Apa hambatan yang dihadapi Indonesia dalam menghadapi pasar bebas Asean?

Merdeka.com - Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPan/RB) menyatakan ada tiga tantangan besar yang harus diselesaikan nantinya. Salah satunya, persiapan Indonesia menjelang Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau Asean Economic Community pada tahun 2015 mendatang.

Wakil Menteri Pan/RB Eko Prasodjo mengatakan tantangan pertama yang harus segera dihadapi dalam menghadapi pasar bebas ASEAN itu adalah kemampuan birokrasi mengadopsi perkembangan teknologi informasi.

"Tantangan tersebut adalah tingkat perubahan harapan masyarakat yang sangat cepat dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kecepatan ini bergerak menurut deret ukur, sedangkan perubahan birokrasi menurut deret hitung," ujar dia saat menghadiri seminar dengan topik membangun birokrat yang berkualitas melalui perubahan di Kantor BPKP, Jalan Pramuka, Jakarta, Kamis (16/5).

Kemudian, tantangan kedua adalah globalisasi yang semakin masif dan komprehensif. Pasalnya, pada tahun 2015 Indonesia akan berada dalam Masyarakat Ekonomi Asean dengan Asean Free Trade.

Tantangan ketiga, terkait pemanfaatan sumber daya alam yang harus terkontrol. Pasalnya, masyarakat dan pelaku usaha kerap menjadikan ekspor bahan mentah sebagai gantungan hidup, padahal sifatnya terbatas.

"Kemudian, tantangan terakhir adalah terbatasnya Sumber Daya Alam karena pemanfaatannya tidak terkontrol," tandasnya.

Cetak biru AEC ditandatangani pemimpin ASEAN pada November 2007, memuat jadwal untuk masing-masing pilar yang disepakati, dengan target waktu yang terbagi dalam empat fase, yaitu tahun 2008-2009, 2010-2011, 2012-2013, dan 2014-2015.

Dalam rangkaian program mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut, terdapat empat pilar pendekatan strategis. Yakni menuju pasar tunggal dan basis produksi, menuju wilayah ekonomi yang berdaya saing tinggi, menuju kawasan dengan pembangunan ekonomi yang seimbang, dan menuju integrasi penuh dengan ekonomi global.

Dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN nantinya 11 negara anggota bakal mengurangi hambatan tarif seminimal mungkin hingga mencapai nol persen.

Untuk sementara, Kemendag mengaku persiapan dari empat fase itu mencapai 81 persen. Dengan demikian, kesiapan Indonesia melakoni AEC berada di bawah Singapura dan Malaysia.

Siapkah anda menghadapi persaingan di tahun 2015? Sudah seharusnya kita bersiap menghadapi ketatnya persaingan di tahun 2015 mendatang. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia. Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online.

Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi.

Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Dengan dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.

Berdasarkan ASEAN Economic Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan meningkatkan ketergantungan anggota-anggota didalamnya. MEA dapat mengembangkan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan menghasilkan blok perdagangan tunggal yang dapat menangani dan bernegosiasi dengan eksportir dan importir non-ASEAN.

Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas komoditas yang diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini competition risk akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri lokal dalam bersaing dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia sendiri.

Pada sisi investasi, kondisi ini dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Meskipun begitu, kondisi tersebut dapat memunculkan exploitation risk. Indonesia masih memiliki tingkat regulasi yang kurang mengikat sehingga dapat menimbulkan tindakan eksploitasi dalam skala besar terhadap ketersediaan sumber daya alam oleh perusahaan asing yang masuk ke Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah sumber daya alam melimpah dibandingkan negara-negara lainnya. Tidak tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing dapat merusak ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi investasi yang ada di Indonesia belum cukup kuat untuk menjaga kondisi alam termasuk ketersediaan sumber daya alam yang terkandung.

Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para pencari kerja karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian yang beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi keluar negeri dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan tertentu. MEA juga menjadi kesempatan yang bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Dalam hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakarejaan bagi Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand serta fondasi industri yang bagi Indonesia sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat keempat di ASEAN (Republika Online, 2013).

Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan skala ekonomi dalam negeri sebagai basis memperoleh keuntungan. Namun demikian, Indonesia masih memiliki banyak tantangan dan risiko-risiko yang akan muncul bila MEA telah diimplementasikan. Oleh karena itu, para risk professional diharapkan dapat lebih peka terhadap fluktuasi yang akan terjadi agar dapat mengantisipasi risiko-risiko yang muncul dengan tepat. Selain itu, kolaborasi yang apik antara otoritas negara dan para pelaku usaha diperlukan, infrastrukur baik secara fisik dan sosial(hukum dan kebijakan) perlu dibenahi, serta perlu adanya peningkatan kemampuan serta daya saing tenaga kerja dan perusahaan di Indonesia. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi penonton di negara sendiri di tahun 2015 mendatang.

