menggunakannya terutama pada tari putra 33 alus luruh seperti peran sengkuni dan pendeta-pendeta tua. (Perhatikan gambar 9). 45 ◦ Gambar 9 Bentuk Adeg (n)Duran Tinangi Sikap badan (n)duran 30 tinangi 31 ini kepada dan badan sejajar. Bila ditarik dengan garis lantai membentuk sudut lebih kurang 45 derajat. 3. Polatan (arah pandangan) Setiap kualitas tari (putri, putra gagah, putra alus) mempunyai semacam pedoman dasar dalam polatan. Tari putri arah pandangan cenderung ke bawah lebih kurang dua sampai dengan tiga langkah ke depan bawah dari posisi berdirinya penari. Untuk tari alus, sebagai pedoman dasar lebih kurang tiga sampai lima langkah ke depan bawah dari posisi berdirinya penari. Kecuali dalam situasi gerakan perang, polatan diarahkan kepada lawan sehingga arah polatan menjadi horisontal. Sedangkan untuk tari gagah pedoman dasar polatan adalah lebih kurang lima langkah ke depan dari posisi penari berdiri sampai horisontal dan atau lebih. 4. Angkatan (junjungan) tungkai Untuk tari putri tidak ada angkatan (junjungan) kaki. Dalam tari alus, junjungan tungkai setinggi betis bawah dengan mata kaki 30 31 (N)duran dari kata duran yaitu kayu pegangan cankul. Tinangi berarti tangi (Jawa) atau bangun berdiri. Tinangi sedang berdiri. 34 di samping dalam. Jarak antara betis kiri dengan tumit kaki kanan yang diangkat adalah satu genggam. Bila dilihat dari samping terlihat satu bidang frontal. (Perhatikan gambar 10). Gambar 10 Dalam Gerakan Mengangkat Tungkai Untuk tari gagah terdapat dua bentuk angkat kaki. Angkat tungkai lurus (jojor) dan angkat tungkai tekuk, tetapi ada angkat tungkai yang secara berkelanjutan menghasilkan dua bentuk yaitu angkat tungkai lurus dilanjutkan tungkai bawah tekuk. Untuk angkatan tungkai lurus, tungkai yang diangkat sejajar horisontal, sedangkan tumpuan lurus vertikal. (Perhatikan gambar 11). Angkatan tungkai ditekuk, tungkai yang diangkat nekuk, tumpuan lurus vertikal. (Perhatikan gambar 12). Gambar 11 Angkat Tungkai Lurus 35 Gambar 12 Angkat Tungkai Tekuk 5. Langkah Kaki (jangkahan) Langkah kaki (jangkahan) atau lumaksana dalam tari gaya Surakarta pada prinsipnya sama dari berbagai jenis kualitas gerak tari. Tetapi masing-masing kualitas dibatasi ketentuan tentang keluasan volume geraknya. Ada dua bentuk langkah, langkah (lumaksana) impur dan mager timun. Untuk Kualitas tari putri menggunakan langkah mager timun tetapi langkahnya dipersempit. Untuk kualitas putra alus menggunakan kedua bentuk tersebut. Sedangkan untuk kualitas tari gagah menggunakan langkah impur dengan letak kaki diperluas (keluar) dan memakai langkah mager timun untuk lumaksana glebagan. Lihat gambar 13 dan 14. Gambar 13 Lumaksana Impur 36 Gambar 14 Lumaksana Mager Timun 6. Keluasan Gerak (volume) Sesuai dengan kualitasnya, setiap jenis gerak mempunyai ukuran dasar keluasan geraknya. Misalnya pada gerak penthangan tangan, langkah kaki, bentuk tanjak dan lain-lain. Tiap-tiap kualitas memiliki kesesuaian (mungguh/trep) yang seimbang. (Periksa kembali gambar 1 – 9 dan 10 – 14). 7. Penggunaan Irama Tari gaya Surakarta mengenal berbagai macam jenis ”seleh” irama (penggunaan irama), diantaranya adalah; a. Mendahului seleh irama atau disebut “nujah”, adalah akhir gerak dari setiap pelaksanaan ragam gerak yang mendahului seleh irama (musik) kempul, kenong atau gong. b. Gerak yang tepat/pas dengan irama musik atau disebut “prenjak tinaji” adalah irama gerak selaras dengan irama musik. c. “Ngereni” yaitu seleh gerak dilakukan setelah seleh irama musik (gong, kethuk, kenong). Penggunaan irama yang demikian itu dinamakan “Ngganggeng kanyut” (nggandul). Atas dasar uraian tersebut dapat dipahami bahwa tari gaya Surakarta memiliki kualitas yang lengkap berdasarkan konstruksi kemanusiaan. Manusia yang terdiri dari dua jenis kelamin yang keduanya mempunyai perbedaan signifikan berdasar anatomi dan 37 sifat-sifatnya. Anatomi dan sifat manusia yang beragam dari kedua jenis kelamin tersebut mendapatkan apresiasi mendalam dalam tari gaya Surakarta dengan diciptakannya tarian sebagaimana kebutuhan kemanusiaan tersbut. Oleh karena itu pilihan kualitas sangat ditentukan oleh jenis dan sifat kemanusiaan utamanya manusia Jawa dalam perspektif manusia Jawa yang menganut kebudayaan Jawa (keraton Kasunanan). 3 Kaidah-Kaidah Tari Gaya Surakarta Tari tradisi yang merupakan bentuk pewarisan generasi sebelumnya dihayati sebagai perwujudan simbolis nilai-nilai masyarakatnya. Sebagai perwujudan nilai yang terekam dalam keseluruhan bentuk tari, nilai simbolik tersebut secara berkelanjutan dipahami untuk diteruskan kepada generasi berikutnya. Penerusan ini didasarkan pada keyakinan bahwa tari gaya Surakarta yang merupakan produk kebudayaan besar pada masa lalunya masih memiliki bobot atau kualitas kontekstual dengan masa kini dan ke dapan. Keyakinan ini yang melahirkan bakuan-bakuan pada aspek fisik dan non fisik tari. Fisik tari mencakup keseluruhan yang teramati oleh penginderaan termasuk di dalamnya adalah teknik pelaksanaan gerak. Non fisik tari adalah yang terbayangkan melalui penghayatan. Tari gaya Surakarta, oleh para penyangganya akan terus dikontekstualisasikan untuk penyesuaian jaman. Fakta yang menyebut kontekstualisasi tari gaya Surakarta ini tercermin dalam ungkapan budayawan Surakarta yang memiliki andil besar terhadap kehidupan tari gaya Surakarta: “Pandangan bahwa tari tradisi itu warisan nenek moyang yang harus dipepetri dan diuri-uri juga diikuti oleh sebagian besar seniman tari tradisi. Dari itu tumbuhlah kecenderungan untuk memberi sifat langgeng terhadap seni tradisi, yaitu sifat tanpa batas waktu dalam memberi nilai kepada seni tradisi. Kecenderungan semacam itu mendorong mereka untuk menerapkan ciri-ciri seni tradisi sebagai sesuatu yang sifatnya mutlak. Sikap seperti ini rupanya yang melatarbelakangi tumbuhnya paham waton yaitu semacam aturan atau pedoman teknik penggarapan seni tradisi” (Humardani, 1980: 14-15). Ungkapan Humardani ini didasari oleh keadaan yang memang terjadi di dalam kehidupan seni tradisi. Pada tari gaya Surakarta, para seniman pendahulu telah merumuskan semacam aturan yang akrab disebut sebagai wewaton. Bahwa menari bagi penari harus memahami dan menghayati benar tariannya hingga benar-benar dikatakan sebagai (m)beksa. Prinsip dasar 38 (m)bekso adalah: wiraga, wirama, dan wirasa, artinya seorang penari untuk dikatakan telah (m)beksa atau menari, harus sudah selesai memahami ketiga prinsip dasar tersebut dan sudah harus pada tingkat penghayatan dalam pelaksanaannya. Lebih dari tataran beksa yang bersiwat ragawi dan rasa, tari gaya Surakarta mengenal konsep kepantasan budaya sebagai bentuk penghayatan tariannya. Untuk memasuki wilayah tersebut, penari dituntut memahami dan menghayati dalam beksa-nya apa yang dikatakaan sebagai: sengguh, mungguh, dan lungguh. Sengguh, mungguh, dan lungguh adalah konsep kepantasan yang menjiwai tari. Ketiga konsep tersebut dijelaskan sebaagai berikut: Sengguh : Pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam menjiwai/mengungkapkan tari yang dipentaskan/ digarap. Mungguh : Pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam menyesuaikan tari yang dijasikan/digarap dengan elemen-elemen lainnya seperti: tema, gending, gandar, rias busana dan lainya sebagai kesatuan rasa tari. Lungguh : pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam menentukan posisi (kedudukan) ketika menyajikan/ menggarap tari seperti misalnya: lungguhing tari Bedhaya akan berbeda dengan lungguhing tari Gambyong. Lungguhing satriya akan berbeda dengan lungguhing pendhita, dan lain sebagainya. (Santoso Prabawa, 2000:7) Wiraga, wirama, dan wirasa sebagai konsep beksa pada tingkat rasa atau pengawakan 32 , dan sengguh, mungguh, lungguh adalah prinsip-prinsip kepantasan budaya merupakan wewaton yang musti diterapkan oleh penari tari Jawa gaya Surakarta. Lebih teknis terdapat pula kaidah-kaidah yang memberi ikatan teknis pelaksanaan gerak kaitannya dengan ruang, waktu, dan juga irama (gendhing), dan juga tercermin nilai kepantasan budaya yang menyebabkan tarian tersebut dikatakan “sampurna”apabila pelaksanaan kaidah tersebut secara benar dan baik. Konsep panindhaking beksa “sampurna” tersebut dikenal 32 Pengawakan adalah istilah yang dimaksudkan untuk memberi bobot bahwa seorang penari Jawa Surakarta telah menerapkan secara baik prinsip-prinsip menari setelah pada tingkat ragawi berlanjut pada tingkat rasa yaitu menari dengan keselarasan gerak dengan irama yang menghasilkan paduan yang dapat dirasakan serasi. 39 sebagai Hasta Sawanda 33 yakni: 1) pacak, 2) pancat), 3) ulat, 4) lulut, 5) luwes, 6) wilet, 7) irama, dan 8) gendhing. Konsep Hasta Sawanda tersebut merupakan gagasan seorang empu tari gaya Surakarta bernama R.T Atmakesawa. Disamping sebagai konsep beksa sampurna juga sebagai dasar seseorang untuk mencapai tataran kualitas kepenarian menuju lebih baik (Nanik dkk, 2007: 4546). Dengan sederhana, kaitan konsep wiraga, wirama, dan wirasa dengan Hasta Sawanda dapat digambarkan sebagai berikut: Tari Gaya Surakarta Wirama Wiraga Pacak Pancat luwes Irama gendhing Wirasa ulat lulut wilet Bagan: 4. Diagram kaidah teknik gerak tari gaya Surakarta Terdapat pula kaidah-kaidah yang juga dijadikan pijakan dalam menjalankan teknik bergerak yang menuju pencapaian karakter tertentu. Tiga jenis kualitas yakni: kualitas putri, alus, dan gagah itulah yang kemudian melahirkan berbagai jenis motif dan teknik gerak. Kesemuanya dimaksudkan untuk dapat mewujudkan karakter tertentu tersebut. Kualitas tari alus misalnya di dalamnya terdapat dua karakter yaitu luruh dan lanyap. Perbedaan luruh dan lanyap diketahui melalui perbedaan volume atau lebar sempitnya ruang gerak anggota badan atau tubuh penari, antara lain gerak penthangan tangan ke samping kiri atau ke kanan, tinggi rendahnya arah pandang mata atau polatan. Jarak langkah atau tumpuan kedua kaki dan besar kecilnya gerak kepala. Karakter lanyap menggunakan volume gerakan yang lebih lebar dibandingkan karakter luruh. Dalam karakter luruh terdapat pula kualitas gerak yang disebut “mbanyumili’ 34 dan irama gerak yang ‘ngganggeng kanyut 35 . Karakter luruh dapat diketahui dari peranan Arjuna, Abimanyu, Rama Wijaya, Lesmana, Inu Kertapati. Sedangakan karakter lanyap dapat 33 Disebutkan bahwa menurut para empu dan guru tari gaya Surakarta, Hasta Sawanda mulai diperkenalkan dan berkembang sekitar tahun 1950-an sejak berdirinya Himpunan Budaya Surakarta (HBS) 34 Mbanyumili mengumpamakan gerak bagaikan air yang mengalir tiada putus. 35 Ngganggeng Kanyut mengandaikan gerakan yang selalu tertinggal oleh irama gendhing 40 diidentifikasi melalui pemeranan Karna, Dewa Srani, Bambir Anom, Gunung Sari, Gunawan Wibisana, dan sejenisnya. Tari putri juga memiliki dua karakter yaitu luruh (oyi), dan lanyap (endhel). Seperti pada karakter tari alus, pada tari putri juga tidak ada beda untuk mengetahui perbedaan karakteristiknya. Hanya saja bentuk dan jangkauaan gerakan tari putri lebih sempit dan gerakannya lebih dekat dengan badan, utamanya pada bentuk adeg (perhatikan gambar: 1 dan 2). Bentuk dan letak kaki serta tungkai lebih sempit dari tari alus. Karakter luruh (oyi) dapat dilihat pada tokoh Sembadra, Kunthi, Sinta, dan Sekartaji. Sedangkan karakter lanyap (endhel) seperti tampak pada peranan Srikandhi, Banowati, Mustakaweni, Pergiwa dan Pergiwati. Tarian dalam genre Gambyong dan Golek juga termasuk dalam karakter endhel. Pada tari Bedhaya dan Srimpi termasuk jenis karakter oyi yang “mbanyumili’ dan irama geraknya “ngganggeng kanyut”(Nanik dkk, 2007: 45-57). Demikian rinci karakteristik perwatakan peranan pada tarian gaya Surakarta yang dicapai melalui kaidah-kaidah yang sangat rinci dan detail. Yang demikian merupakan bentuk apresiasi mendalam para penyangga seni tari gaya Surakarta untuk dapat menjaga kelestarian produk budayanya. Namun demikian dari waktu ke waktu kaidah tersebut mengalami penyesuaian sebagaiman disebut oleh Humardani sebagai memberi nilai pada seni tradisi oleh masyarakatnya. Hal senada juga disampaikan oleh Van Peursen sebagai berikut: Tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, atau adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tatapi tradisi bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah: tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia yang diangkat dalam keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan Sintisi itu; ia menerima, menolak, atau mengubahnya. “Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan riwayat manusia yang selalu memberiu wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada (Peursen, 1976:11) Kaidah-kaidah tari gaya Surakarta selain yang berkaitan dengan gerak, aspek lain yang juga berperan memberi kekuatan rasa tari adalah tata rias dan tata busana. Prinsip yang berkenaan dengan tata rias dan tatan busana adalah mendukung, menguatkan, dan juga menghadirkan karakteristik tari. Humardani dalam tulisannya menyebutkan: ‘Kemungguhan dapat diartikan sebagai ketepatan wujud tari, wujud kesatuan tari, wujud yang dijelmakan oleh penari dalam sajian tarinya. Wujud tari itu bukan hanya mengenai bentuk (tangguh dan bleger) tubuh 41 belaka. Demikian juga kemungguhan bukan semata-mata ketepatan wujud kesatuan tari yang timbul dari bentuk (bleger) tubuh yang ditarikan penari belaka, melainkan yang timbul dari kesatuan unsur-unsur gerak dan bentuk tubuh dan unsur-unsur penunjangnya, seperti: tata rias, tata busana, tata iringan, tata panggung (setting, dekorasi, dan lain-lain), dan tata cahaya’ (Humardani, 1991: 31) Tata rias dan tata busana pada tari gaya Surakarta karena berkaitan langsung dengan kehidupan manusia dan mendapat acuan langsung dari sumber-sumber cerita yang dikenal luas secara umum utamanya penganut budaya Jawa seperti cerita Mahabarata, Ramayana, Panji, dan sejarahsejarah lokal maupun sejarah wilayah atau negara yang memiliki hubungan dengan Jawa mendapat apresiasi mendalam dalam tari gaya Surakarta. Secara detail penampilan fisik terperhatikan dengan seksama. Ini merupakan kaidah yang dilakukan dengan ketat di dalam tari gaya Surakarta. 4. Garap Koreografi Tari Gaya Surakarta Bermula dari tari Bedhaya dan Srimpi yang lebih dahulu, tari gaya Surakarta kemudian tercipta dalam berbagai genre seperti disampaikan pada bab. sebelumnya yaitu Gambyong, Golek, Wireng, Pethilan, Wireng Pethilan, Wayang Wong atau Wayang Orang, Dramatari atau Sendratari, dan tarri Kelompok Bertema yang lahir pada era terakhir saat ini. Bedhaya sebagai genre pemula dalam tari keraton kemudian menginspirasi pada genregenre berikutnya yang lahir setelahnya. Menginspirasi yang dimaksud adalah dalam hal penggunaan garap struktur tariannya. Menilik garap tari Bedhaya dapat dilihat secara struktural yakni: 1) maju beksan, 2) beksan, 3) beksan perang, dan 4) mundur beksan. Maju beksan tari Bedhaya dimulai dari gedhongan 36 atau gawang supana 37 dengan posisi penari dan penataan gerak berjalan menuju panggung utama. Bagian beksan adalah bagian utama dengan penataan gerak dari beberapa sekaran/vokabuler gerak. Bagian beksan perang merupakan kelanjutan dari beksan yang berisi perang. Dalam Bedhaya yang abstrak ini, perang sangat sulit dideteksi oleh orang yang belum terbiasa menyaksikan tari Bedhaya 36 Gedhongan adalah tempat persiapan penari di tempat merias diri dan mengenakan kostum menari. Kalau di pendapa, maka gedongan adalah di gedung penunjang pendapa yang berada di belakang pendapa. 37 Gawang Supana dalam pemahaman tradisi adalah tempat atau posisi penari ketika melakukan permulaan menari yaitu gerakan sembah awal dan sembah akhir menari. letaknya adalah di tengah belakang 42 sehingga tampak seperti bukan perang, karena perang didesain dengan penataan gerak yang mengunakan arah hadap, adu bahu kiri atau kanan dan permainan sampur. Bagian terakhir adalah mundur beksan. Mundur beksan kebalikan dari maju beksan. Mundur beksan ditata untuk menuju gawang Supana yang dalam hal ini (tari Bedhaya) adalah gedhongan. Yaitu gerakan yang didesain berjalan menuju gawang Supana atau gedhongan. Garap struktur tari Bedhaya ini kemudian dipakai sebagai pedoman atau menginspirasi genre tari Wireng, Wireng Pethilan, Pethilan, Srimpi, Gambyong, dan Golek. Sedangkan Wayang Wong, Dramatari, dan Kelompok Bertemai sebagai genre yang belakangan lebih leluasa dipengaruhi plot, dan adegan dari cerita yang melatarbelakangi. Tambahan yang menarik pada genre Wireng, Pethilan, dan Wireng Pethilan adalah pada bagian beksan perang. Pada genre ini, perang cukup bervariasi. Terdapat perang madras (perang gendhing), perang tangkepan, dan perang ruket. Senjata yang dipergunakan juga bervariasi seperti perang gada, perang keris, perang dhadhap, perang jemparing, perang lawung, dan perang dengan senjata lainnya. Garap struktur tari gaya Surakarta tersebut merupakan produk dari dalam keraton. Ketika keluar keraton lahir ciptaan-ciptaan baru yang masih berpedoman pada garap yang seperti ada pada keluaran keraton. PKJT dan ASKI (sekarang ISI) Surakarta adalah contoh nyata lembaga kesenian di luar keraton melalui jalan rekonstruksi dan revitalisasi (pemadatan dan penciptaan baru) cenderung ketat berpijak pada penggarapan yang sama dengan yang dari keraton. Hal ini dapat dilihat pada hasil-hasil pemadatan dan penciptaan baru karya tari dari ISI Surakarta tidak ada perubahan struktur garap. Variasi sangat mungkin dilakukan untuk memberi nilai baru sebagai bentuk penyesuaian terutama pada genre Bedhaya, Wireng, Pethilan, dan Wireng Pethilan. 