Mengapa proses penelitian perlu dijelaskan kepada pihak lain yang berkepentingan

PENDAHULUAN Manusia senantiasa berusaha mencari kesempurnaan dan kebenaran, di dorong oleh hasrat ingin tahunya yang selalu ada dan tidak pernah padam. Melalui berbagai penelitian, banyak rahasia tersingkap sudah. Pengetahuan orang semakin luas. Ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan kumpulan pengalaman dan pengetahuan sejumlah orang yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur dan kebenarannya sudah teruji. Maka ilmu pengetahuan mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan menghadapi persoalan hidup sehari-hari. Namun, banyak masalah belum juga terpecahkan; disamping itu muncul masalah-masalah baru. Oleh karena itu, penelitian/ penyelidikan lahir dari masalah kehidupan manusia sendiri yang memerlukan pemecahan. Meskipun tidak ada cara yang sama sekali dapat dipergunakan untuk menghilangkan ketidaktentuan (uncertainty), namun unsur-unsur ketidak tentuan karena kurangnya informasi itu dapat diperkecil dengan mempergunakan metode ilmiah. Metode ini akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-macam tindakan. Riset sebenarnya merupakan penerapan atau aplikasi dari metode ilmiah. Dengan kata lain riset sinonim dengan metode ilmiah. Sifat ilmiah atau tidak ilmiah erat hubungannya dengan metode penyimpulan. Suatu tulisan disebut ilmiah bila pokok pikiran yang dikemukakannya disimpulkan melalui suatu prosedur yang sistematis dengan mempergunakan pembuktian-pembuktian yang cukup meyakinkan. Bukti yang cukup meyakinkan ini biasanya merupakan fakta-fakta yang didapat secara objektif dan berhasil lolos dari berbagai proses pengujian. Kadar ilmiah dari suatu penelitian dapat bervariasi bergantung pada pengalaman dan keterampilan penelitian serta besarnya dana yang tersedia dan waktu penelitian. PEMBAHASAN Pengertian Teori Seorang ahli ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan menemukan fakta atau kenyataan. Ia ingin mencari dalil, yaitu generalisasi atau kesimpulan yang berlaku umum. Dan dengan dalil ini ahli tersebut dapat meramalkan rangkaian peristiwa berikutnya. Sekumpulan data baru mempunyai arti dan guna kalau tersusun dalam satu sistem pemikiran yang disebut teori.[1] Teori adalah prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta; mungkin juga berupa dugaan yang menerangkan sesuatu seperti teori atom, teori gravitasi, teori evolusi, dan sebagainya. Jadi teori merupakan suatu sudut pandangan. apakah teori itu spekulasi? Sebelum dibuktikan kebenarannya, teori memang dianggap sebagai spekulasi. Tetapi ia akan menjadi fakta setelah pembuktian dilakukan. Bagi seorang peneliti, teori menjadi alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Betapa teori ini sangat penting, untuk menuntun peneliti dan ilmuwan dalam upaya mengembangkan wawasan keilmuan, agar tak mengalami stagnasi. Oleh karena itu (1) teori bukan spekulasi (2) teori dan fakta saling berhubungan (3) peneliti sangat berkepentingan dengan keduanya - teori dan fakta. Fakta dan teori bersifat saling mendorong. Teori memberi arah dalam proses ilmiah, sebaliknya fakta memegang peranan dalam mengembangkan teori. Pertumbuhan ilmu pengetahuan nampak dalam fakta-fakta baru dan teori baru. Fakta-fakta yang baru dan menyimpang akan menciptakan teori baru; dan teori yang ada mungkin menjadi tidak berguna lagi atau harus dirumuskan kembali. Melakukan suatu riset tanpa interprestasi teoritis atau membuat teori tanpa riset adalah melupakan pokok teori sebagai alat untuk mencapai suatu pemikiran yang ekonomi.