Referensi:

  1. N.n. (2013). Indonesia Hanya Menduduki Peringkat Empat di ASEAN.
  2. Association of Southeast ASIAN Nations (2008). ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BLUEPRINT. Jakarta: Asean Secretariat.
  3. Fernandez, R. A. (2014, Januari). YEARENDER: Asean Economic Community to play major role in SEA food security.
  4. Plummer, M, G., &Yue, C, S. (2009). Realizing the ASEAN Economic Community: A Comprehensive Assessment. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
  5. Santoso, W. et.al (2008). Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi ekonomi ASEAN dan prospek perekonomian nasional. Jakarta: Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter.

Ditulis oleh: Arya Baskoro (Associate Researcher)

14314274331369075453

[caption id="attachment_416937" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Mungkin  kalau bicara persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia yang sudah tanda tangan tentu sudah menyadari konsekuensinya. Tetapi hiruk-pikuk politik, perubahan prioritas menyebabkan progres perlindungan industri, UMKM dan rakyat Indonesia sebagai konsumen dalam menghadapi pasar bebas ini seperti tidak terlihat. Beberapa hal yang penting dan urgent secara teknis dalam menghadapi pasar bebas ini masih terkendala. Di antaranya adalah:

1. Ketersediaan laboratorium. Lab ini harusnya tersedia di semua pintu masuk produk impor di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya mekanisme pengecekan hanya berdasarkan dokumen, tetapi seharusnya secara berkala ada uji petik sampling produk apakah sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh pemerintah, terutama sekali mengenai kandungan berbahaya di dalam produk. Jika ada, produk bisa langsung ditolak.

2. Sulitnya pendaftaran produk lokal. Saya bertemu beberapa produsen pangan daerah, mereka harus datang bolak-balik ke Jakarta untuk memperoleh registrasi di BPOM. Berapa energi, biaya yang harus dkeluarkan oleh produsen lokal jika seperti itu? Bandingkan terhadap registrasi impor yang one stop service di BPOM, di mana pendaftaran hanya sehari. Aneh, pangan lokal jadi anak tiri.

3. Minimnya pembuatan standar produk Indonesia. Beberapa tahun lalu sempat dibuat list produk Indonesia, dengan bobot dampak terhadap perekonomian Indonesia untuk segera dibuatkan standarnya. Tetapi berhenti baru sekali pertemuan, dan assessment-nya juga berhenti. Padahal SNI bisa sebagai barrier produk luar untuk masuk ke Indonesia.

4.Mengadakan assessmen mengenai kondisi industri dan UMKM. Indonesia juga minim data mengenai kondisi rill industri domestik, termasuk UMKM termasuk level kualitasnya. Data ini penting banget agar pemerintah bisa melakukan intervensi perlindungan yang memadai melalui insentif di hulunya. Tidak semua industri ada di KADIN atau asosiasi, mungkin bisa ditelusuri di luar keanggotaan ini, karena masih ada paradigma industri cukup tertutup oleh pendataan karena khawatir 'diperas' oleh oknum tertentu.

5. Tidak adanya akses pengaduan terhadap produk yang masuk. Pemerintah harusnya menyediakan akses pengaduan ini, termasuk penangannya. Karena konsumen akan kesulitan komplain jika produsennya di negara sana sulit dimintai pertanggungan jawab atas produknya. Dan ini untuk memastikan bahwa yang masuk ke Indonesia bukan produk 'sampah' yang merugikan Indonesia.

Yang jelas, MEA sudah di depan mata. Di tengah keteteran Indonesia dalam mempersiapkan diri, kekuatan ada di diri rakyat Indonesia sebagai konsumen. Bersediakah kita memprioritaskan produk lokal dan bangga terhadap produk Indonesia?

Jika bahan baku impor, gula impor, garam impor, kenapa tidak dikurangi aja konsumsinya? Rokok pun sekarang impor masuk ke Indonesia, tembakaunya juga impor sebesar USD 500 juta. Jadi kurangi impor dari hal-hal yang kecil.

Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!


Page 2

[caption id="attachment_416937" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Mungkin  kalau bicara persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia yang sudah tanda tangan tentu sudah menyadari konsekuensinya. Tetapi hiruk-pikuk politik, perubahan prioritas menyebabkan progres perlindungan industri, UMKM dan rakyat Indonesia sebagai konsumen dalam menghadapi pasar bebas ini seperti tidak terlihat. Beberapa hal yang penting dan urgent secara teknis dalam menghadapi pasar bebas ini masih terkendala. Di antaranya adalah:

1. Ketersediaan laboratorium. Lab ini harusnya tersedia di semua pintu masuk produk impor di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya mekanisme pengecekan hanya berdasarkan dokumen, tetapi seharusnya secara berkala ada uji petik sampling produk apakah sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh pemerintah, terutama sekali mengenai kandungan berbahaya di dalam produk. Jika ada, produk bisa langsung ditolak.