5. Tema Sebagai Pembentuk Karakter tari gaya Surakarta Tema dalam tari adalah pokok persoalan yang diangkat sebagai fokus isi tari. Apa saja bisa dijadikan tema tari dengan pertimbangan, tema dapat ditarikan. Berbagai sumber untuk mendapatkan tema meliputi, Cerita, dongen, legenda, epos, vabel, dolanan anak, sejarah, aktivitas manusia, alam lingkungan, rita pribadi, dan bahkan mimpi-mimpi. Sedangkan karakter, dalam bab. satu (1) Tasman menjelaskan secara umum karakter sebagai perbuatan seseorang yang meninggalkan bekas hingga 43 mencerminkan pribadinya. tiga hal yang mempengaruhi adalah : 1) tipologi tubuh, 2). Temperamen, dan 3). Watak 38 . Lebih jauh Tasman memberi definisi karakter dalam kesenian sebagai suatu permainan yang bermula dari imajinasi dan persepsi seseorang pada teknik bahan sebagai medium untuk mewujudkan bentuk objek fisik. Dengan demikian maka hubungan tema dengan karakter adalah kesatuan wujud antara imajiasi dan persepsi seseorang terhadap nilai diambil dan/atau diinspirasi oleh sumber-sumber tema yang terpilih kemudian dimainkan melalui garap medium. Tema-tema terpilih dalam konteks tari gaya Surakarta lebih pada cerita yang terdapat pada epos Mahabarata, Ramayana, siklus Panji, sejarah lokal, dan aspek kemanusiaan lainnya. Beragam tingkah laku manusian yang terdapat dalam cerita-cerita tersebut berakibat pada: kegembiraan, kebahagiaan, keadilan, kesedihan, kemarahan, manembah, cinta kasih, kekecewa, kecerobohan, keculasan, kelicikan, dan aspek emotif manusia merupakan nilai-nilai sebagai cermin hidup yang dialami dahulu, saat ini, dan saat yang akan datang. Dalam kenyataannya nilai-nilai tersebut terus hidup, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan menbudayanya. Interaksi individu, sosial, yang imanen, dan transenden dan banyak lagi adalah sumber inspirasi yang selanjutnya dijadikan tema-tema karya tari. Dengan ungkapan singkat bahwa tari gaya Surakarta adalah menggarap manusia dengan segala permasalahan batin dan sosialnya. Tema-tema kemanusiaan tersebut ditampilkan melalui Wujud fisik dalam bentuk figur manusia yang diidealkan sifat-sifatnya. Yang baik dan/atau yang buruk, yang alus dan/atau yang kasar, yang serius dan/atau yang humuris, yang tampan rupa dan/atau yang buruk rupa, yang perkasa dan/atau yang lemah, dan sifat-sifat kemanusiaan lainnya dengan meminjam figur-figur yang terdapat dalam cerita yang dikenal masyarakat luas. Seperti misalnya cerita dalam kisah Mahabarata, Ramayana, Panji, Serat Lokapala, cerita rakyat, mitos. Legenda, dan sumber-sumber cerita kemanusiaan lainnya. Karena bersifat kemanusiaan, berbagai jenis dan sifat fisik dijadikan acuan untuk menghadirkan sosok, figur pemeranan tokoh tertentu. Bentuk tubuh seseorang yang dinamakan “gandar” (postur tubuh) kemudian mendapat perhatian khusus dalam penentuan tokoh dan atau sarana ungkap peranan. Ketelitian dalam menentukan bentuk tubuh yang membawa imaginasi tentang sifat dan 38 Perikasa Tasman dalam Analisa Gerak dan Karakter. 2006, Surakarta, ISI Press. 44 karakternya merupakan upaya menghadirkan tema-tema tarinya. pencapaian keberhasilan untuk Dapat dicontohkan: Tokoh Arjuna/Janaka itu cocok apabila orang yang tubuh fisiknya langsing dan mempunyai karakter tenang dan lembut tingkah lakunya. Tokoh Bratasena adalah gambaran figur manusia yang kekar perkasa, maka dibutuhkan bentuk tubuh penari yang tinggi besar, suara dengan nada rendah dan berat, dan lain-lain meskipun kadang kala penyesuaian figur tokoh yang diidealkan dengan bentuk tubuh penari yang sesuai menurut ukuran fisiologi bisa dipatahkan dengan pilihan bentuk dan sifat tubuh penari yang paradok dengan idealisasi tersebut tetapi memiliki kemampuan melakukan kualitas gerak dengan teknik yang baik dan benar. Tetapi secara umum wewaton normatif tetap dijadikan pijakan pertama dan utama. Berikutnya ini digambarkan bagaimana tematema tari gaya Surakarta diwujudkan dalam bentuk sehingga mendapatkaan gambaran nyata perwujudan fisik dan karakteristik seperti yang diidelakan. Perwujudan Tema dalam karakter Tari Gaya Surakarta Genre Wayang Wong. Tubuh, bentuk, anatomi dan penampilan fisik dalam budaya tari Jawa yang disebut gandar, adalah bahan prasyarat untuk memunculkan secara fisik karakter tarian. Meskipun bersifat normatif, prasyarat ini lazim dilaksanakan dan hampir dipatuhi secara ketet oleh masyarakat tari yang menggunakan figur wayang dan atau manusia ideal sebagai acuan menghadirkan karakter. Telah ada semacam kepastian tentang kesesuaian yang harus disediakan antara bentuk dan anatomi tubuh dengan citra yang ditampilkan untuk menghadirkan karakter dalam tarian. Dalam kajian ini, karakter tarian dalam genre Wayang Wong ditentukan menjadi tiga kelompok yaitu: kualitas gagah, kualitas alus, dan kualitas putri. Setiap kelompok mencerminkan karakteristik yang secara fisik diwarnai oleh gandar. Menentukan jenis dan ukuran tubuh (gandar) untuk disesuailkan dengan figur imajiner suatu peranan, memang tidak menggunakan patokan tertentu, dengan alat ukur tertentu misalnya alat ukur untuk menentukan berat dan tinggi badan calon pemeran dan seterusnya. Memilih cukup dengan intuisi disesuaikan dengan keadaan yang ada di lingkungannya. Untuk memilih peran Bratasena penyesuaiannya dengan bentuk ideal figur Bratasena cukup dengan memilih orang (penari atau pemeran Wayang Orang) 45 yang relatif paling besar diantara ukuran orang terbesar yang ada di lingkungannya. Keadaan sedemikian dapat dicontohkan fenomena yang ada di masyarakat tari dan Wayang Orang sebagai berikut: Bentuk Tubuh Tarian Gagah (kualitas Wrekudara) Gambar : 15a Figur wayang Wrekudara yang tinggi besar Gambar: 15b Sosok tubuh manusia yang dipilih diperkirakan mendekati emajinasi sosok Wrekudara Gambar 15c Sosok tubuh manusia yang dipilih yang telah dikenai garap gerak tata rias dan busana untuk peran figur Wrekudara Wrekudara digambarkan sebagai laki-laki perkasa, tinggi, besar, berotot. Memiliki nada suara yang sangat rendah dan mampu berbicara berat tetapi menggelegar. Berpenampilan tenang, tatapan mata yang tajam (Gambar: 15). Bentuk Tubuh Tari Gagah (kualitas Gatutkaca) Gambar: 16 a Figur Wayang Gatutkaca gagah dan cakap Gambar: 16 b Sosok tubuh manusia yang dipilih diperkirakan mendekati emajinasi figur gatutkaca Gambar : 16 c Sosok tubuh manusia yang dipilih yang telah dikenai garap gerak tata rias dan busana untuk peran figur Gatutkaca 46 Peran Gatutkaca dan karakter sejenis digambarkan sebagai laki-laki dengan bentuk tubuh atletis, tidak gemuk. Postur dan anatomi tubuh sempurna. Memiliki nada suara cenderung rendah dan bicara yang berat. Seperti gambar : 16. Bentuk Tubuh Tari Alus (kualitas Arjuna) Gambar : 17 a Wayang Arjuna figur lakilaki yang langsing Gambar : 17 b Sosok tubuh manusia yang dipilih diperkirakan mendekati emajinasi figur Arjuna Gambar : 17 c Sosok tubuh manusia yang dipilih yang telah dikenai garap gerak tata rias dan busana untuk peran figur Arjuna Peran Arjuna dan karakter sejenis diidealkan sebagai laki-laki yang tidak terlalu kurus, tidak terlalu gemuk, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, tidak feminin juga tidak terlalu maskulin. Gandar sedemikian diperhatikan dengan seksama termasuk ukuran gerak, cara dan nada bicaranya. Dalam kebiasaan pemeranan figur Arjuna dan peran sejenis digambarkan kurang lebih sebagaimana pada gambar: 17. Bentuk Tubuh Tari Putri (kualitas Sinta) Gambar : 18 a Figur Dewi Sinta dalam wayang kulit digambarkan sebagai wanita yang lembut Gambar : 18 b Sosok tubuh manusia yang dipilih diperkirakan mendekati emajinasi sosok Dewi sinta Gambar : 18 c Sosok yang dipilih yang telah dikenai garap gerak tata rias dan busana untuk peran figur Dewi Sinta 47 karakter putri (kualitas Sinta) digambarkan sebagai perempuan feminin, cantik, tubuh semampai, tidak kurus juga tidak gemuk, rambut panjang terurai, suara merdu merayu, tenang dalam penampilan, diwujudkan seperti gambar : 18. 48 49 BAB III KONSEP KEINDAHAN DAN TEKNIK GERAK TARI GAYA SURAKARTA 1. Konsep Keindahan Tari Gaya Surakarta Masyarakat Jawa memandang keindahan atau yang indah bukan sebatas hasil dari kemampuan penangkapan objek oleh inderawi. Keindahan atau yang indah adalah yang adi luhung. Adi luhung dipahami sebagai yang baik atau bahkan yang lebih baik dan luhur. Dalam kebahasaan Jawa, adi luhung mengandung pengertian yang lebih (adi) dan luhur (luhung). Indah (jawa=endah) berarti juga elok 33 . Adi luhung berarti keindahan melebihi apa yang sekedar dilihat dan didengar, karena disamping menyangkut ketajaman inderawi yang menghasilkan rasa indah juga memasuki wilayah etika. Etika berarti norma-norma, budi pekerti, tindak kesopanan (sopan santun) dalam kemasyarakatan yang harus terlibat di dalam wujud-wujud yang indah. Yang indah berarti yang etis. Makna Adi luhung berarti indah yang juga etis, baik dan luhur (tinggi) pada budi pekerti. Dalam konsep keselarasan masyarakat Jawa, yang adi Luhung berarti yang benar. Benar dalam perspektif logika, rasa, budaya, dan religius. Untuk memahami yang benar sedemikian kompleks dalam wujud yang indah ini sudah barang tentu memerlukan kajian yang jauh lebih mendalam. Pada pembahasan ini peneliti menelusuri yang benar dalam konteks keindahan perspektif masyarakat Jawa yang di ungkapkan dalam kebenaran rasa. Oleh beberapa penelitian, telah diungkap perihal rasa, cakupan dan maknanya. Penelitian yang menarik tentang rasa adalah yang dilakukan oleh Marc Benamou dalam tulisannya berjudu Rasa in Javanese Musical Aesthetics 34 . Benamou membedakan rasa atas: 1) rasa sebagai kualitas, 2) rasa sebagai bakat, dan 3) rasa sebagai kemampuan persepsi. 33 Elok dipahami sebagai yang menyenangkan, kenikmatan, khusuk, yang kemudian berkembang lagi yang menggairahkan, lucu, menegangkan, menakutkan, mengerikan, dan keadaan-keadaan lain yang ditimbulkan oleh pacu, memberi rangsangan penginderaan yang dapat menambah nilai bagi kemanusiaan. 34 Simak Marc Benamou, Rasa in Javanese Musical Aestetics. USA: UMI, 1998. 49 Sebagai kualitas, rasa dalam karawitan Jawa dianalogikan dengan persepsi rasa pada lidah, seperti: cemplang, langu, enak, empuk, renyah, manis, getir, pedas. Analogi ini menunjuk pada rasa sebagai citra yang mengemuka dalam penyajian gending yang berkualitas sehingga menetaskan rasa gending yang: regu, sereng, sedih, prenes, berag, dan gecul. Enam kelompok rasa yang dikategorikan Benamou ini menjadi kunci bagi penyajian gending karawitan Jawa yang berhasil sesuai dengan kelompok gending dengan citra rasa yang dimaksud Benamou tersebut. Sebagai bakat, rasa adalah citra gending yang berhasil mengemuka karena kemampuan para pengrawit dalam mengungkap rasa gending yang dimaksud. Kemampuan bukan saja tergantung pada ricikan garap pada keseluruhan permainan instrumen, tetapi kemampuan interpretasi teks pada konteknya. Rasa sebagai kemampuan persepsi menunjuk pada kepekaan dalam mendengar, merasakan, dan memahami melalui intuisi (Sunardi, 2013: 126-127). Dari pembedaan rasa sebagai kualitas, bakat, dan persepsi serta pengelompokan rasa menjadi enam kategori yang: regu, sereng, sedih, prenes, berag, dan gecul menghadirkan pemahaman bahwa rasa merupakan landasan berekspresi untuk menghasilkan karya seni karawitan yang indah. Sebagai ekspresi, rasa sangat terkait dengan teks dan konteks penyajiannya. Terkait dengan teks, rasa bertalian dengan karakteristik gending, pitch, waktu, dinamika, timbre, dan syair vokal. Secara konteks, rasa berkorelasi dengan pengrawit, penghayat, dan konteks sosialnya. Memahami penjelasan Benamou ini dapat ditarik pengertian yang sama dengan rasa yang ada dalam tari Jawa Gaya Surakarta. Rasa dalam karawita Jawa gaya Surakarta berbanding lurus dengan rasa dalam tari Jawa gaya Surakarta. Atau pada prinsipnya, rasa sebagai kebenaran dalam wujudwujud indah yang tercermin dalam pertunjukan tari gaya Surakarta mengandung ungkapan-ungkapan yang sama dalam rasa-rasa seperti dikategorikan Benamou. Regu, sereng, sedih, prenes, berag, dan gecul adalah istilah rasa yang muncul sebagai tanggapan atas tari dalam keadaan proses pertunjukan. Menindaklanjuti pemahaman rasa dari Benamou, tulisan tentang tari gaya Surakarta ini menggunakan landasan prinsip-prinsip keindahan menurut Djelantik, bahwa yang indah itu memiliki tiga aspek mendasar yaitu: 1) wujud atau rupa, 2) bobot atau isi, dan 3) penampilan (Djelantik, 1999: 1617). 50 Kesenian adalah wujud nyata yang dapat dicerap secara inderawi. Dalam kaitannya dengan tari, wujud yang tampak sangat berbeda dengan seni yang lain seperti seni rupa (visual art) atau seni suara yang (audio art). Tari bersifat kinetik kinestetik, maka kajiannya menggunakan ilmu gerak. Sedangkan bobot atau isi sangat terkait dengan gagasan dan pesan. Keduanya melekat disajikan dalam bentuk penampilan. Ketiga aspek mendasar yang disampaikan Djelantik ini mendapat penguatan dari pikiran De witt H. Parker dalam bukunya The Principles of Aestethiccs yang diterjemahkan SD. Humardani di dalam bukunya Dasar-Dasar Estetik, membatasi enam pokok prinsip keindahan, yang meliputi: the principle of organic unity ( asas kesatuan utuh), Principle of theme (asas tema), the principle of thematic variation (asas variasi menurut tema), the principle of balance (asas keseimbangan), the principle of evolution (asas perkembangan), dan the principle of hierarchi (asas tata jenjang). Memahami pendapat Djelantik dan Humardani dapat diketengahkan bahwa tari gaya Surakarta dalam melihat bentuk atau wujud dan isi adalah dua yang melebur sebagai satu kesatuan disebut sebagai rasa. Rasa sebagai kesesuaian antara makna dan ungkapan yang dituangkan ke dalam garap medium gerak. Artinya bahwa keindahan tari gaya Surakarta terletak pada rasa. Sedangkan bentuk tari merupakan wujud fisik merupakan kekuatan untuk sarana melihat kedalaman isinya. Lebih jauh Humardani melihat kesatuan wujud yang dibangun atas enam prinsip keindahan dan kesatuan bentuk dan isi sebagai suatu “kemungguhan”. Humardani dalam: Pemikiran dan Kritiknya menganggap mungguh memiliki arti dasar ketepatan wujud yang diamati melalui bentuk dan isi secara menyeluruh (1991:26). Berkait erat dengan pendapat Djelantik dan Humardani, dalam tari gaya Surakarta terikat oleh kausalitas kebudayaan Jawa. Bahwa dalam kebudayaan Jawa terdapat pandangan tentang karakter alus dan kasar. Karakter alus dan kasar sebagai perilaku manusia dalam budaya Jawa dipahami sebagai dualitas binair yang terus menerus berinteraksi dialogis membentuk peradaban Jawa. Dua karakter ini kemudian dipahami sebagai sebuah nilai yang diwujudkan ke dalam bentuk-bentuk yang diantaranya berupa seni tari. Seni tari gaya Surakarta yang sarat dengan perwujudan karakter-karakter manusia yang diorientasi oleh Kebudayaan kuno Hindu dari India. Berbagai cerita kedewaan, kemanusiaan sebagai titisan dewa, dan kemanusiaan seutuhnya yang harus menjalani dharmanya dalam 51 kehidupannya. Kebudayaan Hindu tersebut kemudian dijawakan (menjadi Jawa) sebagai kebudayaan sendiri yang khas kejawaannya. Dengan demikian tari Jawa gaya Surakarta adalah medan untuk mempertemukan kesenian Jawa dengan masyarakat Jawa dalam landasan keindahannya. Alus dan kasar adalah rasa yang mempertemukan kesenian dengan karakter manusia Jawa dalam kebudayaannya. Maka dalam merasakan karakter yang alus dan yang kasar dalam tari gaya Surakarta sama halnya memahami karakter manusia Jawa. Maka bagi orang Jawa kesenian tari dirasakan penting kehadirannya di dalam kebudayaannya. Dari tari masyarakat dapat langsung bercermin dan terus menjadi inspirasi perilaku nyata dalam kehidupan masyarakatnya. Pertemuan nilai-nilai terjadi dalam suatu sistem budaya dalam kebudayaan Jawa, sehinggan tari yang dihadirkan oleh masyarakatnya dipahami sebagai bagian budaya. Untuk mencapai karakter menjadi sebuah nilai keindahan dalam wujud tari tidak lepas dari gerak sebagai media ungkap. Gerak dilakukan oleh penari untuk dihayati sampai pada tingkat rasa. Rasa dibangun melalui pencapaian karakteristik yang ditemakan oleh tari. Rasa juga dibentuk melalui suasana dramatik, yang ditentukan oleh faktor teknik pelaksanaan gerak, ritme, tempo, volume, bentuk gerak, dan rasa gendhing. Rasa juga diinspirasi oleh interpretasi penari yang diambil dan/atau diinspirasi oleh sumbersumber otentik yang ditemakan oleh tari itu sendiri. Rasa tari didasari pula oleh kepantasan-kepantasan budaya, maka kemungguhan tari merupakan kesatuan wujud keindahan yang diidealkan oleh masyarakat tari dimana tari itu hidup, tumbuh, dan berkembang. Tari gaya Surakarta merupakan kompleksitas dari bangunan rasa-rasa kemanusiaan masyarakat penganut kebudayaan Jawa Kasunanan Surakarta. Kita ketahui bahwa tari gaya Surakarta terdiri dari tiga (3) kualitas yaitu: Tari puti, tari alus, dan tari gagah dengan perincian detailnya sendirisendiri. Tari gaya Surakarta juga terdapat lebih dari sepulu (10) jenis genre tari, yakni: Bedhaya, Srimpi, Gambyong, Golek, Wireng, Pethilan, Wireng Pethilan, Wayang Wong, Dramatari atau Sendratari, dan Kelompok Bertema. Saat sekarang ini tentu berkembang genre atau sub. genre yang mungkin belum terdeteksi dalam tulisan ini. Kesemua jenis kualitas dan jenis genre membicarakan, memahami, menghayati, dan melakukan apa yang dikatakan sebagai karakter, dramatikal, suasana, dan pencapaian kualitasnya masing-masing. Kesemuanya menyusun dan mencapai keindahan yang dikerangkakan dalam 52 ungkapan kata-kata khas dan spesifik pula sebagai yang: regu, sereng, sedih, prenes, berag, dan gecul. Enam kelompok karakteristik sebagaimana dikategorikan Benamou tersebut ditampakkan melalui apa yang dinamakan sebagai greget dalam penyajian tarinya. Kesemuanya merupakan wujud dari keindahan sendiri-sendiri yang spesifik khas tari gaya Surakarta. Keindahan yang dimaksud juga tercermin di dalamnya dualitas karekteristik yang alus dan kasar. 