Membangun kemandirian desa dalam kerangka Desa Membangun harus dimulai dari proses perencanaan desa yang baik, dan diikuti dengan tatakelola program yang baik pula. Pembangunan (pedesaan) yang efektif bukanlah semata-mata karena adanya kesempatan melainkan merupakan hasil dari penentuan pilihan-pilihan prioritas kegiatan, bukan hasil coba-coba, tetapi akibat perencanaan yang baik. Dalam konteks desa membangun,Kewenangan lokal berskala Desa telah diatur melalui Permendes PDTT No. 1 Tahun 2015, yang menyebutkan bahwa kriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi: Show a. kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat; b. kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai dampak internal Desa; c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan sehari-hari masyarakat Desa; d. kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa Desa; e. program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah diserahkan dan dikelola oleh Desa; dan f. kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Untuk melaksanakan kewenangan lokal bersakala desa tersebut, maka Pemerintah Desa perlu menyusun perencanaan desa yang melibatkan seluruh komponen masyarakat desa. Proses perencanaan yang baik akan melahirkan pelaksanaan program yang baik, dan pada gilirannya akan menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk terlbat dalam pembangunan desa. Proses merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi sendiri kegiatan pembangunan desa merupakan wujud nyata dari kewenangan mengatur dan mengurus pembangunan desa yang berskala lokal desa. Dalam gambar menunjukkan bahwa desa dalam merencanakan pembangunan melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga program kerja yang dilaksanakan dapat sesuai sasaran dalam mengatasi masalah dan mampu menemukan inovasi-inovasi dalam menjalankan roda pembanguna di Desa Ngestiharjo. Seringkali kita sangat sulit mengukur keberhasilan dalam upaya-upaya pembangunan pemberdayaan masyarakat desa, karena hal ini berkaitan dengan perubahan sikap dan perilaku masyarakat mitra/dampingan, motivasi masyarakat dan pendamping, dan cara menentukan indikator perubahan. Oleh karena itu, bagian ini akan membahas hal penting yang dapat digunakan untuk mengukur perubahan sikap dan perilaku masyarakat mitra/dampingan melalui kegiatan ”membangun perencanaan bersama masyarakat”. Menyusun sebuah rencana yang baik mestinya didukung oleh sejumlah data dan informasi yang memadai agar rencana yang disusun dapat memecahkan masalah yang ditemui atau dialami masyarakat desa melalui potensi yang dimiliknya. Permasalahannya adalah jenis data apa yang dibutuhkan, sumber informasi, jenis dan kedalaman data, bagaimana cara memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan. Sebelum melaksanakan kegiatan membangun perencanaan bersama masyarakat desa, beberapa komponen penting perlu diketahui dan dihayati oleh seorang pendamping masyarakat, antara lain: a) pemahaman tentang kondisi umum masyarakat, b) pemahaman tentang peran dan fungsi pendamping, c) pemahaman tentang daur program pembangunan desa, d) pemahaman tentang arti penting data dalam menyusun sebuah perencanaan, e) pemahaman atas berbagai metode-metode partisipatif, dan f) bagaimana memotivasi masyarakat untuk mengembangkan dirinya. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keterlibatan Masyarakat Keterlibatan adalah proses seseorang untuk memahami lingkungan yang ada disekitarnya. Keterlibatan akan muncul ketika seseorang merasa perlu untuk merubah lingkungan sehingga sesuai dengan apa yang dipikirkan. John C. Maxwell, seorang penulis buku psikologi populer “25 Ways to Win with People” menuliskan bahwa keterlibatan seseorang akan muncul jika seseorang tersebut sudah memahami dirinya sendiri. Terdapat hambatan-hambatan sehingga seseorang tidak berani bahkan hanya sekedar untuk mengetahui saja banyak yang tidak bersedia. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: • Faktor Psikologis; • Faktor Ekonomi; • Faktor Budaya.
