Pembangunan akan berjalan dengan lancar apabila ada titik-titik antar umat beragama

Medan (1/5) -- Indonesia merupakan negara multikultural dengan berbagai keragaman antara lain suku, ras, bahasa dan juga agama. Keberagaman ini merupakan asset bangsa Indonesia yang harus dijaga dan rawat bersama. 

Keberagaman dalam beragama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sehingga setiap umat beragama mempunyai kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain tanpa membeda-bedakan.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, pentingnya menerapkan prinsip-prinsip kemerdekaan dan kebebasan untuk menumbuhkan sikap toleransi, saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda.

Menurutnya hal tersebut dapat meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan yang kuat sebagai modal membangun bangsa Indonesia kedepannya. 

"Semboyan Bhineka Tunggal Ika memiliki makna sesuai dengan keberagaman Indonesia yang tidak hanya bersuku-suku, ber ras-ras, dsn berbudaya tetapi kita punya makna yang jauh lebih luas bahwa kita memang ditakdirkan sebagai pribadi yang berbeda satu sama lain namun tetap satu tujuan. Saya kira ini sebagai modal yang besar untuk kita maju bersama membangun bangsa Indonesia," ucapnya saat menyampaikan Keynote Speech pada Kongres Ke-11 Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (Hikmahbudhi) di Hotel Polonia Medan, pada Sabtu (1/5). 

Menko Muhadjir juga mengajak kepada seluruh mahasiswa yang hadir untuk tidak mengabaikan prinsip perjuangan dalam membangun bangsa Indonesia.

"Saya ingin para mahasiswa betul-betul mengambil peran maksimal dan berada di garis depan untuk kemajuan Indonesia. Terlalu mahal prinsip perjuangan untuk anak-anak muda, karena banyak pemuda yang mulai mengabaikan prinsip tersebut. Padahal, prinsip perjuangan itulah yang membimbing kita untuk tetap tegap berdiri, penuh dengan keyakinan, menatap masa depan untuk Indonesia maju," katanya. 

*Tinjau Kesiapan Penerimaan Pekerja Migran Indonesia*

Sebelum mengakhiri kunjungan kerjanya di Medan, Muhadjir Effendy melakukan peninjauan terkait kesiapan Bandara Kualanamu untuk menerima para Pekerja Migran Indonesia (PMI). Ia meminta pihak Pemerintah Kota Medan dan pihak Bandara Kualanamu untuk lebih berhati-hati dalam melakukan penanganan para Pekerja Migran yang datang ke Kota Medan ini.

"Mohon dicermati karena Medan menjadi tempat diperbolehkan mendaratnya para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang diantara PMI itu sudah diketati pengawasannya dan sudah diperiksa ada yang membawa 'oleh-oleh' virus Covid-19 juga," tukasnya.

Pada kesempatan tersebut Menko PMK juga didampingi oleh Staf Ahli Gurbernur Sumatera Utara Bidang Ekonomi, Keuangan, Pembangunan, Aset, dan SDA Agus Tripriyono, Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Priagung AB, serta Eksekutif General Manager Angkasa Pura Agus Supriyanto. (*)

Memasuki 2022, muncul berbagai peristiwa yang semakin menunjukkan rapuhnya relasi beragama di Indonesia.

Kita mendengar kabar penendangan sesajen di Gunung Semeru, Jawa Timur, pelarangan perayaan Natal oleh warga di Lampung, hingga penolakan pembangunan tempat ibadah umat minoritas seperti pura di Bekasi dan gereja di Surabaya yang butuh satu dekade lebih untuk mendapat titik terang.

Sepanjang 2020, Setara Institute juga mencatat setidaknya 180 peristiwa dan 424 pelanggaran kebebasan berkeyakinan di seluruh Indonesia.

Padahal, negara selama ini kerap menggaungkan ampuhnya pendekatan “multikulturalisme” – yakni penghormatan dan akomodasi atas kebutuhan dan ekspresi beragama umat minoritas.

Mengapa pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan terus-terusan terjadi?

Dalam riset saya, saya berargumen bahwa selain lemahnya instrumen perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, pendekatan multikulturalisme secara sosial juga belum mampu mendukung kerukunan beragama.

Kelompok minoritas selama ini sebatas mendapat akomodasi untuk mengekspresikan identitas keagamannya; ini belum cukup.

Indonesia perlu beralih pada pendekatan sosial baru yang mampu mendorong relasi beragama yang lebih terhubung, terikat, dan saling memahami perbedaan.

Kegagalan multikulturalisme

Multikulturalisme adalah langkah politik akomodasi yang dilakukan negara dan/atau kelompok mayoritas bagi ekspresi budaya minoritas – entah ras, etnisitas, kewarganegaraan, atau agama.

Misalnya, mereka mendapat dukungan atas keyakinan dan kebiasaan kelompok tersebut yang berbeda dari kelompok mayoritas. Negara juga menyesuaikan perangkat hukum dan aturan yang ada sehingga warga minoritas dapat tetap mengekspresikan identitas budaya mereka.

Sekilas, multikulturalisme memang terdengar sebagai pendekatan yang ideal digunakan untuk mengelola keberagaman.

Namun, ada hal yang masih terlewat dalam pendekatan ini.

Menurut para ahli, multikulturalisme hanya fokus memenuhi hak kultural dari kelompok-kelompok yang ada tanpa membangun keterhubungan dan keterikatan (interconnectedness) di antara mereka.

Ini menciptakan “sangkar budaya” (cultural aviaries) – suatu kelompok agama hanya akan berkumpul dengan sesamanya sekaligus menghindari konflik dengan kelompok berbeda. Pada akhirnya, ini memunculkan fragmentasi sosial dan keterpisahan antara kelompok minoritas dan mayoritas (minority separateness).

Ini sangat terlihat dalam konflik pendirian tempat ibadah yang banyak dialami umat minoritas di Indonesia.

Secara prinsip, tak ada larangan bagi umat minoritas untuk membangun tempat ibadah. Tapi, ada syarat yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur di Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/8 Tahun 2006, yakni adanya dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang.

Ini adalah contoh aturan dengan semangat multikulturalisme – umat minoritas diberi jalan untuk membangun tempat ibadah.

Sayangnya, syarat dukungan warga sekitar berarti bahwa pembangunan tempat ibadah suatu umat seringkali hanya berjalan lancar jika dilakukan di lingkungan yang dipenuhi sesama umat agama tersebut.

Pembangunan akan berjalan dengan lancar apabila ada titik-titik antar umat beragama
Sejumlah jemaat dihalangi petugas saat akan melakukan kebaktian di depan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Pembangunan gereja tersebut mandek dalam ketidakjelasan selama 15 tahun karena dianggap menyalahi IMB dan adanya penolakan dari masyarakat. (ANTARA FOTO)

Di sini, setiap kelompok seakan mendapat hak-haknya, selama berada dalam “wilayah kultural” masing-masing dan tidak terjadi “saling senggol”.

Ini tidak sejalan dengan hak kebebasan beragama (dan hak kultural lainnya) yang bersifat penuh dan seluas-luasnya. Umat beragama harusnya bisa bebas beribadah di mana pun, meski mereka adalah umat minoritas di tengah lingkungan umat mayoritas.

Tanpa keterhubungan dan keterikatan antara para kelompok, resistensi dan penolakan antar kelompok akan terus ada dan tidak akan pernah tergerus – seperti kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang.”

Resistensi ini kemudian menjadi semakin berbahaya dan dapat berkembang menjadi kekerasan jika di antara para kelompok tersebut ada “covert animosity” atau rasa memusuhi yang disembunyikan.

Hasil studi yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dan Wahid Foundation sekitar 5 tahun lalu, misalnya, menemukan bahwa 59,9% dari 1.520 responden di 34 provinsi mengaku memiliki kebencian terhadap kelompok masyarakat yang berbeda, khususnya pada non-Muslim, etnis Tionghoa, komunis, dan sebagainya.

Interkulturalisme: arah baru relasi beragama

Atas dasar tersebut, kita perlu menggunakan pendekatan baru yang tak hanya mengakomodasi kelompok minoritas, tapi juga membangun keterhubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda.

Hal ini terjawab oleh pendekatan “interkulturalisme”.

Pendekatan interkulturalisme tidak hanya mengakomodasi perbedaan tapi juga menjembataninya. Sehingga, antara mereka yang berbeda dapat saling terkoneksi dan saling menyatu menjadi masyarakat yang kohesif.

Pada praktiknya, prinsip tersebut dapat berwujud kebijakan yang mendorong inter-dialog, keterhubungan, dan keterikatan antara berbagai kelompok yang berbeda. Harapannya, ini dapat menghilangkan segala kondisi yang bisa memunculkan segregasi sosial.

Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, melalui kurikulum sekolah yang memfasilitasi terbangunnya inter-dialog dan pemahaman bersama antar kelompok agama yang berbeda, atau melalui penetapan kuota tertentu yang menjamin kemajemukan suatu populasi – baik di sekolah, perkantoran, atau pemukiman.

Pembangunan akan berjalan dengan lancar apabila ada titik-titik antar umat beragama
Pendekatan interkulturalisme dapat berwujud kurikulum sekolah yang inklusif serta mendorong dialog dan keterikatan antar kelompok beragama. (ANTARA FOTO)

Singapura melakukan ini melalui Ethnic Integration Policy yang menetapkan kuota minimal untuk etnis minoritas dalam setiap area pemukiman. Kebijakan ini sudah berjalan sejak 1989.

Selain itu, alih-alih menetapkan syarat yang bisa mempersulit rencana pendirian tempat ibadah, pemerintah justru harus mendorong terbangunnya fasilitas peribadatan dari berbagai kelompok agama di setiap lingkungan masyarakat – apa pun agama mayoritas di wilayah tersebut.

Hal tersebut bisa dilakukan, antara lain, dengan menghilangkan syarat dukungan dari masyarakat sekitar seperti yang terdapat di aturan yang berlaku saat ini.

Pada intinya, melalui pendekatan interkulturalisme, masyarakat didorong untuk tidak sekadar sadar atau “mengizinkan” adanya keberagaman.

Jika negara serius ingin menjadikan tahun 2022 sebagai “Tahun Toleransi”, serta menjadikan Indonesia sebagai kiblat kerukunan beragama di dunia, masyarakat harus didorong untuk hidup di dalam keberagaman tersebut dan menjadikan keberagaman yang ada sebagai bagian dari diri kita masing-masing.

Hanya dengan begitu kita dapat menjadikan bhinneka tunggal ika tidak hanya sebagai motto kosong atau mantra toleransi yang hanya di level permukaan, tapi benar-benar sebagai napas hidup.

Bahwa kita memang berbeda, tapi perbedaan itu terajut, terkoneksi, dan menyatu di antara kita.

If so, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. With the latest scientific discoveries, thoughtful analysis on political issues and research-based life tips, each email is filled with articles that will inform you and often intrigue you.

Editor and General Manager

Find peace of mind, and the facts, with experts. Add evidence-based articles to your news digest. No uninformed commentariat. Just experts. 90,000 of them have written for us. They trust us. Give it a go.

If you found the article you just read to be insightful, you’ll be interested in our free daily newsletter. It’s filled with the insights of academic experts, written so that everyone can understand what’s going on in the world. Each newsletter has articles that will inform and intrigue you.

Komentari artikel ini