2. Konsep Repertoar dan Teknik Gerak Tari Gaya Surakarta Tari dipahami sebagai cara manusia untuk berkomunikasi dengan lingkungannya melalui bahasa gerak. Namun tidak setiap gerak dapat disetarakan dengan tari karena ada tuntutan tertentu yang menggeneralisasikan gerak dalam budaya tari (Wahyudiyanto, 2008:10). Dadi Jaya menyebut tari adalah gerakan-gerakan yang indah menuruti irama musik (ritmis) yang mencerminkan kehidupan manusia dan bahkan mungkin pengungkapan kehidupan hewan serta alam (Djaya, 1976:92). Sedangkan Cattapadhaya memberi definisi tari sebagai desakan emosi manusia yang mendorong kita mencari ungkap dalam bentuk gerakan-gerakan ritmis (Cattapadhaya, 1965: 14) Seorang budayawan Jawa mempunyai pendapat tentang tari sebagai berikut: Ingkang kawastanan Djoget inggih punika ebahing sedaya saradhoening badhan kasarengan oengeling gansa (gamelan) katata pikantuk wiramaning gendhing kalajan pikejenging djoged 39 . Terjemahan: Yang dinamakan tari yaitu bergeraknya seluruh anggota badan berbarengan bunyi gamelan (musik tradisionl Jawa) tertata mendapat iramanya gending dengan kemauan (tujuan) tari. Louis Elfelt, Gerldine Demonstain, dan Lameri dalam tulisannya menyebut gerak sebagai bahan baku tari dalam ruang dan waktu. Dance is sometimes defined as any patterned ritme,movemnt in space in time 40 . Gerak yang dimaksud adalah gerak tubuh (manusia) yang di dalamnya mencerminkan adanya energi yang mengalir, sedangkan ruang dan waktu merupakan 39 40 Soerdjodiningrat, Babad lan Mekaring Djoged Jawi, (Jogjakarta,:Kol Buning, 1934) Periksa Nanik dkk. Ilmu Tari Joget Tradisi Gaya Kasunanan Surakarta, 2007: 30 53 wahana, tempat, atau area pijak dan keluasan yang melingkupi dalam bergerak. Penjelasan beberapa tokoh tari tersebut dapat dimengerti bahwa di dalam tari terdapat tiga unsur utama yakni gerak, irama (ritmis) dan tujuan ungkapan. Maka dalam tari sebenarnya merupakan ungkapan nilai kemanusiaan atau yang lain melalui gerak yang ritmis. Sedangkan ruang dan waktu merupakan aspek ekstrinsik yang dibutuhkan kehadirannya. Tari Gaya Surakarta tercermin dalam pendapat beberapa tokoh tari tersebut. Lantas gerak yang bagaimana yang diperlukan di dalam tari gaya Surakarta. Humardani menyebutkan tiga jenis gerak yang meliputi wantah, wadag, dan tan-wadag (Lihat Humardani, 1983: 13-14). Gerak wantah merupakan gerak keseharian, gerak wadag atau yang dikatakan sebagai gerak representatif adalah kelanjutan dari gerak wantah yang mendapatkaan sentuhan yang bersifat stilasi dan/atau distorsi. Gerak tan-wadag diartikan sebagai gerak abstrak atau presentatif. Gerak dalam kategori wantah dan sebagian kecil gerak-gerak wadag banyak termanfaatkan pada dunia tari anak yang masih membayangkan kehidupan nyata di lingkungannya. seperti: kupu-kupu, ayam, katak, kijang dan jenis hewan lainnya. Gerak tan-wadag tidak ada hubungan langsung dengan gerak-gerak keseharian, ia merupakan gerak yang membebaskan teknik, bentuk dan kesan terhadap gerak keseharian. Ia merupakan gerak baru karena diciptakan untuk suatu ekspresi. Tidak nyata dalam kehidupan keseharian tetapi nyata sebagai media ungkap 41 . Dari jenis-jenis gerak dan unsur-unsurnya meliputi bahan, tenaga, ruang, dan waktu, merupakan perangkat sistem yang penting sebagai wahana keberadaan tari. Bahan yang disebut sebagai tubuh manusia merupakan perangkat penting yang pertama. Tari gaya Surakarta lekat dengan tokoh cerita dan sifat-sifatnya (karakter). Pada setiap tokoh cerita menuntut kemunculan karakter tokoh. Dan setiap karakter tokoh terdapat bakuan di dalam memilih bahan. Tokoh Bratasena, Arjuna, Gatutkaca, dan/atau tokoh lain memiliki bentuk tubuh yang berperawakan berbeda-beda. Maka untuk menentukan kualitas dan sifat gerak diperlukan pemilihan bahan yang tepat sesuai budaya yang melingkupi 42 . 41 42 Periksa Wahyudiyanto. Pengetahuan tari, Surakarta, ISI Press Solo, 2008: 16-21) Mengenai kaitan bahan (tubuh) dalam pemeranan telah dijelaskan pada bab. dua (2) 54 Unsur lain adalah tenaga atau energi, dipergunakan untuk memberi tekanan-tekanan pada setiap ruas gerak yang telah diberi bentuk agar garis, volume dan ritme-ritme yang membentuk tempo permainan gerak dalam ruang dapat dirasakan sesuai dengan pilihan kualitas geraknya. Dalam tulisan ini penulis menyajikan gerak dasar tari yang terkait dengan jenis kualitas tari putri, putra alus, dan putra gagah. Yang perlu dipahami adalah bahwa keindahan dalam tari gaya Surakarta merupakan rasa dari yang terindera oleh sensa merupakan paduan estetik dan etik. 3.1 Sikap Gerak Dasar Tari Putri Pada bab. dua (2) telah disebutkan bahwa pada tari putri gaya Surakarta terdapat dua (2) kualitas gerak yang menunjukkan karakteristiknya yaitu kualitas gerak luruh (oyi) dan kualitas gerka lanyap (endhel). Perbedaannya terletak pada sempit dan luasnya ruang yang dipergunakan untuk membentuk gerknya. Kualitas gerak luruh (oyi) menggunakan ruang yang lebih sempit jika dibandingkan dengan ruang gerak untuk kualitas lanyap (endhel). Sikap dasar adeg dan/atau tanjak serta posisi kaki dapat dilihat pada bab. Dua (2) gambar 1 dan 2. Berikutnya dapat diperhatikan bentuk gerak dasar dan polatan (arah pandang) untuk kualitas luruh (oyi). Gambar: 19 Sikap dasar kualitas gerak putri luruh (oyi) Dok: Wahyudiyanto, 2016 Pada sikap dasar kualitas gerak luruh (oyi) ini, posisi kedua kaki berdekatan merapat. Posisi kaki kiri menghadap serong ke kiri sehingga ujung kaki kiri berada pada posisi depan sudut kiri. Posisi kaki kanan bagian belakang (Tungkak) didekatkan merapat pada kaki kiri bagian tengah. Ujung kaki kanan dihadapkan serong ke kanan depan. Badan tegak agak condong (mayuk) ke depan, tulang belakang (boyok) didorong sedikit ke depan (ndegeg) dan kedua lutut sedikit ditekuk (mendak). Lengan kanan menthang ke samping kanan agak ke 55 bawah hingga pergelangan tangan kanan segaris lurus dengan pinggang kanan (cethik). Bentuk tangan ngrayung, yaitu jari jemari lurus, ibu jari ditekuk ke dalam (fleksi) disembunyikan pada tengah telapak tangan, pergelangan tangan ditekuk keluar (ekstensi). Arah pandangan mata segaris lurus dengan arah wajah menuju titik lantai lebih kurang tiga (3) sampai empat (4) meter ke samping kanan bawah agak serong depan dari posisi berdiri. Tangan kiri posisi tekuk, siku ke arah samping kiri badan, bentuk tangan diri seperti bentuk tangan kanan (ngrayung dan/atau bisa juga nyekithing). Posisi tangan hampir melekat pada pinggang kiri (cethik) (perhatikan gambar 19). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sikap dasar kualitas gerak putri lanyap (endhel), ruang yang digunakan untuk membentuk gerak sedikit lebih luas dari kualitas gerak luruh (oyi) (perhatikan gambar 20). Pada kualitas gerak tari putri terdapat lima (5) perbendaharaan gerak berjalan (lumaksana) yaitu: 1) lumaksana lembehan kanan dan kiri, 2) lumaksana putren, 3) lumaksana nayung, 4) lumaksana ridhong sampur, dan 5) lumaksana ukel karna. Telah dijelaskan bahwa untuk membedakan kualitas gerak luruh (oyi) dan lanyap (endhel) pada lima jenis lumaksana ini terdapat pada tingkat Gambar: 20 Sikap dasar kualitas gerak putri keluasan volume dan ruang gerak yang lanyap (endhel) digunakan. Dapat diketahui tokoh Dok: Wahyudiyanto, 2016 wayang yang memiliki karakter putri luruh (oyi) seperti: Sembadra, Sinta, Kunthi, Dewi Drupadi, dan Dewi Sekartaji. Sedangkan tokoh lanyap (endhel) seperti: Banowati, Srikandhi, Mustakaweni, Pregiwa, dan Pregiwati. 3.2 Gerak Dasar Tari Putra Alus Pada dasarnya gerak dasar pada tari gaya Surakarta putra alus terdapat dua macam kualitas seperti halnya pada dasar gerak tari putri, yaitu luruh dan lanyap. Hanya saja pada putra alus tidak ada istilah oyi dan endhel. 56 Kualitas gerak puta alus ini secara umum disajikan oleh penari putra, tetapi tidak jarang pula disajikan pula oleh penari putri. Sebagai contok peran Arjuna dalam Wayang Wong, pada era terdahulu dan bahkan sampai saat sekarang ini, masih terdapat tokoh Arjuna diperankan oleh penari putri. Pada prinsipnya bukan menjadi masalah terdapat silang jenis penari untuk memerankan figur Arjuna asal saja garap peran tersebut (mungguh) mampu memenuhi kebutuhan kualitas ungkapnya. Untuk membedakan kualitas gerak luruh dan lanyap, tidak ada bedanya dengan kualitas tari putri yaitu sempit dan luasnya penggunaan volume gerak dan ruang yang digunakan untuk melakukan dan membentuk gerak. Kualitas luruh lebih sempit penggunaan ruang, sedangkan kualitas lanyap lebih luas dibandingkan dengan kualitas luruh. Bentuk sikap adeg dan tanjak serta posisi kaki pada tari putra alus dapat diperhatikan pada bab. dua (2) gambar 3 dan 4. Sedangkan pola dasar gerak dapat diperhatikan pada bab. ini gambar: 21 dan 22. Adapun cara atau teknik yang digunakan untuk membentuk sikap adeg, sikap tanjak, dan sikap bergerak juga tidak ada bedanya dengan kualitas tari putri, yaitu punggung ndegek sehingga dada terlihat sedikit membusung (mongal). Terdapat lima jenis sikap berjalan (lumaksana) yang dikenal dalam gerak dasar rantaya, yaitu: 1) lumaksana Dhadhap Noraga, 2) Lumaksana Dhadhap Impuran, 3) Lumaksana Nayung, 4) Lumaksana Bang-bangan atau Bambangan, dan 5) Lumaksana Oklek. Dalam tari putra alus, selain dikenal kualitas gerak untuk menuju Gambar: 21 kualitas karakter juga terdapat kualitas Sikap dasar kualitas gerak putra alus luruh irama gerak yaitu “mbanyumili” dan Dok: Wahyudiyanto, 2016 “ngganggengkanyut” hal ini juga berlaku pada irama gerak pada kualitas tari putri. Adapun tokoh pewayangan yang digolongkan karakter alus luruh seperti: Arjuna, Ramawijaya, Puntadewa, Lesmana, Abimanyu, dan Panji 57 Inukertapati. Sedangkan dalam kategori karakter lanyap, seperti: Adipati Karna, Dewasrani, Gambiranom, Gunawan Wibisana, dan Gunungsari. Yang perlu dicatat bahwa di dalam kualitas tari alus gaya Surakarta, selain terdapat luruh dan lanyap, terdapat pula karakter diantara keduanya. 3.3 Gerak Dasar Tari Putra Gagah. Gambar: 22 Sikap dasar kualitas gerak putra lanyap Dok: Wahyudiyanto, 2016 Pada bab. dua (2) telah dirinci kualitas tari putra gagah, yakni: Dungan(an), Agal(an), Gecul(an), Dugang(an)-agal, dan Agal(an)-gecul. Pada bagian ini akan diberikan contohcontoh gerak dasar pada masingmasing jenis kualitas gagah tersebut. 3.3.1 Dugang(an) Sebagaimana dijelaskan pada kualitas tari gaya Surakarta terdahulu yaitu kualitas tari putri dan putra alus. Bahwa sebagai acuan pengkarakteran diambil dan/atau diinspirasi oleh cerita yang dilakonkan dalam kitab Mahabarata, Ramayana, Panji dan yang lainnya. Artinya, sifat kemanusiaan dijadikan tema dan/atau isi tari. Karakteristik yang tampak pertama dan utama adalah perilaku gerak tubuh dan selanjutnya adalah cara dan warna suaranya, serta didukung aspek kerupaan seperti tata rias dan busana. Secara garis besar, bentuk dan sikap badan (adeg) dan tanjak Gambar: 23 Sikap dasar kualitas gerak putra gagah Dugangan Kalang Kinantang Kasatriyan Dok: Wahyudiyanto, 2016 58 pada kualitas putra gagah dapat diperhatikan pada bab. dua (2) gambar 5 dan 6. Adapun pada kualitas gerak gagah Dugang(an) secara tradisi dikelompokkan menjadi dua atas dasar strata tokoh dalam status sosialnya, yakni Kalang Kinantang Kasatriyan dan Kalang Kinantang Punggawan (perhatikan gambar 23 dan 24). Jenis Dugangan Kalang Kinantang Kasatriyan mengacu pada tokoh-tokoh satriya dalam kelompok non raksasa seperti: Gatutkaca, Handaga, dan SanGambar: 24 Sikap dasar kualitas gerak putra gagah caya. Sedangakan Dugangan Dugangan Kalang Kinantang Punggawan Kalang Kinantang Punggawan Dok: Wahyudiyanto, 2016 mengacu pada para punggawa non raksasa, seperti: Jayadrata, Kartamarma, Citraksa-Citraksi, Pragota, Trikaya, Trisirah, dan Durmagati. 3.3.2 Agal(an) Para seniman dan/atau empu tari Gaya Surakarta sebagai pemula dalam menciptakan kualitas gerak putra gagah jenis Agal(an) ada semacam kesepahaman dan sepakat untuk menggunakan tokoh sabrangan sebagai acuan karakterkistiknya. Tokoh sabrangan menurut Bambang Suwarno (dalam Nanik dkk, 2007 hal. 8) menyebutkan sebagai tokoh di luar Astina, Amarta, Mandura, dan Dwarawati. Terdapat tiga (3) sabrangan, yakni sabrangan gagah, alus dan sabrangan raksasa. Lebih jauh Suwarno memberi contoh sabrangan gagah, seperti: Boma Narakasura, dan Indrajid, sedangkan untuk sabrangan alus atau sasra seperti: Dewasrani dan Jungkung Mardeya. Untuk sabrangan raksasa adalah semua jenis raksasa digolongkan sabrangan raksasa. Jenis yang terakhir ini dikelompokkan pada jenis karakter yang berperilaku tidak baik dan/atau jahat. Pada jenis agalan ini menggunakan bentuk gerak bapang. Pola pengelompokan geraknya 59 didasarkan pada derajat kepangkatan tokoh perannya. Maka dalam bentuk gerak bapang dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Bapang Raja, untuk peran Rahwana, Jarasanda, Jayasentika, dan Klana Sewandana. 2. Bapang Kasatriyan, untuk tokoh Kumbakarna, Brajadenta, Brajamusti, dan Prahasta. 3. Bapang Punggawan, untuk tokoh Cakil, Kala Marica, Progalba, Daeng Melawa, dan Daeng Markincing (untuk tarian Bugis) 4. Bapang Jeglong, digunakan untuk bala tentara raksasa (bala rucah) siapapun namanya. Perhatikan gambar: 25 s/d 28). Dalam tafsir di lapangan sering terdapat perbedaan pandangan bahwa pada jenis agalan ini terdapat penggunaan kualitas Dugangan Kalang Kinantang Punggawan tetapi dalam volume gerak yang lebih besar. Sedangkan Sabrangan alus digunakan kualitas alus lanyapan atau dalam perkembangan sekarang kadang menggunakan Kalang Kinantang Punggawan tetapi dalam penggunaan volume yang lebih sempit. Gambar: 25 Sikap dasar kualitas gerak putra gagah Agalan jenis Bapang Raja Dok; Wahyudiyanto, 2016 Gambar: 26 Sikap dasar kualitas gerak putra gagah Agalan jenis Bapang Kasatriyan Dok; Wahyudiyanto, 2016 60 Gambar: 27 Sikap dasar kualitas gerak putra gagah Agalan jenis Bapang Punggawan Dok; Wahyudiyanto, 2016 Gambar: 28 Sikap dasar kualitas gerak putra gagah Agalan jenis Bapang Jeglong Dok: Wahyudiyanto, 2016 3.3.3 Gecul(an) Kualitas gerak Geculan memiliki karakter gerak yang sifatnya lucu dan/atau humor. Peran humor dalam wayang dibawakan oleh tokoh punakawan, yakni, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sifat lucu ini selanjutnya berdampak pada pemenuhan sifat badannya yang cenderung disangat-sangatkan. Semisal perut lebih dibuncitkan, kaki lebih dipanjangkan, dipendekkan, dan bahkan dibikin tidak normal. Penyangatan atau melebih-lebihkan ini bertujuan untuk mendapatkan kesan lucu secara fisiologi, selanjutnya ditekankan pada warna suara dan cara dialeknya, serta tata rias dan busananya. Tokoh jenaka lain semisal Bancak Doyok, Regol Patrajaya, Sembung Langu, Penthul, dan Tembem. Tokoh-tokoh jenaka ini ada dalam cerita Panji. Perhatikan contoh gecul pada gambar: 29 dan 30. 61 Gambar: 29 Gareng (tokoh wayang kulit) karakter gecul Dok: Wahyudiyanto, 2016 Gambar: 30 Petruk (tokoh wayang kulit) karakter gecul Dok: Wahyudiyanto, 2016 3.3.4 Dugangan Agal Yang termasuk dalam kelompok kualitas gerak Dugangan Agal adalah Raja Raksasa yang mempunyai bentuk tubuh tinggi besar. Ciri gerakannya adalah menggunakan lumaksana yang disentai gerakan menendang-nendang. Jenis kualitas gerak yang dipakai adalah Bapang Raja (perhatikan gambar 25). Pada bentuk gerak Bapang raja ini pada penggunakan Dugangan Agal tetapi volume lebih diperlebar, dengan langkah kaki yang juga lebih lebar. Tokoh yang digambarkan seperti Kumbakarna dan Raja Niwatakawaca. Gambar: 31 Pola bentuk serupa Bapang Punggawan Dok: Wahyudiyanto, 2016 62 3.3.5 Agalan Gecul Kualitas Agalan Gecul merupakan gabungan kualitas karakter Agalan dan Geculan. Konsistensinya menggunakan bentuk gerak Bapang, tapi dalam praktiknya justru menggunakan bentuk Kambeng atau Kambengan. Tokoh karakter Agalan Gecul seperti Burisrawa, Minakjingga, dan Bugis. Pada tarian yang mengguakan karakter binatang seringkali menggunakan gerak Kambeng dan Bapang. Prinsinya kualitas gerak jenis Agalan Gecul adalah memberi kesan lucu atau banyol. Pola gerak Kambeng dibagi dalam empat (4) macam berdasarkan bentuk jari: Gambar: 32 Pola bentuk Kambeng Cekithingan Dok: Wahyudiyanto, 2016 1. Kambeng Bithen, untuk peran Bratasena, Bathara Bayu, Dewa Ruci, dan Hanoman (perhatikan gambar 33). 2. Kambeng Gegeman diperuntukkan peran Sugriwa, Subali, Duryudana, Styaki, Ranggalawe, dan Kartala. Namun perlu dicatat bahwa peran Duryudana, Sugriwa, Subali, dan Setyaki seringkali menggunakan pola bentuk gerak Kalang Kinantang Kasatriyan (perhatikan gambar 34) 3. Kambeng Cekithingan, untuk tokoh peran Hanggada, Hanila Jembawan, dan Hanala (perhatikan gambar 35). 4. Kambeng Kepelan diterapkan untuk semua peran prajurit bala kethek rucah (perhatikan gambar 36). 63 Gambar: 33 Pola gerak Kambeng Bithen Dok: Wahyudiyanto, 2016 Gambar: 34 Pola gerak Kambeng Gegeman Dok: Wahyudiyanto, 2016 Gambar: 35 Pola gerak Kambeng Cekithingan Dok: Wahyudiyanto, 2016 64 Gambar: 36 Pola gerak Kambeng Kepelan Dok: Wahyudiyanto, 2016 3. Funsi Tari Gaya Surakarta. Atas dasar penjelasan yang dimulai dari bab. satu (1) sampai dengan bab. tiga (3) dapat diambil pemahaman perihal fungsi dan atau kegunaan tari gaya Surakarta. Pemahaman ini diasumsikan tari gaya Surakarta ketika masih dalam lingkungan keraton dan/atau sesudah keluar dari tembok keraton sebagai berikut: 1. Masih terdapat tarian gaya Surakarta yang difungsikan sebagai sarana ritual kerajaan. Tarian yang dimaksud adalah tari Bedhaya Ketawang. Tari Bedhaya Ketawang merupakan sakti raja dipergunakan sebagai bagian dari upacara ritual kebesaran kerajaan dan raja yang sedang bertahta. Meskipun saat sekarang ini kekuasaan sebatas sebagai simbol pelestari budaya kerajaan, tari Bedhaya Ketawang tetap dipergunakan sebagai kelengkapan sakti raja diruntutkan bersama sakti-sakti (benda dan/atau non benda) lain yang menyertai upacara kebesarannya. 