Mengapa pemilihan umum tahun 1999 dipandang sebagai pemilu yang demokratis

SATU dekade pascamerdeka, situasi negara Indonesia masih tidak stabil, baik itu politik, keamanan, dan juga ekonomi. Satu hal yang mendasar dilakukan pemerintah saat itu adalah berusaha mengubah sistem ekonomi kolonial dengan ekonomi nasional.

Situasi genting dalam negeri berlanjut hingga kurun waktu dua dekade pascamerdeka termasuk saat tragedi 1965/66 dan juga gerakan konfrontasi ganyang Malaysia. Namun, Indonesia dinilai berhasil melewati masa-masa genting yang mengancam integrasi masyarakat secara nasional baik itu bentuk ancaman internal kelompok separatis maupun ancama eksternal berupa dominannya campur tangan asing khususnya negara yang pernah menjajah berkaitan urusan dalam negeri Indonesia.

Indonesia mulai memperlihatkan jati diri sebagai negara demokrasi kepada dunia dengan peran dan kiprahnya menyelenggarakan KTT Asia Afrika pertama tahun 1955 dan sepak terjangnya di Asia Tenggara melalui pembentukan organisasi ASEAN tahun 1967. Membenahi sistem politik dan demokrasi Indonesia dapat dilihat dari bagaimana Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955 yang dikatakan sebagai pemilihan umum paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia.

Walaupun dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif dengan sering terjadinya tindakan separatis, bahkan saat berlangsungnya Pemilu, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri yang kemudian diganti oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, namun Pemilu yang memperebutkan 260 kursi DPR dan 520 kursi Konstituante ditambah 14 kursi khusus untuk wakil golongan minoritas itu berjalan dengan baik.

Pemilihan Umum Indonesia 1955 merupakan pemilihan umum pertama yang diadakan di Indonesia pada 1955. Pemilu saat itu dinilai sebagai pemilu paling demokratis karena berlangsung aman di saat kondisi keamanan negara sedang tidak kondusif. Tahun 1955 Indonesia sedang mengalami kekacauan, di Madiun misalnya. Tengah terjadi pemberontakan yang dilakukan kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Polisi dan Tentara pada waktu itu ikut serta dalam pemilihan pemilu. Mereka yang bertugas di daerah rawan, secara bergilir menuju ke tempat pemilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR dan Konstituante pada saat itu berjalan aman. Kursi yang direbutkan sebanyak 794 kursi, terdiri atas 260 untuk DPR dan 520 untuk konstituante atau dua kali lipat anggota DPR. Jumlah kursi masih ditambah 14 lagi untuk wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah.

Saat itu, total pemilih adalah sebanyak 37.785.299 orang. Meski ini adalah pemilihan umum pertama, dengan ratusan partai peserta, dan jutaan pemilih, pemilihan berlangsung aman dan tertib. Dari hasil pemilihan umum, empat partai-partai terbesar adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22,3%) dan 57 kursi, Masyumi dengan 7,903,886 suara (20,9%) dan 57 kursi, Nahdlatul Ulama dengan 6,955,141 suara (18,4%) dan 45 kursi, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 6,176,914 suara (16,4%) dan 39 kursi.

Tahun 1999

Terlepas dari beragam persoalan yang menyertainya, Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 dinilai sebagai salah satu penyelenggaraan pemilu terbaik, selain Pemilu 1955. Pemilu demokratis pertama sejak era Reformasi 1998 itu menjadi kulminasi politik pasca-Orde Baru dengan keikutsertaan berbagai kekuatan politik yang sebelumnya terepresi.

Kala itu, sejumlah partai baru mendadak naik daun, mengalahkan parpol lama yang sudah lama merintis kekuatan massa di sejumlah wilayah di Tanah Air. Bila ditelusuri, ternyata perolehan suara saat itu mirip hasil Pemilu 1955, ketika parpol pemenang hanya unggul tipis. Ajang Pemilu 1999 tersebut hanya disiapkan selama 13 bulan oleh pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Walau begitu, pemilu yang diikuti 48 partai politik ini berlangsung tepat waktu.

