Show Penemuan PlutoSekitar delapan puluh tahun yang lalu, seorang astronom yang bekerja di Observatorium Lowell di Amerika Serikat menemukan sesuatu yang memicu sebuah perubahan besar terhadap cara kita memandang Tata Surya. Astronom muda tersebut adalah Clyde Tombaugh, seorang asisten pengamat di Observatorium Lowell yang dibuat terkenal oleh astronom hebat, Percival Lowell. Pada saat itu, Tombaugh sedang melanjutkan pencarian terhadap sebuah planet yang sulit ditemukan – planet X – yang diyakini oleh Lowell (meski sebenarnya tidak) bertanggung jawab atas terganggunya lintasan orbit Uranus dan Neptunus. Dalam setahun setelahnya, setelah menghabiskan banyak malam dengan teleskop untuk “membakar” pelat-pelat fotografi, kemudian berbulan-bulan menyigi pelat-pelat tersebut dengan teliti untuk mencari tanda-tanda keberadaan sebuah planet (sebuah pekerjaan yang menjemukan), Tombaugh menemukan objek yang ia cari. Sekitar pukul empat sore tanggal 18 Feburari 1930, Tombaugh mulai membandingkan dua pelat yang diambil pada bulan Januari yang memperlihatkan sebuah daerah di dalam konstelasi Gemini. Saat ia membandingkan kedua pelat, mencoba untuk melihat jika ada sesuatu yang bergerak (tanda bahwa benda itu kemungkinan adalah planet yang ia cari, bukan bintang), ia menemukan sesuatu. Saat itu, terlihat sebuah objek kecil berpindah beberapa milimeter pada plat ketika ia membandingkan dua pelat fotografi (yang diambil pada waktu yang berbeda). Tombaugh menemukan sebuah planet baru! (Stern & Mitton, 2005). Lanskap Tata Surya yang BerubahObjek yang ditemukan oleh Tombaugh dinamakan Pluto, sebuah nama yang secara resmi diadopsi oleh American Astronomical Society, Royal Astronomical Society di Inggris, dan International Astronomical Union (IAU). Pluto merupakan sebuah dunia yang dingin membekukan, berjarak milyaran kilometer dari bumi, dan tiga puluh kali lebih ringan daripada planet yang sebelumnya dikenal sebagai planet terkecil, Merkurius. Tetapi Pluto tidak sendirian. Ia kemudian didapati memiliki lima satelit. Charon, satelit terbesarnya, ditemukan pada 1978. Keempat satelit lainnya ditemukan menggunakan Hubble Space Telescope, sebuah teleskop luar angkasa, pada tahun 2005, 2011, dan 2012, dan secara resmi dinamakan Nix dan Hydra pada awal 2006 (baca lebih lanjut), serta Kerberos dan Styx pada tahun 2013 oleh IAU (baca lebih lanjut). Pandangan tentang lanskap Tata Surya mulai berubah sejak 30 Agustus 1992 dengan ditemukannya sebuah objek oleh David Jewitt dan Jane Luu dari University of Hawaii. Objek tersebut merupakan yang pertama dari lebih dari seribu objek yang selanjutnya ditemukan mengorbit lebih jauh dari Neptunus pada daerah yang kemudian sering disebut sebagai daerah Trans-Neptunian. Pada umumnya objek-objek seperti ini digolongkan sebagai objek Trans-Neptunian (Trans-Neptunian Objects, TNOs). Dengan semakin bertambahnya penemuan Trans-Neptunian Objects (TNOs), sepertinya tidak bisa dihindari bahwa kelak akan ditemukan satu objek yang menyaingi Pluto dalam hal ukuran. Pada malam hari 21 Oktober 2003, Mike Brown dari Caltech, Chad Trujillo dari Observatorium Gemini dan David Rabinowitz dari Yale University menggunakan sebuah teleskop dan kamera di Observatorium Palomar, Amerika Serikat untuk menyigi tepian Tata Surya. Malam itu, mereka mengambil citra suatu daerah di langit yang menampilkan sebuah objek yang bergerak relatif terhadap bintang-bintang latar belakang. Setelah dianalisis, ternyata mereka menemukan dunia dingin baru yang mengorbit Matahari, dengan diameter sekitar 2500 km. Pengamatan lanjutan mengungkapkan bahwa objek tersebut (pada mulanya dinamai 2003 UB313 berdasarkan protokol IAU mengenai penamaan awal dari objek-objek serupa) berukuran lebih besar dari Pluto dan juga mempunyai sebuah satelit (baca lebih lanjut). Dengan ditemukannya sebuah objek di tempat yang lebih jauh dari Neptunus dengan ukuran dan massa yang lebih besar dari Pluto serta terus bertambahnya penemuan objek Trans-Neptunian, banyak astronom mulai bertanya-tanya: “Sebenarnya, apa itu planet?” Kelas Objek Baru dan Pendefinisian PlanetIAU bertanggung jawab melakukan penamaan dan nomenklatur terhadap benda-benda keplanetan dan satelitnya sejak awal 1900-an. Sebagaimana dijelaskan oleh mantan presiden IAU, Professor Ron Ekers: Penetapan dan rekomendasi (oleh IAU) tersebut tidak ditetapkan oleh hukum nasional ataupun internasional manapun; sebaliknya penetapan dan rekomendasi tersebut menetapkan konvensi yang dimaksudkan untuk membantu kita memahami proses dan objek astronomis. Oleh karena itu, rekomendasi IAU harus didasarkan pada fakta ilmiah yang mapan dan memiliki konsensus yang luas di komunitas sains terkait. (baca artikel lengkap pada hal. 16 di the IAU GA Newspaper) IAU memutuskan untuk membuat sebuah komite yang bertugas mengumpulkan pendapat dari berbagai kepentingan ilmiah, yang mencakup astronom profesional, ahli keplanetan, sejarawan, penulis, dan pendidik. Dengan demikian, terbentuklah Komite Pendefinisian Planet (Planet Definition Committee) sebagai bagian dari Komite Eksekutif IAU (IAU Executive Committee), yang kemudian dalam waktu singkat mempersiapkan draf resolusi untuk diajukan kepada para anggota IAU. Draf resolusi tersebut diselesaikan setelah pertemuan terakhir di Paris. Salah satu aspek penting dari resolusi tersebut, sebagaimana dideskripsikan oleh Profesor Owen Gingerich, ketua dari IAU Planet Definition Committee, adalah: “Dari sisi ilmiah, kami ingin menghindari batasan (definisi planet) yang semata ditentukan berdasarkan nilai/besarnya terhadap jarak, periode, ukuran, atau objek di sekitarnya”. (baca lebih lanjut pada IAU GA Newspaper, mulai dari hal. 16) Resolusi AkhirDraf pertama resolusi yang diajukan untuk mendefinisikan planet diperdebatkan secara sengit oleh para astronom pada IAU General Assembly tahun 2006 di Praha (ibukota Ceko). Setelah itu versi baru secara perlahan mulai terbentuk. Versi baru draf resolusi tersebut lebih diterima oleh mayoritas astronom dan diajukan kepada para anggota IAU untuk diambil suaranya (voting) pada acara penutupan tanggal 24 Agustus 2006. Pada akhir acara General Assembly tersebut, hadirin menyetujui resolusi B5 mengenai definisi planet di Tata Surya sebagai berikut (jika diterjemahkan): Sebuah objek luar angkasa (a) yang mengorbit mengelilingi matahari, (b) mempunyai massa yang cukup besar sehingga gravitasi dirinya mampu melawan gaya benda-tegar yang menyebabkan objek tersebut memliki bentuk yang menunjukkan kesetimbangan hidrostatik (bentuk hampir bulat), dan (c) telah “membersihkan” objek lain di daerah sekitar orbitnya. (baca lebih lanjut) Planet Katai, Plutoid, dan Tata Surya sekarangResolusi IAU tersebut menjadikan Tata Surya secara resmi memiliki delapan buah planet, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Resolusi IAU tersebut juga membentuk sebuah kelas objek baru yang disebut planet katai. Telah disetujui bahwa planet dan planet katai atau planet katai merupakan dua kelas yang berbeda. Anggota-anggota awal kategori planet katai adalah Ceres, Pluto, dan Eris, yang dulu dikenal sebagai 2003 UB313. Nama Eris juga ditetapkan pada IAU General Assembly 2006 (baca lebih lanjut). Eris merupakan dewa perselisihan dari Yunani, sebuah nama yang oleh penemunya, Mike Brown, dianggap cocok dengan kegemparan akademis yang menyertai penemuannya. Planet katai Pluto menjadi prototipe kelas baru dari objek Trans-Neptunian. IAU memperkenalkan istilah baru untuk objek-objek seperti ini, yaitu plutoid (planet katai yang menghuni daerah Trans-Neptunian). Saat ini resolusi tersebut tetap diberlakukan dan menjadi bukti atas sifat ilmu pengetahuan yang dinamis serta bagaimana pandangan kita terhadap alam semesta terus berevolusi seiring dengan perubahan-perubahan baru yang muncul dari hasil pengamatan, pengukuran, dan teori. Pengamatan TerbaruPada 14 Juli 2015, New Horizons, sebuah wahana ruang angkasa milik NASA, terbang melewati Pluto dan melakukan serangkaian pengambilan citra, spektroskopi, dan data in situ yang secara dramatis mengubah pengetahuan kita mengenai Pluto dan sistem lima bulannya. Citra yang diperoleh memperlihatkan bahwa Pluto berukuran lebih besar daripada Eris dan merupakan benda terbesar di daerah sabuk Kuiper. Gambar tersebut juga menunjukkan pemandangan/lanskap luar biasa yang mencakup beragam bentukan, termasuk dataran luas, gunung dengan ketinggian beberapa kilometer, dan bukti keberadaan gunung ‘berapi’. Permukaan Pluto sangatlah unik karena keanekaragaman komposisi dan warna permukaannya. Sebagian daerah terlihat terang laksana salju, sementara daerah lain terlihat gelap laksana arang. Citra berwarna dan spektroskopi komposisi menyingkap persebaran permukaan es yang sangat kompleks, yang mencakup nitrogen, karbon monoksida, air, dan metana, maupun produk kimia sampingan hasil proses radiolisis (proses dekomposisi molekul akibat radiasi). Sebagian lain permukaan Pluto juga teramati bersih tanpa kenampakan kawah; yang menunjukkan bahwa daerah tersebut telah mengalami modifikasi atau pembaruan belum lama ini (dalam skala waktu astronomis). Sementara bagian permukaan lainnya coreng-moreng oleh kawah dan terlihat sangat tua. Pluto diselimuti oleh lapisan atmosfer dingin yang didominasi unsur nitrogen, yang lapisan kabut tipis yang merentang jauh hingga ketinggian sekitar 150 km. Charon, salah satu bulan terbesar Pluto, memperlihatkan kenampakan tektonik yang mengesankan, serta bukti komposisi kerak yang heterogen, akan tetapi tidak tampak memiliki atmosfer; kutub Charon menampilkan daerah gelap yang misterius. Tidak ada satelit ataupun cincin baru yang terdeteksi. Satelit kecil Hydra dan Nix mempunyai permukaan yang lebih terang dari yang diperkirakan. Hasil ini menimbulkan banyak pertanyaan mendasar mengenai bagaimana sebuah planet dingin nan kecil dapat tetap aktif sepanjang usia Tata Surya. Hasil tersebutkan menunjukkan bahwa planet katai memiliki daya tarik ilmiah yang sebanding dengan planet. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa tiga objek besar sabuk Kuiper yang sudah dikunjungi oleh wahana antariksa sampai saat ini – Pluton, Charon, dan Triton – sangat berbeda antar satu sama lain, menjadi bukti potensi keanekaragaman yang menanti untuk dieksplorasi. Referensi:Stern, A., & Mitton, J., 2005, Pluto and Charon: Ice Worlds on the Ragged Edge of the Solar System, Wiley-VCH 1997 Planet, Planet katai, dan Benda-Kecil Tata SuryaPertanyaan dan JawabanQ: Dari mana asal usul dari kata “planet”? Q: Mengapa dibutuhkan definisi baru untuk kata “planet”? Q: Bagaimana para astronom mencapai kesepakatan mengenai definisi planet yang baru? Q: Apa saja istilah baru yang digunakan dalam definisi resmi oleh IAU tesebut? Q: Dalam bahasa sederhana, apakah definisi baru planet? Q: Seperti apakah tepatnya definisi resmi planet yang diusulkan oleh IAU? Q: Apakah sebuah objek harus berbentuk bulat sempurna supaya dapat disebut planet? Q: Berdasarkan definisi baru tersebut, berapa jumlah planet yang terdapat di Tata Surya kita? Q: Apakah planet katai itu? Q: Berapa jumlah planet katai di Tata Surya? Q: Apa itu Ceres? Q: Bukankah Ceres dulunya disebut sebagai sebuah asteroid atau planet minor? Q: Mengapa Pluto kini disebut sebagai planet katai? Q: Apakah Charon, satelit Pluto, juga tergolong planet katai? Q: Jupiter dan Saturnus mempunyai banyak satelit besar berbentuk bulat yang mengorbit mereka. Apakah satelit-satelit tersebut sekarang akan disebut planet katai? Q: Apa itu 2003 UB313 ? Q: Mengapa Eris digolongkan sebagai planet katai? Q: Apakah sebutan untuk objek yang terlalu kecil untuk disebut planet maupun planet katai? Q: Apakah yang dimaksud dengan benda kecil Tata Surya? Q: Apakah istilah planet minor masih digunakan? Q: Bagaimana sebuah keputusan resmi dihasilkan dalam memutuskan status sebuah objek penemuan baru sebagai planet, planet katai, atau sebuah benda Tata Surya? Q: Apakah terdapat kandidat lain yang kini sedang dipertimbangkan untuk status planet? Q: Apakah terdapat kandidat lain yang kini sedang dipertimbangkan untuk status planet katai? Q: Kapankah pengumuman planet katai baru akan dilangsungkan? Q: Berapa banyak jumlah planet katai yang mungkin ditemukan? Q: Apakah yang dimaksud dengan plutoid? Q: Apakah sebuah satelit yang mengorbit plutoid dapat juga disebut plutoid? Referensi Brown, M. et al. 2006, Astrophysical Journal, 643, L61 Thomas, P. et al. 2005, Nature, 437, 224 |