Perencanaan dan pembangunan sebuah desa memerlukan suatu pedoman berupa peta jalan atau roadmap untuk menjaga agar proses perencanaan, pembangunan, hingga monitoring dan evaluasi perencanaan dan pengembangan dapat dikawal dengan baik. Roadmap merupakan dokumen strategi pemandu dan perencanaan untuk melaksanakan strategi yang ditampilkan secara ringkas, dengan penggambaran visual yang memetakan apa saja visi dan arah desa dalam jangka waktu tertentu. Roadmap diartikan secara harfiah sebagai peta jalan, yang berisi langkah-langkah strategis dan dilakukan secara bertahap serta berkelanjutan untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi yang dibutuhkan. Instrumen perencanaan tersebut diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan sesuai kebijakan strategis desa, daerah, hingga nasional. Langkah-langkah strategis dan operasional menjadi acuan bersama bagi pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan potensi, aset, hingga komoditas-komoditas desa. Roadmap harus dapat dioperasikan dalam bentuk operasional secara periodik (bulanan, triwulan, hingga tahunan). Pada setiap periode, beragam aspek dijabarkan rincian aktivitas, alokasi pemasukan, prioritas program, dan target akhir pada setiap periode roadmap. Dokumen roadmap sebaiknya memuat: ringkasan rencana strategis (visi, misi, nilai dasar, dan kebijakan dasar), destination statement (berdasarkan visi, kebijakan dasar dan sasaran pembangunan), strategy map, schedule strategy map, logic model (rincian input, proses, output setiap periode waktu), dan nilai-nilai keunggulan yang akan dibangun. TujuanTujuan kegiatan Penyusunan Roadmap Pembangunan Desa adalah :
Dasar Hukum
MetodologiMetode dalam penyusunan roadmap desa terdiri dari 4 (empat) tahap yang dijabarkan sebagai berikut : Tahap 1: Pembentukan visi misi bersama perangkat dan masyarakat desa. Tahap 2: Pemetaan bidang-bidang yang menjadi muatan dalam roadmap pembangunan desa. Tahap 3: Perumusan muatan roadmap desa dalam jangka waktu pelaksanaan (jangka pendek dan jangka panjang) Tahap 4: Implementasi dan pengembangan roadmap pembangunan desa. Ruang Lingkup PekerjaanBidang-bidang yang menjadi muatan dalam ruang lingkup pekerjaan roadmap desa antara lain: Bidang 1: Kebijakan perdesaan Bidang 2: Infrastruktur (jalan, jembatan, rumah sederhana, instalasi air bersih). Bidang 3: Energi/listrik Bidang 4: Perekonomian masyarakat desa Bidang 5: Pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya Bidang 6: Tata ruang perdesaan Jangka Waktu PelaksanaanJangka waktu pelaksanaan pekerjaan “Penyusunan Roadmap Pembangunan Desa” adalah selama 60 (enam puluh) hari kalender setelah ditandatanganinya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK). Tenaga Ahli dan Tenaga PendukungTenaga ahli yang terlibat dalam Penyusunan Roadmap Pembangunan Desa antara lain:
KeluaranDokumen Roadmap Pembangunan Desa
ABSTRAK Pemberlakuan UU Desa dengan azas utama rekognisi dan subdidiaritas mensyaratkan desa memiliki dokumen perencanaan pembangunan. Keberhasilan pembangunan bertitik tolak dari perencanaan yang komprehensif, sistematis dan berkelanjutan. Perencanaan pembangunan desa disebut baik apabila prosesnya melibatkan partisipasi kelompok-kelompok penting masyarakat desa. Dengan terlibat, masyarakat akan tahu skala prioritas kebutuhan yang dituangkan dalam program serta akan berperan aktif pada proses pelaksanaan dan monitoring hasil pembangunan. Perencanaan pembangunan desa secara partisipatif bisa dilakukan dengan tahap; a). Sosialisasi dengan mengajak masyarakat untuk bekerjasama, b). Identifikasi data masalah dan potensi desa, c). Analisa data potesi dan masalah, d). Menyusun program dan kegiatan, e). Dan Menentukan skala prioritas program dan kegiatan. Rencana pembangunan desa dalam konteks UU Desa adalah rumusan rencana program dan kegiatan yang tertuang dalam dokumen RPJMDes dan RKPDes. Implementasi tahapan dalam perumusan perencanaan tetap berpedoman pada ketentuan yang mengantur dalam penyusunan perencanaan pembangunan desa yaitu Permendari No.114. Dalam peraturan ini disebutkan alur penyusunan perencanaan pembangunan desa yaitu; 1). Pembentukan tim penyusun RPJM Desa; 2). Penyelarasan arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota; 3). Pengkajian keadaan Desa; 4). Penyusunan rencana pembangunan Desa melalui musyawarah Desa; 5). Penyusunan rancangan RPJM Desa; 6. Penyusunan rencana pembangunan Desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan Desa; dan 7). Penetapan RPJM Desa. Dalam hal mendorong partisipasi masyarakat untuk terlibat pada proses penyusunan perencanaan pembangunan desa perlu dilkukan langkah-langkah strategis. Pertama, internalisasi nilai kebersamaan, kegotongroyongan, kejujuran melalui berbagai rangkaian pertemuan dan pelatihan-pelatihan masyarakat. Kedua, pelembagaan partisipasi masyarakat dengan pelibatan aktif masyarakat pada proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan desa. Dan ketiga, penyediaan dana stimulan untuk proses pembelajaran masyarakat dalam proses partisipasi pembangunan desa. Key word: Perencanaan, partisipasi dan masyarakat desa Pada periode awal reformasi, pemerintah menerapkan kebijakan desentralisasi pembangunan. Daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri termasuk dibidang pengelolaan keuangan dan strategi perencanaan pembangunan daerah. Terhadap pemerintah daerah, kebijakan tersebut telah melahirkan dua respon yang berbeda. Pertama, sebagian pemerintah daerah merasa belum siap menerima perubahan paradigma pembangunan yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Sehingga banyak bupati dan wali kota yang gagap (sock culture) berhadapan dengan pola dan mekanisme pembangunan yang baru termasuk juga kebingungan dalam menggerakan roda pemerintah. Kedua, justru sebaliknya, banyak bupati dan wali kota karena memiliki kewenangan luas berubah menjadi raja-raja kecil didaerah. Kewenangan tersebut menjadi instrumen kekuatan mengatur daerah berdasarkan “kreatifitas” yang terkadang melampaui batas kewenangannya itu sendiri. Fenomena tersebut menghadirkan sisi negatif implementasi kebijakan otonomi daerah, walaupun dampak positifnya juga cukup banyak termasuk kemajuan pembangunan daerah yang cukup pesat dewasa ini. Raja-raja kecil didaerah dengan berbagai perilaku politiknya banyak terjerat kasus tindak pidana korupsi dan atau penyalagunaan wewenang. Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang kasusnya baru diproses secara hukum justru setelah tidak menjabat sebagai kepala daerah. Sampai kemudian muncul sebuah ungkapan dimasyarakat, jabatan bupatinya sudah selesai tapi urusan hukumnya masih belum selesai. Kejadian ini hampir merata di Indonesia. Di Propinsi Jawa Timur, dari 38 Kabupaten/Kota, hampir separuh lebih mantan bupati/wali kotanya terjerat kasus hukum. Mulai mantan bupati atau wakil bupati di Kabupaten Banyuwangi, Jember, Lumajang, Situbondo, Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya, Kab.Mojokerto, Kota Mojokerto, Nganjuk, Bojonegoro, Kota Madiun, Ponorogo, Trenggalek, dan Bangkalan, telah menikmati jeruji penjara karena terjerat kasus korupsi dan atau penyalagunaan wewenang. Apakah mereka benar-benar dengan sengaja melakukan tindakan melawan hukum atau sekedar terjebak karena hanya kurang paham terhadap mekanisme sistem yang baru, wallahu’alam. Wajah negatif desentralisai pembangunan bisa saja terjadi pada kepala desa ketika Undang-Undang No.6 Tahun 2014, selanjutnya disebut UU Desa, diberlakukan. Kepala desa dengan kewenangan luas mengatur rumah tangga desa, bisa saja terjebak pada masalah hukum ketika implementsi UU Desa ini tidak di diiringi dengan persiapan matang. Apa yang terjadi pada banyak kepala dearah diera awal pelaksanaan desentralisasi pembangunan, seharusnya menjadi pelajaran berharga pada tahap awal pelaksanaan UU Desa. Seperti diketahui bahwa pengaturan desa dalam UU Desa didasarkan pada dua azas utama yaitu rekognisi dan subdidiaritas, disamping juga ada azas yang lainya. Azas rekognisi mengandung arti pengakuan terhadap hak asal usul. Sedangkan azas subdidiaritas yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa.[1]Azas rekognisi dan subdidiaritas pada pemerintah desa dengan azas desentralisasi dan residualitas pada pemerintah daerah memiliki subtansi sama dan perbeda pada pola dan tahap pemberian kewenangannya. Dengan mendasarkan pada azas desentralisasi dan residualitas desa hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan sebagian kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisa-sisa lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk Alokasi Dana Desa.[2] Sementara azas rekognisi dan azas subdidiaritas kewenangan luas langsung diberikan ke pemerintah desa. Dengan demikian pemberlakuan kedua azas ini memiliki suasana batin hampir sama, yaitu kewenangan luas untuk mengatur rumah tangga sendiri dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang justru perlu dipikirkan adalah bagaimana implementasi UU Desa tidak memberikan dampat negatif sebagaimana yang terjadi ketika kebijakan desentralisasi pembangunan diterapkan. Terdapat dua hal penting untuk mengantisipasi dampak negatif implementasi UU Desa. Pertama, pengatan kapasitas pelaku pembangunan desa mulai dari kepala desa, perangkat desa, lembaga-lembaga pemerintahan desa (BPD,LPM,dll), masyarakat dan stake holder pembangunan desa lainnya. Peningkatan kapasitas tidak sebatas pada ketrampilan dalam hal teknis pelaksanaan pembangunan melainkan pemahaman terhadap berbagai regulasi atau peraturan atas keseluruhan proses pembangunan desa. Seringkali ketidaktahuan tehadap aturan menyebabkan terjadinya pelanggaran walaupun hal itu tidak disengaja. Pelaksanaan pembangunan yang baik tidak semata-mata berorientasi pada kepentingan kesejahteraan rakyat semata melainkan implementasinya tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Kedua, tidak kalah penting, adalah persiapan pembangunan dalam bentuk menyusun dokumen perencanaan pembangunan desa yang sistematis dan berkesinambungan. Penulis berasumsi bahwa banyaknya bupati/walikota yang terjerat kasus hukum salah satunya dikarena pada saat itu pemerintah daerah tidak memiliki perencanaan pembangunan yang matang. Dengan banyaknya urusan serta besarnya tanggungjawab pengelolaan keuangan dan apabila tidak diiringi dengan perencanaan matang maka akan membuat pelaku kebijakan tergagap-gagap. Demikian pula dalam konteks pengelolaan desa, dengan banyaknya urusan desa maka manajemen pengelolaan pembangunan desa tidak bisa dijalankan dengan cara mengalir tanpa perencanaan. Karena perencanaan pembangunan yang amburadul akan bisa menjadi salah satu sebab pelaku pembangunan ditingkat desa terjebak pada masalah hukum. Dengan demikian perencanaan pembangunan menjadi kata kunci bagi proses pembangunan desa dimasa yang akan datang. Makalah sederhana ini akan menguraikan tentang bagaimana perencanaan pembangunan desa yang melibatkan partisipasi masyarakat dilakukan. Bagamaimana eksistensi partisipasi masyarakat dalam konteks implementasi UU Desa? Bagaimana Perencanaan Pembangunan Desa yang partisipatif dalam koridor peraturan hukum yang ada? Dan bagaimana strategi mendorong partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses pembangunan desa dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan moniroting/pengawasan pembangunan?
