Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima

Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima

Oleh:Teguh Raka Wibawa, S.Pd

(Guru Sejarah Indonesia SMAN 1 Parungkuda Kabupaten Sukabumi)

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Demikian disampaikan Prabowo saat debat keempat pilpres 2019 yang digelar KPU di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). Namun berdasarkan catatan sejarah ternyata Islam bukanlah agama asli yang dianut oleh rakyat Nusantara (sebutan untuk wilayah Indonesia) kala itu. Agama asli yang berasal dari Nusantara disebut animisme yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang, dinamisme yaitu penyembahan terhadap benda mati yang dianggap sakral. Terakhir adalah totemisme yaitu penyembahan terhadap hewan (yang dianggap lebih kuat dari manusia).

Jadi pada intinya Islam adalah agama yang berasal dari luar Nusantara yang secara perlahan menjadi agama dominan yang dianut masyarakat Nusantara.
Kemunculan Islam sendiri ditandai dengan kelahiran Muhammad pada tanggal 12 Robbiul Awal tahun gajah bertepatan dengan 20 atau 22 April tahun 571 M di Mekkah. (Tribun Jabar, Maulid Nabi, Kapan Tepatnya Nabi Muhammad SAW Lahir? 12 Rabiul Awal atau 9 Rabiul Awal, 2018). Disebut tahun gajah karena kelahiran Muhammad bertepatan dengan diserangnya kota Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin raja Abrahah. Setelah menerima wahyu pertama (QS Al – Alaq 1-5).

Nabi Muhammad mulai menyampaikan dakwah kepada keluarganya, lambat laun dakwah nabi Muhammad mulai mendapat pengikut yang awalnya berasal dari kalangan budak, dan keluarga yang tidak terpandang. Perangai buruk petinggi suku Quraisy mengharuskannya pada tahun 622 M atau pada abad ke 7 M untuk hijrah dari Mekkah ke Yastrib atau sekarang dikenal dengan nama Madinah yang menandai dimulainya era muslim. (Baca: Affandie Etwina. Kemunculan Islam dan Perkembangannya. Kompasiana, 2014).

Menurut H. Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka yang merupakan seorang cendekiawan muslim dari Sumatra Barat. Hamka menyatakan bahwa Islam telah memasuki Nusantara sejak abad ke 7 M, dibawa oleh bangsa Arab dengan motif utamanya adalah syiar Islam. Pendapatnya didasarkan pada naskah kuno Cina, dalam rentang masa yang tidak terlalu lama dari lahirnya Islam ditanah Arab pada abad ke 6 atau 7 M ternyata Islam dinyatakan telah memasuki kawasan Nusantara. Dalam naskah tersebut dinyatakan bahwa terdapat permukiman penduduk Muslim di Barus, kota tua yang terletak di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada tahun 625 M. Bukti lainnya adalah keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, pada abad ke 7 M. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 M yang menguatkan adanya komunitas muslim pada saat itu. (Baca: Sindonews, Barus, Kota Islam Pertama di Indonesia, 2017).

Pendapat Buya Hamka menjadi antitesis dari pendapat para Orientalis Barat seperti halnya Snouck Hurgronye dari Belanda yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M seiring dengan berakhirnya era kerajaan Hindu-Budha di Nusantara. Menurut Snouck, motif utama Islam dibawa ke Nusantara bukanlah motif syiar Islam melainkan motif ekonomi yaitu untuk berdagang. Selain itu Snouck pun beranggapan bahwa Islam yang ada di Nusantara bukan dibawa oleh orang Arab secara langsung melainkan oleh para pedagang yang berasal dari Gujarat, sebuah wilayah di India Barat. Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 1297 M di Pasai, Aceh. Batu nisan tersebut memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat.

Hamka menolak anggapan bahwa Islam dibawa oleh pedagang dari Gujarat (India) sejak abad ke-13 M. Sanggahan ini dikemukakan dalam “Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia” di Medan pada 1963. Hamka menyebut bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah bagi para pedagang Arab sebelum menuju ke Nusantara. Pendapat Buya Hamka menjadi angin segar bagi penulisan sejarah Indonesia yang didasarkan pada perspektif asli (orang Indonesia) ditengah masih masifnya penulisan sejarah Indonesia yang ditulis berdasarkan perspektif Barat.

Muhammad Qutb (1995) bahkan dalam bukunya yang berjudul Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam? menyatakan bahwa penulisan sejarah versi orientalis barat penuh dengan tujuan tertentu yang tersembunyi didalam dada orang-orang yang tidak menginginkan Islam berkembang dengan baik.

KOMPAS.com - Wilayah Nusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar, yaitu Lombok dan Sumbawa.

Pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16, Islam mulai masuk ke Lombok.

Wilayah Bayan diduga sebagai pintu gerbang masuknya Islam pertama kali ke Pulau Lombok. Akan tetapi, siapa yang membawanya cukup sulit dipastikan.

Sebab, ada yang mengatakan bahwa proses masuknya Islam di Lombok dibawa oleh Ghaus Abdurrazzaq dari Baghdad.

Sementara versi lain menyebutkan bahwa penyiar Islam pertama adalah Sunan Prapen dari Jawa.

Baca juga: Masuknya Islam ke Nusantara

Islamisasi di Lombok oleh Sunan Prapen

Dalam Babad Lombok, dijelaskan bahwa Sunan Prapen mendapatkan perintah dari ayahnya, Sunan Giri, untuk memimpin ekspedisi ke Lombok dalam rangka mendakwahkan ajaran Islam.

Perintah ini dilakukan setelah Sunan Giri berhasil menaklukkan Kerajaan Majapahit.

Kedatangan Sunan Prapen di Lombok Utara diperkirakan sebelum tahun 1545.

Proses islamisasi di Lombok dilakukan dengan cara yang cukup mudah dan damai.

Ajaran Islam kemudian mulai diterapkan oleh masyarakat secara bertahap, sesuai dengan kemampuan mereka.

Bukti perkembangan Islam di Lombok dapat dilihat dari banyaknya peninggalan yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.

Antara lain berupa naskah-naskah lama yang ditulis pada daun lontar, kulit kambing, atau bambu.

Kitab yang konon dibawa oleh Sunan Prapen tersebut sekarang disimpan oleh Pemangku Adat Bayan, Raden Singaderia.

Selain itu, ada pula Masjid Bayan Beleq yang didirikan pada abad ke-17.

Peninggalan Islam ini diyakini sebagai masjid pertama yang berdiri di Pulau Lombok.

Dari Bayan, Sunan Prapen melanjutkan perjalanan menuju labuan Lombok, yang saat itu berdiri kerajaan-kerajaan.

Baca juga: Moh Limo, Ajaran Dakwah Sunan Ampel

Masa kerajaan Islam di Lombok

Pendapat lain mengatakan bahwa proses masuknya Islam di Lombok dibawa oleh Ghaus Abdurrazzaq dari Baghdad.

Selain sebagai penyebar Islam, Ghaus Abdurrazzaq juga diyakini menurunkan Sultan dari kerajaan-kerajaan di Lombok.

Ghaus Abdurrazzaq menikah dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak dan melahirkan dua anak, yaitu Sayyid Zulqarnain atau dikenal Syaikh Abdurrahman dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang dijuluki Denda Rabi'ah.

Sayyid Zulqarnain inilah yang mendirikan Kerajaan Selaparang pada abad ke-16, sekaligus menjadi raja pertamanya dengan gelar Datu Selaparang atau Sultan Rinjani.

Oleh karena itu, Dinasti Selaparang diklaim sebagai yang pertama kali menerima Islam di Lombok.

Selaparang menjadi pusat kerajaan Islam di Lombok di bawah pemerintahan Prabu Rangkesari.

Pada masa Prabu Rangkesari, Sunan Prapen datang ke Selaparang dan sejak saat itu, Islam semakin merasuk dalam kehidupan masyarakat Lombok.

Referensi:

  • Al-Aziiz, Arief Nur Rahman. (2019). Perkembangan Islam di Indoensia. Klaten: Cempaka Putih.
  • Pusat Data dan Analisa Tempo. (2019). Mengenal Suku Sasak, Salah Satu Suku Asli di Indonesia. Jakarta: Tempo Publishing.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Terdapat beberapa pendapat terkait proses masuknya ajaran Islam ke Bima. Pendapat pertama mengatakan ajaran Islam masuk ke Bima setelah pedagang-pedagang Muslim yang sering berdagang di Malaka terusir oleh Portugis. Para pedagang tersebut mencari daerah lain untuk berdagang dan menyebarkan ajaran Islam, salah satunya ke wilayah Bima. Pendapat lain juga mengatakan bahwa ajaran Islam masuk ke Bima dibawa oleh Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro yang merupakan penyebar ajaran Islam dan berasal dari daerah Gowa. Dengan kedatangan dua tokoh tersebut membuat Raja Bima yang bernama Ruma Ta Ma Bata Wada memeluk Islam. Dengan begitu, Kerajaan Bima merubah sistem pemerintahannya menjadi Kerajaan Islam.

Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima

كسلطانن بيما مبوجو


Kesultanan Bima

1620–1958

Bendera

Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima

Istana Sultan Bima

Ibu kotaBimaBahasa yang umum digunakanBimaAgama

IslamPemerintahanKesultananSultan Sejarah 

• Kerajaan Bima berkonversi menjadi Kesultanan Bima

1620

• Status kesultanan dihapus oleh Republik Indonesia

1958

Didahului oleh
Digantikan oleh
Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima
Kerajaan Bima
Hindia Belanda
Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima
Sekarang bagian dari
Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima
 
Indonesia

Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima

Sultan Muhammad Salahuddin bersama tamu tentara Belanda (tahun 1949)

Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima

Sultan Muhammad Salahuddin (bertahta 1920-1943)

Kesultanan Bima (كسلطانن بيما) adalah kerajaan Islam yang didirikan pada tanggal 7 Februari 1621 Masehi. Sultan pertamanya adalah raja ke-27 dari Kerajaan Mbojo yang bernama La Kai. Wilayah Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa dan Pulau Flores Bagian Barat yaitu Wilayah Manggarai yang sekarang menjadi 3 Kabupaten yakni Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat dan Kab. Manggarai Timur. Kesultanan ini telah dipimpin oleh 14 sultan. Sultan terakhirnya adalah Sultan Muhammad Salahuddin.[1]

Awal Pendirian

Pada awalnya Kesultanan Bima merupakan sebuah kelompok masyarakat Suku Mbojo yang menganut paham animisme dan dinamisme. Masyarakat ini kemudian disatukan bersama suku-suku lain di sekitarnya. Penyatuan ini dilakukan oleh Sang Bima yang mengajarkan agama Hindu dari Jawa. Setelah itu, ia mendirikan Kerajaan Bima dengan gelar Sangaji.[2]

Kerajaan Bima didirikanpada abad ke-11 Masehi dengan dua nama, yaitu Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Bima. Kerajaan Mbojo merupakan nama yang diberikan oleh para pemangku adat yang disebut Ncuhi, sedangkan Kerajaan Bima merupakan nama yang diberikan oleh masyarakat. Setelah membentuk kerajaan, Sang Bima pergi ke Kerajaan Medang. Ia kemudian mengirim kedua putranya yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ke Kerajaan Bima. Indra Zamrud diangkat menjadi Sangaji di Bima, sedangkan Indra Kumala menjadi Sangaji di Dompu.[3]

Awal Kesultanan

Pada tahun 1540 Masehi, para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Demak datang ke Kerajaan Bima untuk menyiarkan Islam. Penyebaran Islam dilakukan oleh Sunan Prapen, tetapi tidak dilanjutkan setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun yang sama. Pada tahun 1580, penyebaran Islam dilanjutkan oleh para mubalig dan pedagang dari Kesultanan Ternate yang diutus oleh Sultan Baabullah. Selanjutnya, penyebaran Islam di Kerajaan Bima diteruskan oleh Sultan Alauddin pada tahun 1619. Ia mengirim para mubalig dari Kesultanan Luwu, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Bone. Kerajaan Bima akhirnya menjadi kesultanan setelah rajanya yang bernama La Kai menjadi muslim pada tanggal 15 Rabiul Awal tahun 1030 Hijriyah. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi dari para bangsawan dan masyarakat Kerajaan Bima.[4]