2. Memberhatikan Humardani (1982) yang membagi fungsi seni menjadi ”fungsi primer”, “fungsi Skender”, dan “fungsi tersier”. Dijelaskan lebih lanjut fungsi primer seni adalah sebagi hayatan, yakni sebagai sarana untuk mendapatkan pengalaman estetik dan atau fungsi ekspresi pengalaman seniman. Itulah yang kemudian dikatakan sebagai fungsi instrinsik atau fungsi inhern seni. Fungsi skunder seni adalah fungsi-fungsi di luar fungsi primer. Fungsi skunder misalnya sebagai sarana pendidikan, sarana propaganda, sarana ekonomi dan sebagainya. Sedangkan fungsi tersier seni adalah fungsi yang lebih 65 jauh dai fungsi primer dan skunder. Dapat dicontohkan seperti untuk kelengkapan seremonial, dan fungsi sosial lainnya. Merujuk pendapat Humardani dan fakta yang berkembang di masyarakat, tari gaya Surakarta dari berbagai jenis genre yang ada secara kualitas baik kualitas koreografi, bentuk, dan isi yang dikandung dalam setiap tarian, memiliki tingkat bobot kajian yang tinggi. Karaktersistik yang dimunculkan dari tema ke dalam bentuk mampu memberikan pengalaman mendalam bagi penghayatnya terutama masyarakat yang masih dalam penganut kebudayaan Jawa, maka yang dikatakan Humardani mendapat legitimasi dari fakta yang ada, bahwa bobot tari gaya Surakarta telah memenuhi fungsi tari primernya yaitu tari sebagai fungsi hayatan. Dalam konteks seni sebagai fungsi hayatan menegaskan bahwa tari sengaja dipertunjukkan untuk dinikmati. (Wahyudiyanto dalam Pengetahuan tari, 2008: 84-85) menjelaskan seni sebagai pertunjukan sebagai berikut: Fungsi Tari Pertunjukan Tari pertunjukan dapat dibedakan menjadi tari estetik dan tari seremonial meskipun sebatas untuk kebutuhan pembahasan ilmu, tari pada kenyataanya adalah tari itu sendiri yang dalam kehidupannya tumpang tindih dalam eksistensinya. Satu kesempatan tari dibutuhkan dalam kepentingan estetik dan pada kesempatan lain tari yang sama dibutuhkan untuk keperluan non estetik. Maka dalam kajian ini pula tari pertunjukan dibedakan menjadi tari estetik dan tari seremonial ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang jelas perihal makna dan fungsinya. Inipun dalam kategori normatif yang masih dapat dikaji lebih dalam lagi. a. Fungsi Tari pertunjukan estetis Dapat dijumpai di arena festival-festival, ajang kreatif, pentas seni, pentas prestasi, dan pentas-pentas sejenis maka tari dalam perspektif ini memang dibutuhkan untuk mendapatkan apresiasi maksimal tentang kedudukan esensi nilai seni dalam tari. Kaidahkaidah ilmu penciptaan tari, bentuk, teknik, estetiknya, dan seluruh aspek pertunjukan tari dijadikan orientasi penilaian sehingga tari dalam kebutuhan ini dihadirkan untuk kebutuhan estetik. 66 Penontonnya spesifik yang digolongkan sebagai para penghayat seni. Karenanya kalau dilihat dari sisi fungsinya maka tari dalam kebutuhan ini adalah fungsi estetik. Jadi fungsi utamanya “primer” adalah untuk mendapatkan capaian estetik yang maksimal. b. Fungsi Tari pertunjukan Seremonial Sangat mungkin materi tari pertunjukan seremonial ini sama dengan pertunjukan estetis tetapi karena momen atau event kegiatannya bukan untuk hayatan estetik maka fungsinya juga berbeda. Dalam kaitan ini tari seperti yang dipertunjukkan pada acara upacara tujuh belasan (HUT Kemerdekaan Repubil Indonesia), upacara pembukaan pekan olah raga, penutupan sebuah acara konferensi-konferensi, hajatan manten dan sejenisnya. Maka fungsi tarian ini digolongkan ke dalam fungsi sosial. Tetapi dalam konsep fungsi menurut Humardani tari sermonial ini masuk dalam fungsi skender bahkan fungsi tersier tari. Sebagaimana generalisasi yang dilakukan oleh wahyudiyanto tersebut tampak sejalan dengan yang dinyatakan oleh Humardani sebelunya yaitu fungsi primer dan fungsi skunder tari. Fungsi primer dijelaskan sebagai seni yang dipertunjukkan dalan event-event yang presentatif untuk merlihat tari dari sisi bentuk dan isinya secara bersamaan dalam kapasitasnyan untuk mendapatkan nilai wigati-nya. Sedangkan fungsi skunder tari adalah untuk keperluas seremonial sebagaimana dijelaskan Wahyudiyanto dengan beberapa contoh tempat, wilayah dan tujuan dipentaskannya tari tersebut. Dengan demikian tari gaya Surakarta dalam kedudukannya ketika diperuntukkan sebagai penyambut tamu adalah fungsi skundernya. Adapun fungsi lain di luar kegunaan skunder dikatakan Humardani sebagai fungsi tersier. Dalam perkembangan berikutnya, untuk berbicara fungsi tari sudah barang tentu tidak cukup pada pembahasan pendek seperti ini. Dibutuhkan kajian yang panjang dan dalam tentang kompleksitas eksistensi tari. Dalam ruang kebudayaan ini tari telah memasuki babak-babak baru yang kedudukan semulanya sangat mungkin terus bergeser dan berubah. Pergeseran dan perubahan yang terjadi merupakan konskwensi dialektika tari dalam ruang membudayanya, 67 karenanya untuk menentukan secara jelas dan pasti fungsi tari akan terus mendapatkan format-formatnya yang baru dan baru lagi. Setidaknya dalam kajian ini dapat diidentifikasi fungsi tari gaya Surakarta berdasarkan kondisi lapangan dan berdasarkan pemilahan jenis tari yang dapat dijumpai dilapangan yang sangat terbatas pula. 68 BAB IV DESKRIPSI IDEASI DAN REPERTOAR TARI GAYA SURAKARTA Pada bab. ini dijelaskan tentang deskripsi ideasi dan repertoar tari gaya Surakarta yang disempitkan pada tiga repertoar tari gaya Surakarta yakni Tari Klana Topeng, Tari Gunungsari, dan Tari Golek Manis. Deskripsi ideasi yang dimaksud adalah menjelaskan ide dan/atau gagasan yang dijadikan tema tari. Demikian pula tari sebagai cerita bergerak merupakan perwujudan ide dan/atau gagasan dipandang sebagai teks kebudayaan kesenian. Tari sebagai teks kebudayaan kesenian dieksplanasi berdasarkan kaidah-kaidah kajian tari untuk mendapatkan kejelasan material. Kejelasan material meliputi struktur tari, ragam gerak, pola ruang, tata rias dan tata busana. Berikut diuraikan secara berurutan. 1. Deskripsi Ideasi Tari Klana Topeng Cerita seputar siklus Panji dikenal banyak versi 43 , banyak wilayah bahkan banyak negara yang memiliki, maka banyak pula bentuk penceritaannya. Pertunjukan merupakan salah satu wujud penceritaan itu. Di Jawa terdapat wayang kulit yang menggunakan siklus Panji sebagai modal bercerita, yang disebut Wayang Gedok. Terdapat juga Wayang Golek, Wayang Beber, wayang Klithik, Wayang Topeng dan juga Topeng Dalang. Wayang Topeng dan Topeng Dalang hampir tidak ada beda. Satu perbedaannya adalah jika Wayang Topeng, dialog wayang dilakukan oleh anak wayang dengan cara melepas sedikit topeng untuk melakukan dialog. Sedangkan dialog pada Topeng Dalang dilakukan oleh seorang dalang, sementara anak wayang bergerak mengikuti isi dialog yang dilakukan dalang. Beberapa pertujukan Wayang Topeng dan Topeng Dalang yang cukup dikenal, diantaranya: Madura, Malang, dan Klaten. Di Madura terdapat lebih dari satu perkumpulan Wayang Topeng, di Malang ada beberapa wilayah yang memiliki kelompok Topeng Dalang dengan ciri khasnya sendiri-sendiri. Di Klaten diketahui terdapat satu perkumpulan yang cukup tua yang hingga kini masih memiliki kegiatan pergelaran meskipun sudah semakin berkurang. Fauzannafi, Muhammad, 2005. Reog Ponorogo, Menari di Antara Dominasi dan Keragaman melihat legenda Panji setidaknya terbagi menjadi empat versi: 1) versi Kelana – Sanggalangit, 2) versi Wijaya - Kilisuci, 3) Asmarabangun – Rahwanaraja, dan 4) versi Jathasura – Kilisuci – Bujanggalelana dan versi Kelana – Candrakirana. 43 69 Lakon yang diceritakan seputar kisah Panji dan Mahabarata meskipun masing-masing perkumpulan menggunakan versinya sendiri. Kendatipun berbeda versi namun terdapat kesamaan mendasar yakni adanya tokoh terkenal yaitu Klana Sewandana, putri Dewi Sekarjati atau Dewi Candrakirana, dan Panji Inukertapati atau Panji Asmarabangun, dan Gunungsari. Keempat tokoh penting inilah pertunjukan menjadi menarik. Di Klaten Jawa Tengah, Wayang Topeng merupakan pertunjukan rakyat yang berkembang di masyarakat. Bermula dari sebuah versi yang menceritakan tentang penyamaran seorang utusan dari kerajaan Surakarta. Adalah Mlayakusuma seorang dalang Wayang Kulit terkenal diperintahkan raja untuk mencari putra dari Pakubuwana IX yang pergi meninggalkan kraton Surakarta. Penyamaran Mlayakusuma untuk melaksanakan tugasnya adalah dengan cara ngamen (mbarang) (Balai Soedjatmoko, 2014:84). Dimulai dari sini Wayang Topeng berkembang di tingkat rakyat. Berawal dari penyamaran ini pula, Mlayakusuma dikenal sebagai tokoh Topeng Dalang di wilayah Klaten Jawa Tengah. Mbarang Wayang Topeng kemudian dilanjutkan oleh keturunannya yakni cucu dan cucu buyutnya Kuwiran dan Gondotukasno yang beliau juga dalang Wayang Kulit. Ki Gondotukasno adalah generasi ketiga keturunan dari Mlayakusuma merupakan penari tari Klana 44 terkenal pada jamannya. Ki Gondotukasno juga merupakan penari spesial tari Klana Sewandana yang paling dikenal dengan kembangan kiprah yang sangat banyak hingga mampu menari dua jam tanpa berhenti (Balai Soedjatmoko, 2014:90). Kepenarian Klana Topeng dilanjutkan generasi selanjutnya sampai pada Cremosumarto. Meskipun awal kemunculan pertunjukan ini dari Keraton Kasunanan, tetapi dalam perkembangannya, perkumpulan Topeng Dalang Klaten memiliki kedekatan dengan kraton Mangkunegaran. Hal ini dikaitkan dengan tari Klana Topeng terkenal dari Mangkunegaran yang dinamakan “kiai Geger”. Topeng “kiai Geger” telah menginspirasi penari Klana Topeng dari perkumpulan Klaten, selanjutnya topeng “kiai Geger” diduplikasi oleh Topeng Dalang Klaten ini. Disebut ‘kiai Geger” karena daya pesona penari di Pura Mangkunegaran yang mampu dengan baik menyajikan peran Klana Sewandana dalam tariannya. Daya pesona tersebut membikin “geger” khalayak hingga para penonton berbondong-bondong ingin segera menyaksikan langsung pertunjukan tari Klana. Dari daya pesona ini 44 Tari Klana dalam Wayang Topeng selalu mengenakan topeng karakter Raja Klana Sewandana, maka sering disebut tari Klana Topeng, Topeng Klana, dan atau tari Klana saja. Pada penelitian ini sebutan itu bukan dijadikan permasalahan yang harus diperdebatkan. 70 kemudian topeng Klana diduplikasi untuk dijadikan panduan karakter tokoh Klana. Ki Gondotukasno menafsirkan Klana Sewandana seperti Boma Narakasura dari tokoh pewayangan di Wayang Kulit 45 . Hal ini didasari oleh para pemain dan/atau penari topeng adalah para dalang, sehingga tidak ada kesulitan memberi tafsir karakter tokoh Klana Sewandana seperti atau disetarakan dengan tokoh Boma Narakasura. Karakter Boma Narakasura diumpamakan juga dengan karakter topeng Klana “kiai Geger” Pura Mangkunegaran yang memiliki bentuk mata melotot keluar, tampak kejam menyeramkan dan ukiran jamang berbentuk belitan ular. Kaitan Wayang Topeng Klaten dengan Pura Mangkunegara dan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan kolaborasi Keraton dan rakyat. Penggabungan dua budaya (besar dan kecil) menghasilkan kesemarakan kebudayaan kesenian utamanya di luar tembok keraton. Karakteristik peran Klana dan tokoh-tokoh lain dalam cerita panji mendapat sentuhan dari dua pusaran kebudayaan ini hingga menghasilkan bentuk kesenian yang feodalistik sekaligus igaliter. Kemampuan Ki Gondotukasno meramu gerakan yang diperoleh dari para pendahulunya kemudian dimodifikasi dengan kreasinya sendiri menghasilkan Klana model Gondotukasno yang fenomenal. Klana Topeng Klaten inilah yang menginspirasi para penari Klana Topeng berikutnya termasuk juga penari Klana Topeng terkenal Sunarno Purwo Lelono (alm) dari ASKI sekarang ISI Surakarta. Tari Klana Topeng saat sekarang ini yang dipergunakan untuk berbagai keperluan baik pendidikan maupun untuk perhelatan lainnya adalah inspirasi dari Wayang Topeng Klaten. Wayang Topeng Klaten merupakan kelanjutan dari cerita panji dalam bentuk pertunjukan wayang kulit gedok dan pertunjukan tari (Wireng dan Dramatari) yang bermula dari keraton (Kasunanan dan Mangkunegaran) Surakarta. Masing-masing lokus budaya besar (keraton) mengembangkan gayanya masing-masing. Sementara itu Tari Klana Topeng yang dikembangkan oleh gaya tari Kasunanan Surakarta yang berkembang pula di luar tembok keraton hingga Klaten. Inspirasi atau cerita yang diambil adalah seputar kisah romantika Panji Inukertapati dan Dewi Sekartaji. Diantara romantika tersebut terdapat cerita tokoh Klana Sewandana yang terpikat kecantikan Dewi Sekartaji. 45 Simak Balai Soedjatmoko, 2014. Topeng Panji Mengajak Kepada yang Tersembunyi, Hal: 71. 71 Keterpesonaan Raja Kelana dari Negeri Sebrang diwujudkan dalam bentuk tari Klana Topeng yang sedang jatuh cinta (kasmaran) kepada Dewi Sekartaji. Seperti digambarkan oleh para pendahulu penari topeng terkenal, para pembaharu tari Klana Topeng saat sekarang ini menciptakan ulang gerak dan karakteristik tokoh Klana Sewandana, yaitu gagah berwibawa tetapi memiliki sifat brangasan. Dalam dunia pewayangan sifat-sifat sejenis itu digambarkan seperti Raden Boma Narakasura anak dari Prabu Krisna dari Dwarawati. Dalam khasanah tari gaya Surakarta. Raja Klana Sewandana yang dari tanah sebrang digambarkan dengan gerak pada kualitas gagah jenis Agalan bentuk Bapang Raja. Hal ini dikaitkan dengan perwujudan karakter yang gagah brangasan. Menggunakan rias teleng Prengesan dan busana Raja Sebrang yaitu rapek atau wiron warna dominan merah dan coklat mengenakan mahkota tekes malang. Secara visual, perwujudan tari Klana digambarkan sebagai berikut: Gambar. 37 Topeng Klana Sewandana tampak depan Koleksi: Wahyudiyanto Gambar. 38 Topeng Klana Sewandana tampak samping kanan Koleksi: Wahyudiyanto Gambar. 39 Topeng Klana Sewandana tampak samping kiri Koleksi: Wahyudiyanto 72 Tekes malang Topeng Sumping Plim /rambut Kalung kace dan simbar dada Klat bahu Slempang Sabuk cinde gelang Epek timang uncal Boro samir Kain motif modangdan parang Sampur gendalagiri Keris dan kolong keris Binggel/gelang kaki Gambar. 40 Sosok Tari Klana Topeng dengan rincian busananya 2. Deskripsi Repertoar Tari Klana Topeng Sebagaimana lazimnya tari gaya Surakarta yang mengambil (methil) dari babak besar cerita, maka tari tersebut kategori genre Pethilan. Tari Klana Topeng gaya Surakarta merupakan genre Pethilan Jenis tari Tunggal. Tari Tunggal adalah tarian yang didesain dan ditarikan oleh seorang penari. Grakannya dapat mencapai tingkat kerumitan tertinggi dibanding tarian lainnya yang bukan tari tunggal. Pada tarian jenis ini sering dijumpai menghasilkan firtousitas kepenarian yang maksimal (Wahyudiyanto, 2008:78). Pada perkumpulan Wayang Topeng atau Topeng Dalang, dan jenis kelompok pertunjukan lainnya, tarian yang dilakukan oleh satu orang penari (tari tunggal) diketahui terdapat penari unggul. Kita diingatkan nama-nama penari 73 Klana Topeng Gaya Surakarta seperti Ki Gondotukasno, Cremosumarto, Lebih muda lagi Witoyo, Sunarno Purwalelana, Generasi berikutnya ada Samsuri Sutarna. Sebagai genre Phethilan, seperti juga genre wireng, maka tari Klana Topeng disebut juga Wireng Pethilan, memiliki struktur penyajian sebagai berikut: 1) maju beksan, 2) beksan, 3) beksan kiprahan dan gandrungan dan/atau gambyongan, dan 4) mundur beksan. Secara rinci, tari Klana Topeng gaya Surakarta dijabarkan sebagai berikut: 1. Maju Beksan Pada umumnya tari Pethilan atau juga Wireng, penari memulai menari dari gawang Supana yaitu posisi tengah panggung (stage) bagian belakang. Gerak yang dilakukan adalah sembahan jengkeng, berdiri mengenakan topeng, sabetan, seblak sampur kiri kirig samping kanan dan kiri ulap-ulap tawing, gebesan kiri kanan. Besut, seblak sampur kiri arah sudut kiri depan, kebyok kebyak sampur kiri kanan. Seblak sampur kanan, kirig, ulap-ulap tawing, gebesan kiri. Lumaksana jajagan ke arah sudut kanan depan, ombak banyu, srisig menuju ke depan gawang supana, besut, tanjak tancep. Musik tari: pathetan, ada-ada, lancaran Bendrong. 