Strategi pembangunan yang menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat mensyaratkan adanya keterlibatan langsung rakyat atau partisipasi masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam arti sebagai usaha mengoptimalkan potensi dan sumber daya yang dimiliki masyarakat, mengandung maksud partisipasi masyarakat pada setiap tahap pembangunan desa itu sendiri. Baik partisipasi dalam perencanan, pelaksanaan dan evaluasi/kontrol pembangunan. Dengan mengutip pengkategorian oleh Deshler dan Sock , disebutkan bahwa secara garis besar terdapat tiga tipe utama partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi semu (pseudo participation), dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine participation). Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya sepadan dengan dua tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain, yaitu partisipasi untuk partisipasi yang digunakan dalam pengembangan program, dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang merambah ke dalam isu demokratisasi.[3] Partisipasi teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam konteks pengembangan masyarakat. Partisipasi asli, adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah, dan ideologis, secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi. Sedang partisipasi semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekedar obyek. Pratisipasi masyarakat dalm konteks perencanaan pembangunan desa adalah bukan partisipasi semu melainkan partisipasi teknis dan asli. UU Desa memberikan ruang bagi pelaksanaan partisipasi masyarakat teknis dan asli tersebut. Disebutkan bahwa salah satu tujuan pengaturan desa ini adalah untuk mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa guna kesejahteraan masyarakat.[4] Partisipasi teknis dibutuhkan ketika masyarakat terlibat dalam proses pengumpulan data, identifikasi potensi dan masalah dalam pelaksanaan kegiatan. Sementara partisipasi asli dalam pengertiannya sebagai peningkatan kapasitas masyarakat melakukan kontrol lebih tepat digunakan dalam kaitannya dengan proses evaluasi dan kontrol terhadap proses pembangunan desa secara keseluruhan. Implementasi UU Desa memberikan dorongan kuat munculnya partisipasi asli masyarakat dalam kontek pembangunan desa. Pada penjelasan UU Desa di sebutkan bahwa upaya mendorong partisipasi masyarakat ini dilakukan melalui penguatan lembaga kemasyarakatan desa. Lembaga kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat Desa dalam pembangunan, pemerintahan, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.[5] Usaha untuk mendorong partisipasi masyarkat dalam pembangunan desa ini sejalan dengan kesadaran negara bahwa masyarakat memiliki potensi dan memegang peranan penting dalam pembangunan didesa. Eksistensinya tidak hanya sebatas obyek melainkan juga subyek utama pembangunan. Sebab partisipasi masyarakat ini akan memberikan nilai positif setidaknya untuk tiga hal. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan atau perumusan agenda pembangunan akan mendekatkan rencana hasil pembangunan kepada aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa. Sebab dalam perencanaan pembangunan partisipatif rencana yang dimaksudkan akan menggambarkan kehendak dan kebutuhkan masyarakat secara riil. Kedua, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan akan banyak mengurangi biaya pembangunan. Atau dengan kata lain biaya pembangunan akan jauh lebih efesien dibanding program-program pembangunan yang dikontraktualkan dengan pihak ketiga. Partisipasi masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk swadaya, baik swadaya uang, tenaga kerja, barang dan pemikiran/ide, membuat biaya pembangunan menjadi minimal dengan hasil yang maksimal. Pengalaman pelaksanaan program seperti PNPM-Mandiri baik Perkotaan maupun Perdesaan memberi pelajaran berharga akan hal itu. Ketiga, partisipasi masyarakat dapat mendorong terciptanya proses pembangunan yang lebih transparan dan akuntable. Mekanisme kontrol masyarakat menjadi bagian penting terwujudnya transparansi dan pertanggungjawaban pada setiap penggunaan keuangan dalam pembangunan. Dorongan munculnya partisipasi masyarakat mendapatkan ruang dalam setiap aspek kewenangan yang diberkan kepada desa. Dalam pasal 68 pasal 1 point c yang terkait dengan hak masyarakat disebutkan bahwa masyarkat berhak untuk menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab tentang kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.[6] Dalam perspektif ini partisipasi masyarakat justru lebih luas karena tidak sebatas pada perencanaan pembangunan saja melainkan pada aspek lain yang terkait dengan kewenangan desa.
Sebagaimana disebutkan bahwa UU Desa memberikan kewenangan luas pada desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam Pasal 19 UU Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi :
Dari empat kewenangan tersebut, pada dua kewenangan pertama yaitu kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, terdapat beberapa prinsip penting yang dimiliki desa. Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa tersebut bukan-lah kewenangan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun. 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun. 2005 tentang Pemerintahan Desa. Melainkan, sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas. Dan kedua jenis kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah.[8] Dalam konteks pelaksanaan kewenangan berskala lokal, pemerintah desa diharuskan menyusun sebuah perencanaan pembangunan dengan melibatkan partisipasi kelompok-kelompok penting masyarakat desa. Sebuah perencanaan yang prosesnya baik dan melibatkan partisipasi masyarakat maka akan melahirkan program yang baik. Dengan terlibat dalam perencanaan masyarakat akan bisa menentukan sendiri skala prioritas kebutuhan yang perlu dituangkan dalam rumusan program kegiatan pembangunan desa. Dan dengan terlibat maka pada gilirannya dapat menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam setiap tahapan pembangunan desa. Proses partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa tetap memperhatikan aspek hukum dan peraturan yang berlaku. Dalam konteks UU Desa, regulasi yang menjadi landasan penyusunan perencanaan pembangunan desa adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 tahun 2014, tentang Pedoman Pembanguna Desa, selanjutnya disebut Permendagri No.114. Makna perencanaan pembangunan desa menurut permendagri No.114 adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa.[9] Dengan demikian proses perencanaan merupakan kerja kolektif antara pemerintah desa, BPD dan berbagai unsur masyarakat secara bersama-sama dalam kedudukan yang seimbang. Hasil kerja perencanaan partisipatif dituangkan dalam dokumen perencanaan desa yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa). RPJMDes disusun secara berjangka enam tahun sedangkan RKP Desa selama satu tahun. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Permendagri No.114 disebutkan bahwa Perencanaan pembangunan Desa disusun secara berjangka meliputi:
Untuk mendapatkan produk perencanaan yang sesuai dengan harapan masyarakat, proses perencanaan bisa menggunakan metodologi ilmiah yang sudah baku dijalankan. Menurut Wahyudin Kessa, bahwa untuk melakukan pemecahan masalah bersama masyarakat, dilakukan dengan tahapan-tahapan: a) Sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat untuk bekerjasama. Hasilnya berupa kesepakatan dan komitmen antara masyarakat dan fasilitator; b) Kesepakatan ditindaklanjuti dengan melakukan pengumpulan data, menggunakan metode dan teknik Participatory Rural Appraisal (PRA), survei, dan obesrvasi; c) Data yang dikumpulkan menjadi Profil, yang menggambarkan keadaan terkini, berupa rangkaian angka (data kuantitatif) dan rangkaian kata-kata (data kualitatif); d) Profil menjadi lebih bermakana melalui analisis yang dilakukan secara partispatif maupun melalui analisis statistik. Hasil analisis, kemudian menjadi bahan dasar untuk menyusun rencana kegiatan (untuk memecahkan masalah), dan sebagai bahan dasar untuk mendisain program stimulans untuk mempertahankan kerjasama, dan; (e) Pada akhirnya, secara bersama-sama akan menemukan program utama, dengan dimensi waktu tahunan atau multi tahun, bagaimana bersinergi dengan berbagai pihak yang bekerja bersama masyarakat, melalui beberapa bentuk pembiayaan dan kegiatan.[11] Permendagri No.114 telah menyajikan alur perencanaan pembangunan desa yang disatu sisi memuat subtansi metodologi ilmiah dan disisi lain tetap mempertimbangkan aspek partisipasi masyarakat. Disebutkan bahwa :
