Mengapa Batik keraton tidak banyak menggunakan warna

Mengapa Batik keraton tidak banyak menggunakan warna

Ilustrasi membatik terkait filosofis batik keraton Yogyakarta motif parang. /pixabay.com

KABAR BANTEN – Batik Keraton Yogyakarta motif parang merupakan batik yang banyak ragam motif dan warnanya.

Saat ini, Batik Keraton Yogyakarta motif parang menjadi salah satu batik paling populer di Indonesia.

Sebelumnya Batik Keraton Yogyakarta motif parang pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang bertahta tahun 1921-1939 menekankan hanya raja dan kerabatnya yang diperbolehkan memakai batik parang dan turunannya.

Sebab batik motif parang merupakan simbol bagai pemakainya di lingkungan kerajaan, simbol tersbut tergantung dari besar kecilnya motif parang yang digunakan.

Penggunaan Batik Keraton Yogyakarta motif parang dituangkan dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, yang isinya tentang aturan pembuatan motif batik parang rusak.

>

1. Motif batik parang rusak dengan ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.

2. Motif batik parang barong dengan ukuran 10 cm - 12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri, kanjeng panembahan dan istri, kajeng gusti pangeran adipati dan istri, putra sulung sultan dan istri, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih.

3. Motif batik parang gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan atau ampeyan dalem, istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, pangeran sentana, para pangeran, dan istri utamanya.

4. Motif batik parang klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan dalem dan garwa ampeyan atau selir putra mahkota, cucu, cicit atau buyut, canggah, dan wareng.

Batik merupakan karya seni yang tumbuh sebagai manifestasi dari tradisi dan kekayaan budaya di daerah tempatnya berkembang. Setiap batik mampu merefleksikan nilai dan karakteristik yang dianut wilayah tersebut. Hal ini yang kemudian mendasari lahirnya kekhasan corak yang dimiliki tiap – tiap wilayah tempat berkembang batik, seperti Yogyakarta, Solo, Pekalongan, Cirebon, Indramayu, Garut, Madura, Lasem, Sukoharjo, dan daerah sentra batik lainnya.

Yogyakarta, sebagai salah satu wilayah tempat berkembangnya batik, tentu saja juga memiliki ciri khas batiknya sendiri yang muncul karena nilai dan kearifan budaya yang dianut.

Lahirnya batik gaya Yogyakarta dimulai dari peristiwa politik Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua. Setelah pembagian wilayah, seluruh batik Kerajaan Mataram menjadi milik Kesultanan Yogyakarta. Sejak saat itu warisan batik gaya Kerajaan Mataram dipertahankan dan menjadi acuan serta standar bagi batik gaya Yogyakarta. Hingga sekarang, tidak terdapat perubahan kekhasan warna pada batik klasik Yogyakarta. Motifnya sendiri memang mengalami pengembangan namun masih tetap mengacu pada motif pokok atau dasarnya.

Mengapa Batik keraton tidak banyak menggunakan warna

Perbandingan motif geometris dan non-geometris

Ciri Khas Batik Gaya Yogyakarta

Batik gaya Yogyakarta memiliki warna yang khas. Warna dasaran atau latar batik gaya Yogyakarta adalah warna putih atau hitam (biru kehitaman). Untuk pewarnaannya didominasi oleh warna cokelat – soga, putih bersih - pethak, biru tua - wedel, serta hitam – cenderung biru pekat kehitaman.

Jika diamati, warna batik gaya Yogyakarta cenderung mengarah ke warna-warna tanah. Pemilihan warna batik ini memang tidak lepas dari pengaruh geografis dan kondisi alam dari wilayah Yogyakarta yang kehidupan masyarakatnya dulu selalu berhubungan dengan tanah dan pertanian.

Begitu pula dengan bahan pewarnanya, dipilih karena ketersedian bahan baku yang ada di lingkungan sekitar. Warna biru tua didapat dari ranting dan daun tanaman indigo yang dicampur dengan gula aren, tebu, tape, dan tuak. Untuk warna cokelat diperoleh dari ekstrak campuran beberapa jenis kayu dan kulit kayu, seperti kayu tegeran, kulit kayu jambal, dan kulit kayu tingi.

Bukan hanya itu saja, warna-warna dari batik gaya Yogyakarta juga memiliki makna simbolis. Warna cokelat dipilih sebagai simbol dari warna tanah lempung yang subur, diharapkan dapat membangkitkan rasa kebahagiaan, kerendahan hati, kesederhanaan dan sifat “membumi”. Warna biru dipercaya mampu memberikan rasa ketenangan, kepercayaan, kelembutan pekerti, keikhlasan, dan kesetiaan. Warna putih melambangkan sinar kehidupan, kesucian, ketenteraman hati dan keberanian, dan sifat pemaaf pemakainya. Untuk warna hitam atau gelap melambangkan kekuatan, kekekalan, kemewahan, kemisteriusan, dan keanggunan.

Berdasarkan motif utama, batik gaya Yogyakarta dibagi menjadi dua, yaitu geometris dan non geometris. Masing-masing motif utama ini masih memiliki turunan ragam mulai dari puluhan hingga ratusan jenis.

Motif geometris pada batik gaya Yogyakarta adalah motif ceplok, berwujud pola dari tatanan simetris dalam bentuk lingkaran, kotak, bintang, dan garis-garis miring. Selain itu motif parang, polanya merupakan jalinan menyerupai huruf S dengan kemiringan diagonal 45 derajat. Juga motif lereng yang memiliki pola sama dengan motif parang namun tidak memiliki ornamen pemisah (mlinjon).

Untuk non geometris, yang termasuk di dalamnya adalah motif semen yang berasal dari kata “semi”, yang berarti tumbuh dan berkembang. Pola motif semen biasanya mengandung gambar meru ( tanah, bumi, gunung) beserta flora dan fauna yang hidup. Adapula motif lung-lungan, bentuk polanya berupa sulur-sulur dari pohon yang merambat. Kemudian motif boketan, yang menampilkan wujud pola satu pohon, mulai dari batang, daun, ranting, bunga dan hewan-hewan yang ada.

Batik gaya Yogyakarta, sebagai penerus tradisi budaya klasik, banyak mengadopsi simbol kebudayaan Hindu pada motifnya. Simbol dan konsep budaya Hindu paling nampak di motif semen. Dalam motifnya tertuang gambar gurda – burung garuda yang melambangkan matahari, lidah api yang melambangkan Dewa Api yang sakti, dan juga gambar tentang konsep dunia bawah – tengah – atas, serta mandala.

Selain hal yang telah disebutkan di atas, kekhasan batik Yogyakarta bisa dilihat dari seret-nya, bagian putih pada pinggir kain batik. Seret batik gaya Yogyakarta dipertahankan agar tetap berwarna putih terang. Untuk itu, dalam proses pembuatanya sangat diusahakan agar lilin (malam) tidak pecah sehingga pewarna lain tidak dapat masuk.

Mengapa Batik keraton tidak banyak menggunakan warna

Motif Huk, salah satu motif larangan di dalam Keraton Yogyakarta

Batik Larangan

Satu hal yang juga tidak bisa lepas dari kekhasan batik di Yogyakarta adalah adanya penetapan batik larangan (awisan). Berdasarkan aturan ini beberapa motif batik Yogyakarta hanya boleh dikenakan oleh Sultan dan keluarganya.

Setiap Sultan yang bertahta memiliki hak untuk membuat aturan dan larangan terkait hal ini. Penetapan batik larangan sendiri sudah dimulai sejak pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I. Penetapan terakhir dibuat oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VIII pada 31 Mei 1927 yang tertuang dalam aturan yang berjudul “Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Keprabon Ing Nagari Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat”.