2. Beksan Pada bagian beksan, gerakan yang dilakukan adalah: Ukel rawis, ogek lambung, tolehan kiri kanan. Dolanan sampur kiri dua kali, lumaksanan sampur, besut, tanjak tancep. Ogek lambung, tolehan kiri kanan, besut, tanjak tancep. Dolanan sampur kiri, ngetung bala, bopongan kiri arah depan, trecet ke belakang, memutar besut tanjak tancep. Lumaksana sampur arah sudut kiri depan, disambung gerak gandrungan. Trecet di tempat, memutar kanan gerakan besut, tanjak tancep hadap sudut kanan depan. Gerakan ketawa, besut, tanjak tancep, ngancap memutar, bopongan hadap sudut kanan depan. Memutar kiri penuh, gerak gandrungan, seblak sampur. Lumaksanan sampur, memutar arah belakang, ombak banyu hadap belakang, besut memutar hadap depan, tanjak tancep. Musik tari: gending ketawang Pucung Rubuh 74 3. Beksan Kiprahan: Tolehan kiri kanan, gebesan, ogek lambung, nggambul lamba ngracik kiri kanan, bopongan, entragan kanan kiri, ukel karna ogek lambung. Kirig, ulap-ulap tranjal kanan, ulap-ulap tranjal kiri tawingan kiri, ulap-ulapan kanan, kirig. Melangkah kiri kanan menyudut kiri, usap plim dan bara kanan, entagan kanan kiri, ukel karna kanan ogek lambung. Kirig, gerak capengan lengan kiri kanan, dilanjutkan tumpang tali kiri kanan, tebak bumi, ulap-ulap kiri, besut memutar kanan, tanjak tancep hadap belakang. Musik tari: Lancaran Bendrong Gandrungan dan/atau Gambyongan: Besut memutar hadap depan, gerak batangan kiri kanan, dilanjutkan sindet ukel karna, ogek lambung tawingan kiri kanan hadap pojok kanan depan. Sindet ukel karna, mlaku telu, lembehan nyamping kanan dan depan, membentuk garis ketupan, besut, srisig menuju sudut kiri depan, gandrungan, entragan. Ulap-ulap tawing kiri, gandrungan, memutar penuh, bopongan hadap sudut kanan depan. Langkah mundur kipatan, ngleyang (linglung), entragan. Ulap-ulap tawing kiri, besut memutar, tanjak tancep hadap belakang. Musik tari: Ladrang Eling-eling 4. Mundur Beksan Mundur beksan berisi gerakan: Capengan lengkap (lengan kiri kanan, sabuk timangan, ukel rawis, sabetan, besut, srisig, kembali ke gawang supana, jengkeng, sembahan, lepas topeng. Musik tari: Sampak Penjelasan rinci mengenai nama ragam gerak, uraian gerak, dan pola lantai (gawang) yang ditengarai sebagai ragam pokok dalam tari Klana Topeng gaya Surakarta dapat diperhatikan sebagai berikut: 75 Maju Beksan Jengkeng Level rendah: lutut kanan menyentuh lantai serong ke depan kiri, gajul kaki kiri penapak lantai sebagi tumpuan badan, kaki kiri menapak lantai membuka ke samping kiri, lutut kanan ditekuk membentuk sudut 95° jari kaki nylekenthing. Badan tegak, pinggang ditekan ke depan (ndegeg). Tangan kiri ditekuk ke dalam (fleksi) ditempel di lutut kiri, jari kelingking nempel di lutut kiri, jari jemari segaris lurus dengan tungkai kiri bawah, lengan kiri dalam keadaan lurus. Telapan tangan kanan ditempel (nyathok) paha tungkai kiri atas, siku dibuka ke samping kanan. Arah hadap muka ke samping kiri lurus (horisontal) Posisi jengkang dapat diketahui ketika tari akan dimulai dan tari diakhiri. Seperti halnya tari Klana Topeng ini juga diawali dari posisi jengkang dan diakhiri dengan posisi jengkeng pula. Keterangan Panggung Posisi gawang supana Depan 76 Tanjak Tancep Level normal: Kedua tungkai dibuka melebar ke samping (kanan dan kiri). Dalam keadaan mendak (merendahkan tubuh dengan cara menekuk lutut hingga pada level pantas sebagai bentuk tanjak kualitas tari gagah), berat badan cenderung lebih dititikberatkan pada tungkai kiri, Bentuk jari kaki kanan diangkat ke atas (nylekenthing). Badan tegak lurus, pinggang (boyok) ditekan ke depan (ndegeg) hingga dada terlihat membusung (mongal). Tangan kiri kacak pinggang melebar ke samping kiri, tangan kanan menjuntai ke samping kanan, posisi sebanding lurus dengan arah paha kanan atas. Arah hadap muka horisontal ke samping kanan. Tanjak tancep adalah suatu posisi standar dimana setiap tari jenis kualitas gagah akan memulai gerakan apapun dipersiapkan dulu posisi adeg tanjak tancep. Tanjak tancep ini berada pada posisi manapun, artinya, tanjak tancep ada pada posisi maju beksan, beksan maupun mundur beksan. Tanjak tancep merupakan sikap menari dimana penari sedang dalam posisi proses menari tetapi tidak sedang melakukan gerakan berpola kembangan, perang-perangan, gandrungan, atau pola-pola gerakan lain dalam posisi menari. Sikap tanjak tancep ini mendasari setiap penari akan melakukan gerakan apapun itu nama gerakannya. Keterangan Panggung Posisi Depan gawang supana Tepat di tengah diantara gawang supana dan sentral tengah Depan 77 Ulap- Ulap Tawingan Level normal: Posisi tanjak kanan. Lengan kanan kambeng kepelan. Arah hadap muka horisontal ke samping kiri penuh, tangan kiri posisi tawing. Pada gerakan tawingan, dimulai dari seblak sampur kiri, ulap-ulap trecet, gedrug kaki kiri, dilanjutkan ulap-ulap, dan diteruskan tawingan. Diteruskan sablak sampur kanan, gebesan kepala membentuk liukan seperti tumbuhan merambat yang berkelok-kelok (nggrageh lung), atau seperti ular yang sedang berenang. Sementara posisi lengan kiri bentuk kambeng kepelan, dan telapak tangan kanan menghadap dekat ke mulut topeng, siku dibuka kesamping kanan horisontal. Gerakan ulap-ulap tawingan acap kali dilakukan dua kali dengan gerakan yang sama tetapi menggunakan anggota badan yang berlawanan dengan gerakan ulap-ulap tawingan pertama. Dilakukan dengan anggota badan bagian kiri dulu atau kanan dulu tergantung dari penari malakukannya. Keterangan Panggung Posisi Depan gawang supana Tepat di tengah diantara gawang supana dan sentral tengah Depan 78 Lumaksana Miwir Sampur Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Tangan kiri miwir sampur, tangan kanan diangkat sejajar dengan bahu kanan, diarahkan serong kanan depan, tungkai kanan diangkat (junjungan) tinggi-tinggi, melangkah ke serong kanan depan. Diteruskan dengan melangkah kiri, (bentuk tampak pada gambar), diteruskan melangkah kaki kiri ke arah serong kiri depan, posisi tangan kiri tetap miwir sampur, tangan kanan ditekuk di depan dada. Begitu seterusnya diulang sesuai dengan kebutuhan. Selain lumaksana miwir sampur, terdapat lumaksana jajagan. Perbedaannya adalah, jika lumaksana jajagan kedua tangan posisi kacak pinggang. Apapun langkah dan jumlahnya disesuaikan kebutuhan dalam gending. Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral tengah Depan 79 Gebesan Kepala Level normal: Posisi tanjak kanan. Dimulai seblak sampur kanan, ulap-ulap tawing kanan. Seblak sampur kiri, telapak tangan kiri dihadapkan dekat ke arah mulut topeng, dilanjutkan gerak gebesan nggrageh lung atau ula nglangi. Setelah gebesan dilanjutkan lumaksana jajagan menuju sudut kanan depan, berikutnya melakukan gerakan ombak banyu. Gerakan ini pada sesi lain dilakukan kebalikan dari anggota tubuh yang lain. Jika gambar ini memperlihatkan gebesan kepala menggunakan tangan kiri, sesi lain menggunakan tangan kanan. Keterangan Panggung Diagonal/serong ke kiri depan Posisi di samping kiri sentral tengah Depan 80 Ombak Banyu Level normal: Posisi tanjak kanan. Gerakan ombak banyu dimulai dari junjugan kaki kiri, miwir sampur kiri, kedua lengan diarahkan ke samping kiri, tangan kanan ditekuk di depan dada. Diteruskan junjungan kaki kanan, bentuk gerak kebalikan dari junjungan kaki kiri. Dilanjutkan besut. Gambar di atas memperlihatkan bentuk gerak menjelang gerakan besut. Ombak banyu terdisi dari dua bentuk gerak. Ombak banyu yang kedua menggunakan sabet ukel karna (akan diperlihatkan pada uraian sesi ombak banyu berikutnya. Keterangan Panggung Diagonal/serong ke kanan depan Posisi di samping kanan sentral tengah Depan 81 Beksan Rawisan Ngetung Bala Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Seblak kedua sampur, tangan kiri miwir sampur, tangan kanan diukel mlumah ke samping kanan lantas didekatkan ke tangan kiri dekat sampur. Berikutnya tangan kanan usap rawis, kembali ke sampur lagi, ukel tangan kanan gedrug kaki kanan, tanjak duwung. Seblak kedua sampur lagi, tangan kanan diukel mlumat, lantas didekatkan ke tangan kiri dekat sampur, dilanjutkan ngetung bala. Selesai gerak ngetung bala, diteruskan lumaksana miwir sampur menuju arah sudut kiri depan, ketawa, dilanjutkan srimpetan bopong. Keterangan Panggung Posisi di belakang tengah sentral Depan 82 Gandrungan Kebyakan Sampur Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ngacap srimpetan bopong, menghadap sudut kanan depan, putar kembali ke kiri, hadap serong kiri depan. Kebyok kebyak sampur kiri, gandrungan, kebyok kebyak sampur kiri, bopongan, terus dilakukan tiga kali sambil melangkah serong kiri, ngapyuk kedua sampur, diakhiri dengan seblak kedua sampur. Selesai gerak gandrungan kebyakan sampur, diteruskan lumaksana miwir sampur menuju arah depan gawang supana, ombak banyu hadap belakang. Keterangan Panggung posisi di belakang sentral tengah Depan 83 Ombak Banyu Sabet Ukel Karna Level normal: Dari posisi tanjak kanan hadap belakang.Ombak banyu sabet ukel karna dimulai dari junjungan kaki kiri, sabet ukel karna kanan, seblak sampur kiri. Junjungan kaki kanan sabet ukel karna kiri seblak sampur kanan. Besut putar kanan hadap depan, tanjak tancep Selesai gerak besut dilanjutkan gerak kiprahan. Keterangan Panggung posisi di belakang sentral tengah Depan 84 Beksan Kiprahan Ulap-ulap Tranjalan Level normal: Dari posisi tanjak kanan.Tranjalan kanan (dua langkah cepat kaki kanan ke samping kanan diikuti dua langkah cepat kaki kiri). Posisi tangan kanan bentuk ulap-ulap, mtangan kiri miwir sampur (lihat gambar), diselesaikan bentuk pola dugangan kasatriyan. Diteruskan seblak sampur kiri, ulap-ulap tawing kiri, diselesaikan bentuk pola adeg dungangan kasatriyan. Selesai gerak ulap-ulap tranjalan dilanjutkan gerak usap bara. Keterangan Panggung posisi di samping sentral tengah Depan 85 Usap Bara Level normal: Dari posisi tanjak kanan.Usap bara dimulai dari gerakan mengusap bara (atribut busana yang terletak di paha kanan). Diteruskan usap plim (rambut panjang menjuntai di bahu kanan, tergerai ke dada kanan), dilakukan berulang. Ukel tangan kanan disertai gedrug kaki kanan. Selesai gerak usap bara dilanjutkan gerak entagan. Keterangan Panggung posisi di samping kiri sentral tengah Depan 86 Entragan Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Entragan dimulai dengan gerakan badan nggenjot berulang-ulang, tangan kanan menjulur ke samping kanan sedikit ke atas, lantas pergelangan tangan kanan diukel ke depan dada, diikuti seblak sampur kiri (badan terus dalam keadangan nggenjot). Gerakan diulang dengan anggota badan kebalikannya. Diselesaikan dengan sebla kukel karna, keter lambung. Selesai gerak entragan dilanjutkan gerak ragam capengan Keterangan Panggung posisi di samping kiri sentral tengah Depan 87 Ragam Capengan Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam capengan dimulai dari gerakan mendoyongkan badan ke samping kanan (nengleng kanan), diikuti gerak tangan kanan menjulur ke depan lurus, kepalan tangan kiri didorongkan ke dekat otot trisep lengan kanan atas (perhatikan gambar). Berikutnya gerakan diulang bergantian anggota badan yang berlawanan. Diulang beberapa kali, disambung gerak tumpang tali. Keterangan Panggung posisi tepat di sentral tengah Depan 88 Ragam Tumpang Tal Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam tumpang tali dimulai dari ukel tangan kanan didepan telapan tangan kiri, sementara posisi kedua tangan menyerong ke tubuh sebelah tangan. Berikutnya tangan kanan gerak alisan, tangan kiri didorong ke samping kiri horisontal. Gerak berikutnya tangan kiri diukel mlumah ke samping atas, tangan kanan didorong ke samping kanan bawah, berikutnya tangan kiri diukel di depan telapak tangan kanan (bentuk terlihat pada gambar). Gerakan diulang dua kali secara bergantian, dilanjutkan alisan kanan, dorong tangan kiri lurus horisontak ke samping kiri, berikutnya tangan kanan dorong ke samping kanan, tangan kiri dibuka mlumah ke samping atas kiri, diakhiri gerak alisan tangan kanan berulang-ulang. Selesai gerak tumpang tali dilanjutkan gerak tebak bumi atau bumi langit, ukel tangan kiri, gedrug kaki kiri, seblak sampur kiri ulap-ulap tawing kiri hadap depan, diteruskan pondongan, trecet ke belakang, besut, tanjak tancep hadap belakang. Pada posisi ini ada kesempatan penari membuka topeng untuk jeda sejenak Keterangan Panggung posisi tepat di sentral tengah Depan 89 Gandrungan dan/atau Gambyongan Batangan Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam Batangan dimulai dari sablak sampur kiri, sabet ukel karna kanan. Kaki kanan srimpet ke belakang kaki kiri. Diteruskan tanjak kanan, tangan kiri ngembat samping kiri, tangan kanan memberi keseimbangan dengan gerakan seperti miwir sampur. Begitu selanjutnya gerakan semula diulang tetapi menggunakan anggota badan yang berlawanan, diulang beberapa kali. Seselai gerak batangan dilanjutkan sindet ukel karna diteruskan ogek lambung ulap-ulap tawing Keterangan Panggung posisi tepat diantara sentral tengah dan gawang supana Depan 90 Seblak Tawingan Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam Seblak tawingan dimuali dari gerak sindet ukel karna diteruskan tanjak kiri, ulap-ulap kanan methok kanan, seblak sampur kiri, ogek lambung. Tawingan ulap-ulap kanan, seblak kiri. Ulap-ulap kiri methok kiri, tawing kiri, tawing kanan, seblak kiri tawing kanan methok kanan. Diulang dua setengah gerakan seblak tawingan. Seselai gerak seblak tawingan diteruskan sindet ukel karna, lantas gerak laku telu. Keterangan Panggung posisi di sudut kiri depan Depan 91 Laku Telu Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam gerak laku telu dimulai dari sindet ukel karna, diteruskan tarik kaki kiri mendekati kaki kanan, posisi tangan kanan pegang sampur ditarik ke cethik kanan, tangan kiri miwir sampur posisi ridong sampur. Diteruskan melangkah kanan, srimpet kaki kiri, tarik kaki kanan ke belakang, tangan kanan lembehan sampur.mlaku nyacah ke depan dan nyamping. begitu selanjutnya gerkan tersebut diulang-ulang hingga membentuk posisi garis belah ketupat. Seselai gerak laku telu diteruskan srisig ke pojok kiri depan, entragan diteruskan gandrungan, pondongan. Diteruskan gerak linglung, kapyukan, seblak kedua sampur, putar ke arah sudut kanan depan, entragan. Diakhiri seblak ulap-ulap tawing tangan kiri hadap depan, trecet ke belakang, putar besut tanjak tancep hadap belakang. Glebak kanan tanjak tancep hadap depan. Diteruskan capengan. Keterangan Panggung posisi di sudut kiri depan menuju diantara gawang supana dan sentral tengah Depan 92 Mundur beksan Capengan Level normal: Dari posisi tanjak kanan. Ragam gerak capengan dimulai dari melipat lengan baju, diteruskan mengencangkan ikat pinggang, membetulkaan dan mengontrol keris, menguatkan iket kepala dan atau melilit kumis. Seselai gerak capengan diteruskan gerak sabetan, yaitu ukel tangan kanan seblak sampur kiri bersamaan dengan junjungan kaki kanan. Dilanjutkan pentahang tangan kanan, kambeng tangan kiri bersamaan dengan junjungan kaki kiri, diteruskan besut yaitu ukel tangan kanan di depan dada, seblak sampur kiri bersamaan dengan junjungan kaki kanan, dan diselesaikan dengan tanjak tancep, srisig menuju gawang supanan, jengkeng. Keterangan Panggung posisi tepat di antara gawang supana dan sentral tengah Depan 93 Sembahan Jengkeng Level rendah: Dari posisi jengkeng. Ragam gerak sembah jengkeng dimulai dari mendorong kedua tangan ke depan dada, kedua telapan tangan bertemu, ditarik ke depan hidung (ujung ibu jari tangan menyentuh ujung hidung) bersamaan dengan gerakan gedeg kepala. Turunkan tangan ke depan dada, putar telapak tangan berlawanan (tangan kanan putar ke luar, tangan kiri putar ke dalam. Penthang kedua kanan ke samping kiri kanan, posisi tangan kanan bentuk kepelan, tangan kiri ngrayung. Taruh tangan kiri di lutut kiri, tangan kanan nyathok pada paha kanan atas. Pandangan muka ke kiri, diakhiri gedeg kepala ke tengah (hadap depan). Seselai gerak sembah jengkeng, penari melepas topeng dan meninggalkan panggung. Untuk meninggalkan panggung menyesuaikan kondisi area panggung. Keterangan panggung posisi gawang supanan Depan 94 70 3. Deskripsi Ideasi Tari Gunungsari Sosok Gunungsari dalam cerita Panji telah mengilhami banyak pemeranan pada tokoh yang satu ini, bahkan melahirkan penari Tari Gunungsari yang fenomenal. Kita mengenal penari Tari Gunungsari gaya Surakarta di dalam perkumpulan Wayang Topeng di Klaten seperti Sartono. Terlahir dari keturunan para dalang, Sartono mewarisi darah penari topeng dari kakeknya alm Ki Cermopandoyo. Tidak hanya jiwa kepenarian yang terwariskan kepada Sartono, tetapi juga topeng Gunungsari juga merupakan warisan dari sang kakek. Kebiasaan dalam budaya seniman Wayang Topeng di Klaten, jika anggota keluarga ada yang meninggal dunia, harta benda diwariskan kepada anak-anaknya, tetapi tidak pada benda seni seperti topeng, pewarisannya dijatuhkan kepada cucu-cucunya. Sartono adalah cucu yang merasa beruntung kebagian warisan berupa topeng Gunungsari. Belakangan diketahui bahwa di belakang topeng Gunungsari warisan kakeknya terdapat cap/stempel dari keraton Mangkunegaran. Diduga bahwa topeng Gunungsari merupakan paringan dalem (pemberian) KGPAA Mangkunegara, entah Mangkunegara yang keberapa (Balai Sudjatmoko, 2014:95). Di Malang terdapat penari Tari Gunungsari yang legendaris yakni Gimun yang akrab dipanggil Mbah Gimun. Seperti penari yang sangat paham dan menghayati benar peran yang dibawakan, Mbah Gimun pernah berkata bahwa ibarat manunggaling kawula gusti, menari Gunungsari itu juga manunggaling jiwa raga. Manunggaling jiwa raga merupakan pantulan dari manunggaling kawula gusti. Jiwa dianalogikan dengan imajinasi sosok Gunungsari dan raga adalah badan wadag yang dari padanya teknik-teknik gerak diresapi oleh jiwa imajinasinya. Bahwa menghayati peran mutlak harus dilaksanakan. Untuk menjadi alus seperti Gunungsari, kita harus mampu berperilaku alus se-alus perempuan, dan itu harus dilakukan agar tarian bisa dimengerti dan dihayati oleh khalayak. Karena terdapat gerak-gerak tari dalam tari Gunungsari yang sangat alus seperti jalak kesrimpet dan biyada mususi adalah gerak-gerak yang melambangkan sifat keputrian yang alus, dan Gimun harus bisa melakukannya dengan sempurna, meskipun katanya tidak pernah sempurna, dan sering diulang-ulang dalam latiannya. Berlatih keras dan berlatih kerasa adalah semboyan Mbah Gimun ketika muda, dan penghayatan yang baik Mbah Gimun terhadap perannya inilah, orang kemudian tidak menyangka bahwa Gunungsari yang disajikan adalah dari seorang Gimun. Gimun yang seorang pembuat gasing, layanglayang, dan bakul dawet, tetapi Gimun pula adalah orang yang serba bisa 95 dalam menggerakkan topeng, utamanya topeng Gunungsari. Ketika Hadir Gunungsari terlupakan siapa Gimun yang miskin. Gimun adalah Gunungsari yang sangat imajiner dalam wujud dan tindakannya dalam menari. “Saya tak pernah bosan, meski harus memperbaiki kesalahan berulang-ulang”, itu kata Mbah Gimun mengenang masa lalunya yang menurutnya sangat menyenangkan, karena mbah Gimun sangat mencintai seni topeng 46 . Gunungsari adalah salah satu tokoh dalam cerita panji, dan dalam hampir setiap cerita yang dilakonkan, tokoh Gunungsari selalu hadir. Seperti perang kembang dalam pewayangan, peran Gunungsari merupakan tokoh penyeimbang dalam seluruh kehadiran adegan dalam lakon cerita. Meskipun Gunungsari tidak banyak diceritakan dan atau dilakonkan, tetapi ia selalu hadir. Kehadiran Gunungsari dalam hampir setiap cerita yang dilakonkan inilah kemudian Gunungsari menjadi inspirasi para penari untuk mempertunjukkan dengan kesungguhan hati, dan memang benar, tokoh ini selanjutnya menjadi fenomena yang selalu ditunggu khalayak karena disajikan oleh penari-penari yang memiliki talenta tinggi dan firtousitas mumpuni seperti Mbah Gimun dan Sartono pada generasi satu masa sebelum sekarang ini. Berkelana atau pengelanaan merupakan ide utama dalam jiwa Gunungsari. Seperti Juga tokoh alusan dalam pewayangan adalah ingin menunjukkan bagaimana tokoh alusan digambarkan sedang berkelana entah ingin menemukan apa dan siapa. Yang jelas bahwa dalam pengelanaan, tempaan raga dan jiwa adalah bagian dari perjalanannya, Maka Gunungsari selalu digambarkan sebagai tokoh pengelana mencari kesejatian diri jiwa dan raga. Fakta ini tergambar dalam setiap materi gerak digambarkan sebagai temuan peristiwa atau fenomena, yang kemudian diwujudkan dalam nama ragam gerak. Atas dasar gambaran singkat tersebut, para penari Gunungsari pada setiap perkumpulan Wayang Topeng dan/atau Topeng Dalang menginterpretasi ide pengelanaan sebagai isi tari Gunungsari. Di Malang, di Klaten, di Cirebon, Wayang Topeng dan/atau Topeng Dalang yang merupakan kelanjutan dari pertunjukan kraton, menggambarkan Gunungsari sebagai sang pengelana. Halus budi tetapi ulet, keras hati tetapi tabah dan sabar. Dalam menghadapi 46 Simak Sindhunata dalam Topeng Panji Mengajak Kepada Yang Tersembunyi, Balai Soedjatmoko, 2014:4-19 96 segala pekerjaan yang penuh rintangan, ikhlas menjalaninya. Itulah kemudian Gunungsari disosokkan sebagai yang alus tetapi dinamis penuh semangat hidup. Tari Gunungsari gaya Surakarta, diwujudkan dengan wajah yang selalu tersenyum, gerakan yang halus dinamis (alus lanyap), dengan alunan musik riang tapi lembut. S. Ngaliman adalah seniman Keraton Kasunanan Surakarta menggubah karakter Gunungsari sedemikian itu ke dalam tari Gunungsari Topeng. Tari Gunungsari berkembang di luar tembok keraton kemudian menginspirasi seniman muda tari untuk dikembangkan lagi dalam wujud yang lebih rumit dan serius. Pada Kali ini, peneliti menyajikan tari Gunungsari garapan S. Ngaliman sebagai seniman yang dikenal luas di dalam dan di luar tembok Keraton Kasunanan Surakarta. Sebagaimana diceritakan, Gunungsari menggunakan mahkota bernama tekes, yakni tekes malang. Secara visuial tari Gambar. 