Secara lebih koprehensif penyusunan perencanaan pembangunan dengan mengedepankan partisipasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Permendagri No.114 dapat disajikan dalam matrik tahapan sebagai berikut; MATRIKS TAHAPAN PENYUSUNAN RPJM DESA[13]
Usaha mendorong partisipasi masyarakat untuk mengambil bagian dalam pembangunan desa bukan pekerjaan yang sederhana. Peranan negara yang demikian dominan pada masa orde baru menjadikan sebagai besar masyarakat berada pada budaya pasif, menjadi kendala cukup berarti. Paradigma bahwa pembangunan hanya menjadi kewajiban pemerintah masih tertanam ditengah masyarakat. Kondisi ini menjadi hambatan tersendiri dalam mendorong partisipasi masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan konsep dan strategi yang matang sehingga potensi-potensi partisipatif dan keswadayaan dimasyarakat bisa dioptimalkan untuk pembangunan desa. Seperti halnya kerja pemberdayaan, maka usaha mendorong partisipasi masyarakat juga tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Sekali lagi hal ini terkait dengan perubahan cara berpikir, bersikap dan berprilaku masyarakat, khususnya yang terkait dengan keterlibatannya dalam kepentingan publik. Oleh karenanya upaya sistematis dan berkelanjutan menuju kearah masyarakat yang lebih peduli terhadap kepentingan publik harus terus menerus dilakukan. Secara umum terdapat tiga langkah startegis dalam mewujudkan partisiasi masyarakat dalam pembangungan desa. Pertama, upaya rasional yang dilakukan adalah melakukan internalisasi nilai-nilai universal seperti kejujuran, kegotong-royongan, kebersamaan dan lain-lainya. Upaya bisa dilakukan melalui berbagai forum pertemuan, pelatihan, pendidikan dan penyuluhan yang diselenggarakan untuk pemangku kepentingan dan aktor-aktor pemperdayaan masyarakat. Maka pendekatan untuk mendorong partisipasi masyarakat yang digunakan disesuai dengan karakteristik social, budaya dan geografis setempat. Kedua, pelembagaan partisipasi masyarakat melalui penguatan kapasitas lembaga masyarakat yang konsen terhadap isu-isu pembangunan didesa dan lembaga pemerintahan desa yang representatif, akuntabel, dan mampu menyuarakan kepentingan masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan. Ketiga,menyediakan bantuan langsung kemasyarakat secara transparan untuk mendanai kegiatan-kegiatan pembangunan yang mudah dilakukan oleh masyarakat dan membuka kesempatan kerja. Strategi ini ditempuh dengan melalui pembangunan ekonomi lokal ,pembangunan sarana / prasarana lingkungan ,pembangunan SDM berupa kegiatan pelatihan-pelatihan ditingkat masyarakat. Dalam kaitan dengan ketiga strategi diatas, kerangka kebijakan pembangunan desa dalam UU Desa telah memberikan peluang bagi usaha tumbuhnya partisipasi masyarakat dengan wadah dan regulasi yang jelas. Persoalannya adalah bagaimana pengawalan terhadap implementasi regulasi tersebut. Sebaik apapun kebijakan dirumuskan apabila pengawalan implementasinya tidak optimal maka tujuan kebijakan tersebut tidak akan tercapai. Termasuk dalam konteks perencanaan pembangunan partisipatif melalui implementasi UU Desa. *. Asisten Koordinator Kota Bidang Community Develoment PNPM-Mandiri Perkotaan DAFTAR PUSTAKA
[1] Penjelasan Undang-Undang No.6 Tahun 2014 [2] M.Silahudin, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa (Jakarta: Kementrian DPDT, 2015) hal 11. [3] Deshler dan Sock dalam Buku Impact Assment For Development Agencier, Christ Roche, OXPAM-NOVIB, 1999 [4] Undang-Undang No.6 Tahun 2014,Pasal 4. [5] Ibid, Pasal penjelasan [6] Ibid, pasal 68 ayat 1 point c. [7] Ibid, pasal 19 [8] M.Silahudin, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa (Jakarta: Kementrian DPDT, 2015) hal 11. [9] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 114 Tahun 2014, pasal 1. [10] Ibid, Pasal 4. [11] Wahyudin Kessa,Perencanaan Pembangunan Desa (Jakarta: Kementrian DPDT, 2015) hal 14. [12] Peraturan Menteri Dalam Negeri, Nomor;114 Tahun 2014, pasal [13] Wahyudin Kessa, Perencanaan Pembangunan Desa, (Jakarta: Kementrian DPDT, 2015) hal 33. |