2. Sulitnya pendaftaran produk lokal. Saya bertemu beberapa produsen pangan daerah, mereka harus datang bolak-balik ke Jakarta untuk memperoleh registrasi di BPOM. Berapa energi, biaya yang harus dkeluarkan oleh produsen lokal jika seperti itu? Bandingkan terhadap registrasi impor yang one stop service di BPOM, di mana pendaftaran hanya sehari. Aneh, pangan lokal jadi anak tiri.

3. Minimnya pembuatan standar produk Indonesia. Beberapa tahun lalu sempat dibuat list produk Indonesia, dengan bobot dampak terhadap perekonomian Indonesia untuk segera dibuatkan standarnya. Tetapi berhenti baru sekali pertemuan, dan assessment-nya juga berhenti. Padahal SNI bisa sebagai barrier produk luar untuk masuk ke Indonesia.

4.Mengadakan assessmen mengenai kondisi industri dan UMKM. Indonesia juga minim data mengenai kondisi rill industri domestik, termasuk UMKM termasuk level kualitasnya. Data ini penting banget agar pemerintah bisa melakukan intervensi perlindungan yang memadai melalui insentif di hulunya. Tidak semua industri ada di KADIN atau asosiasi, mungkin bisa ditelusuri di luar keanggotaan ini, karena masih ada paradigma industri cukup tertutup oleh pendataan karena khawatir 'diperas' oleh oknum tertentu.

5. Tidak adanya akses pengaduan terhadap produk yang masuk. Pemerintah harusnya menyediakan akses pengaduan ini, termasuk penangannya. Karena konsumen akan kesulitan komplain jika produsennya di negara sana sulit dimintai pertanggungan jawab atas produknya. Dan ini untuk memastikan bahwa yang masuk ke Indonesia bukan produk 'sampah' yang merugikan Indonesia.

Yang jelas, MEA sudah di depan mata. Di tengah keteteran Indonesia dalam mempersiapkan diri, kekuatan ada di diri rakyat Indonesia sebagai konsumen. Bersediakah kita memprioritaskan produk lokal dan bangga terhadap produk Indonesia?

Jika bahan baku impor, gula impor, garam impor, kenapa tidak dikurangi aja konsumsinya? Rokok pun sekarang impor masuk ke Indonesia, tembakaunya juga impor sebesar USD 500 juta. Jadi kurangi impor dari hal-hal yang kecil.

Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!


Lihat Bisnis Selengkapnya


Page 3

[caption id="attachment_416937" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Mungkin  kalau bicara persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia yang sudah tanda tangan tentu sudah menyadari konsekuensinya. Tetapi hiruk-pikuk politik, perubahan prioritas menyebabkan progres perlindungan industri, UMKM dan rakyat Indonesia sebagai konsumen dalam menghadapi pasar bebas ini seperti tidak terlihat. Beberapa hal yang penting dan urgent secara teknis dalam menghadapi pasar bebas ini masih terkendala. Di antaranya adalah:

1. Ketersediaan laboratorium. Lab ini harusnya tersedia di semua pintu masuk produk impor di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya mekanisme pengecekan hanya berdasarkan dokumen, tetapi seharusnya secara berkala ada uji petik sampling produk apakah sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh pemerintah, terutama sekali mengenai kandungan berbahaya di dalam produk. Jika ada, produk bisa langsung ditolak.

2. Sulitnya pendaftaran produk lokal. Saya bertemu beberapa produsen pangan daerah, mereka harus datang bolak-balik ke Jakarta untuk memperoleh registrasi di BPOM. Berapa energi, biaya yang harus dkeluarkan oleh produsen lokal jika seperti itu? Bandingkan terhadap registrasi impor yang one stop service di BPOM, di mana pendaftaran hanya sehari. Aneh, pangan lokal jadi anak tiri.

3. Minimnya pembuatan standar produk Indonesia. Beberapa tahun lalu sempat dibuat list produk Indonesia, dengan bobot dampak terhadap perekonomian Indonesia untuk segera dibuatkan standarnya. Tetapi berhenti baru sekali pertemuan, dan assessment-nya juga berhenti. Padahal SNI bisa sebagai barrier produk luar untuk masuk ke Indonesia.