Mengapa pemilihan umum tahun 1999 dipandang sebagai pemilu yang demokratis

Usai perhitungan, ternyata Pemilu 1999 dimenangkan parpol baru: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Soerjadi. Sebagai imbas dari Konflik 27 Juli 1999, mereka berhasil menarik simpati masyarakat dengan mendominasi perolehan suara di 11 provinsi pada 7 Juni 1999. Perolehan suara terbesar PDIP diperoleh di Bali sebesar 79 persen dan angka yang terkecil di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 6,6 persen. Meski hanya 11 provinsi, PDIP menguasai 33,7 persen suara secara nasional.

Peringkat kedua dalam Pesta Demokrasi lima tahun silam ditempati Partai Golongan Karya, yang mendominasi perolehan suara di 13 provinsi. Partai Beringin berhasil mendulang suara terbanyak di Sulsel (66,5 persen) dan paling sedikit di Bali dengan 10,4 persen. Sementara persentase perolehan suara Golkar secara nasional sebesar 22,3 persen.

Posisi berikutnya untuk urutan secara nasional diperoleh Partai Kebangkitan Bangsa (12,6 persen). Partai yang diusung kaum Nahdliyin ini meraih suara terbanyak di Jawa Timur (35,5 persen), terendah di Sulawesi Utara (0,8 persen). Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merebut angka 10,7 persen, dengan rincian terbesar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (28,8 persen) dan terendah di Bali (0,9 persen). Lantas Partai Amanat Nasional (PAN) meraih suara terbesar di Sumatra Barat (22,2 persen) dan terendah di Bali (1,3 persen). Atau bisa disebut meraih suara secara nasional sebanyak 7,2 persen.

Di Jakarta, PDIP mendominasi seluruh wilayah (39,4 persen). Dari seluruh kecamatan di DKI Jakarta, hanya Kepulauan Seribu dan Pancoran, Jaksel, yang tidak dimenangkan PDIP. Disusul PPP di urutan kedua dan Golkar ketiga. Partai Golkar menang di Kecamatan Pulau Seribu, sedangkan PPP di Kecamatan Pancoran. PAN hanya menduduki urutan keempat dengan 16,8 persen suara, sementara Partai Keadilan sebanyak 4,9 persen, dan PKB merebut 3,4 persen.

Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Provinsi Bali. Di sana, PDIP nyaris menyapu bersih perolehan suara (79 persen), dan Golkar hanya berhasil dengan angka 10,4 persen. Dengan kata lain, PDIP hanya menyisakan sepuluh persen lebih suara untuk partai lain. Basis suara terbesar PDIP berada di Kabupaten Tabanan, dengan merebut sebanyak 87 persen.

Kondisi sedikit berbeda terjadi di Provinsi Jawa Timur. Di wilayah ini, PKB dengan basis pemilih dari kalangan Nahdlatul Ulama memenangkan Pemilu 1999 (33,5 persen suara). PKB menguasai wilayah timur, meliputi Situbondo, Bondowoso, dan Sumenep. Hasil ini hanya berbeda tipis dengan PDIP (33,8 persen), yang merajai wilayah barat Provinsi Jatim hingga wilayah Jateng. Posisi partai banteng dalam lingkaran diikuti PPP, yang menguasai Kabupaten Pamekasan. Sementara Golkar memperoleh suara tertinggi di Pacitan (30 persen) dan Madiun (20,6 persen).

Baca Juga : KPU : Pemilih E-KTP dan Suket Harus Sesuai dengan Tempat Domisili

Di Sulsel, Partai Beringin hanya meraih 66,5 persen suara. Perolehan itu merupakan kemunduran bagi partai tersebut. Pada Pemilu 1997, Golkar memperoleh 80 persen di daerah Angin Mamiri. Pemilih terbanyak berada di Kabupaten Soppeng, Wajo, dan Bone.

Kekalahan PDIP terjadi di provinsi ini. Suara terbanyaknya hanya berhasil direbut di bagian utara. Sementara PPP di urutan ketiga dengan suara terbanyak menyebar di Kabupaten Pinrang, Sinjai, dan Kabupaten Pangkajene.

Baca Juga : Perjuangan KPU Tembus Hutan Demi Distribusi Logistik Pemilu di Papua

Indonesiabaik.id - Tahukah kamu? Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada masa reformasi yang menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar dan asas Luber Jurdil. Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998, jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti.

Lalu, fakta apa saja yang menarik di Pemilu 1999? Ternyata, pada 7 Juni 1999 atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali dilaksanakan. Saat itu, kepentingan utamanya agar mendapat pengakuan publik.