41 Topeng Gunungsari tampak depan Koleksi: Wahyudiyanto Gambar. 42 Topeng Gunungsari tampak samping kanan Koleksi: Wahyudiyanto Gunungsari berikut: digambarkan sebagai Gambar. 43 Topeng Gunungsari tampak samping kiri Koleksi: Wahyudiyanto 97 Tekes malang Topeng Sumping Slempang Klat bahu Kalung ulur Sabuk cinde Sampur gendalagiri Epek timang Uncal Kain wiron Keris ladrangan Celana panji Binggel/ gelang kaki Gambar. 44 Sosok Tari Gunungsari dengan rincian busananya 4. Deskripsi Repertoar Tari Gunungsari Seperti juga tari Kelana, Tari Gunungsari dikategorikan sebagai jenis tari dengan genre Pethilan. Namun Tari Gunugsari ciptaan S. Ngaliman ini berbeda dengan gubahan seniman lain yang juga Tari Gunungsari gaya Surakarta. Tari Gunungsari karya S. Ngaliman ini memiliki kekhususan yang spesial dipandang dari kecermatan dalam penuangan ide utamanya. Gunungsari sebagai jiwa pengelana diasumsikan oleh seniman penciptanya sebagai pribadi yang sedang jauh dari norma dan tatanan sosial kemasyarakatan. Kalau diumpamakan dengan kondisi saat sekarang ini, 98 Gunungsari adalah pejabat blusukan ke wilayah-wilayah terpencil hunian rakyat. Ia ingin mendapatkan inspirasi dan aspirasi dari setiap tempat yang dikunjungi sebagai bekal untuk menata hidup diri dan masyarakatnya kelak di kemudian hari. Begitulah kemungkinan besar pandangan Seorang seniman S. Ngaliman yang jauh di masa lalu telah memiliki ketajaman naluri imajinasinya. Sehingga dalam penataan tari Gunungsari ini berbeda dengan tari Pethilan yang juga memiliki strutur sama dengan Wireng. Tari Gunungsari diandaikan tidak sedang dalam pendapa keraton tetapi dalam suatu perjalanan entah dimana yang tentunya jauh dari lingkungan yang serba protokoler. Tari Gunungsari tidak dimulai dengan sembah secara fisik yang harus dilakukan pada tempat pasti seperti tari-tari Wireng lainnya. Tari Gunungsari dimulai dari sebuah perjalanan. Dalam keriangan, dalam penat, dalam letih, dan dalam keharu-biruan batin Sang Gunungsari terartikulasi secara cermat dalam tataan tarinya. S. Ngaliman yang jauh di masa lalu, telah memiliki kesadaran bahwa kepribadian calon pemimpin akan berbeda jika pembentukannya dilakukan dalam timangan kemanjaan dan kelimpahan material, dengan calon pemimpin yang telah sejak muda didera dalam keluasan dan kerasnya tempaan semesta. Keluasan semesta dengan berbagai bentuk kehidupan, berbagai tatanan, berbagai cara hidup, bahkan berbagai ideologi dan pandangan dunianya. Maka Tari Gunungsari memperlihatkan kekuatan mental seorang pangeran yang bukan lagi feodalistik tetapi memiliki jiwa igaliter yang tinggi. Keluasan pikiran hasil tempaan alam, ilmu, dan spiritual telah membentuk jiwanya menjadi Pangeran Gunungsari yang merakyat. Maka Tari Gunungsari diawali dengan kehadirian gending yang bernuansa riang penuh semangat, dan hadirlah Gunungsari dengan lari-lari kecil (srisig) memasuki panggung. Tidak langsung ke tengah area tetapi menyisir sudut-sudut ruang dengan harapan dapat menyapa siapa saja yang ada di sekitarnya. Kesan pertama adalah sifat kerakyatan yang tercermin dalam Tari Gunungsari. Struktur Tari Gunungsari sama seperti tari Pethilan pada umumnya, yaitu: 1) Maju beksan, 2). Beksan, 3) Beksan Kiprah Gambyongan, dan 4). Mundur Beksan. Dalam uraian rinci digambarkan sebagai berikut: 1. Maju Beksan Penari memasuki panggung dari sudut kanan belakang dengan cara kengser, menuju gawang supana sekedar untuk mengenakan topeng dan langsung besut diteruskan srisig. Srisig menuju gawang 99 sudut kiri depan, seblak sampur kiri menghadap sudut kiri depan badan posisi serong/diagonal, bahu kiri berada di depan. Ulap-ulap kiri, tawing, langkah sripet kaki kiri. Kipat srisig kanan menuju gawang sudut kanan depan, seblak sampur kiri, badan posisi serong/diagonal. Bahu kiri berada di depan. Ulap-ulap kiri, tawing, langkah srimpet kaki kiri. Kipat srisig kanan menuju gawang supana, kipat srisig kiri, memutar kembali ke gawang supana. Besut, tanjak kanan, lumaksanan bang-bangan (bambangan), embat tangan kanan kengser menuju gerak beksan. Musik Tari : Lancaran 2. Beksan Gerak sekaran laras sampir sampur, dihubungkan dengan sabetan bandul, diteruskan sekaran gajah-gajahan. Dilanjutkan sekaran engkrang giul separuh, disambung srimpet ngancap ridong sampur, memutar ke kanan seratus delapan puluh (180) derajat, berikutnya nagawangsul, sangga nampa. Srimpet ngancap ridong sampur lagi, disambung srisig Sunda, srisig memutar menuju gawang beksan, diakhiri gerakan besut. Musik Tari: Ketawang 3. Beksan kiprah Gambyongan Dimulai dari gerak lumaksana laras, diteruskan gerak enjer rimong kanan lembehan kanan, rimong sampur kiri dengan langkah memutar penuh hingga kembali ke gawang beksan. Gerakan selanjutnya adalah laras kawilan ogek lambung sampir sampur kiri. Disambungkan dengan gerak srisig sunda, srisig penuh satu putaran ke kiri diteruskan gerak laras pilesan ingset kanan satu putaran penuh. Disambung sindet ukel karna, diteruskan gerak mlaku telu dismbung enjer rimong miring dan madep satu putaran penuh. Dilanjutkan laras embat kiri kanan ogek lambung, srisig sunda satu putaran diteruskan laras kebar ulap-ulap kiri, laras udar rekma kiri lamba nyacah, laras mande sampur satu putaran. Musik Tari : Ladrang 100 4. Mundur Beksan Embat tangan kanan, kenseran mundur menuju gawang supana, besut tanjak kanan, melepas topeng, bergerak mundur, meninggalkan panggung. Musik Tari: Lancaran Untuk mengetahui lebih rinci perihal ragam gerak, uraian gerak, dan gawang (pola lantai) tari Gunungsari, berikutnya dijelaskan beberapa ragam gerak beserta uraiannya yang dipandang penting untuk digambarkan. Maju Beksan Kenser Level normal: Kedua telapak kaki menyentuh lekat dilantai bergerak ke kanan dengan cara menggeser berlawanan kedua kaki hingga ujung ibu jari terlihat membuka dan secara bersamaan kedua tungkak bertemu. Ketika ujung ibu jarimkaki bertemu bersamaan pula tungkak membuka, dan begitu seterunya hingga ada gerakan bergeser ke samping. Keterangan panggung Posisi Samping kanan belakang menuju gawang supana Depan 101 Srisigan ulap-ulap tawing Level normal: Setelah kenser sampai pada gawang supana topeng dikenakan, besut lantas srisig menuju gawang pojok kiri depang. Seblak kiri ulap-ulap tawing kiri, srimpet kaki kiri mlangkah kanan, kipat srisig kanan memutarkanan menuju sudut kanan depan, seblak sampur kiri ulap-ulap tawing kiri (gambar menunjukkan tawing kiri di sudut kanan depan berakhir). Diteruskan besut kipat srisig kanan menuju gawang supana, dilanjutkan kipat srisig kiri satu putaran penuh kembali menujun gawang supana. Besut tanjak kanan, lumaksanan bang-bangan (bambangan), menthang kanan, kenser kiri, hadap depan. Selesai maju beksan diteruskan beksan yang diawali ragam gerak laras sidangan kebyok sampur. Keterangan Panggung Posisi gawang supana bergerak ke depan menuju gawang beksan , Depan 102 Beksan Laras Samir Sampur Level normal: pada posisi tanjan kiri, miwir sampur kanan, sampir sampur di pundak kanan. Ukel tangan kanan, seret kaki kiri ke polok kaki kanan. Kebyok sampur kanan didepan dada, leyek kiri kebyak sampur kiri, leyek kanan, ogek lambung, lepas sampur kanan, kebyak sampur kiri. Ukel mlumah tangan kanan, diteruskan ukel karna kanan, seblak kiri mbandul kaki kiri. Besut. Selesai besut diteruskan laras sidangan gajah-gajahan. Keterangan Panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 103 Laras Sidangan Gajah-gajahan Level normal: pada posisi tanjan kanan, trap puser kanan, tangan kiri nglawe ke samping kiri. Ukel mlumah tangan kiri, ukel trap sumping kiri, leyek kiri, bersamaan dengan ukel trap sumping, kaki kiri seretan ke polok kaki kanan dan kembali tanjak kiri. Ogek lambung dua kali, leyek kanan disertai gebesan kepala menuju trap pusar lagi seperti posisi semula. Gerakan laras sidangan gajah-gajahan dilakukan dua kali. Selesai gerakan laras sidangan Gajah-gajahan diteruskan engkrang. Keterangan panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 104 Laras Sidangan Engkrang giul naga wangsul Level normal: pada posisi tanjan kiri. Gerakan dimulai dari trap pusar kanan dan menthang tangan kiri. Kaki kiri diangkat (perhatikan gambar). Selanjutnya kedua tangan diukel mlumah, diukel lagi tengkurap disertai seret kaki kanan ke polok kaki kiri. Gerakan engkrang giul naga wangsul dilakukan hanya separuh gerak. Kebiasaan engkrang dilakukan penuh hingga terhjadi pengulangan gerakan yang sama sampai dua setengah kali gerakan, selanjutnya dilanjutkan trecetan. Pada kali ini hanya dilakukan sekali gerakan engkrang. Selesai gerakan laras sidangan engkrang dilanjutkan laras ngancap sangganampa Keterangan Panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 105 Laras Ngancap Sangganampa Level normal: pada posisi seretan polok kanan ke kaki kiri, diteruskan srimpet kaki kanan ke depan kaki kiri (berputar menghadap ke belakang). Posisi tangan kanan menthang kanan miwir sampur, tangan kiri ridong sampur, kaki kanan gejug di belakang kaki kiri. Dlianjutkan songgonompo yaitu: kedua tangan masih memegang sampur, tangan kanan diukel mlumah di atas pergelangan tangan kiri. Badan posisi madep hadap kanan, kaki kiri diangkat di belakang kaki kiri. Diteruskan ngancap lagi hingga badan menghadap ke depan, tangan kanan menthang kanan miwir sampur, tangan kiri ridong sampur, kaki kanan gejug di belakang kaki kiri (perhatikan gambar). Diselesainan tanjak kanan, disambung kipat srisig kiri. Selesai gerakan laras ngancap songgonompo dilanjutkan gambyongan yang dimulai dengan gerak batangan Keterangan panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 106 Beksan Kiprah Gambyongan Laras Lumaksana Laras Level normal: pada posisi tanjak kanan. Trap puser kanan, menthang tangan kiri. Secara bersamaan leyek kanan, ukel mlumah tangan kanan, putar tengkurap tangan kiri, leyek kiri embat tangan kiri putar tengkuran tangan kanan njujut kaki kanan lantas mendak kembali. Ukel mlumah tangan kiri bersamaan dengan seret polok kaki kanan ke kaki kiri dilanjutkan mlangkah depan kaki kanan, seblak sampur kanan trap puser tangan kiri tanjak kiri. Laras batangan dilakukan berulang dengan berganti anggota badan secara berlawanan (selesai kiri ganti kanan dan berganti lagi) dilakukan tiga kali. Selesai gerakan lumaksana laras diteruskan enjer rimong mlaku miring lombo Keterangan Panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 107 Laras Kawilan Ogek Lambung Level normal: pada posisi tanjak kanan. Jari tangan kiri miwir sampur, lengan kiri sampir sampur (periksa gambar), tangan kanan trap cethik, hadap wajah ke arah ujung tangan kiri. Gerakan yang dilakukan adalah ogek lambung berulang ulang dan kepala lenggutlenggut. Selesai gerakan laras kawilan ogek lambung diteruskan laras pilesan ingset. Keterangan Panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 108 Laras Pilesan Ingset Level normal: pada posisi tanjak kanan. Kipat sampur kiri hingga sampur menyampir di lengan tangan kiri atas, ukel karna kiri bersamaan dengan seblak sampur kanan, ingset kedua kaki ke arah memutar kanan (perkatikan gambar). Begitu seterusnya dilakukan berulang-ulang hingga posisi hadap depan kembali. Selesai gerakan laras pilesan diteruskan sindet ukel karna, diteruskan mlaku telu rimong kiri. Keterangan Panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 109 Laras Mlaku Telu Rimong Sampur Level normal: pada posisi tanjak kiri. Gerak pertama yang dilakukan adalah sindet ukel karna, diteruskan mundur kaki kanan disambung seret polok kaki kiri bersamaan dengan gerak ambil sampur kiri, lembehan sampur kanan. Melangkah maju kaki kiri disusul melangkah depan kaki kanan, lembehan sampur kanan, rimong sampur kiri. Gerakan mlaku telu dilakukan berulang-ulang disambung dengan gerak berikutnya yaitu mlaku rimong miring dan madep nyacah. Pola lantai yang dibentuk adalah segi empat belah ketupat Selesai gerakan laras mlaku telu rimong sampur dan mlaku rimong miring madep diteruskan lumaksana kencot lenggut-lenggut Keterangan Panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 110 Laras Lumaksana Kencot Lenggut-Lenggut Level normal: pada posisi tanjak kanan menthang tangan kiri. Gerak yang dilakukan adalah Mlengkah ke depan kaki kanan dan kiri secara berurutan dan cepat hingga membentuk tanjak kiri, bersamaan dengan gerakan kaki adalah gerakan tangan kanan menthang kanan, tangan kiri cethik kiri, kemudian gerak encot kiri kanan disertai nengleng kepala kiri kanan sehingga terlihat lenggut-lenggut. Begitu seterusnya gerak dilakukan dengan berlawanan anggota badan. Selesai gerakan laras lumaksanan kencot lenggut-lenggut diteruskan srisig Sunda satu putaran penuh hingga kembali ke gawang sentral tengah, diakhiri dengan kebyak sampur kiri. Keterangan Panggung Posisi Di tengah gawang sentral Depan 111 Laras Kebar Ulap-ulap Kiwa Level normal: pada posisi tanjak kanan, besut menghadap ke samping kiri. Ulap-ulap kiri, yaitu tangan kiri didekatkan ke pelipis mata kiri siku ditekuk serong, tangan kanan cethik kanan. Leyek kanan, yakni posisi badan berat di kaki kanan. Selanjutnya leyek kiri, kepala dipatahkan ke kiri kanan dengan cepat, berikutnya leyek ke kanan kepala dipatahkan kiri kanan lagi, ke kiri dan diulangi lagi dengan diawali gerakan lombo selanjutnya gerak ngracik. Selesai gerakan laras kebar ulap-ulap kiwa diteruskan besut hadap ke depan Keterangan Panggung Posisi Di depan tengah gawang sentral Depan 112 Laras Kebar Usap Rekma Level normal: pada posisi tanjak kanan, kedua tantan didekatkan di depan dada samping kiri (perhatikan gambar). Gerak berikutnya Gerakkan tangan secara berlawanan naik dan turun memutar satu putara disertai tolehan wajah ke arah tangan. Selanjutnya ingset kanan, lakukan gerakan yang sama seperti semula tetapi arah majah dibuang ke samping kanan penuh. Gerakan ini dilakukan berulang dua kali lombo (lambat) dan dua kali racik (cepat). Selesai gerakan laras kebar usap rekma diteruskan gerak mande sampur nyacah nyamping kanan memutar. Keterangan panggung Posisi Di depan tengah gawang sentral Depan 113 Mundur Beksan Laras Kebar Mande Sampur Level normal: pada posisi tanjak kanan, Kaki kiri srimpet ke belakang kaki kanan, tangan kanan ambil sampur kanan dilenpar dan ditangkap tangan kiri menjadi tanjak kanan kembali (perhatikan gambar). Berikutnya melangkah miring kanan bergerak memutar, pada langkah hitungan delapan tangan kiri menthang kiri dan terus bergerak memutar hingga satu putaran penuh. Selesai gerakan laras kebar mande sampur diteruskan gerak menthang tangan kanan, kenser kiri menuju gawang supana. Keterangan Panggung Posisi di depan tengah gawang sentral Depan 114 Melepas Topeng Mundur Gawang Level normal: pada posisi tanjak kanan, besut memutar hingga hadap kembali ke depan, melepas topeng, bergerak mundur meninggalkan gawang supanan kembali ke tempat persiapan menari. Keterangan panggung Posisi Ke gawang supana Depan 115 5. Deskripsi Ideasi Tari Golek Manis Golek atau boneka merupakan miniatur manusia adalah suatu mainan berbentuk manusia yang pada awalnya dikhususkan untuk mainan anakanak perempuan dan atau remaja puteri. Raut wajah golek bisa bermacammacam, menggambarkan balita 46 dan atau remaja puteri 47 . Berkembang berikutnya Golek berjenis laki-laki, berparas anak-anak atau remaja, bahkan dewasa. Berkembang lagi berbagai macam Golek yang diketahui di toko-toko mainan adalah Golek yang menggambarkan tokoh-tokoh imajiner, seperti: Superman, Badman, Spiderman, dan berbagai macam tokoh karakteristik lainnya yang melimpah. Dalam kaitan penelitian ini, Golek atau boneka yang digunakan sebagai nama tari gaya Surakarta adalah interpretasi seorang seniman terhadap Golek. Golek sebagai mainan yang lazim digunakan oleh masyarakat jawa lampau adalah Golek dalam kategori miniatur manusia balita, berwajah mungil, jenis perempuan. Interpretasi seniman terhadap Golek mungil perempuan ini memberi muatan kepada yang lembut, feminin, lucu, lugu, jelita, bisa juga ceria dalam kewajarannya. Golek yang dalam budaya Jawa dibayangkan sebagai yang alus, lembut, dan feminin ini selanjutnya diberikan kepada anakanak sampai dengan remaja puteri dimaksudkan untuk dapat membantu membentuk karakter kepribadiannya. Dengan harapan setiap anak perempuan dalam perkembangan menuju kedewasaannya memiliki sifat-sifat keputerian sebagaimana diidamkan oleh budaya masyarakatnya sebagai remaja puteri yang cantik, lembut, feminin yang anggun, yang memiliki sifat sopan dan santun. Interpretasi seniman tari terhadap karakteristik Golek yang demikian itu diwujudkan ke dalam tari dinamakan Tari Golek. Karakteristik Tari Golek nyata dalam wujud rangkaian gerak dan musik tari. Ekspresi dapat dilihat dan dirasakan sebagai yang lembut, cantik, feminin, anggun, lincah, tetapi jugu lugu yang lucu, dengan raut wajah yang berbinar ceria. Tari Golek gaya Surakarta dikenal ada beberapa nama pernah disebut pada bab. sebelumnya seperti: Tari Golek Sri Rejeki, Tari Golek Montro, Tari Golek Manis, Tari Golek Sulung Dayung, dan Tari Golek yang lain yang tidak disebut dalam laporan penelitian ini. Pada kesempatan ini yang dibahas adalah Tari Golek Manis. Sebagaimana nama tarian yaitu Golek Manis mencitrakan imajinasi tentang 46 Balita atau bayi dibawahn usia lima (5) tahun yang menunjukkan karakter tubuh dan raut wajah yang masih bayi. Golek atau boneka balita berarti menggambarkan postur tubuh dan wajah yang masih balita. 47 Boneka barby adalah contoh dari boneka atau golek yang berparas remaja puteri. 116 gambaran seorang remaja puteri yang lembut, feminin, anggun, ceria yang manis. Manis sebagai kata ganti yang cantik merupakan citra kecantikan remaja puteri Jawa utamanya Jawa Surakarta. Manis diinterpretasikan dari kulit tubuh perempuan Jawa Tengah Surakarta (puteri Solo) yang tidak kuning dan juga tidak coklat. Diantara kuning dan coklat disebut sebagai sawo mateng 48 atau kuning langsep. Idealitas tentang citra keputerian perempuan muda Jawa Surakarta yang sedang menanjak usia menuju kedewasaan digambarkan dalam Tari Golek Manis. Tari Golek Manis dalam suatu kesempatan digambarkan sebagai berikut: Bulu asesori rambut Rambut bentuk gelung kecil Jamang kuning polos Sumping kuling polos Gelang kuning polos Klat bahu motif burung Baju rompi Epek timang Sampur Kain jarit motif parang rusak bentuk sabuk wala Gambar: 45 Sosok Tari Golek Manis dengan Rincian Busananya 48 Sawo mateng adalah buah sawo yang telah masak. Warna buah sawo yang telah masak adalah tidak terlalu kuning juga tidak terlalu coklat disebut juga kuning langsat. 117 6. Deskripsi Repertoar Tari Golek Manis Tari Golek Manis menggambarkan perempuan usia anak-anak beranjak menuju remaja dan dewasa. Sifat manja, lugu, dan ceria menghias di wajah mencerminkan karakter khas keputerian (putri Solo) Surakarta. Karena tidak menggambarkan figur tokoh tertentu maka tidak didapati karakter spesifik. Kepenarianpun tidak diperlukan spesialisasi betuk dan ukuran fisik. Sebagaimana lazim didapati bahwa bentuk fisik tubuh anak perempuan Jawa Surakarta secara umum terlihat pada gambar empat puluh lima (45). Tidak gemuk juga tidak kurus. bentuk fisik seperti ini merupakan gambaran ideal yang mencapai kepantasan untuk dapat mewakili rata-rata remaja puteri Jawa. Namun demikian, dalam Tari Golek Manis tidak menampik ukuran tubuh yang kurang atau tidak sepadan dengan yang digambarkan tersebut. Prinsip Tari Golek Manis adalah wujud perkembangan kejiwaan anak perempuan yang relatif polos lugu dalam fisik dan emosinya, keceriaan yang wajar, dan raut wajah yang alami yang selanjutnya mendapat penegasan dari unsur tata rias dan busana. Karakteristik Tari Golek digolongkan ke dalam kualitas puteri lanyap (endhel). Ditarikan dalam format tunggal, namun demikian dapat pula disajikan dalam bentuk kelompok yang mendapat perluasan aspek keruangan. Seperti juga jenis tari gaya Surakarta, bahwa genre Tari Golek Manis merupakan pengembangan dari genre bedhaya yang lebih awal dari sisi struktur penyajian, seperti juga wireng, pethilan dan genre-genre lainnya. Maka dapat diketengahkan disini struktur tari Golek Manis: 1). Maju Beksan, 2). Beksan, 3). Beksan Gambyongan, dan 4). Mundur Beksan. Secara rinci digambarkan sebagai berikut: 1. Maju Beksan Lumaksana putren, kipat srisik diteruskan srisig kanan memutar penuh satu lingkaran menuju gawang supana. Sindet kanan diteruskan lumaksana miwir sampur, duduk jengkeng, diteruskan sembahan laras jengkeng puteri. Musik tari : Lancaran 2. Beksan Sekaran Laras kapang-kapang Musik tari: Ketawang 118 3. Beksan Gambyongan Sekaran ulap-ulap kanan, sekaran ulap-ulap kiri. Sekaran alisan ukel karna kiri, sekaran alisan ukel karna kanan. Mlaku srimpet miring kanan satu putaran penuh, srisig kanan satu putaran penuh. Dilanjutkan sekaran ulap-ulap ukel karna kanan dan ukel karna kiri. Ngilo asta kanan dan ngilo asta kiri. Mlaku nyacah miring kanan, diteruskan sendi kebyok kebyak sampur (Yogyanan), diteruskan kipat srisig dan srisig kanan. Sekaran seblak sampur ukel karna, diteruskan panggel, mentang tangan kanan, debeg gejuk kaki kiri, kenser kiri, dilanjutkan sekaran ukel mlumah mengkurep asta kanan dan kiri. Sekaran usap rikma kanan, usap rikma kiri. Sekaran mande sampur mlaku miring, mlaku mengarep. Sekaran lumaksana lembehan miwir sampur kanan kiri. Enjer ridong sampur, kipat srisig diteruskan srisig kanan satu putaran. Ditutup dengan sekaran laras kapang-kapang. Musik tari: Ladrang dan ketawang 4. Mundur Beksan Duduk jengkeng, sembahan laras jengkeng, diselesaikan dengan srisig mundur gawang. berdiri kipat srisig, Musik tari: Lancaran Untuk mengetahui lebih rinci perihal ragam gerak, uraian gerak, dan gawang (pola lantai) tari Golek Manis, berikut dijelaskan ragam gerak beserta uraiannya. 119 Maju Beksan Lumaksana Putren Level normal: Dari Sudut kiri belakang, penari bergerak maju menuju gawang supana menggunakan ragam gerak lumaksana putren. Lumaksanan putren dimulai dari sikap adeg normal sebagaimana adeg tari puteri. Melangkan kaki kanan ke depan, kedua lengan bawah ditekuk beradu di depan dada (ulu hati). Posisi pergelangan tangan kanan di atas, tangan ditekuk ke atas, posisi jari tangan nyekithing. Posisi pergelangan tangan kiri bertemu dengan pergelangan tangan kanan, tangan ditekuk diarahkan ke bawah, jari-jari tangan nyekithing, polatan ke arah serong kanan depan. Langkah berikutnya adalah kaki kiri ke depan, kedua tangan diayun dipenthangkan ke arah kiri kanan sesuai dengan kedudukan tangan sebagai anggtota tubuh, polatan diarahkan ke serong kiri depan. Begitu seterusnya gerakan diulang-ulang sesuai dengan jumlah langkah yang ditetapkan. Selesai gerak lumaksanan putren disambung dengan kipat srisig, diteruskan srisig kanan melingkar satu putaran penuh menuju gawang supana. Keterangan Panggung Posisi Di Samping kiri belakang menuju gawang supana Depan 120 Sembahan Laras Jengkeng Level rendah: dimulai dari sindet kanan diteruskan lumaksanan miwir sampur diakhiri duduk jengkeng, yakni pantat menduduki kaki lutut kiri mendongak ke atas. Dilanjutkan gerak sembahan laras, yaitu dilulai dari: tangan kiri ngrayung di atas lutut kiri, tangan kanan nyekithik cethik kanan, gedeg kepala. Dilanjutkan tangan kiri diayun pelan ke belakang diikuti tolehan kiri mengikuti arah ayunan tangan, selanjutnya tangan kiri kembali ke lutut kiri, arah pandangan kembali ke tengah. Kapyuk sampur kanan ke tangan kiri disertai lenggut dagu, seblak sampur kanan ke belakang diikuti tolehan kepala.Diteruskan penthang tangan kanan miwir sampur, toleh kiri, tekuk siku kanan, tolehan ke kiri, dorong tangan kanan lurus diikuti tolehan kanan. Lepas sampur, embat tangan kanan diikuti toleh kiri, dorong lagi tangan kanan diikuti tolehan kanan. Embat tangan kanan, ambil sampur kapyuk sampur kanan disertai lenggutan dagu. Seblak sampur kanan ke belakang, tangan kanan menyentuh lantai dan menyangga tubuh, badan mendongak ke belakang, tangan kiri lurus di atas lutut kiri. Gedeg kepala, diteruskan sampur kanan ditarik ke depan lurus, lepas. Kedua tangan ukel mlumah dan mengkurep diteruskan sembah (kedua telapak tangan nelangkup di tarik ke depan hidung). Diteruskan trap jengkeng seperti jengkeng semula. Keterangan Panggung Posisi gawang supana di tengah bagian belakang Depan 121 Beksan Laras Kapang-Kapang Level normal: Laras kapang-kapang dilakukan separuh dari keseluruhan ragam gerak kapang-kapang. Dimulai berdiri dari sembahan laras. Sidet, seblak kanan tolehan kanan. Ambil (miwir) sampur kanan, gejug kaki kiri, tekuk siku kanan , tanjak kiri mendak badan, tolehan kiri (perhatikan gambar). Diteruskan dorong lurus tangan kanan ke samping kanan, tolehan ke kanan,, kaki kiri melangkah ke serong kanan. Lepas sampur, tekuk siku kanan, kembali tanjak kiri mendak, tolehan kiri, tangan kiri trap cethik. Dorong lagi tangan kanan, kaki kiri mlangkah serong kanan, tolehan ke kanan, leyek kiri, toleh kiri, menthang tangan kanan, polatan kiri. Setelah gerak laras kapang-kapang diteruskan ragam gerak panggel. Keterangan Panggung Posisi gawang supana di tengah bagian belakang Depan 122 Beksan Gambyongan Sekaran Ulap-Ulap (kiri dan kanan) Level normal: Dimulai dari ragam panggel, yaitu: debeg gejug kaki kanan, mundur kaki kanan, kedua tangan trap puser, tangan kiri menumpang di atas tangan kanan, ukel mlumah kedua tangan, ukel mengkurep kedua tangan, diakhiri seblak kedua sampur. Selanjutnya sekaran ulap-ulap kanan. Ulap-ulap kanan dimulai gerak tangan kanan trap alis kanan, tangan kiri trap cethik kiri. Hoyog kanan tolehan kanan, hoyog kiri tolehan kiri, hoyog kanan toleh kanan lagi dan hoyog kiri toleh kiri, diakhiri badan tegak. Demikian juga sekaran ulap-ulap kiri, dilakukan seperti sekaran ulap-ulap kanan tetapi dimulai dari trap alis kiri dan trap cethik kanan. Hoyog ke kiri kemudian kanan, kiri lagi dan kanan lagi sampai kembali pada posisi badan tegak. Setelah gerak sekaran ulap-ulap kanan kiri disambung ukel tangan mlumah mengkurep, seblak kedua sampur. Keterangan Panggung Posisi gawang supana menuju gawang sentral tengah Depan 123 Sekaran Alisan Ukel Karna (kiri dan kanan) Level normal: Sekaran alisan ukel karna kanan dimulai dari hoyog tubuh ke kanan, tangan kiri songgo nompo di depan dagu, tangan kanan menumpang di atas tangan kiri. Gerak berikutnya tangan kanan ditarik di alis kanan diikuti leyek kanan, tangan kiri didorong ke serong kiri. Kedua tangan kembali pada posisi semula, digerakkan lagi trap alis, dan diakhiri ukel karna tangan kanan. Sekaran alisan ukel karna kiri dimulai dari hoyok tubuh ke kiri, tangan kanan songgo nompo di depan dagu, tangan kiri menumpang di atas tangan kanan. Gerak berikutnya tangan kiri ditarik ke alis kiri, leyek kiri, tangan kanan didorong ke serong kanan depan. Berikutnya kedua tangan kembali pada posisi semula. Digerakkan lagi tangan kiri ke alis kiri leyek kiri, tangan kanan didorong ke serong kanan depan, diakhiri ukel karna tangan kiri. Setelah gerak sekaran alisan ukel karna disambung ukel tangan mlumah mengkurep seblak kedua sampur. Keterangan panggung Posisi gawang supana menuju gawang sentral tengah Depan 124 Mlaku Srimpet Miring Level normal: Dimulai dari kedua tangan mentang, hoyog kanan, hoyog kiri. Kedua tangan ukel mlumah di depan dada, srimpet kaki kiri, ukel karna tangan kiri polatan ke kiri, seblak sampur kanan, napak kanan kaki kanan, polatan ke kanan. Gerak mlaku srimpet miring ini dilakukan lima (5) kali dengan arah gerak memutar ke kanan hingga satu putaran penuh. Setelah gerak mlaku srimpet miring dilanjutkan kipat srisig, srisig kanan satu putaran penuh searah jarum jam. Keterangan Panggung Posisi gawang supana menuju gawang sentral tengah Depan 125 Sekarang Ulap-Ulap Ukel Karna Level normal: Sekaran ulap-ulap ukel karna kanan dimulai dari tangan kanan ukel karna kanan, tangan kiri posisi ulap-ulap kiri, arah hadap (polatan) kanan. Gerak berikutnya hoyog kiri, polatan kiri, hoyog kanan, polatan kanan, usap sumping kanan. Hoyog kiri, polatan kiri, usap sumping kanan. Hoyog kanan, ukel karna kanan polatan kanan, badan ndudut, gedeg ke tengah, badan kembali normal (mendak). Gerak berikutnya: ukel mlumah kedua tangan, diakhiri seblak kedua sampur. Berikutnya gerak sekaran ulapulap ukel karna kiri yaitu dilakukan sama seperti sekaran ulap-ulap ukel karna kanan tetapi menggunakan anggota badan yang berlawanan dengan ulap-ulap kanan. Setelah gerak sekaran ulap-ulap ukel karna dilanjutkan gerak penghubung sindet seblak sampur. Keterangan Panggung Posisi gawang supana menuju gawang sentral tengah Depan 126 Sekarang Ngilo Asta Level normal: Dimulai sindet seblak sampur yaitu ukel mlumah kedua tangan di depan puser, diteruskan seblak kedua sampur. Dilanjutkan gerak sekaran ngilo asta kanan yaitu: kedua tangan dirapatkan menyilang di depan dada, posisi tangan kiri di luar (perhatikan gambar), posisi badan hoyog kanan polatan kanan. Diteruskan hoyog kiri polatan kiri. Bergerak hoyog kanan polatan kanan, hoyog kiri polatan kiri dan diakhiri posisi badan kembali ke tengah, polatan ke tengan depan. Dilanjutkan kedua tangan ukel mlumah di depan puser, diakhiri seblak kedua sampur. Diteruskan ngilo asta kiri, yaitu kedua tangan dirapatkan menyilang di depan dada, posisi badan hoyog kiri,m polatan diri. Dilanjutkan hoyog kanan, kedua tangan menthang, polatan kanan, dilanjutkan yoyog kiri, kedua tangan kembali menyilang di depan dada, polatan ke kiri, kembali hoyog kanan, kedua tangan menthang, polatan kanan, diakhiri gerak badan menuju posisi normal tengah. Setelah gerak sekaran ngilo asta dilanjutkan embat kedua tangan, kenser kiri polatan kanan, diakhiri trap cethik masing-masing kedua tangan. Keterangan Panggung Posisi gawang supana menuju gawang sentral tengah Depan 127 Mlaku Nyacah Miring Level normal: trap cethik kedua tangan, diteruskan mlangkah kaki kanan ke samping kanan, tangan kanan menthang kanan, polatan ke kanan. Gerak berikutnya tangan kiri menthang kiri, kaki kiri melangkah di belakang kaki kanan, polatan ke kiri. Melangkah kaki kanan, tangan kanan trap cethik, polatan ke kanan, dilanjutkan mlangkah kaki kiri di belakang kaki kiri, polatan ke kanan. Dilanjutkan lagi melangkah kaki kanan ke samping kanan, tangan kanan menthang kanan, polatan ke kanan, dan begitu seterusnya diulang-ulang gerakannya Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral agak menyudut kanan belakang Depan 128 Sekaran Sendhi Sampur Level normal: Sekaran sendhi sampur dimulai dari posisi kebyok kedua sampur hadap pojok kiri depang. Gerak dilanjutkan kebyak sampur kanan, toleh kanan, kaki kanan melangkah ke depan (perhatikan gambar). Diteruskan kebyak sampur kiri, toleh kiri, kaki kiri melangkah ke depan. Kebyok kedua sampur, mjelangkah kaki kanan ke depan. Toleh kanan, toleh kiri, kedua tangan digerakkan berlawanan ke atas ke bawah dua kali. Diteruskan sekaran sendhi berikutnya dengan gerakan yang sama sebanyak tiga kali. Setelah gerakan sekaran sendhi diteruskan gerak penghubung kipat srisig dilanjutkan srisig kanan satu putaran Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral agak menyudut kanan belakang Depan 129 Laras Embat Ukel Karna Level normal: Besut, seblak sampur kanan, diteruskan embat tangan kanan, tolehan kanan, tangan kiri trap cethik kiri. Ukel mlumah tangan kanan diteruskan ukel karna kanan, tolehan kiri kanan penuh dilakukan tiga kali tolehan kiri kanan. Menthang tangan kanan, embat diteruskan leyek badan ke kiri, tolehan kiri. Debeg gejug kaki kanan diselesaikan dengan panggel. Dilanjutkan debeg gejuk kaki kiri, penthang tangan kanan, badan hadap serong kiri belakang. Debeg gejug kaki kiri, embat tangan kanan, diteruskan kenser kiri. Diteruskan putar leyek ke kiri hingga hadap depan. Setelah gerakan kenser diteruskan gerak penghubung ukel mlumah kedua tangan, diakhiri seblak kedua sampur. Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral agak menyudut kanan belakang Depan 130 Sekaran ayunan tangan (kanan dan kiri) Level normal: Sekaran ayunan tangan kanan dimulai dari posisi tanjak kanan, lengan kanan menthang ke depan, jari tangan bentuk nyekithing, menghadap mlumah (ke atas) tolehan ke arah samping kanan, tangan kiri menyentuh siku (sikut) tangan kanan, badan leyek ke kanan. Berikutnya tangan kanan diputar mengkurep (tengkurap), pandangan ke kiri, badan leyek ke samping kiri (perhatikan gambar). Selanjutnya. Badan digerakkan (leyek) ke kanan, tolehan ke kanan, pusisi tangan mlumah, diselesaikan dengan gerakan badan njujut, ukel tangan kanan ke dalam penuh, badan kembali normal tanjan kanan. Berikutnya Sekaran ayunan tangan kiri adalah sama dengan gerakan sekaran ayunan tangan kanan, hanya saja dilakukan dengan anggota badan yang berlawanan dengan sekaran ayunan tangan kanan. Setelah gerakan sekaran ayunan tangan kanan dan kiri diteruskan gerak sekaran usap rikma. Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral agak menyudut kanan belakang Depan 131 Sekaran Usap Rikma (kanan dan kiri) Level normal: Dimulai dari gerak penghubung: Ukel mlumah kedua tangan di trap puser, seblak kedua sampur, dilanjutkan sekaran usap rikma kanan. Sekaran usap rikma dilakukan pada posisi tanjak kanan. Tangan kanan mengusap rambut (rikma) bagian atas, tangan kiri mengusap rikma bagian bawah, polatan ke arah samping kanan, badan leyek kanan (perhatikan gambar). Berikutnya tangan diputar bergantian mengusap. Tangan kiri mengusap rambut bagian atas, tangan kanan mengusap rambut bagian bawah, polatan diarahkan ke samping kiri. Selanjutnya diulang seperti gerakan yang pertama hingga masing-masing tangan mengusap tiga kali, diakhiri tanjak kanan normal. Diteruskan usap rikma kiri, dimulai gerak penghubung seperti semula dan dilanjutkaan sekaran usap rikma kiri. Sekaran usap rikma kiri dilakukan sama dengan sekaran usap rikma kanan hanya dilakukan dengan anggota badan yang berlawanan dengan sekaran usap rikma kanan. Setelah gerakan sekaran usap rikma kanan dan kiri diteruskan gerak sekaran mande sampur. Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral agak menyudut kanan belakang Depan 132 Sekaran Mnde Sampur Level normal: Dimulai dari gerak penghubung: menthang kedua tangan hadap sudut kiri depan. Dilanjutkan gerak sekaran mande sampur, yaitu: tangan kiri mengambil sampur, tangan kanan pegang sampur di trap cethik kanan. Diteruskan berjalan dengan langkah kaki kanan, kiri, kanan lagi dan bergantian sebagaimana berjalan pada umumnya mengarah ke depan. Diteruskan dengan tangan kiri menthang sampur kiri, tangan kanan tetap pada posisi semula trap cethik pegang sampur. Arah berjalan miring kanan dan dilakukan beberapa langkah miring, dilanjutkan langkah ke depan posisi tangan kembali mande sampur. Setelah gerakan sekaran mande sampur diteruskan gerak lumaksana lembehan sampur lelebotan. Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral agak menyudut kanan belakang Depan 133 Sekaran Lumaksana Lembehan sampur Lelebotan Level normal: Dimulai dari seblak kedua sampur diteruskan lumaksanan lembehan sampur lelebotan. Lumaksana lembehan sampur lelebotan diawali gerakan kaki kanan melangkah ke depan, tangan kiri nyekithing miwir sampur ke arah depan dada, tangan kanan seblak sampur, polataan ke serong kiri, badan dileyekkan ke kanan. Diteruskan langkah kaki kiri, tangan kanan nyekithing miwir sampur di depan dada, seblak sampur kiri, leyek badan ke kiri, polatan ke serong kanan. Begitu lengkah berikutnya dilakukan dengan gerakan yang sama hingga enam kali langkah. Gerak berikutnya adalah mlaku miring nyacah kanan kebyok sampur kiri, diikuti tolehan kanan dan kiri mengikuti langkah kaki. Mlaku miring dilakukan melingkar satu putaran penuh. Setelah gerakan lumaksanan lembehan sampur lelebotan diteruskan kipat srisig kanan, dkiteruskan srisig arah kanan melingkar satu putaran penuh. Keterangan Panggung Posisi Di belakang gawang sentral agak menyudut kiri belakang Depan 134 Sekaran Laras Kapang-Kapang Level normal: Laras kapang-kapang dilakukan penuh dari keseluruhan ragam gerak kapang-kapang. Dimulai ambil (miwir) sampur kanan, gejug kaki kiri, tekuk siku kanan, tanjak kiri mendak badan, tolehan kiri (perhatikan gambar). Diteruskan dorong lurus tangan kanan ke samping kanan, tolehan ke kanan, kaki kiri melangkah ke serong kanan. Lepas sampur, tekuk siku kanan, kembali tanjak kiri mendak, tolehan kiri, tangan kiri trap cethik. Dorong lagi tangan kanan, kaki kiri mlangkah serong kanan, tolehan ke kanan, leyek kiri, toleh kiri, menthang tangan kanan, polatan kiri. Gerakan ini dilakukan sebanyak dua setengah kali, diteruskan kebyak sampur kiri, engkyek, ogek lambung. Setelah gerakan sekaran laras kapang-kapang diteruskan kipat srisig kanan, diteruskan seblak sampur kanana debeg gejug kaki kiri, ambil sampur, duduk jengkeng. Keterangan Panggung Posisi Gawang supanan sedikit ke depan Depan 135 Mundur Beksan Sembahan Level normal: Gerakan sembahan jengkeng berbeda dengan sembahan laras jengkeng. Sembahan jengkeng dilakukan dengan posisi jengkeng (lihat gambar) dilanjutkan lenggut dagu diteruskan sembah, yaitu kedua telapak tanga bertemu (nelangkup), ujung ibu jari didekatkan ke ujung hidung. Diteruskan posisi jengkeng semula. Setelah gerakan sembahan diteruskan kipat srisig kanan, mundur beksan, kembali ke gedhongan. Keterangan Panggung Posisi Gawang supana Depan 136 Srisig Level normal: Srisig mundur beksan dari gawang supana kembali ke gedhongan. . Keterangan Panggung Posisi Kembali ke gedhongan Depan 137 BAB V PENUTUP 1. Intisari Pembahasan Tari gaya Surakarta merupakan produk kebudayaan besar Keraton Kasunanan Surakarta masa lampau di Jawa Tengah. Sebagai produk dari pusat kebudayaan besar diketahui memiliki perjalanan kehidupan panjang hingga menetaskan kaidah-kaidah, jenis genre dan jenis kualitas, garap koreografi, dan tema-tema yang mendasari karakteristik penyajiannya. Lebih spesifik lagi, tari gaya Surakarta mempunyai konsep keindahan, repertoar dan teknik-teknik gerak, serta fungsi dalam kehidupan masyarakatnya. Setelah ditelusuri berdasarkan pemetaan topik bahasan, didapati berbagai pengetahuan sebagai berikut: a. Tari Gaya Surakarta merupakan bagian kebudayaan kesenian dari kerajaan Mataram baru masa lampau di Jawa Tengah. Perjanjian gianti yang membagi Mataram menjadi Kasunanan di Surakarta dan Kasultanan di Yogyakarta berimplikasi pada kewenangan pengembangan kekayaan kebudayaan seni. Seni tari yang tumbuh di keraton Kasunanan di Surakarta membentuk gaya tersendiri meskipun genre terbilang sama dengan genre-genre yang juga tumbuh berkembang di Kasultanan di Yogyakarta. Gaya Kasunanan di Surakarta ini lebih dikenal sebagai tari gaya Surakarta. b. Berdirinya negara kesatuan dalam bentuk republik berimbas pada fungsi keraton yang tidak lagi memilki kekuasaan politik tetapi sekedar sebagai pelestari kebudayaan termasuk juga kesenian. Para pelaku budaya seni di dalam keraton leluasa mengembangkan kesenian di luar tembok keraton sebagai bentuk eksistensi dan profesi. Kehadiran para pelaku budaya seni keraton di dalam masyarakat mendapat apresiasi bergairah ditandai lahirnya berbagai penggiat seni dalam bentuk lembaga formal, informal, ataupun non formal. Kehadiran lembaga-lembaga ini kesenian kraton mendapat kesempatan tumbuh berkembang selain persebaran, juga kuantitas dan kualitasnya. Pada lembaga pendidikan tingkat tinggi dan lembaga pengembang seni yang memiliki kewenangan pengembangan seni mendapat kesempatan seluas-luasnya melihat seni keraton dari 138 berbagai dimensi, selanjutnya melahirkan kajian mendalam sisi ilmu, sain, dan teknis seni. Ilmu dan sain merupakan cerminan berbagai nilai yang mendasari keberadaan seni terungkap dalam kajian menyeluruh kebudayaan besar dari sebuah lokus/wilayah. Sisi teknis diketahui telah berkembang berbagai jenis genre dan kualitas, konsep keindahan, repertoar, bahkan gaya terdeteksi melalui teknik-teknik pelaksanaan gerak. c. Kebudayaan besar keraton Kasunanan yang multi lapis dalam sistim, tatanan, kepercayaan, dan ideologi dalam memandang politik dan kemasyarakatan tercermin dalam genre-genre karya tari. Bedhaya dan Srimpi yang sakral religius, Wireng, Pethilan dan/atau Wireng Pethilan yang heroik sekaligus romantis, Gambyong dan Golek yang menghibur, Wayang Orang, Dramatari, Kelompok Bertema, yang lebih menggambarkan keragaman karakteristik dalam interaksional, sistematis dalam penanaman dan penggambaran nilai-nilai kemanusiaan, juga kronologis yang menunjukkan kualitas akademisnya. d. Pembagian karakteristik dalam jenis-jenis kualitas tari gaya Surakarta memberitahukan kepada kita bahwa setiap manusia memiliki jenis dan nilai fisiologisnya sendiri yang membawa sifat-sifatnya khas pribadi, sehingga dalam pandangan alus dan kasar dalam budaya Jawa merupakan dualitas interaksional yang berkelanjutan dalam dialektis membentuk kebudayaannya. e. Kesatuan budaya alus dan kasar berlanjut pada nilai keindahan seni, bahwa yang indah bukan sebatas hasil cerapan inderawi dari objek seni yang stilistik semata tetapi bahwa di dalam objek seni stilistik terkandung nilai moral yang dihayati dari etika alus dan kasar. Antara alus dan kasar tercermin beragam karakter humanistik yang diberlakukan sebagai rambu pembatas normatif berbagai nilai moral dan kepantasan. Maka di dalam nilai keindahan tercermin nilai-nilai yang menyenangkan, menggairahkan, mendidik, kesopanan, kepatutan, keluhuran budi, dan sebagainya yang terakumulasi dalam bahasa filosofi “adi luhung”. f. Bentuk seni yang oleh masyarakatnya dikatakan “adi luhung”, dalam praktiknya diikat oleh semacam kaidah-kaidah yang mengatur perilaku teknis, penghayatan maupun yang berdimensi filosofis. Beberapa aturan teknik hingga yang bersifat filosofis dapat dikenali 139 g. Tari gaya Surakarta sebagai kelanjutan kebudayaan masa lampau tetap berkembang hingga kini, baik persebaran, kuantitas dan kualitasnya karena unsur nilai kemanusiaan melekat di dalamnya. Nilai humanitas yang diambil dan/atau diinspirasi dari berbagai sumber yang dikenal umum masyarakat Jawa dijadikan “roh” merupakan tema penggerak eksistensi setiap repertoar tari. Maka kesatuan wujud yang fisiologis, yang tematis, membentuk karakteristik yang unikum. Yang unikum menjadi otentik sebagai cerminan nilai budaya dan terus hidup berkembang mengikuti arus budaya penyangganya. Dalam kehidupannya, tari gaya Surakarta terus bersinergi sebagai produk sekaligus inspirasi bagi kehidupan masyarakatnya kini dan ke depan. Menggambarkan keberlanjutan yang lampau tetapi otentik pada masa kini, dan memberi rangsangan kreatif untuk masa ke depan. h. Keberadaan tari gaya Surakarta yang terkategorisasi dalam genre dan jenis kualitas membawa perangkatnya sendiri berupa: karakteristik melalui tema-tema, berupa jenis gerak beserta sifat, motif, dan tekniknya, struktur tari dengan pembagian ruas-ruas fraza yang membentuk alur penyajian. Perangkat tari sedemikian ini menciptakan tari gaya Surakarta dalam pilahan yang gagah, alus, dan lembut keputrian dengan berbagai karakter dan sifatnya yang lebih spesifik. Pada dimensi kemasyarakatan, tari gaya Surakarta difungsikan menurut genre, jenis kualitas, dan karakter perilakunya, maka terdapat tari gaya Surakarta yang difungsikan sebagai persembahan karena karakter sakralnya. Terdapat perilaku tari gaya Surakarta yang titik fokus pada aspek nilai wigati, maka menempati posisi yang estetik dalam nilai pertunjukannya. Terdapat pula jenis tari yang dapat memberi kesenangan umum maka fungsi hiburan melekat pad jenis tarian tersebut. Namun demikian bahwa kebutuhan kehadiran tari dalam berbagai perhelatan instansional dan organisasi kemasyarakatan, seringkali mengaburkan idealitas fungsi-fungsi tersebut terkait dengan jenis repertoar yang disajikan. i. Repertoar tari yang terdefinisi dalam tulisan ini menggambarkan sebagian dari sekian besar kebudayaan seni tari gaya Surakarta adalah contoh nyata perilaku dalam budaya alus dan kasar. Tari Klana sebagai cerminan yang kasar, Tari gunung sari sebagai cerminan yang alus, dan tari Golek Manis menyajikan yang alus tetapi memiliki sifat 140 dinamis, maka dikarakterisasai sebagai yang lanyap/endhel adalah cerminan kausalitas kehidupan manusia sebagian dan menyeluruhnya. Rapertoar tari tersebut terwujud melalui proses ideasi berkelanjutan lintas generasi hingga mengkristal dalam ketokohan penari yang melegenda. j. Pendeskripsian ketiga repertoar tari gaya Surakarta tersebut mendapatkan kejelasan mengenai latar belakang terwujudnya tari, tema tari, jenis genre dan kualitas, struktur dan teknik gerak serta pemanggungannya. Ketiga contoh repertoar tari gaya Surakarta ini sebagai acuan dan berikutnya merupakan panduan dalam sistem pelestarian kreatif melalui penanaman berkualitas dalam transformasi teknik kepada pihak lain sekaigus persebarannya. k. Informasi ini merupakan proses memberlanjutkan kelestarian yang kreatif dalam mewujudkan generasi yang bukan sekedar pewaris tetapi pemilik budaya tradis yang aktif kreatif eksistensial. 2. Epilog a. Buku referensi ini disunting dari laporan penelitian yang penulis kerjakan berjudul: Tari Gaya Surakarta Studi Teknik Gerak Tari Klana, Tari Gunungsari, dan Tari Golek Manis. b. Sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan dasar Tari Gaya Surakarta perspektif Teknik Gerak Tari Klana, Tari Gunungsari, dan Tari Golek Manis, untuk memenuhi materi ajar matakuliah Silang Gaya Tari Surakarta di STK Wilwatikta Surabaya. c. Karena merupakan hasil kajian awal diharapkan dapat diteruskan pada kesempatan lain untuk pencapaian maksimal pada tema-tema pokok yang lebih fokus dan mendalam. d. Gairah kegiatan pengkajian sebagai sarana pengembangan materi ajar perlu dirangsang melalui berbagai tindakan nyata oleh lembaga yang berkait. 141 DAFTAR PUSTAKA Balai Soedjatmoko, 2014. Topeng Panji, Mengajak Kepada Yang Tersembunyi, Solo, Balai Soedjatmoko. Benamou, Marc, 1998. Rasa in Javanese Musical Aestetics. USA: UMI. Bungin Burhan. 2001. Metodolog Penelitian Kualitatif Aktialisasi Metodologis Ke arah Ragam Varian Kontemporer, Divisi Buku Perguruan Tinggi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada Chaya, I Nyoman. 2003, Penari Bukan Robot, dalam SENI dalam Berbagai Wacana (Mengenang 20 tahun kepergian Gendon Humardani). Program Pendidikan Pascasarjana. Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta Humardani, SD. 1979/1980. ”Kumpulan kertas Tentang Tari” Surakarta: Sub. Proyek ASKI. Humardani, SD 1979/1980 “Kreatifitas dalam Kesenian”, Surakarta: Sub. Proyek ASKI. Humardani, SD 1982/1983. “Kumpulan Kertas Tentang Kesenian”, Surakarta: Sub. Proyek ASKI. Humardani, SD 1991. “Sekedar Tentang Tari” dalam Gendhon Humardani: Pemikiran dan Kritiknya, Rustopo (ed.).Surakarta: STSI Press Surakarta. Humardani, SD 1989. “Silang Jenis Dalam Tari (I)” dalam Gendhon Humardani: Pemikiran dan Kritiknya: Rostopo (ed.). Surakarta: STSI Press Surakarta. Humardani 1991. “Silang Jenis Dalam Tari (II)” dalam Gendhon Humardani: Pmikiran dan Kritiknya, Rustopo (ed.). Surakarta: STSI Press Surakarta. Humardani 1991. “Rasa Gerak Tari” dalam Gendhon Humardani: Pemikiranan Kritiknya, Rustopo (ed.). Surakarta: STSI Pres Surakarta. Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan. Seri Seni No.4. Sutopo HB, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jurusan Seni Rupa Fakultas Sastera Universitas Sebelas Maret UNS, 1996: 63 142 Koentjaraningrat. 1985. Metode Wawancara dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Kussudiardjo, Bagong. Tentang Tari, Yogyakarta: Nur Cahya. Kussudiardjo, Bagong 1992. Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Padepokan Press. Kussudiardjo, Bagong 1993. Olah Seni Padepokan Press. Sebuah Pengalaman, Yogyakarta: Murgianto, Sal. 1981, Koreografi, Jakarta: Pusat Pengembangan Kesenian (PPK) DKI Jakarta. Murgianto, Sal. Dkk, 1986. Komposisi Tari, dalam Pengetahuan Elemen dan Beberapa Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesnian. Murgianto, Sal. 2004Tradisi dan Inovasi, Beberapa Masalah Tari di indonesia, Jakarta. Wedatama Widya Sastra Peursen, CA. 1975. Strategi Kebuayaan. Kanisius, Yogyakarta. Prabawa, Wahyu Santoso, 1990. “Bedhaya Anglirmendhung Monumen Perjuangan Mangkunegara I 1757 – 1988. Tesis S-2 Probgram Pascasarjana, Universitas Gajag Mada Yogyakarta. Prabawa, Wahyu Santoso, 2007. Tari Wireng Gaya SurakartaReflesi Kearifan Budaya”. (Pidato Dies Natalis XLIII ISI Surakarta, 14 Juli 2007), 30-31. Poerbatjaraka, ...... Tjerita Pandji dalam Perbandingan Pritatini, Nanik Sri dkk, 2007. Ilmu Tari Joget Tradisi Gaya Kasunanan Surakarta, Surakarta, ISI Press Solo. Rochana W. Sri, 1997, Pendidikan Tari di Lembaga Formal (Tinjauan Mengenia Pembentukan Penari) Dalam Jurnal Seni Wilet. Surakarta. Sekolat Tinggi Seni Indonesia Surakarta Rochana W. Sri, 2004. Sejarah Tari Bambyong, Seni Rakyat Menuju Istana. Surakarta, Citra Etnika Surakarta. Rochana W. Sri, 2012. Revitalisasi Tari Gaya Surakarta, Surakarta ISI Press. Rochana W. Sri, 2014, Pengantar Koreografi, Swurakarta,m ISI Press Solo Rusini, 1999. “Tari Bedhaya Suryosumirat, kreasi Pura Mangkunegaran di akhir abad XX”. Laporan Penelitian STSI Surakarta. 143 Saryono, Djoko, 2011, Sosok Nilai Budaya Jawa, Rekonstruksi Normatif Idealistis, Malang, Aditya Media Publising. Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan. Seri Esni No. 4. Sedyawati, Edy 1981. Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Kasih. Sedyawati, Edy 1984. Tari, Tinjauan Dari Beberapa Segi, Jakarta: Pustaka Jaya. Sedyawati, Edy 1986.“Tari Sebagai Salah Satu Pernyataan Budaya”, dalam Pengetahuan Elementer Tari Dan Beberapa Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesenian. Sunardi, 2013. Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan Wayang. Surakarta, ISI Press. Sukidjo, 1986, “Tari Klasik Gaya Yogyakarta”, dalam Pengetahuan Elementer Tari Dan Beberapa Masalah Tari, Jakarta: Direktorat Kesenian. Setyoasih, Sri, 2000. “Bedhaya Sukoharjo Kasunanan Surakarta, Tinjauan Struktur Koreografi”. Laporan Penelitian STSI Surakarta. Soedarsono. 1972. Jawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Dramatari di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soedarsono 1978. Diktat Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta: ASTI Yogyakarta. Sumargono, R.T Koessumakesawa (1909-1972) Maestro Seni Tari Tradisi Keraton Gaya Surakarta”. Tesis Untuk Mencapai Derajat Sarjana S-2 Pada Program Pascasarjana Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2001. Tasman, Agus. 1996. Analisa Gerak Dan Karakter, ISI Press, Surakarta: STSI. Prabowo, Wahyu Santoso, 2003, Kreativitas Tari Dalam dan Antar Budaya: Dataran Untuk Penghayatan Nasionalitas. Makalah Serial Seminar Nasional Seni Pertunjukan Indonesia Seri IV 2002 – 2004. Surakarta. STSI Surakarta. Yayasan Javanologi, 2007, Menggali Filsafat dan Budaya Jawa, Jakarta, Prestasi Pustaka. Zamzam Fauzannafi, Muhammad, 2005. Reog Ponorogo, Menari di Antara Dominasi dan Keragaman, Yogyakarta, Kepel Press. 144 LAMPIRAN: Peraga sebagai model : 1. Nama Pekerjaan : Ali Marsudi, S.Sn : PNS Pada Radio Republik Indonesia Surakarta ( bidang Pertunjukan Wayang Orang) 2. Nama Pekerjaan : Ririn Oriska : Mahasiswa Jurusan Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya 3. Nama Pekerjaan : Indo Mahardika : Mahasiswa Jurusan Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya 4. Nama Pekerjaan : Nadia Kinasih : Mahasiswa Jurusan Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya 5. Nama Pekerjaan : Wahyudiyanto, M.Sn : Dosen pada Jurusan Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya Video Pandang Dengar: 1. Klana Topeng 2. Tari Gunungsari 3. Tari Golek Manis

: Karya: Sunarno Purwo Lelono Penari: Wahyudiyanto Rekaman Forum Dosen STK Wilwatikta Surabaya di Pendopo Agung STKW Surabaya 31 Desember 2010 : Karya S. Ngaliman Penari: Hartanto Rekaman di Pendopo Projolukitan Surakarta : Karya S. Ngaliman Penari : Dika Rekaman Sanggar tari Langen Kridha Kusuma Kendal

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA