Kabar Latuharhary – Diskriminasi ras dan etnis telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan ras dan etnis. Hal tersebut berakibat pada pencabutan atau pengurangan, perolehan, atau pelaksanaan Hak Asasi Manusi (HAM) dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, ekonomi, dan budaya. “Pers berperan dalam menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia,” ujar Komisioner Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga, saat menjadi narasumber dalam Web Seminar (Webinar) Serial Ngopi Online Seri 2 (dua). Webinar ini diselengarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Voice of America (VOA) pada Jumat (09/10/2020). Show Webinar itu juga dihadiri oleh beberapa narasumber, yakni Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, Pengurus AJI Indonesia, Victor Mambor, TV production Specialist VOA, Alam Burhanan dan Ketua AJI Yogyakarta, Shinta Maharani. Webinar Serial Ngopi Online Seri 2 (dua) ini mengangkat tema “Rasisme dan Kebebasan Pers”. Sandra menyampaikan bahwa hak asasi manusia memiliki prinsip dasar. Prinsip dasar HAM diantaranya bersifat universal, tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi-bagi, saling terhubung, saling bergantung, non diskriminasi, serta tidak dapat dicabut. Diskriminasi ras dan etnis merupakan penolakan terhadap hak asasi manusia dan kebabasan dasar.Diskriminasi dapat terjadi karena adanya dukungan kebijakan pemerintah atau dukungan sebagaian masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara menyebarkan doktrin-doktrin supremasi ras, warna kulit, keturunan, serta asal usul kebangsaan atau etnis, lanjut Sandra. Sandra juga menyinggung mengenai Pasal 6 (enam) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa pers nasional berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. “Informasi yang diberikan, termasuk informasi terkait masalah diskriminasi ras dan etnis. Dalam hal ini, Pers dapat juga disebut Pembela HAM atau Human Rights Defender (HRD),” tegas Sandra. Setuju dengan Sandra, Agus menyampaikan bahwa pers tidak perlu menutup-tutupi fakta. Namun, perlu mempertimbangkan dampak pemberitaan. Dampak yang dimaksud tersebut adalah dampak terhadap kemakmuran publik, kemiskinan, kesejahteraan bersama, perdamaian, toleransi, dan hak asasi manusia.Pers harus bersih atau anti korupsi, serta tidak dikendalikan oleh pihak manapun. Perlindungan terhadap pers merupakan pemenuhan hak asasi manusia terhadap kebebasan berpendapat yang juga merupakan bagian dari demokrasi. “Indonesia masih terkekang oleh budaya otoritarianisme yang bertentangan dengan prinsip dasar HAM. Komnas HAM berharap, dengan adanya pers akan menjadi penyuluh bagi masyarakat untuk mengetahui informasi secara cepat, tepat, akurat dan benar,” pungkas Sandra. (Feri/LY)
Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan. Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Kerusuhan rasial yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan antarbangsa. Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2106 A (XX) tanggal 21 Desember 1965 dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain meratifikasi, Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Untuk mengamalkan Pancasila dan melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengandung ketentuan tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis, tetapi masih belum memadai untuk mencegah, mengatasi, dan menghilangkan praktik diskriminasi ras dan etnis dalam suatu undang-undang. Yaitu UU 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ditetapkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 10 November 2008 di Jakarta. UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis diundangkan dan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 170 dan Penjelasan Atas UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4919 oleh Menkumham Andi Mattalatta pada 10 November 2008 di Jakarta. Undang-UndangNomor 40 Tahun 2008tentangPenghapusan Diskriminasi Ras dan EtnisLatar BelakangPertimbangan UU 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah:
Dasar hukum UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah:
Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan etnis dalam masyarakat dan negara. Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis, berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis. Kerusuhan rasial yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja atau dalam kehidupan sosial ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan. Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan keamanan di dalam suatu negara serta menghambat hubungan persahabatan antarbangsa. Dalam sejarah kehidupan manusia, diskriminasi ras dan etnis telah mengakibatkan keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik, mental, dan sosial yang semua itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis Umum PBB 2106 A (XX) tanggal 21 Desember 1965. Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain meratifikasi, Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengandung ketentuan tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi ras dan etnis, tetapi masih belum memadai untuk mencegah, mengatasi, dan menghilangkan praktik diskriminasi ras dan etnis dalam suatu undang-undang. Berdasarkan pandangan dan pertimbangan di atas, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai:
Penyusunan Undang-Undang ini merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Isi UU 40/2008Berikut isi UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (bukan format asli) : Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Penghapusan diskriminasi ras dan etnis bertujuan mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa :
Penghapusan diskriminasi ras dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan:
Pasal 6Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7Untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemerintah dan pemerintah daerah wajib:
Setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis. Pasal 10Setiap warga negara wajib:
Setiap warga negara berperan serta dalam upaya penyelenggaraan perlindungan dan pencegahan terhadap diskriminasi ras dan etnis. Pasal 12Peran serta warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilaksanakan dengan cara:
Setiap orang berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya. Pasal 14Setiap orang secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 16Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 17Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing- masing ancaman pidana maksimumnya. Pasal 18Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa restitusi atau pemulihan hak korban.
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurusnya. Pasal 21
BAB IXKETENTUAN PENUTUPPasal 22Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan ras dan etnis, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 23Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 170[ Foto by Gunawan Kartapranata - Own work berdasarkan peta di Ruang Etnografi, Museum Nasional Indonesia, Jakarta, CC BY-SA 3.0, Link ] Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis |