Sebutkan perbedaan prinsip uu terorisme yang lama dengan yang baru

Sebutkan perbedaan prinsip uu terorisme yang lama dengan yang baru

Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang

UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Dalam UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU aspek pencegahan secara simultan, terencana dan terpadu perlu dikedepankan untuk meminimalisasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme. Pencegahan secara optimal dilakukan dengan melibatkan kementerian atau lembaga terkait serta seluruh komponen bangsa melalui upaya kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU menekankan bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus, terencana, terarah, terpadu, dan berkesinambungan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Materi yang diatur dalam UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU antara lain:

  1. kriminalisasi baru terhadap berbagai modus baru Tindak Pidana Terorisme seperti jenis Bahan Peledak, mengikuti pelatihan militer/paramiliter/pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme;

  2. pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Terorisme, baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme;

  3. perluasan sanksi pidana terhadap Korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengarahkan Korporasi;

  4. penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu;

  5. kekhususan terhadap hukum acara pidana seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum, serta penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme oleh penuntut umum;

  6. pelindungan Korban sebagai bentuk tanggung jawab negara;

  7. pencegahan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh instansi terkait sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; dan

  8. kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, peran Tentara Nasional Indonesia, dan pengawasannya.

UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 21 Juni 2018 di Jakarta. UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 22 Juni 2018 di Jakarta.

UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 92. Penjelasan Atas UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6216. Agar setiap orang mengetahuinya.

UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU

Pertimbangan UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, adalah:

  1. bahwa tindak pidana terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia merupakan kejahatan yang serius yang membahayakan ideologi negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan, dan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta bersifat lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas serta memiliki tujuan tertentu sehingga pemberantasannya perlu dilakukan secara khusus, terencana, terarah, terpadu, dan berkesinambungan, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. bahwa adanya keterlibatan orang atau kelompok orang serta keterlibatan warga negara Indonesia dalam organisasi di dalam dan/atau di luar negeri yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada tindak pidana terorisme, berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara, serta perdamaian dunia;

  3. bahwa untuk memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;

  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang;

Dasar hukum UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, adalah:

  1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);

Tindak Pidana Terorisme merupakan kejahatan serius yang dilakukan dengan menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dengan sengaja, sistematis, dan terencana, yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dengan target aparat negara, penduduk sipil secara acak atau tidak terseleksi, serta Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup, dan Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dan cenderung tumbuh menjadi bahaya simetrik yang membahayakan keamanan dan kedaulatan negara, integritas teritorial, perdamaian, kesejahteraan dan keamanan manusia, baik nasional, regional, maupun internasional.

Tindak Pidana Terorisme pada dasarnya bersifat transnasional dan terorganisasi karena memiliki kekhasan yang bersifat klandestin yaitu rahasia, diam-diam, atau gerakan bawah tanah, lintas negara yang didukung oleh pendayagunaan teknologi modern di bidang komunikasi, informatika, transportasi, dan persenjataan modern sehingga memerlukan kerja sama di tingkat internasional untuk menanggulanginya.

Tindak Pidana Terorisme dapat disertai dengan motif ideologi atau motif politik, atau tujuan tertentu serta tujuan lain yang bersifat pribadi, ekonomi, dan radikalisme yang membahayakan ideologi negara dan keamanan negara. Oleh karena itu, Tindak Pidana Terorisme selalu diancam dengan pidana berat oleh hukum pidana dalam yurisdiksi negara.

Dengan adanya rangkaian peristiwa yang melibatkan warga negara Indonesia bergabung dengan organisasi tertentu yang radikal dan telah ditetapkan sebagai organisasi atau kelompok teroris, atau organisasi lain yang bermaksud melakukan permufakatan jahat yang mengarah pada Tindak Pidana Terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri, telah menimbulkan ketakutan masyarakat dan berdampak pada kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, keamanan dan ketertiban masyarakat, ketahanan nasional, serta hubungan internasional. Organisasi tertentu yang radikal dan mengarah pada Tindak Pidana Terorisme tersebut merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas yang secara nyata telah menimbulkan terjadinya Tindak Pidana Terorisme yang bersifat masif jika tidak segera diatasi mengancam perdamaian dan keamanan, baik nasional maupun internasional.

Sejalan dengan salah satu tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, perubahan Undang-Undang ini memberikan landasan normatif bahwa negara bertanggung jawab dalam melindungi Korban dalam bentuk bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, dan santunan bagi yang meninggal dunia serta kompensasi. Namun bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi Korban tidak menghilangkan hak Korban untuk mendapatkan restitusi sebagai ganti kerugian oleh pelaku kepada Korban.

Dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme aspek pencegahan secara simultan, terencana dan terpadu perlu dikedepankan untuk meminimalisasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme. Pencegahan secara optimal dilakukan dengan melibatkan kementerian atau lembaga terkait serta seluruh komponen bangsa melalui upaya kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Untuk mengoptimalkan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, perlu penguatan fungsi kelembagaan khususnya fungsi koordinasi yang diselenggarakan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berikut mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan dalam hal ini badan kelengkapan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang melaksanakan tugas di bidang penanggulangan Terorisme. Selain itu, penanganan Tindak Pidana Terorisme juga merupakan tanggung jawab bersama lembaga-lembaga yang terkait, termasuk Tentara Nasional Indonesia yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam mengatasi aksi Terorisme. Peran Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme tetap dalam koridor pelaksanaan tugas dan fungsi Tentara Nasional Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tentara Nasional Indonesia dan Pertahanan Negara.

Dalam rangka memberikan landasan hukum yang lebih kukuh guna menjamin pelindungan dan kepastian hukum dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, perlu dilakukan perubahan secara proporsional dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan penegakan hukum, pelindungan hak asasi manusia, dan kondisi sosial politik di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang.

Beberapa materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang ini, antara lain:

  1. kriminalisasi baru terhadap berbagai modus baru Tindak Pidana Terorisme seperti jenis Bahan Peledak, mengikuti pelatihan militer/paramiliter/pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme;

  2. pemberatan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Terorisme, baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme;

  3. perluasan sanksi pidana terhadap Korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengarahkan Korporasi;

  4. penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu;

  5. kekhususan terhadap hukum acara pidana seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum, serta penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme oleh penuntut umum;

  6. pelindungan Korban sebagai bentuk tanggung jawab negara;

  7. pencegahan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh instansi terkait sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme; dan

  8. kelembagaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, peran Tentara Nasional Indonesia, dan pengawasannya.

Berikut adalah isi UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, bukan format asli:

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284) diubah sebagai berikut:

  1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

  2. Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

  3. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.

  4. Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.

  5. Bahan Peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua Bahan Peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.

  6. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.

  7. Objek Vital yang Strategis adalah kawasan, tempat, lokasi, bangunan, atau instalasi yang:

    1. menyangkut hajat hidup orang banyak, harkat dan martabat bangsa;

    2. merupakan sumber pendapatan negara yang mempunyai nilai politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau

    3. menyangkut pertahanan dan keamanan yang sangat tinggi.

  8. Fasilitas Publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

  9. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

  10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

  11. Korban Tindak Pidana Terorisme yang selanjutnya disebut Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu Tindak Pidana Terorisme.

  12. Pemerintah Republik Indonesia adalah Pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

  13. Perwakilan Negara Asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta stafnya.

  14. Organisasi Internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau organisasi yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa.

  1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Tindak Pidana Terorisme yang diatur dalam UndangUndang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

  1. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A

  1. Setiap Orang yang secara melawan hukum memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

  2. Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan bahan potensial sebagai Bahan Peledak atau memperdagangkan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, bahan nuklir, radioaktif atau komponennya untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

  3. Dalam hal bahan potensial atau komponen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbukti digunakan dalam Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

  4. Setiap Orang yang memasukkan ke dan/atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia suatu barang selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dapat dipergunakan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

  1. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 12A dan Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Setiap Orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

  2. Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

  3. Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

  1. Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

  2. Setiap Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

  3. Setiap Orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

  4. Setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.

  5. Pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.

  1. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Setiap Orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang dapat mengakibatkan Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

  1. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.

  1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.

  1. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16A

Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga).

  1. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

  2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari.

  3. Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.

  4. Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak mencukupi, permohonan perpanjangan dapat diajukan oleh penyidik kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.

  5. Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.

  6. Apabila jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi, dapat diajukan permohonan perpanjangan oleh penuntut umum kepada ketua pengadilan negeri untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

  7. Pelaksanaan penahanan tersangka Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.

  8. Setiap penyidik yang melanggar ketentuansebagaimana dimaksud pada ayat (7) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari.

  2. Apabila jangka waktu penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup, penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

  3. Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.

  4. Setiap penyidik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Penuntut umum melakukan penelitian berkas perkara Tindak Pidana Terorisme dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak berkas perkara dari penyidik diterima.

  1. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang:

    1. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; dan

    2. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, serta untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan Terorisme.

  2. Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah mendapat penetapan dari ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik yang menyetujui dilakukannya penyadapan berdasarkan permohonan secara tertulis penyidik atau atasan penyidik.

  3. Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

  4. Hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan Tindak Pidana Terorisme.

  5. Penyadapan wajib dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan dilaporkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.

  1. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan/atau melaksanakan Tindak Pidana Terorisme dan setelah pelaksanaannya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik.

  1. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33

  1. Penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, pelapor, ahli, saksi, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya dalam perkara Tindak Pidana Terorisme wajib diberi pelindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

  2. Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34

  1. Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang diberikan kepada penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan beserta keluarganya berupa:

    1. pelindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;

    2. kerahasiaan identitas; dan

    3. bentuk pelindungan lain yang diajukan secara khusus oleh penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan.

  2. Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan.

  3. Ketentuan mengenai tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34A

  1. Pelindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang diberikan kepada pelapor, ahli, dan saksi beserta keluarganya berupa:

    1. pelindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;

    2. kerahasiaan identitas;

    3. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan terdakwa; dan

    4. pemberian keterangan tanpa hadirnya saksi yang dilakukan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.

  2. Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

  3. Tata cara pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Judul BAB VI diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Korban merupakan tanggung jawab negara.

  2. Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. Korban langsung; atau

    2. Korban tidak langsung

  3. Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penyidik berdasarkan hasil olah tempat kejadian Tindak Pidana Terorisme.

  4. Bentuk tanggung jawab negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. bantuan medis;

    2. rehabilitasi psikososial dan psikologis;

    3. santunan bagi keluarga dalam hal Korban meninggal dunia; dan

    4. kompensasi.

  1. Pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, serta santunan bagi yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban serta dapat bekerjasama dengan instansi/lembaga terkait.

  2. Bantuan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesaat setelah terjadinya Tindak Pidana Terorisme.

  3. Tata cara pemberian bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, serta santunan bagi yang meninggal dunia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (4) huruf d diberikan kepada Korban atau ahli warisnya.

  2. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara.

  3. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, keluarga, atau ahli warisnya melalui lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban, dimulai sejak saat penyidikan.

  4. Dalam hal Korban, keluarga, atau ahli warisnya tidak mengajukan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kompensasi diajukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

  5. Penuntut umum menyampaikan jumlah kompensasi berdasarkan jumlah kerugian yang diderita Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan.

  6. Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

  7. Dalam hal Korban belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan tidak di bawah pengampuan, kompensasi dititipkan kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

  8. Dalam hal pelaku dinyatakan bebas berdasarkan putusan pengadilan, kompensasi kepada Korban tetap diberikan.

  9. Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme meninggal dunia atau tidak ditemukan siapa pelakunya, Korban dapat diberikan kompensasi berdasarkan penetapan pengadilan.

  10. Pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

  1. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B sehingga berbunyi sebagai berikut:

  1. Korban berhak mendapatkan restitusi.

  2. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada Korban atau ahli warisnya.

  3. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Korban atau ahli warisnya kepada penyidik sejak tahap penyidikan.

  4. Penuntut umum menyampaikan jumlah restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan jumlah kerugian yang diderita Korban akibat Tindak Pidana Terorisme dalam tuntutan.

  5. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

  6. Dalam hal pelaku tidak membayar restitusi, pelaku dikenai pidana penjara pengganti paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan, penentuan jumlah kerugian, pembayaran kompensasi dan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 36A diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Pasal 37 dihapus.

  2. Pasal 38 dihapus.

  3. Pasal 39 dihapus.

  4. Pasal 40 dihapus.

  5. Pasal 41 dihapus.

  6. Pasal 42 dihapus.

  7. Ketentuan Pasal 43 tetap, penjelasan Pasal 43 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal.

  1. Di antara BAB VII dan BAB VIII ditambahkan 3 (tiga) BAB baru, yakni BAB VIIA, BAB VIIB, dan BAB VIIC sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB VIIA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA TERORISME

Bagian Kesatu Umum

Pasal 43A

  1. Pemerintah wajib melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme.

  2. Dalam upaya pencegahan Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.

  3. Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

    1. kesiapsiagaan nasional;

    2. kontra radikalisasi; dan

    3. deradikalisasi.

Bagian Kedua Kesiapsiagaan Nasional

Pasal 43B

  1. Kesiapsiagaan nasional merupakan suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya Tindak Pidana Terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan.

  2. Kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A ayat (3) huruf a dilakukan oleh Pemerintah.

  3. Pelaksanaan kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.

  4. Kesiapsiagaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan dan peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian Terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal Terorisme.

  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pelaksanaan kesiapsiagaan nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Kontra Radikalisasi

Pasal 43C

  1. Kontra radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal Terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal Terorisme.

  2. Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.

  3. Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kontra radikalisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Deradikalisasi

Pasal 43D

  1. Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal Terorisme yang telah terjadi.

  2. Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada:

    1. tersangka;

    2. terdakwa;

    3. terpidana;

    4. narapidana;

    5. mantan narapidana Terorisme; atau

    6. orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal Terorisme.

  3. Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.

  4. Deradikalisasi terhadap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diberikan melalui tahapan:

    1. identifikasi dan penilaian;

    2. rehabilitasi;

    3. reedukasi; dan

    4. reintegrasi sosial.

  5. Deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dapat dilaksanakan melalui:

    1. pembinaan wawasan kebangsaan;

    2. pembinaan wawasan keagamaan; dan/atau

    3. kewirausahaan.

  6. Pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan identifikasi dan penilaian.

  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIIB KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Pasal 43E

  1. Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme yang selanjutnya disebut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

  2. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani Terorisme.

  3. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 43F

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi:

  1. menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme;

  2. menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme; dan

  3. melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.

Pasal 43G

Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43F, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bertugas:

  1. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi;

  2. mengoordinasikan antarpenegak hukum dalam penanggulangan Terorisme;

  3. mengoordinasikan program pemulihan Korban; dan

  4. merumuskan, mengoordinasikan, dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program nasional penanggulangan Terorisme di bidang kerja sama internasional.

Pasal 43H

Ketentuan mengenai susunan organisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua Peran Tentara Nasional Indonesia

Pasal 43I

  1. Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.

  2. Dalam mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.

  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga Pengawasan

Pasal 43J

  1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membentuk tim pengawas penanggulangan Terorisme.

  2. Ketentuan mengenai pembentukan tim pengawas penanggulangan Terorisme diatur dengan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

BAB VIIC KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43K

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemeriksaan terhadap perkara Tindak Pidana Terorisme yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Pasal 43L

  1. Korban langsung yang diakibatkan dari Tindak Pidana Terorisme sebelum Undang-Undang ini mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis.

  2. Korban langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

  3. Pengajuan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilengkapi dengan surat penetapan Korban yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

  4. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku.

  5. Pemberian kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban.

  6. Besaran kompensasi kepada Korban dihitung dan ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban setelah mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

  7. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan serta pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  1. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 46A dan Pasal 46B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46A

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan Tindak Pidana Terorisme yang ada dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pendanaan terorisme.

Pasal 46B

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal II

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannyadalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Demikian isi UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU yang telah disahkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 21 Juni 2018 di Jakarta. UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU diundangkan Menkumham Yasonna H. Laoly pada tanggal 22 Juni 2018 di Jakarta.

UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 92. Penjelasan Atas UU 5 tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU ditempatkan pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6216. Agar setiap orang mengetahuinya.

[ the sweetest eyes you'll ever see on a terrorist by eric molana ]