Wilayah Kekuasaan

Pada abad ke-19 M, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima meliputi Pulau Sumbawa bagian timur, Manggarai, dan pulau‑pulau kecil di Selat Alas. Wilayah Kesultanan Bima berbatasan langsung dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Di Pulau Sumbawa, wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi tiga distrik yaitu Belo, Bolo, dan Sape. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pemimpin distrik yang disebut Djeneli. Distrik kemudian dibagi lagi menjadi perkampungan-perkampungan yang dipimpin oleh kepala kampung. Wilayah Kesultanan Bima di Manggarai dibagi menjadi daerah Reo dan daerah Pota. Pemimpin masing-masing distrik bergelar naib yang bertanggung jawab langsung kepada sultan. Para naib ini memimpin para galarang, dan kepala kampung.[5]

Pada tahun 1938, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima menyempit akibat perjanjian dengan Gubernur Hindia Belanda. Kesultanan Bima berbatasan dengan Laut Jawa di utara dan Samudera Hindia di selatan. Bagian timur berbatasan dengan Manggarai dan bagian barat berbatasan dengan Dompu. Kesultanan Bima juga memperoleh wilayah Kerajaan Sanggar yang berada di pantai barat semenanjung Gunung Tambora pada tahun 1928.[6]

Pemerintahan

Kesultanan Bima menggunakan gelar Ruma kepada para sultannya. Gelar ini melambangkan bahwa sultan adalah khalifah dan wakil Allah di bumi. Sultan diberi wewenang oleh masyarakatnya untuk menjadi pemimpin dan pemerintah. Dalam melaksanakan pemerintahan, sultan mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak mementingkan keperluan pribadinya. Pemerintahan sultan sepenuhnya dilaksanakan sesuai syariat Islam. Nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dipadukan dan membentuk tradisi pemerintahan.[7]

Pemerintah Hindia Belanda berkuasa di Kesultanan Bima pada tahun 1908 dan menerapkan pemerintahan terpusat. Wilayah Kesultanan Bima dibagi menjadi 5 distrik pemerintahan yaitu Distrik Rasanae, Distrik Donggo, Distrik Sape, Distrik Belo, dan Distrik Bolo. Distrik Rasanae dipimpin oleh Sultan, sedangkan Distrik Donggo dipimpin oleh Sultan Muda. Distrik Sapa dipimpin oleh Raja Bicara, Distrik Bolo dipimpin oleh Raja Sakuru. dan Distrik Bolo dipimpin oleh Rato Parado.[8] Pada tahun 1909, Kesultanan Bima digabung ke dalam Keresidenan Timur Hindia Belanda dengan pusat pemerintahan di Makassar. Semua urusan kesultanan harus mendapat persetujuan pemerintah kolonial Belanda.[9]

Sultan Ismail

Sultan Ismail adalah sultan ke-10 Kesultanan Bima. Ia adalah putra dari Sultan Abdul Hamid. Kekuasaannya dimulai sejak pengangkatannya pada tanggal 26 November 1819.[10] Sultan Ismail berkuasa hingga tahun 1854. Selama masa kekuasaannya, Kesultanan Bima membangun banyak musala dan masjid di seluruh wilayahnya. Pada awal pemerintahannya, masyarakat hidup miskin dan menderita kelaparan akibat letusan Gunung Tambora, serangan bajak laut, dan kemarau panjang. Perekonomian Kesultanan Bima kemudian membaik setelah Sultan Ismail beralih patuh kepada Inggris.[11]

Sultan Abdul Kadim

Sultan Abdul Kadim adalah sultan kedelapan dari Kesultanan Bima. Ia berkuasa sejak tanggal 9 Februari

Sultan Abdul Hamid

Sultan Abdul Hamid adalah putra dari Sultan Abdul Kadim. Ia memerintah mulai tahun 1773 M. Pada masa pemerintahannya, perdagangan di wilayah Kesultanan Bima telah menjadi hak monopoli Belanda. Ia kemudian berperan dalam mempermudah izin pelayaran kapal-kapal di wilayah Kesultanan Bima.[12]

Sultan Muhammad Salahuddin

Sultan Muhammad Salahuddin adalah putra Sultan Ibrahim. Ia berkuasa pada tahun 1915 dan mengubah keadaan politik dan pemerintahan.[8] Selama pemerintahannya, ia mendirikan sekolah Islam di Raba dan Kampo Suntu. Selain itu, masjid-masjid didirikan di tiap desa dalam wilayah Kesultanan Bima. Sultan Muhammad Salahuddin juga mendirikan peradilan urusan agama yang disebut Badan Hukum Syara. Ia juga mulai melepaskan pengaruh Hindia Belanda di kesultanannya dengan melakukan peperangan dan mendirikan berbagai organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.[13]

Kehidupan Masyarakat

Masyarakatnya memiliki tiga sifat yang berasal dari masa awal pendirian Kerajaan Bima, yaitu sifat sabar, malu dan takut. Ketiga sifat ini diwariskan oleh Sang Bima kepada kedua anaknya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dibekali ilmu melaut, sedangkan Indra Kumala dibekali ilmu bertani. Pengetahuan ini kemudian diajarkan kepada masyarakat Bima.[14] Setelahnya, Wilayah Kesultanan Bima telah menjadi kawasan perdagangan sejak abad ke-11 M. Perannya adalah sebagai penghubung antara Kerajaan Medang di Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku. Kerajaan Bima menjadi tempat perdagangan dan persinggahan. Hasil bumi yang diperdagangkan berupa soga, sapang dan rotan. Perdagangan dilakukan di pelabuhan Bima Lawa Due dan Nanga Belo. Para pedagang juga singgah untuk mempersiapkan bekal ke Maluku berupa makanan dan air minum.[15]

Struktur Sosial

Penduduk asli di Kesultanan Bima adalah masyarakat Suku Donggo yang menghuni wilayah pegunungan. Wilayah pemukimannya berada di Kecamatan Donggo dan Kecamatan Wawo Tengah.[16] Penduduk yang lainnya adalah Suku Bima. Suku ini awalnya adalah para pendatang dari Suku Makassar dan Suku Bugis yang menghuni wilayah pesisir Bima. Mereka kemudian menikahi penduduk asli dan menetap sebagai penduduk di Bima pada abad ke-14.[17] Para pendatang lain berasal dari Suku Melayu dan Suku Minangkabau. Mereka menetap di wilayah Teluk Bima, Kampung Melayu, dan Benteng. DI Kesultanan Bima juga terdapat pemukiman Arab yang terdiri dari para pedagang dan mubalig.[18]

Keagamaan

Islam pertama kali diperkenalkan ke Kesultanan Bima oleh Sayyid Ali Murtadlo atau Sunan Gisik yang berasal dari Gresik. Ia adalah putra Syekh Maulana Ibrahim Asmara dan kakak dari Sunan Ampel. Penyebaran Islam dilakukan bersamaan dengan kegiatan perdagangan. Penerimaan Islam hanya oleh kelompok kecil pedagang dan masyarakat Kerajaan Bima yang berada di wilayah pesisir.[19]

Islamisasi di Sulawesi Selatan selama periode tahun 1605 hingga 1611 membuat Kesultanan Gowa memperluas penyebaran Islam ke Kepulauan Nusa Tenggara.[20] Kesultanan Gowa memusatkan penyebaran Islam di Pulau Sumbawa setelah hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan diislamkan.[21] Penyebaran Islam dilanjutkan oleh para pedagang dari Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kesultanan Luwu, Kesultanan Bone, dan Kesultanan Ternate. Hubungan politik, budaya dan ekonomi antara Kerajaan Gowa dan Kesultanan Bima akhirnya membuat raja Kerajaan Bima yang bernama La Kai menjadi muslim. Islam yang berkembang di Kesultanan Bima juga dipengaruhi oleh Kesultanan Gowa.[22]

Kesultanan Bima kemudian menerapkan hukum Islam dan hukum adat secara bersamaan. Pemerintahan Kesultanan Bima kemudian membentuk lembaga eksekutif dan yudikatif.[23] Sejak tanggal 14 Agustus 1788, Kesultanan Bima memiliki lembaga peradilan Islam yang bernama Mahkamah Syar'iyyah. Tugas utamanya adalah mengadili dalam urusan syariat Islam. Setelah Belanda memerintah di Kerajaan Bima, Mahkamah Syar’iyyah digantikan oleh sistem peradilan Hindia Belanda pada tahun 1908.[24]

Silsilah Sultan

Para sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Bima adalah sebagai berikut:[25]

Silsilah sultan di Kesultanan Bima
Sultan ke- Nama Gelar Periode
1 Abdul Kahir Mantau Wata Wadu 1620—1640
2 I Ambela Abi’l Khair Sirajuddin, Mantau Uma Jati 1640—1682
3 Nuruddin Abu Bakar All Syah Mawa’a Paju 1682—1687
4 Jamaluddin Ali Syah Mawa’a Romo 1687—1696
5 Hasanuddin Muhammad Syah Mabata Bo’u 1696—1731
6 Alauddin Muhammad Syah Manuru Daha 1731—1748
7 Kamalat Syah Rante Patola Sitti Rabi’ah 1748—1751
8 Abdul Kadim Muhammad Syah Mawa’a Taho 1751—1773
9 Abdul Hamid Muhammad Syah Mantau Asi Saninu 1773—1817
10 Ismail Muhammad Syah Mantau Dana Sigi 1817—1854
11 Abdullah Mawa’a Adil 1854—1868
12 Abdul Aziz Mawa’a Sampela 1868—1881
13 Ibrahim Ma Taho Parange 1881—1915
14 Muhamad Salahuddin Marrbora di Jakarta 1915—1951

Peninggalan Sejarah

Istana Asi Mbojo

Sebutkan salah satu pendapat tentang pembawa Islam ke wilayah Bima

Istana Sultan Bima pada tahun 1949

Istana Asi Mbojo didirikan pada tahun 1888 dalam masa pemerintahan Sultan Ibrahim. Istana ini digunakan hingga masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Pada tahun 1927, istana Asi Mbojo diperbaiki dan ditempati kembali pada tahun 1929. Arsitekturnya dirancang dengan menggunakan perpaduan arsitektur Bima dan Belanda. Perancangnya adalah Obzicter Rahatta yang merupakan tahanan Hindia Belanda dari Ambon. Istana Asi Mbojo kemudian menjadi Museum Asi Mbojo [26] Pada masa Kesultanan Bima, istana ini digunakan sebagai kediaman sultan bersama keluarganya, serta sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyiaran agama.[27]

Istana Asi Bou

Istana Asi Bou dibangun pada tahun 1927 sebagai kediaman sementara untuk sultan dan keluarganya. Kediaman ini digunakan selama pembangunan ulang dari Istana Asi Mbojo. Istana Asi Bou merupakan sebuah rumah panggung tradisional. Bahan bangunannya berupa kayu jati yang berasal dari Tololai, Kecamatan Wera. Pembangunannya menggunakan biaya dari kas keuangaan Kesultanan Bima dan dana pribadi Sultan Muhammad Salahuddin.[28]

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin

Masjid Sultan Muhammad Salahuddin mulai dibangun pada tahun 1737 M dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Pembangunan masjid diteruskan oleh Sultan Abdul Hamid. Ia mengubah model atap masjid menjadi bersusun tiga yang menyerupai Masjid Kudus. Pada tahun 1943, Sultan Muhammad Salahuddin memerintahkan pembangunan ulang masjid yang hancur setelah dibom oleh pesawat pasukan sekutu dalam Perang Dunia II. Masjid ini kembali diperbaiki pada tahun 1990 oleh Siti Maryam yang merupakan putri dari Sultan Muhammad Salahuddin.[28]

Masjid Al-Muwahiddin

Masjid Al-Muwahiddin dibangun pada tahun 1947 dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin. Tujuan pembangunannya adalah untuk menggantikan sementar fungsi dari Masjid Muhammad Salahuddin yang telah hancur. Masjid ini difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah, dakwah, dan studi Islam.[29]

Peninggalan Budaya

Rimpu

Rimpu adalah busana wanita berupa sarung yang digunakan oleh para muslimah di Kesultanan Bima. Kegunaannya adalah sebagai penutup kepala dan bagian tubuh bagian atas. Rimpu terdiri dari dua lembar kain sarung. Sarung pertama digunakan untuk menutupi kepala sehingga yang terliihat hanya bagian muka atau mata saja. Kain kedua diikat di perut dan digunakan sebagai pengganti rok.[30] Rimpu diperkenalkan pertama kali di Bima pada akhir abad ke-17 M.[31]

Referensi

  1. ^ Mawaddah 2017, hlm. 141.
  2. ^ Saputri 2016, hlm. 633.
  3. ^ Saputri 2016, hlm. 633–634.
  4. ^ Saputri 2016, hlm. 634.
  5. ^ Haris 2006, hlm. 18.
  6. ^ Haris 2006, hlm. 19.
  7. ^ Effendy 2017, hlm. 185.
  8. ^ a b Sumiyati 2020, hlm. 22.
  9. ^ Sumiyati 2020, hlm. 23.
  10. ^ Mandyara 2017, hlm. 47.
  11. ^ Mandyara 2017, hlm. 48.
  12. ^ Mawaddah 2017, hlm. 142.
  13. ^ Sumiyati 2020, hlm. 25.
  14. ^ Sulistyo 2014, hlm. 160.
  15. ^ Sulistyo 2014, hlm. 159.
  16. ^ Aulia 2013, hlm. 2.
  17. ^ Aulia 2013, hlm. 3.
  18. ^ Aulia 2013, hlm. 4.
  19. ^ Salahuddin 2005, hlm. 194.
  20. ^ Effendy 2017, hlm. 188.
  21. ^ Effendy 2017, hlm. 189.
  22. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195.
  23. ^ Salahuddin 2005, hlm. 195–196.
  24. ^ Salahuddin 2005, hlm. 196.
  25. ^ Haris 2006, hlm. 30–31.
  26. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13.
  27. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 13–14.
  28. ^ a b Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 14.
  29. ^ Akbar, Antariksa, dan Meidiana 2017, hlm. 15.
  30. ^ Aksa 2018, hlm. 84.
  31. ^ Aksa 2018, hlm. 85.

Daftar Pustaka

  • Akbar, H., Antariksa, dan Meidiana, C. (2017). "Memori Kolektif Kota Bima Dalam Bangunan Kuno Pada Masa Kesultanan Bima". The Indonesian Green Technology Journal. 6 (1): 8–18. ISSN 2338-1787.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  • Aksa (2018). "Rimpu: Tradisi dan Ekspresi Islam di Bima". Mimikri. 4 (1): 83–91.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Aulia, Rihla Nur (2013). "Rimpu: Budaya Dalam Dimensi Busana Bercadar Perempuan Bima". Studi Al-Qur'an. 9 (2): 1–11. ISSN 2339-2614.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Effendy, Muslimin AR. (Desember 2017). "Diskursus Islam dan Karakter Politik Negara di Kesultanan Bima". Al-Qalam. 23 (2): 184–197.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Haris, Tawalinuddin (2006). "Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa". Wacana. 8 (1): 17–31.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Mandyara, Dewi Ratna Muchlisa (2017). "Peran Kesultanan Bima pada Masa Sultan Ismail Tahun 1819-1854". Jurnal Pendidikan IPS. 7 (1): 44–48.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Mawaddah, Kartini (2017). "Diplomatik Sultan Abdul Hamid di Kerajaan Bima Tahun 1773-1817 M". Juspi. 1 (1): 139–153.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Salahuddin, Muhammad (2005). "Mahkamah Syar'iyyah di Kesultanan Bima: Wujud Dialektika Hukum antara Islam dan Adat". Ulumuna. 9 (1): 189–201.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Saputri, Reni (Oktober 2016). "Kesulttanan Bima di Bawah Pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin Tahun 1917-1942". Avatara. 4 (3): 630–643.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Sulistyo, Bambang (Juli 2014). "Multikulturalisme di Bima pada Abad X - XVII". Paramita. 24 (2): 155–172. doi:10.15294/paramita.v24i2.3120. ISSN 0854-0039.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Sumiyati (2020). "Kondisi Politik di Kesultanan Bima (1915-1950)". Diakronika. 20 (1): –. doi:10.24036/diakronika/vol20-iss1/128. ISSN 2620-9446.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kesultanan_Bima&oldid=21986050"