Siapakah delegasi pemerintah Indonesia dan Belanda pada perjanjian Renville



KONTAN.CO.ID - Hari ini, 74 tahun yang lalu, tepatnya 17 Januari 1948 terjadi salah satu perundingan penting bagi bangsa Indonesia. Yakni: Perjanjian Renville.  Perjanjian Renville merupakan salah satu dari lima perjanjian penting untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia setelah Proklamasi.  Setelah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno, tidak serta merta membuat Indonesia lepas dari berbagai permasalahan.  Belanda masih kembali ingin menjajah Bumi Pertiwi, melancarkan berbagai serangan hingga menimbulkan pertempuran.  Pemerintah yang pada saat itu masih belum sepenuhnya kuat berusaha untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia baik dengan jalan pertempuran maupun perundingan. Baca Juga: Daftar Kata Irregular Nouns dalam Bahasa Inggris yang Paling Sering Dipakai

Latar belakang perundingan Renville  

Bersumber dari situs Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), latar belakang Perjanjian Renville adalah tindakan Belanda yang tidak mematuhi isi persetujuan Linggarjati.  Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militer besar-besaran yang dikenal dengan Agresi Militer I.  Agresi militer tersebut terjadi secara serentak di kota-kota besar di wilayah Jawa dan Sumatra. Tindakan tentara Belanda yang melanggar isi perundingan Linggarjati itu dikecam oleh dunia internasional.  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian turun tangan untuk menyelesaikan konflik Indonesia dengan Belanda.  PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia sebagai wakil Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia sebagai wakil Belanda (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah (Prof. Dr. Frank Graham).

Tempat dan toko yang ikut dalam perjanjian Renville

Perundingan kembali digelar untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia dengan Belanda.  Mengutip dari situs Direktorat SMP Kemendikbud Ristek, perundingan dilakukan di atas kapal Amerika Serikat, USS Renville, pada 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948.  Kapal USS Renville milik Amerika Serikat tersebut saat itu memang sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok.  Tokoh-tokoh yang turut hadir dalam perumusan perjanjian Renville adalah:
  • Perdana Menteri Amir Syarifudin sebagai delegasi Indonesia.
  • Mr. Ali Sastroamidjojo dan Agus Salim sebagai wakil
  • Dr. Leimena, Mr. Latuharhary, dan kolonel T.B. Simatupang sebagai anggota
  • R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai delegasi yang ditunjuk oleh pihak Belanda. 
Baca Juga: 25 Kampus Terbaik di Jawa Tengah Versi UniRank, Pilihan buat PMB 2022

Isi perjanjian perjanjian Renville

Isi dari perjanjian Renville sangat merugikan Republik Indonesia. Sebab, Tentara Nasional Indonesia atau TNI harus keluar dari wilayah yang telah diduduki tentara Belanda.  Dalam kata lain, tentara Indonesia harus berada di luar garis van Mook. Salah satu peristiwa yang tidak terlupakan yang terjadi akibat dampak dari perjanjian ini adalah long march divisi Siliwangi yang harus keluar dari wilayah Jawa barat.  Ada pula isi perjanjian Renville, dirangkum dari situs Museum Perumusan Naskah Proklamasi, sebagai berikut.
  • Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS.  
  • RI memiliki kedudukan sejajar dengan Belanda.  
  • RI menjadi bagian RIS dan akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS. 
  • Tentara Indonesia di daerah Belanda atau daerah kantong harus dipindahkan ke wilayah RI. 
Perdana Menteri Amir Syarifudin menandatangani perjanjian yang dikenal dengan perjanjian tersebut pada 17 Januari 1948. Meskipun Indonesia dan Belanda sudah menandatangani Perjanjian Renville, Belanda kembali melanggar perjanjian tersebut. Belanda kembali melancarkan agresi militer yang dikenal dengan Agresi Militer II.  Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Siapakah delegasi pemerintah Indonesia dan Belanda pada perjanjian Renville

tirto.id - Perundingan Renville yang digelar tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 berpengaruh terhadap jalannya sejarah bangsa Indonesia. Isi Perjanjian Renville membuat wilayah kedaulatan Republik Indonesia menjadi semakin sempit.

Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak lantas membuat posisi Indonesia di atas angin. Belanda yang datang lagi dengan membonceng pasukan Sekutu usai mengalahkan Jepang di Perang Dunia II ingin kembali menjajah Indonesia.