[2] Untuk menemukan sebuah teori yang terbukti kebenarannya, mula-mula dibuat teori sementara yang dipergunakannya sebagai pedoman atau petunjuk untuk memecahkan masalah. Peneliti kemudian mencari data untuk menguji kebenaran teori sementara yang dibuatnya itu. Teori ini disebut hipotesis, selaku pemecahan sementara terhadap masalah yang diteliti. Ia akan menjadi dalil atau teori setelah berulang kali diperiksa kebenarannya. Contoh:[3] Teori : Manusia yang dibesarkan di dalam suasana yang bebas pada umumnya lebih berkesempatan untuk berhasil maju dengan usaha sendiri dari pada yang dididik di dalam suasana penuh tekanan dan larangan. Bertitik tolak pada teori ini dibuat hipotesa sebagai berikut : Anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya tidak membebaskan keluar rumah untuk mengunjungi berbagai peristiwa, tidak dapat melakukan tugas luar yang diberikan oleh guru. Dalam survai "Kesejahteraan Anak dan Pemuda Tahun 1969”, dikemukakan anggapan dasar (postulate) sebagai titik tolak pemikiran.[4] Bahwa anak-anak dan pemuda adalah tenaga yang potensial yang akan memberikan tenaganya di hari depan untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu haruslah mereka diberi perlindungan terhadap penyakit kelaparan kekurangan makanan dan dislokasi-dislokasi sosial serta disiapkan untuk pekerjaan melalui pendidikan dan latihan. Maka dari itu tindakan-tindakan yang tepat perlu diambil untuk memenuhi kebutuhan anak. Dalam hubungan ini para petugas perencanaan yang menyusun pola pembangunan nasional harus memberi perhatian yang lebih memadai dalam memenuhi kebutuhan anak-anak dan pemuda. Hipotesa yang ditarik sejalan dengan anggapan dasar di atas: Tingkat kemakmuran dan kesejahteraan penduduk pada umumnya (termasuk anak dan pemuda) masih sangat rendah. Kondisi-kondisi sosial-ekonomi-budaya pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat yang memadai untuk perkembangan anak dan pemuda. Hipotesa tersebut diperoleh setelah penelitian pendahuluan bahwa di Indonesia mayoritas penduduk berpenghasilan rendah yang sebagian besar habis untuk makan, sehingga mereka tidak mampu untuk menabung dan memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, rekreasi dan sebagainya. Jadi tidak ada perbedaan pokok antara teori dan hipotesa dari segi pemecahan masalah. Hipotesa sebagai pemecahan sementara dan menjadi teori setelah terpecahkan. Perbedaan hipotesa, teori dan dalil terletak pada tingkat generalitas dan kepastiannya. Teori merupakan anggapan dasar atau postulat yang menjadi sumber hipotesa ; sedangkan dalil adalah titik tolak yang lebih kuat tingkatannya. Manfaat Teori dalam Penelitian Kita melakukan kegiatan penelitian sosial secara ilmiah karena kita ingin memahami dunia yang kompleks ini, baik demi memuaskan rasa ingin tahun maupun untuk mengantisipasi peristiwa yang akan terjadi ataupun untuk mengontrol peristiwa yang terjadi. Karena itu suatu penelitian ilmiah selalu dimulai dengan suatu yang ingin kita ketahui. Inilah yang disebut masalah penelitian. Yang ingin kita ketahui itu dapat dibedakan menjadi dua tingkatan. Pertama suatu pernyataan yang belum diketahui jawabannya sama sekali. Misalnya, apakah betul remaja masa kini telah melakukan hubungan seks sebelum nikah (free sex)? Jawaban pertanyaan ini akan berupa diskripsi dan kesimpulan data dari satu variable. Yang ingin kita ketahui ini baru pada tingkatan gejala sosial saja, belum mencari jawaban atas kehadiran gejala tersebut. Misalnya, 42 % remaja Jawa Timur telah melakukan free sex (hasil penelitian T.M. Jamil di Jawa Timur). Kedua, suatu pertanyaan telah diketahui jawabannya tetapi masih meragukan kebenarannya. Misalnya, betulkah control sosial yang lemah merupakan penyebab praktek free sex dikalangan remaja (penjelasan yang dikemukakan T.M. Jamil di Surabaya Post, 2 November 2007). Bentuk pertanyaan yang berangkat dari keraguan ini sudah mengandung kemungkinan penjelasan atas suatu gejala terjadi. Dalam pertanyaan ini telah terkandung suatu teori yang ingin diuji kebenarannya dalam dunia nyata. Apabila free sex dilihat sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang, maka teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim tentang “integrasi sosial” mungkin dapat digunakan untuk menjelaskan gejala tersebut. “Makin tinggi derajat deferensiasi structural dan generalisasi nilai tanpa diikuti oleh spesifikasi norma yang sama derajatnya dalam suatu sistem sosial, maka makin besar pula derajatnya dalam suatu sistem sosial, maka makin besar pula derajat anomie sehingga makin tingggi pula tingkat penyimpangan dalam kelompok tersebut”.[5] Yang hendak kita ketahui karena itu, ialah betulkah derajat integrasi sosial yang rendah akan melahirkan perilaku menyimpang. Konkretnya, betulkah intgrasi sosial yang rendah dikalangan remaja melahirkan perilaku free sex? Cara yang paling efektif untuk mendapatkan jawaban yang berguna dan akurat bagi pertanyaan tipe kedua ialah menggunakan metode penelitian empiric untuk menyelidiki hubungan kedua variable tersebut (integrasi sosial dan perilaku menyimpang) dalam dunia nyata. Akan tetapi selain untuk tujuan penelitian, teori juga berguna untuk tujuan-tujuan ilmiah lainnya. Pertama, teori memberikan pola bagi intrepretasi data. Kedua, teori menghubungkan satu studi dengan studi lainnya.[6] Ketiga, teori menyajikan kerangka sehingga konsep dan variable mendapatkan arti penting. Dan keempat, teori memungkinkan kita mengintepratasi makna yang lebih besar dari temuan yang kita peroleh dari suatu penelitian. Teori dan Penjelasan Apabila konsep merupakan pertanyaan “what” sehingga yang dilakukan dalam konseptualisasi tiada lain merupakan diskripsi realitas baik secara denotative (keluasan) maupun secara konotatip (kedalaman), maka teori merupakan pertanyaan “why” sehingga yang dilakukan dalam teoritisasi ialah menjelaskan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Proposi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri atas beberapa konsep yang terjalin dalam bentuk hubungan sebab-akibat. Akan tetapi karena di dalam teori juga terkandung konsep teoritik, maka sebenarnya selain berfungsi menjelaskan suatu gejala yang timbul teori juga berfungsi menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi. Kalau teori diartikan sebagai hubungan kausal, logis dan sistematik antara dua atau lebih konsep, maka teori tiada lain merupakan penjelasan suatu gejala konsep atau variable pengaruh menjelaskan mengapa konsep atau variable terpengaruh terjadi. Karena itu penjelasan (explanation) dapat dibagi dua unsur, yaitu yang menjelaskan (explanan) dan yang dijelaskan (explanandum). Yang menjekaskan itu terdiri atas dua jenis pernyataan : generalisasi/ konsep, dan kondisi antesendent atau yang menyebabkan generalisasi/ konsep tersebut. Kedua pernyataan ini akan digunakan untuk menjelaskan eksplanandum. Mengikuti Durkheim tadi deferensiasi structural dan generalisasi nilai merupakan suatu konsep ( generalisasi atas suatu fenomena yang kompleks), anomie merupakan kondisi antesedentnya, dan perilaku menyimpang (free sex) sebagai eksplanandumnya. Penjelasan sendiri terletak pada deferensiasi structural, generalisasi nilai dan anomie. Penjelasan