Kemudian, dalam Pemilu 1999 kali ini, satu hal yang sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah diikuti banyak sekali peserta. Ada 141 partai politik yang langsung mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan HAM. Namun, hanya 48 yang lolos dan bisa ikut Pemilu.

Kala itu, jumlah pemilih yang ikut Pemilu mencapai 105.786.661 suara. Jumlah ini nantinya akan dibagi sesuai dengan total 462 kursi di parlemen. Setelah penghitungan, ada 18 partai politik yang masuk ke parlemen. Hasil pembagian itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34 kursi.

Pemilu Tahun 1955

SATU dekade paska merdeka, situasi negara Indonesia masih tidak stabil, baik itu politik, keamanan, dan juga ekonomi. Satu hal yang mendasar dilakukan pemerintah saat itu adalah berusaha mengubah sistem ekonomi kolonial dengan ekonomi nasional. 

Situasi genting dalam negeri berlanjut hingga kurun waktu dua dekade paska merdeka termasuk saat tragedi 1965/66 dan juga gerakan konfrontasi ganyang Malaysia. Namun demikian, Indonesia dinilai berhasil melewati masa-masa genting yang mengancam integrasi masyarakat secara nasional baik itu bentuk ancaman internal kelompok separatis maupun ancama eksternal berupa dominannya campur tangan asing khususnya negara yang pernah menjajah berkaitan urusan dalam negeri Indonesia. 

Indonesia mulai memperlihatkan jati diri sebagai negara demokrasi kepada dunia dengan peran dan kiprahnya menyelenggarakan KTT Asia Afrika pertama tahun 1955 dan sepak terjangny di Asia Tenggara melalui pembentukan organisasi Asean tahun 1967. Membenahi sistem politik dan demokrasi Indonesia dapat dilihat dari bagaimana Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955 yang dikatakan sebagai pemilihan umum paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia.

Mengapa pemilihan umum tahun 1999 dipandang sebagai pemilu yang demokratis

Perangko edisi pemilu perdana (Istimewa)

Walau pun dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif dengan sering terjadinya tindakan separatis, bahkan saat berlangsungnya Pemilu, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri yang kemudian diganti oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, namun Pemilu yang memperebutkan 260 kursi DPR dan 520 kursi Konstituante ditambah 14 kursi khusus untuk wakil golongan minoritas itu berjalan dengan baik.

BACA JUGA :

Berikut, Catatan Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa

Pemilihan Umum Indonesia 1955 merupakan pemilihan umum pertama yang diadakan di Indonesia pada tahun 1955. Pemilu saat itu dinilai sebagai pemilu paling demokratis, karena berlangsung aman di saat kondisi keamanan negara sedang tidak kondusif. Tahun 1955 Indonesia sedang mengalami kekacauan, di Madiun misalnya. Tengah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Polisi dan Tentara pada waktu itu ikut serta dalam pemilihan pemilu. Mereka yang bertugas di daerah rawan, secara bergilir menuju ke tempat peilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR dan Konstituante pada saat itu berjalan aman. Kursi yang direbutkan sebanyak 794 kursi, terdiri dari 260 untuk DPR dan 520 untuk konstituante atau dua kali lipat anggota DPR. Jumlah kursi masih ditambah 14 lagi untuk wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah.  

Saat itu, total pemilih adalah sebanyak 37.785.299 orang. Meski ini adalah pemilihan umum pertama, dengan ratusan partai peserta, dan jutaan pemilih, pemilihan berlangsung aman dan tertib.  Dari hasil pemilihan umum, empat partai-partai terbesar adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22.3%) dan 57 kursi, Masyumi dengan 7,903,886 suara (20,9%) dan 57 kursi, Nahdatul Ulama dengan 6,955,141 suara (18,4%) dan 45 kursi, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 6,176,914 suara (16,4%) dan 39 kursi.

Tahun 1999

Terlepas dari beragam persoalan yang menyertainya, Pemilihan Umum 1999 dinilai sebagai salah satu penyelenggaraan pemilu terbaik, selain Pemilu 1955. Pemilu demokratis pertama sejak era reformasi 1998 itu menjadi kulminasi politik pasca-Orde Baru dengan keikutsertaan berbagai kekuatan politik yang sebelumnya terepresi.