Dalam Pranatan Dalem ini motif-motif yang termasuk larangan antara lain, Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Rusak Klitik, Semen Gede Swat Gurda, Semen Gede Swat Lar, Udan Liris, Rujak Sente, dan Parang-parangan. Di luar aturan baku tersebut, yang juga termasuk motif larangan adalah Sembagen Huk, sebagai wujud rasa hormat pada Sultan Agung Hanyakrakusuma yang telah menciptakan motif tersebut.

Semenjak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di era pasca kemerdekaan, aturan mengenai batik larangan menjadi lebih luwes dan fleksibel. Aturan batik larangan ini diberlakukan dalam lingkungan keraton saja, tidak pada masyarakat umum di luar keraton.

Daftar Pustaka:
Adi Kusrianto. 2013. Batik – Filosofi, Motif, dan Kegunaan. Yogyakarta : Andy Offset
A.S. Hamidin. 2010. Batik – Warisan Budaya Asli Indonesia. Yogyakarta : Narasi
Mari Condronegoro, dkk. 2014. Busana Adat dan Tata Rias Tradisional Gaya Yogyakarta. Yogyakarta : Kabaranan
Rina Patriana. 2014. Semiotika Batik Larangan Di Yogyakarta. Jakarta : Jurnal Humaniora. Vol.5, No.2 :1177-1186
Wawancara Mari Condronegoro pada 30 Desember 2016
Wawancara Hani Winotosastro pada 8 Februari 2017
Danapratapa Episode Batik, produksi Tepas Tandha Yekti Keraton Yogyakarta 2015

INDONESIA memiliki banyak ragam, corak, dan juga jenis batik. Selain itu batik khas Indonesia juga telah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009.

Jika membicarakan batik, Yogyakarta dan Solo menjadi destinasi pertama yang muncul di benak. Kedua kota tersebut terkenal dengan motif batiknya yang unik dan banyaknya lokasi sentra batik. Salah satu motif yang cukup menarik perhatian para pecinta batik adalah motif Batik Keraton Yogyakarta dan Batik Keraton Solo.

Batik Keraton adalah jenis batik yang dikembangkan dan digunakan di lingkungan keraton, baik Keraton Yogyakarta maupun Surakarta. Batik ini juga merupakan salah satu nenek moyang dari semua jenis batik yang berkembang di Indonesia.

Motifnya mengandung beragam makna filosofi hidup dan banyak terilhami dari kebudayaan Hindu-Jawa. Penggunaan batik ini pun juga diatur oleh norma-norma keraton.

Walaupun kedua batik tersebut identik dengan nama “Keraton,” namun Batik Keraton Yogya dan Solo memiliki perbedaan yang cukup kontras.

Baca juga: Kunjungan Virtual ke Museum Batik Indonesia

Melalui kunjungan virtual Museum Batik Indonesia yang diadakan pada Rabu (14/7), Edukator Museum Batik Indonesia Sasrita Kanya dan Asri Hayati Nufus menjelaskan perbedaan Batik Keraton Yogya dan Keraton Solo.

Mengapa Batik keraton tidak banyak menggunakan warna

Perbedaan kedua batik tersebut berada pada warna dasar yang digunakan. Batik Keraton Yogya memiliki tampilan warna dasar putih mencolok bersih, sedangkan Batik Keraton Solo memiliki tampilan warna dasar yang gelap.

“Batik Keraton Yogya memiliki latar putih, sedangkan Batik Keraton Solo memiliki warna latar coklat,” ujar Kanya.

Selain warna, perbedaan kedua batik tersebut ada pada motifnya. Batik Keraton Yogya memiliki motif yang lebih besar dan geometris (sisi kanan kiri sama). Contoh motif yang ada pada batik ini adalah motif kawung, yang terinspirasi dari buah pohon aren atau kolang-kaling.

Sedangkan Batik Keraton Solo memiliki detail yang lebih kecil dan bentuknya lebih acak. Perbedaan ini muncul tidak lepas dari perjanjian Giyanti tahun 1755 yang memecah Kasultanan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, dimana segala macam tata adibusana, termasuk batik diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta.(OL-5)