atas pertanyaan “mengapa” suatu gejala terjadi harus dapat menunjukkan bahwa gejala yang hendak dijelaskan itu secara logis sesuai dengan premisnya atau kemungkinan besar sesuai dengan premisnya. Dengan kata lain, penjelasan dapat pula dibedakan menjadi dua model, yaitu model deduktif, dan model induktif-statistika. Model deduktif ditandai oleh hubungan logic antara premis dan konklusi, antara eksplanan dan eksplandum. Jika premis benar maka konklusi juga benar. Dalam model ini, kaharusan tidak terletak pada premis tetapi pada hubungan antara premis dan konklusi yang dikontrol oleh premis. Selain itu, suatu penjelasan dapat dikatakan benar-benar menjelaskan apabila generalisasinya didukung oleh fakta empiric. Jadi penjelasan ilmiah terhadap suatu kejadian diberikan dengan jalan menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan salah satu contoh dari tendensi umum. Kenyataan bahwa Amerika Serikat menerapkan sistem dua partai dapat dijelaskan secara deduktif sebagai berikut : 1) semua sistem politik yang menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (single member district) mempunyai sistem dua partai (generalisasi), 2) sistem politik Amerika menerapkan sistem tunggal anggota per distrik (kondisi antesendent). Dalam kenyataan generalisasi itu tidak dengan sendirinya benar. Karena itu generasi emperik harus diuji dan secara potensial dapat dibuktikan keliru. Tidak seperti model penjelasan deduktif, penjelasan induktif statistika terhadap suatu kejadian individual tidak selalu sesuai dengan generalisasi kejadian itu. Premis (generalisasi) mungin saja benar, tetapi konklusi tentang suatu kejadian dapat saja salah. Penjelasan tidak terletak pada mengapa konduksi benar tetapi mengapa hal itu sangat mungkin (probable). Kalau data menunjukkan bahwa 80% pegawai negeri mengidentifikasi diri secara politik kepada GOLKAR, kita tidak dapat begitu saja menarik kesimpulan bahwa semua pegawai negeri adalah anggota GOLKAR. Akan tetapi kita dapat menarik kesimpulan bahwa apabila bertemu dengan seorang pegawai negeri kemungkinan besar dia adalah anggota GOLKAR. Dalam literatur metodologi disebutkan berbagai macam penggolongan atas pola penjelasan. Akan tetapi dari berbagai penggolongan itu, lima pola penjelasan ini selalu disebutkan.[7] Dalam praktek penelitian penjelasan yang ditawarkan tidak hanya satu jenis saja melainkan kombinasi dari dua atau lebih penjelasan. Pertama, penjelasan genetic atau historic memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada serangkaian tahap peristiwa yang telah terjadi sebelum kemunculan gejala tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh Marx mengenai kemunculan kapitalisme misalnya merupakan penjelasan historik. Kedua, penjelasan fungsional memberi jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada letak dan kegunaan objek yang ditelaah itu dalam keseluruhan sistem tempat objek itu berada. Mengapa pemerintah melaksanakan penataran P4 secara menyeluruh? Jawaban yang diberikan secara fungsional ialah penataran P4 tidak hanya berfungsi bagi integrasi nasional tetapi juga memberikan legitimasi bagi pihak yang memerintah. Ketiga, penjelasan disposisi memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu pula. Termasuk kedalam kecenderungan ini ialah sikap, pendapat, kepercayaan, nilai dan ciri-ciri kepribadian. “Seorang liberal memilih Partai Demokrat” (liberal menggambarkan disposisi) merupakan contoh penjelasan disposisi. Keempat, penjelasan intensional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada maksud atau tujuan tindakan. “X melakukan tindakan Y karena X ingin mendapatkan/ mencapai T” berdasarkan generalisasi bahwa “seseorang yang menginginkan T cenderung melakukan Y dalam situasi tertentu”. Mengapa kalangan masa cenderung mengikuti kegiatan suatu gerakan politik justru pada tahap akhir suatu gerakan mencapai tujuannya? Jawaban yang diberikan penjelasan intensional ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena massa ingin ikut mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut. Kelima, penjelasan rasional memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa” dengan merujuk pada cara pencapaian tujuan yang paling efisien. Suatu tindakan dianggap rasional apabila ia mencapai tujuannya secara paling efesien. Perbedaan penjelasan intensional dengan rasional terletak pada klaim bahwa tindakan rasional adalah tindakan yang paling efesien untuk mencapai tujuan. Tindakan yang intensional tidak mengajukan klaim seperti ini. Penjelasan rasional atas keterlibatan massa pada tahap akhir gerakan politik itu ialah massa mengikuti gerakan politik pada tahap akhir menjelang gerakan akan mencapai tujuannya karena massa ingin mendapatkan keuntungan dari hasil gerakan tersebut karena dinilai paling sedikit resikonya. Mengikuti kegiatan suatu gerakan sejak awal dianggap tidak rasional karena mengandung banyak resiko. Selain menjelaskan, teori juga berfungsi untuk memperkirakan gejala yang bakal terjadi. Kedua fungsi ini berkaitan erat. Artinya, apabila seseorang ilmuan dapat memberikan penjelasan (generalisasi dan kondisi antesendent) terhadap suatu gejala (eksplandum) secara tepat, maka ilmuan dengan sendirinya juga dapat memperkirakan gejala yang akan terjadi. Kalau penjelasan yang diberikan Vilfredo Pareto benar, yaitu “makin tinggi derajat sentralisasi kekuasaan, maka paksaan atau ancaman paksaan makin sering digunakan sebagai alat pengendalian masyarakat.[8] Maka dimana saja dan kapan saja terjadi sentralisasi kekuasaan yang tinggi akan banyak menggunakan paksaan atau ancaman paksaan sebagai alat pengendalian masyarakat. Hal yang Bukan Teori Sebelum kita membahas bagaimana menggunakan teori, ada baiknya terlebih dahulu kita menjernihkan penggunaan kata teori yang tidak tepat. Pertama, perbedaan yang sering dibuat, antara teori dan praktek; “that is fine in theory, but it won’t work in practice”. Baik dalam teori tetapi tidak dalam prakteknya. Pandangan ini mencoba mengatakan bahwa teori itu tidak realistic. Penggunaan kata teori di sini tidak tepat karena setiap teori yang “baik” mestilah sesuai dengan kenyataan. Apabila suatu teori tidak ingin sesuai dengan realitas empiric, maka teori itu tidak tepat lagi dikatagorikan sebagai teori karena telah kehilangan objektivitas. Suatu pernyataan dikatakan objektif kalau pernyataan itu sesuai dengan objeknya (kenyataan). Sebagaimana telah diungkapkan di atas, teori merupakan abstraksi, sistimatisasi, dan generalisasi atas realitas atau fenomena yang kompleks. Hal ini berarti setiap ilmuan dituntut untuk mengkaji secara terus menerus teori yang dimilikinya dengan menghubungkannya dengan realitas yang membentuk teori tersebut, yaitu melalui kegiatan penelitian ilmiah. Kedua, kata teori digunakan baik untuk menggambarkan yang seharusnya (what ought to question) maupun untuk menggambarkan senyatanya (what is question). Pengertian teori yang dimaksudkan dalam ilmu sosial ialah yang menggambarkan kenyataan empirik. Sementara itu, teori acapkali digambarkan dalam bentuk “procedural rule” dan sistem klasifikasi. Durkheim dalam buku “The Rules of Sociologial Method” mengemukakan bahwa sebab yang menentukan suatu fakta sosial hendaklah dicari diantara fakta sosial yang mendahuluinya dan tidak diantara keadaan kesadaran individual.[9] Artinya, fungsi suatu fakta sosial harus selalu dicari dalam hubungan dengan beberapa tujuan sosial. Awal mula semua proses sosial yang penting seyogyanya dicari di dalam konstitusi internal suatu kelompok sosial, bukan pada psikologi ataupun pisiologi anggota kelompok tersebut. Ketika menganjurkan kita untuk mengkaji “konstitusi internal” suatu kelompok sosial sebagai sumber perilaku sosial, Durkheim sesungguhnya tidak menyodorkan penjelasan melainkan menyodorkan aturan prosedural. Tidak seperti teori yang sesungguhnya, aturan procedural ini tidak dapat diuji kebenarannya dalam dunia empiric. Namun aturan prosedural dapat dinilai dari segi kemanfaatanya. Sistem klasifikasi pada dasarnya menggolongkan satu kasus tertentu pada salah satu dari beberapa klas atau tipe yang disusun berdasarkan kriteria tertentu. Kalau tempat tinggal di daerah pemukiman elit dijadikan sebagai salah satu kriteria bagi keanggotaan dalam strata sosial “upper-upper sosial class” maka seseorang yang termasuk strata “upper-upper sosial class” tidak mungkin tinggal di pemukiman kumuh. Fakta ini tidak menggambarkan dunia nyata tetapi menggambarkan konsekuensi logis dari kriteria yang diadopsi oleh orang menyusun klasifikasi. Akan tetapi klasifikasi ini berguna untuk menyederhanakan fenomena sosial yang kompleks. Strategi Menggunakan Teori Untuk menjelaskan suatu gejala, kita dapat menggunakan salah satu dari tiga strategi berikut ini.[10] Pertama, strategi kausal yaitu mencari sebab-sebab dari suatu gejala. Sistem politik birokratik-otoriter (gejala) mungkin merupakan produk pembangunan ekonomi kapitalistik tergantung yang tertunda (independent and delayed capitalistic economic development) (sebab-sebab gejala); penggunaan kriteria universal yang semakin meluas dalam rekrutmen berbagai organisasi politik dan masyarakat dan hubungan-hubungan impersonal yang semakin berkembang dalam masyarakat, mungkin merupakan akibat yang ditimbulkan oleh birokrasi rasional. Kedua, strategi komposisional yaitu mencari komponen-komponen yang membentuk suatu gejala, seperti organisasi jabatan yang hirarkis, pengangkatan hanya berdasarkan kualifikasi tehnis saja, dan setiap jabatan mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri merupakan komponen-komponen yang membentuk gejala birokrasi rasional. Atau, mencari konteks yang menjadi “induk” gejala yang diteliti (gejala yang diteliti merupakan bagian saja dari konteks yang lebih besar), seperti sistem politik, sistem budaya ataupun sistem ekonomi merupakan konteks gejala birokrasi tersebut. Dan akhirnya, strategi klasifikasi yaitu menjelaskan suatu gejala dengan cara mencari dan menentukan posisi gejala tersebut dalam skema taksonomi (klasifikasi suatu fenomena kompleks berdasarkan kriteria tertentu). Hubungan birokrasi dengan politik misalnya, dapat diklasifikasi menjadi empat kategori berdasarkan prinsip atau nilai yang mengatur kedua konsep ini : birokrasi patrimonial, Negara birokrasi (bureaucratic polity), birokrasi otoriter, dan birokrasi politik (bureaucratic politics). Apabila hendak menjelaskan gejala birokrasi dan politik di Indonesia dengan strategi ini, maka yang harus dilakukan ialah menempatkan gejala birokrasi di Indonesia dalam empat kategori itu termasuk tipe birokrasi manakah gejala birokrasi dan politik tersebut. Dimensi lain dari teori yang perlu diketahui ialah dimensi lingkup (scope) dan tingkat abstraksi suatu teori. Lingkup teori dapat dilihat dari segi substansinya, yaitu fokus gejala yang hendak dijalankan apakah unsur dari suatu sistem ataukah sistem itu sendiri. Selain itu, lingkup teori dapat pula dilihat dari segi tempat dan waktu, yaitu kapan dan dimana gejala yang akan dijelaskan itu terjadi. Gejala yang hendak dijelaskan itu mungkin hanya klas menengah suatu masyarakat, bukan sistem politiknya. Klas menengah yang hendak dijelaskan itu hanya yang terjadi di Eropa Barat pada abad ke sembilan belas, bukan diseluruh benua Eropa dan tidak pada abad keduapuluh. Dimensi tingkat abstraksi suatu teori dapat dilihat dari segi kedekatan konsep-konsep yang terkandung dalam teori dengan observasi aktual. Hipotesis yang sudah siap diuji memiliki derajat abstraksi yang rendah, sedangkan nalar hubungan kausal antar konsep memiliki derajat abstraksi yang tinggi. Yang terakhir ini masih berupa general law, sedangkan yang pertama sudah mengalami proses deduksi. Kedua dimensi di atas berkaitan erat. Semakin tinggi tingkat abstraksi teori, semakin luas pula lingkup teori tersebut. Akan tetapi semakin luas lingkup teori belum tentu semakin tinggi tingkat abstraksinya.[11] Perubahan pada tingkat abstraksi akan mempengaruhi luas sempit lingkup teori. Akan tetapi perubahan luas lingkup teori belum tentu mempengaruhi tingkat abstraksi. Karena persyaratan teori tersebut sukar dipenuhi oleh ilmu sosial, maka yang dianjurkan ialah prinsip parsimony, yaitu daya cakup teori yang bersyarat berikut sederhana bila dibandingkan dengan teori lain untuk gejala yang sama, tinggi tingkat abstraksinya, luas lingkupnya, dan dapat diuji dalam dunia nyata. PENUTUP DATAR PUSTAKA Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor, Universitas. Airlangga, 2008. Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26. Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St. Martin’s Press, 1980), halaman 39. Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory, (Homewood, II : The Dorsey Press, 1981). Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14. Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972, hal.53 [1] J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15. Hasrat Ingin Tahu Manusia dan Pengertian Metode Ilmiah [1] Dr. Winarno Surachmad, Dasar Teknik Research, CV. Tarsito, Bandung, 1972, hal.53 [2] J. Supranto MA, Metode Riset, Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi Universitas Indonesia , Jakarta, 1974, hal. 15. [3] Dr. Winarno Surachmad op.cit., hal.54 [4] Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial Departemen Sosial RI, Metode Penelitian Sosial dalam Praktek, Yogyakarta, 1970, hal. 12-14. [5] Jonathan Turner dan Leonard Beghley, The Emergence of Sociological Theory, (Homewood, II : The Dorsey Press, 1981). [6] Kenneth R. Hoover, The Elements of Sosial Scientific Thinking, (New York: St. Martin’s Press, 1980), halaman 39. [7] Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Seience: An Introduction to the Methodology of Political Ingguiry, (Homewood, II. : The Dorsey Press, 1981), halaman 147-165; Robert Brown, Explanation in Sosial Science, (Chicago, II.; Aldine Publishing Company, 1963), halaman 47-164; Wakter Walace, The Logic of Science in Sociology, (New York : Aldine Publishing Company 1971), halaman 90-101; dan Ernest Nagel, The Structure of Science. ( : Harcourt, Bracwe & World Inc., 1961). Halaman 20-26. [8] Turner dan Beeghley, The Emergence…, halaman 534. [9] Halaman 110-111 [10] Wallace, The Logic…, halaman 101-106. [11] Ramlan Subakti, “Penyusunan Teori dalam Penelitian”, Bahan Kuliah Program Doktor, Universitas. Airlangga, 2008.


Copyrights © 2008