Kala itu, sejumlah partai baru mendadak naik daun, mengalahkan parpol lama yang sudah lama merintis kekuatan massa di sejumlah wilayah di Tanah Air. Bila ditelusuri, ternyata perolehan suara saat itu mirip hasil Pemilu 1955, ketika parpol pemenang hanya unggul tipis. Ajang Pemilu 1999 tersebut hanya disiapkan selama 13 bulan oleh pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Walau begitu, pemilu yang diikuti 48 partai politik ini berlangsung tepat waktu.

Mengapa pemilihan umum tahun 1999 dipandang sebagai pemilu yang demokratis

Usai perhitungan, ternyata Pemilu 1999 dimenangkan parpol baru: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Soerjadi. Sebagai imbas dari Konflik 27 Juli 1999, mereka berhasil menarik simpati masyarakat dengan mendominasi perolehan suara di 11 provinsi pada 7 Juni 1999. Perolehan suara terbesar PDIP diperoleh di Bali sebesar 79 persen dan angka yang terkecil di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 6,6 persen. Meski hanya 11 provinsi, PDIP menguasai 33,7 persen suara secara nasional.

Peringkat kedua dalam Pesta Demokrasi lima tahun silam ditempati Partai Golongan Karya, yang mendominasi perolehan suara di 13 provinsi. Partai Beringin berhasil mendulang suara terbanyak di Sulsel (66,5 persen) dan paling sedikit di Bali dengan 10,4 persen. Sementara prosentase perolehan suara Golkar secara nasional sebesar 22,3 persen.

Posisi berikutnya untuk urutan secara nasional diperoleh Partai Kebangkitan Bangsa (12,6 persen). Partai yang diusung kaum Nahdliyin ini meraih suara terbanyak di Jawa Timur (35,5 persen), terendah di Sulawesi Utara (0,8 persen). Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merebut angka 10,7 persen, dengan rincian terbesar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (28,8 persen) dan terendah di Bali (0,9 persen). Lantas Partai Amanat Nasional (PAN) meraih suara terbesar di Sumatra Barat (22,2 persen) dan terendah di Bali (1,3 persen). Atau bisa disebut meraih suara secara nasional sebanyak 7,2 persen.

Di Jakarta, PDIP mendominasi seluruh wilayah (39,4 persen). Dari seluruh kecamatan di DKI Jakarta, hanya Kepulauan Seribu dan Pancoran, Jaksel, yang tidak dimenangkan PDIP. Disusul PPP di urutan kedua dan Golkar ketiga. Partai Golkar menang di Kecamatan Pulau Seribu, sedangkan PPP di Kecamatan Pancoran. PAN hanya menduduki urutan keempat dengan 16,8 persen suara, sementara Partai Keadilan sebanyak 4,9 persen, dan PKB merebut 3,4 persen.

Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Provinsi Bali. Di sana, PDIP nyaris menyapu bersih perolehan suara (79 persen), dan Golkar hanya berhasil dengan angka 10,4 persen. Dengan kata lain, PDIP hanya menyisakan sepuluh persen lebih suara untuk partai lain. Basis suara terbesar PDIP berada di Kabupaten Tabanan, dengan merebut sebanyak 87 persen.

Kondisi sedikit berbeda terjadi di Provinsi Jawa Timur. Di wilayah ini, PKB dengan basis pemilih dari kalangan Nahdlatul Ulama memenangkan Pemilu 1999 (33,5 persen suara). PKB menguasai wilayah timur, meliputi Situbondo, Bondowoso, dan Sumenep. Hasil ini hanya berbeda tipis dengan PDIP (33,8 persen), yang merajai wilayah barat Provinsi Jatim hingga wilayah Jateng. Posisi partai banteng dalam lingkaran diikuti PPP, yang menguasai Kabupaten Pamekasan. Sementara Golkar memperoleh suara tertinggi di Pacitan (30 persen) dan Madiun (20,6 persen).

Di Sulsel, Partai Beringin hanya meraih 66,5 persen suara. Perolehan itu merupakan kemunduran bagi partai tersebut. Pada Pemilu 1997, Golkar memperoleh 80 persen di daerah Angin Mamiri. Pemilih terbanyak berada di Kabupaten Soppeng, Wajo, dan Bone.

Kekalahan PDIP terjadi di provinsi ini. Suara terbanyaknya hanya berhasil direbut di bagian utara. Sementara PPP di urutan ketiga dengan suara terbanyak menyebar di Kabupaten Pinrang, Sinjai, dan Kabupaten Pangkajene. (*)