4.Mengadakan assessmen mengenai kondisi industri dan UMKM. Indonesia juga minim data mengenai kondisi rill industri domestik, termasuk UMKM termasuk level kualitasnya. Data ini penting banget agar pemerintah bisa melakukan intervensi perlindungan yang memadai melalui insentif di hulunya. Tidak semua industri ada di KADIN atau asosiasi, mungkin bisa ditelusuri di luar keanggotaan ini, karena masih ada paradigma industri cukup tertutup oleh pendataan karena khawatir 'diperas' oleh oknum tertentu.

5. Tidak adanya akses pengaduan terhadap produk yang masuk. Pemerintah harusnya menyediakan akses pengaduan ini, termasuk penangannya. Karena konsumen akan kesulitan komplain jika produsennya di negara sana sulit dimintai pertanggungan jawab atas produknya. Dan ini untuk memastikan bahwa yang masuk ke Indonesia bukan produk 'sampah' yang merugikan Indonesia.

Yang jelas, MEA sudah di depan mata. Di tengah keteteran Indonesia dalam mempersiapkan diri, kekuatan ada di diri rakyat Indonesia sebagai konsumen. Bersediakah kita memprioritaskan produk lokal dan bangga terhadap produk Indonesia?

Jika bahan baku impor, gula impor, garam impor, kenapa tidak dikurangi aja konsumsinya? Rokok pun sekarang impor masuk ke Indonesia, tembakaunya juga impor sebesar USD 500 juta. Jadi kurangi impor dari hal-hal yang kecil.

Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!


Lihat Bisnis Selengkapnya


Page 4

[caption id="attachment_416937" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Mungkin  kalau bicara persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, Indonesia yang sudah tanda tangan tentu sudah menyadari konsekuensinya. Tetapi hiruk-pikuk politik, perubahan prioritas menyebabkan progres perlindungan industri, UMKM dan rakyat Indonesia sebagai konsumen dalam menghadapi pasar bebas ini seperti tidak terlihat. Beberapa hal yang penting dan urgent secara teknis dalam menghadapi pasar bebas ini masih terkendala. Di antaranya adalah:

1. Ketersediaan laboratorium. Lab ini harusnya tersedia di semua pintu masuk produk impor di seluruh wilayah Indonesia. Biasanya mekanisme pengecekan hanya berdasarkan dokumen, tetapi seharusnya secara berkala ada uji petik sampling produk apakah sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh pemerintah, terutama sekali mengenai kandungan berbahaya di dalam produk. Jika ada, produk bisa langsung ditolak.

2. Sulitnya pendaftaran produk lokal. Saya bertemu beberapa produsen pangan daerah, mereka harus datang bolak-balik ke Jakarta untuk memperoleh registrasi di BPOM. Berapa energi, biaya yang harus dkeluarkan oleh produsen lokal jika seperti itu? Bandingkan terhadap registrasi impor yang one stop service di BPOM, di mana pendaftaran hanya sehari. Aneh, pangan lokal jadi anak tiri.

3. Minimnya pembuatan standar produk Indonesia. Beberapa tahun lalu sempat dibuat list produk Indonesia, dengan bobot dampak terhadap perekonomian Indonesia untuk segera dibuatkan standarnya. Tetapi berhenti baru sekali pertemuan, dan assessment-nya juga berhenti. Padahal SNI bisa sebagai barrier produk luar untuk masuk ke Indonesia.

4.Mengadakan assessmen mengenai kondisi industri dan UMKM. Indonesia juga minim data mengenai kondisi rill industri domestik, termasuk UMKM termasuk level kualitasnya. Data ini penting banget agar pemerintah bisa melakukan intervensi perlindungan yang memadai melalui insentif di hulunya. Tidak semua industri ada di KADIN atau asosiasi, mungkin bisa ditelusuri di luar keanggotaan ini, karena masih ada paradigma industri cukup tertutup oleh pendataan karena khawatir 'diperas' oleh oknum tertentu.

5. Tidak adanya akses pengaduan terhadap produk yang masuk. Pemerintah harusnya menyediakan akses pengaduan ini, termasuk penangannya. Karena konsumen akan kesulitan komplain jika produsennya di negara sana sulit dimintai pertanggungan jawab atas produknya. Dan ini untuk memastikan bahwa yang masuk ke Indonesia bukan produk 'sampah' yang merugikan Indonesia.

Yang jelas, MEA sudah di depan mata. Di tengah keteteran Indonesia dalam mempersiapkan diri, kekuatan ada di diri rakyat Indonesia sebagai konsumen. Bersediakah kita memprioritaskan produk lokal dan bangga terhadap produk Indonesia?

Jika bahan baku impor, gula impor, garam impor, kenapa tidak dikurangi aja konsumsinya? Rokok pun sekarang impor masuk ke Indonesia, tembakaunya juga impor sebesar USD 500 juta. Jadi kurangi impor dari hal-hal yang kecil.

Ya sudah gitu saja. Salam Kompasiana!


Lihat Bisnis Selengkapnya