Rangkaian perundingan antara Indonesia dan Belanda dilakukan, tapi seringkali menemui kebuntuan. Ada dua perundingan yang saling berkaitan dan cukup dikenal dalam sejarah Indonesia yaitu Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville yang membahas tentang wilayah kekuasaan.

Latar Belakang Perundingan Renville

Perundingan Linggarjati pada 11-13 November 1946 menyepakati berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui Belanda. Hasil perundingan disahkan pada 25 Maret 1947. Namun, Belanda ternyata hanya mau mengakui kedaulatan RIS sebatas Jawa dan Madura saja.

Tugiyono Ks dalam buku Sekali Merdeka Tetap Merdeka (1985) menyebutkan, Belanda bahkan melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan serangan pada 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I.

Agresi Militer Belanda I membuat sebagian dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melontarkan penyesalan. Mereka mendesak Belanda agar menghentikan serangan dan segera menggelar perundingan damai dengan pihak Indonesia.

Baca juga:

  • Sejarah Agresi Militer Belanda I: Latar Belakang, Kronologi, Dampak
  • Sejarah Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, Tokoh Delegasi
  • Sejarah Perjanjian Kalijati: Latar Belakang, Isi, & Tokoh Delegasi

Tokoh Delegasi Perundingan Renville

Dikutip dari buku bertajuk Indonesia Menyongsong Era Kebangkitan Nasional Kedua: Volume 1 (1992) terbitan Yayasan Veteran RI, atas desakan Dewan Keamanan PBB, Belanda dan Indonesia menggelar perundingan di atas kapal perang milik Amerika Serikat bernama USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta.

Perundingan yang disebut Perjanjian Renville ini dilangsungkan pada 8 Desember 1947. Sebagai penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia,dan Belgia.

Adapun para tokoh yang terlibat sebagai delegasi dalam Perjanjian Renville adalah sebagai berikut:

Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.

Delegasi Belanda beranggotakan H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr. Soumokil, serta orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda yakni Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

Sedangkan yang bertindak sebagai mediator dari KTN adalah Richard C Kirby dari Australia (wakil Indonesia), Frank B. Graham dari Amerika Serikat (pihak netral), dan Paul van Zeeland Belgia (wakil Belanda).

Baca juga:

  • Arti Gold, Glory, Gospel (3G): Sejarah, Latar Belakang, & Tujuan
  • Peristiwa Rengasdengklok: Sejarah, Latar Belakang, & Kronologi
  • Hari Pahlawan 10 November & Sejarah Pertempuran Surabaya 1945

Isi Perundingan Renville

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, akhirnya dihasilkan tiga poin kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Dikutip dari laman resmi Kemdikbud, berikut isi Perjanjian Renville:

  1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia (RI).
  2. Disetujui adanya garis demarkasi antara wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda.
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Dampak Perundingan Renville

Hasil Perundingan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu ternyata cukup merugikan bagi Indonesia. Wilayah kedaulatan RI menjadi semakin sempit dengan diterapkannya aturan Garis van Mook atau Garis Status Quo.

Garis van Mook mengambil nama dari Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda terakhir. Garis van Mook adalah perbatasan buatan yang memisahkan wilayah milik Belanda dan Indonesia sebagai hasil dari Perjanjian Renville.

Anthony Reid dalam Indonesian National Revolution 1945-1950 (1974) menyebutkan, menganggap keberadaan Garis van Mook juga sebagai bentuk hinaan terhadap Indonesia karena wilayah RI menjadi semakin ciut.

Namun demikian, ada dampak positifnya pula. Perjanjian Renville ternyata semakin membuka banyak negara di dunia internasional untuk memperhatikan Indonesia dan mencermati sepak-terjang Belanda.

"Dalam jangka panjang, keputusan-keputusan di Renville menarik perhatian dunia internasional yang semakin menyadari adanya pengorbanan besar untuk merdeka," tulis Anthony Reid.

Baca juga:

  • Sejarah Proses Masuknya Agama Kristen Katolik ke Indonesia
  • Sejarah Samudera Pasai: Pendiri, Masa Jaya, & Peninggalan
  • Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja

Baca juga artikel terkait PERJANJIAN RENVILLE atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/isw)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates