Kitab-kitab Deuterokanonika dalam Alkitab adalah kitab-kitab yang dipandang sebagai anggota yang kanonik dari Perjanjian Lama Kristiani oleh Gereja Katolik Roma dan Kekristenan Timur akan tapi tidak ada dalam Alkitab Ibrani, yang kerap dipandang protokanonik. Perbedaan ini sudah menimbulkan perdebatan dalam Gereja awal tentang apakah kitab-kitab tersebut mampu dibacakan dalam gedung-gedung Gereja dan karenanya mampu diklasifikasikan sebagai naskah-naskah yang kanonik. Show
Kata deuterokanonika berasal dari Bahasa Yunani yang berfaedah 'termasuk kanon kedua'. Etimologi kata ini membingungkan, namun mengindikasikan keragu-raguan dalam penerimaan kitab-kitab tersebut ke dalam kanon oleh beberapa pihak. Perlu dicermati bahwa istilah tersebut tidak berfaedah non-kanonik; sekalipun istilah tersebut kadang-kadang digunakan sebagai eufemisme untuk menyebut kitab-kitab Apokrif. Umat Kristiani Protestan biasanya tidak menggolongkan kitab apapun sebagai kitab "deuterokanonika"; kitab-kitab itu mereka keluarkan dari Alkitab, atau mengelompokkannya dalam anggota tersendiri yang dinamakan Apokrif. Kemiripan makna selang istilah-istilah yang berlainan ini menimbulkan kebingungan selang deuterokanonika Katolik Roma dan Ortodoks dengan naskah-naskah yang dianggap non-kanonik oleh satu atau kedua kumpulan umat Kristiani tersebut. KatolikIstilah Deuterokanonika pertama kali digunakan pada tahun 1566 oleh orang-orang Kristen yang sebelumnya beragama Yahudi dan teolog Katolik Sixtus dari Siena untuk menyebut naskah-naskah Kitab Suci Perjanjian Lama yang kanonisitasnya ditentukan untuk umat Katolik oleh Konsili Trente, namun sudah dikeluarkan dari beberapa kanon terdahulu, teristimewa di Timur. Penerimaan akan kitab-kitab tersebut di selang umat Kristiani awal tidaklah universal, namun konsili-konsili regional di Barat menerbitkan kanon-kanon resmi yang memasukkan kitab-kitab tersebut semenjak abad ke-4 dan ke-5.[1] Naskah-naskah Kitab Suci deuterokanonika adalah:
Ada perbedaan selang anggota apokrifa dalam Alkitab King James tahun 1611 dengan deuterokanon Katolik. Anggota apokrifa Alkitab King James, selain kitab-kitab deuterokanonika, meliputi pula tiga kitab berikut ini, yang tidak diketengahkan kanonik oleh Konsili Trente:
Ketiga kitab tersebut sendiri merupakan anggota apokrifa dari Vulgata Clementina, di mana ketiganya secara spesifik dinamakan "di luar seri kanon". Alkitab Douay-Rheims tahun 1609 memasukkan ketiga kitab ini dalam suatu apendiks, namun ketiganya tidak dibawa masuk dalam Alkitab-Alkitab Katolik sekarang ini. Ketiga kitab ini bersama kitab-kitab deuterokanonika ada dalam anggota apokrif dari Alkitab-Alkitab Protestan. Pengaruh SeptuagintaBeberapa agung kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru diambil dari Septuaginta Yunani—yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika maupun apokrifa—baik deterokanonika maupun apokrifa secara kolektif dinamakan anagignoskomena. Beberapa kitab terlihatnya sudah ditulis naskah aslinya dalam Bahasa Ibrani, namun naskah asli tersebut sudah lama hilang. Namun temuan-temuan arkelogis pada abad terakhir sudah menemukan suatu naskah yang mengandung hampir ⅔ dari kitab Sirakh, dan fragmen-fragmen dari kitab-kitab lainnya sudah ditemukan pula. Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi pada abad pertama Masehi, bahkan di wilayah Romawi Provinsi Iudaea, dan oleh karenanya secara alami dibuat menjadi naskah yang paling luas digunakan oleh umat Kristiani purba. Dalam Perjanjian Baru, Ibrani 11:35 menyebutkan suatu perihal jadinya yang hanya secara eksplisit tercatat dalam salah satu dari kitab-kitab deuterokanonika (2 Makabe 7). bahkan mampu diceritakan bahwa, 1 Korintus 15:29 diambil dari 2 Makabe 12: 44, "karena bila dia tidak mengharapkan orang-orang mati bangun kembali, karenanya merupakan kesia-siaan dan kebodohan untuk berdoa untuk orang-orang yang sudah mati". 1 Korintus 15:29 tentunya menunjukkan hal ada jerih-payah untuk membantu orang-orang mati supaya terbebas dari dosa-dosa mereka. (Pembaptisan juga bermakna jerih payah penyelamatan untuk orang lain dalam Perjanjian Baru, bdk. Matius 20:22-23, Markus 10:38-39 dan Lukas 12:50) Kendati demikian, Yosefus (sejarawan Yahudi) sepenuhnya menolak kitab-kitab deuterokanonika[3], sementara Athanasius yakin bahwa kitab-kitab tersebut berguna untuk dibacakan, namun kecuali Kitab Barukh dan Surat Yeremia, kitab-kitab tersebut tidak ada di dalam kanon.[4] Pengaruh VulgataHieronimus dalam prolognya[5] menyebutkan suatu kanon yang tanpa kitab-kitab deuterokanonika, kecuali kitab Barukh.[6] Sekalipun demikian, Vulgata Hieronimus memasukkan kitab-kitab deuterokanonika serta apokrif. Dia mengaanggap kitab-kitab tersebut sebagai Kitab Suci dan mengutip kalimat-kalimat dari kitab-kitab itu sekalipun dia menyebutkan bahwa kitab-kitab itu "tidak ada dalam kanon". Dalam prolognya untuk kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, dia menyebutkan bahwa Yudit dianggap sebagai Kitab Suci oleh Konsili Nicea Pertama.[7] Dalam balasannya untuk Rufinus, dengan gigih dia membela bagian-bagian deuterokanonika dari kitab Daniel sekalipun orang-orang Yahudi pada abad itu tidak melakukan hal itu: Dosa apakah yang sudah kuperbuat jikalau aku mengikuti penilaian gereja-gereja? Namun barang siapa yang menuduh aku mengikuti keberatan-keberatan bahwa orang-orang Ibrani lazimnya menolak Riwayat Susana, Nyanyian Tiga Anak Suci, dan riwayat Baal dan Naga, yang tidak ada dalam gulungan kitab Ibrani, membuktikan bahwa dia hanyalah seorang penjilat yang dungu. Karena aku tidak mengikuti pandangan-pandangan pribadiku sendiri, melainkan keterangan-keterangan bahwa mereka [orang-orang Yahudi] lazimnya menentang kita. (Terhadap Rufinus, 11:33 402 Masehi]).Dengan demikian Hieronimus mengakui prinsip yang digunakan untuk melakukan kanon —penilaian Gereja, bukannya penilaiannya sendiri atau pun penilaian orang-orang Yahudi. Vulgata juga penting sebagai tolok ukur kanon dalam hal kitab-kitab manakah yang kanonik. ketika Konsili Trente menyusun daftar kitab-kitab yang termasuk dalam kanon, konsili ini mengkualifikasikan kitab-kitab "seluruhnya beserta semua anggotanya, sebagaimana yang biasa dibacakan dalam Gereja Katolik, dan sebagaimana yang ada dalam edisi Vulgata Latin Kuno".[8] Istilah yang digunakan di luar Gereja KatolikPenggunaan kata apokrifa (Bahasa Yunani: tersembunyi) untuk naskah-naskah tersebut, walaupun tanpa maksud menghina, diartikan sebahagian pihak bahwa tulisan-tulisan yang dipertanyakan tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam Kanon Alkitab. Klasifikasi semacam ini mengelompokkan kitab-kitab tersebut bersama beberapa kitab injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru apokrif lainnya. Style Manual for the Society of Biblical Literature merekomendasikan penggunaan istilah literatur deuterokanonika bukannya Apokrifa dalam tulisan akademis. Di luar Katolisisme Romawi, istilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan sebagai analogi untuk menyebut kitab-kitab yang dibawa masuk dalam Perjanjian Lama oleh Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Ortodoks Oriental, namun tidak dibuat menjadi anggota dari Tanakh Yahudi, atau pun Perjanjian Lama Protestan. Di kalangan Ortodoks, istilah ini dipahami bahwa kitab-kitab tersebut ditulis sesudah Alkitab Ibrani. Dalam Alkitab Amharik yang dipergunakan dalam Gereja Ortodoks Ethiopia (salah satu Gereja Ortodoks Oriental), kitab-kitab Perjanjian Lama tersebut tetap terdaftar sebagai kitab-kitab yang kanonik, namun tidak demikian halnya dalam Gereja-Gereja lain, kitab-kitab tersebut kerap disisihkan ke dalam anggota terpisah. Selain kitab-kitab yang diceritakan di atas, ada pula kitab-kitab yang dianggap kanonik hanya oleh Gereja Ethiophia, yakni Henok (I Henokh) dan Kufale (Yobel). Sekalipun demikian, "Kitab-Kitab Makabe" dalam Alkitab mereka seluruhnya berlainan dari kitab-kitab Makabe yang digunakan oleh Gereja lain, tidak ada persamaan kecuali judulnya. Ortodoksi TimurGereja Ortodoks Timur secara tradisional memasukkan semua kitab dari Septuaginta ke dalam Perjanjian Lamanya. Perbedaan-perbedaan regional timbul karena hal ada variasi-variasi yang berlainan dari Septuaginta, sehingga ada yang jumlah kitabnya lebih banyak dari pada lainnya. Orang Yunani menggunakan kata Anagignoskomena untuk menamakan kitab-kitab dari Septuaginta Yunani yang tidak ada dalam Tanakh Ibrani. Kitab-kitab tersebut mencakup seluruh kitab deuterokanonika Katolik Romawi di atas, plus naskah-naskah berikut ini:
Seperti halnya kitab-kitab deuterokanonika Katolik, naskah-naskah tersebut diintegrasikan dengan semuanya Perjanjian lama, bukannya dicetak dalam anggota terpisah. Beberapa agung versi Alkitab Protestan meniadakan kitab-kitab tersebut. Umumnya diyakini bahwa Yudaisme secara resmi mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dan naskah-naskah tambahan berkata Yunani yang ada dalam daftar di atas dari Kitab Suci mereka dalam Konsili Jamnia agak tahun 100 Masehi, namun pernyataan ini juga sedang dierdebatkan.[9] Beragam Gereja Ortodoks umumnya memasukkan naskah-naskah (yang aslinya ada dalam Bahasa Yunani) tersebut, dan beberapa di selangnya memasukkan Mazmur Salomo ke dalam Alkitabnya. Dalam Gereja-Gereja ini, kitab 4 Makabe kerap dibawa masuk ke dalam suatu appendix, karena di dalamnya terkandung semacam tendensi ke arah faham pagan. Dalam Gereja Ortodoks Ethiopia, salah satu denominasi dalam Ortodoksi Oriental, ada pula tradisi yang kuat untuk mempelajari Kitab Henokh dan Kitab Yobel. Kitab Henokh disebut-sebut di Surat Yudas dalam Perjanjian Baru (Yudas 1:14-15). Perjanjian BaruIstilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan untuk menyebut antilegomena yang kanonik, yakni kitab-kitab Perjanjian Baru yang, seperti kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian lama, tidak diterima secara universal oleh Gereja purba, namun yang sekarang tercakup dalam ke-27 kitab Perjanjian Baru yang diakui oleh hampir semua umat Kristiani. Kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian Baru adalah sebagai berikut: Lihat pula
Pranala luar
Referensi
edunitas.com Page 2Kitab-kitab Deuterokanonika dalam Alkitab adalah kitab-kitab yang dipandang sebagai anggota yang kanonik dari Perjanjian Lama Kristiani oleh Gereja Katolik Roma dan Kekristenan Timur akan tapi tidak ada dalam Alkitab Ibrani, yang kerap dipandang protokanonik. Perbedaan ini sudah menimbulkan perdebatan dalam Gereja awal tentang apakah kitab-kitab tersebut bisa dibacakan dalam gedung-gedung Gereja dan karenanya bisa diklasifikasikan sebagai naskah-naskah yang kanonik. Kata deuterokanonika berasal dari Bahasa Yunani yang berfaedah 'termasuk kanon kedua'. Etimologi kata ini membingungkan, namun mengindikasikan keragu-raguan dalam penerimaan kitab-kitab tersebut ke dalam kanon oleh beberapa pihak. Perlu dicermati bahwa istilah tersebut tidak berfaedah non-kanonik; sekalipun istilah tersebut kadang-kadang digunakan sebagai eufemisme untuk menyebut kitab-kitab Apokrif. Umat Kristiani Protestan biasanya tidak menggolongkan kitab apapun sebagai kitab "deuterokanonika"; kitab-kitab itu mereka keluarkan dari Alkitab, atau mengelompokkannya dalam anggota tersendiri yang dinamakan Apokrif. Kemiripan makna selang istilah-istilah yang berlainan ini menimbulkan kebingungan selang deuterokanonika Katolik Roma dan Ortodoks dengan naskah-naskah yang dianggap non-kanonik oleh satu atau kedua kelompokan umat Kristiani tersebut. KatolikIstilah Deuterokanonika pertama kali digunakan pada tahun 1566 oleh orang-orang Kristen yang sebelumnya beragama Yahudi dan teolog Katolik Sixtus dari Siena untuk menyebut naskah-naskah Kitab Suci Perjanjian Lama yang kanonisitasnya ditentukan untuk umat Katolik oleh Konsili Trente, namun sudah dikeluarkan dari beberapa kanon terdahulu, teristimewa di Timur. Penerimaan akan kitab-kitab tersebut di selang umat Kristiani awal tidaklah universal, namun konsili-konsili regional di Barat menerbitkan kanon-kanon resmi yang memasukkan kitab-kitab tersebut semenjak abad ke-4 dan ke-5.[1] Naskah-naskah Kitab Suci deuterokanonika adalah:
Ada perbedaan selang anggota apokrifa dalam Alkitab King James tahun 1611 dengan deuterokanon Katolik. Anggota apokrifa Alkitab King James, selain kitab-kitab deuterokanonika, meliputi pula tiga kitab berikut ini, yang tidak diketengahkan kanonik oleh Konsili Trente:
Ketiga kitab tersebut sendiri merupakan anggota apokrifa dari Vulgata Clementina, di mana ketiganya secara spesifik dinamakan "di luar seri kanon". Alkitab Douay-Rheims tahun 1609 memasukkan ketiga kitab ini dalam suatu apendiks, namun ketiganya tidak dibawa masuk dalam Alkitab-Alkitab Katolik sekarang ini. Ketiga kitab ini bersama kitab-kitab deuterokanonika ada dalam anggota apokrif dari Alkitab-Alkitab Protestan. Pengaruh SeptuagintaBeberapa agung kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru diambil dari Septuaginta Yunani—yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika maupun apokrifa—baik deterokanonika maupun apokrifa secara kolektif dinamakan anagignoskomena. Beberapa kitab terlihatnya sudah ditulis naskah aslinya dalam Bahasa Ibrani, namun naskah asli tersebut sudah lama hilang. Namun temuan-temuan arkelogis pada abad terakhir sudah menemukan suatu naskah yang mengandung hampir ⅔ dari kitab Sirakh, dan fragmen-fragmen dari kitab-kitab lainnya sudah ditemukan pula. Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi pada abad pertama Masehi, bahkan di wilayah Romawi Provinsi Iudaea, dan oleh karenanya secara alami dibuat menjadi naskah yang paling luas digunakan oleh umat Kristiani purba. Dalam Perjanjian Baru, Ibrani 11:35 menyebutkan suatu kejadian yang hanya secara eksplisit tercatat dalam salah satu dari kitab-kitab deuterokanonika (2 Makabe 7). bahkan bisa diceritakan bahwa, 1 Korintus 15:29 diambil dari 2 Makabe 12: 44, "karena bila dia tidak mengharapkan orang-orang mati bangun kembali, karenanya merupakan kesia-siaan dan kebodohan untuk berdoa untuk orang-orang yang sudah mati". 1 Korintus 15:29 tentunya menunjukkan hal ada jerih-payah untuk membantu orang-orang mati supaya terbebas dari dosa-dosa mereka. (Pembaptisan juga bermakna jerih payah penyelamatan untuk orang lain dalam Perjanjian Baru, bdk. Matius 20:22-23, Markus 10:38-39 dan Lukas 12:50) Kendati demikian, Yosefus (sejarawan Yahudi) sepenuhnya menolak kitab-kitab deuterokanonika[3], sementara Athanasius yakin bahwa kitab-kitab tersebut berfaedah untuk dibacakan, namun kecuali Kitab Barukh dan Surat Yeremia, kitab-kitab tersebut tidak ada di dalam kanon.[4] Pengaruh VulgataHieronimus dalam prolognya[5] menyebutkan suatu kanon yang tanpa kitab-kitab deuterokanonika, kecuali kitab Barukh.[6] Sekalipun demikian, Vulgata Hieronimus memasukkan kitab-kitab deuterokanonika serta apokrif. Dia mengaanggap kitab-kitab tersebut sebagai Kitab Suci dan mengutip kalimat-kalimat dari kitab-kitab itu sekalipun dia menyebutkan bahwa kitab-kitab itu "tidak ada dalam kanon". Dalam prolognya untuk kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, dia menyebutkan bahwa Yudit dianggap sebagai Kitab Suci oleh Konsili Nicea Pertama.[7] Dalam balasannya untuk Rufinus, dengan gigih dia membela bagian-bagian deuterokanonika dari kitab Daniel sekalipun orang-orang Yahudi pada abad itu tidak melakukan hal itu: Dosa apakah yang sudah kuperbuat jikalau aku mengikuti penilaian gereja-gereja? Namun barang siapa yang menuduh aku mengikuti keberatan-keberatan bahwa orang-orang Ibrani lazimnya menolak Riwayat Susana, Nyanyian Tiga Anak Suci, dan riwayat Baal dan Naga, yang tidak ada dalam gulungan kitab Ibrani, membuktikan bahwa dia hanyalah seorang penjilat yang dungu. Karena aku tidak mengikuti pandangan-pandangan pribadiku sendiri, melainkan keterangan-keterangan bahwa mereka [orang-orang Yahudi] lazimnya menentang kita. (Terhadap Rufinus, 11:33 402 Masehi]).Dengan demikian Hieronimus mengakui prinsip yang digunakan untuk melakukan kanon —penilaian Gereja, bukannya penilaiannya sendiri atau pun penilaian orang-orang Yahudi. Vulgata juga penting sebagai tolok ukur kanon dalam hal kitab-kitab manakah yang kanonik. ketika Konsili Trente menyusun daftar kitab-kitab yang termasuk dalam kanon, konsili ini mengkualifikasikan kitab-kitab "seluruhnya beserta semua anggotanya, sebagaimana yang biasa dibacakan dalam Gereja Katolik, dan sebagaimana yang ada dalam edisi Vulgata Latin Kuno".[8] Istilah yang digunakan di luar Gereja KatolikPenggunaan kata apokrifa (Bahasa Yunani: tersembunyi) untuk naskah-naskah tersebut, walaupun tanpa maksud menghina, diartikan sebahagian pihak bahwa tulisan-tulisan yang dipertanyakan tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam Kanon Alkitab. Klasifikasi semacam ini mengelompokkan kitab-kitab tersebut bersama beberapa kitab injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru apokrif lainnya. Style Manual for the Society of Biblical Literature merekomendasikan penggunaan istilah literatur deuterokanonika bukannya Apokrifa dalam tulisan akademis. Di luar Katolisisme Romawi, istilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan sebagai analogi untuk menyebut kitab-kitab yang dibawa masuk dalam Perjanjian Lama oleh Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Ortodoks Oriental, namun tidak dibuat menjadi anggota dari Tanakh Yahudi, atau pun Perjanjian Lama Protestan. Di kalangan Ortodoks, istilah ini dimengerti bahwa kitab-kitab tersebut ditulis sesudah Alkitab Ibrani. Dalam Alkitab Amharik yang dipergunakan dalam Gereja Ortodoks Ethiopia (salah satu Gereja Ortodoks Oriental), kitab-kitab Perjanjian Lama tersebut tetap terdaftar sebagai kitab-kitab yang kanonik, namun tidak demikian halnya dalam Gereja-Gereja lain, kitab-kitab tersebut kerap disisihkan ke dalam anggota terpisah. Selain kitab-kitab yang diceritakan di atas, ada pula kitab-kitab yang dianggap kanonik hanya oleh Gereja Ethiophia, yakni Henok (I Henokh) dan Kufale (Yobel). Sekalipun demikian, "Kitab-Kitab Makabe" dalam Alkitab mereka seluruhnya berlainan dari kitab-kitab Makabe yang digunakan oleh Gereja lain, tidak ada persamaan kecuali judulnya. Ortodoksi TimurGereja Ortodoks Timur secara tradisional memasukkan semua kitab dari Septuaginta ke dalam Perjanjian Lamanya. Perbedaan-perbedaan regional timbul karena hal ada variasi-variasi yang berlainan dari Septuaginta, sehingga ada yang jumlah kitabnya lebih banyak dari pada lainnya. Orang Yunani menggunakan kata Anagignoskomena untuk menamakan kitab-kitab dari Septuaginta Yunani yang tidak ada dalam Tanakh Ibrani. Kitab-kitab tersebut mencakup seluruh kitab deuterokanonika Katolik Romawi di atas, plus naskah-naskah berikut ini:
Seperti halnya kitab-kitab deuterokanonika Katolik, naskah-naskah tersebut diintegrasikan dengan keseluruhan Perjanjian lama, bukannya dicetak dalam anggota terpisah. Beberapa agung versi Alkitab Protestan meniadakan kitab-kitab tersebut. Umumnya diyakini bahwa Yudaisme secara resmi mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dan naskah-naskah tambahan berkata Yunani yang ada dalam daftar di atas dari Kitab Suci mereka dalam Konsili Jamnia agak tahun 100 Masehi, namun pernyataan ini juga masih dierdebatkan.[9] Beragam Gereja Ortodoks umumnya memasukkan naskah-naskah (yang aslinya ada dalam Bahasa Yunani) tersebut, dan beberapa di selangnya memasukkan Mazmur Salomo ke dalam Alkitabnya. Dalam Gereja-Gereja ini, kitab 4 Makabe kerap dibawa masuk ke dalam suatu appendix, karena di dalamnya terkandung semacam tendensi ke arah faham pagan. Dalam Gereja Ortodoks Ethiopia, salah satu denominasi dalam Ortodoksi Oriental, ada pula tradisi yang kuat untuk mempelajari Kitab Henokh dan Kitab Yobel. Kitab Henokh disebut-sebut di Surat Yudas dalam Perjanjian Baru (Yudas 1:14-15). Perjanjian BaruIstilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan untuk menyebut antilegomena yang kanonik, yakni kitab-kitab Perjanjian Baru yang, seperti kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian lama, tidak diterima secara universal oleh Gereja purba, namun yang sekarang tercakup dalam ke-27 kitab Perjanjian Baru yang diakui oleh hampir semua umat Kristiani. Kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian Baru adalah sebagai berikut: Lihat pula
Pranala luar
Pustaka
edunitas.com Page 3Kitab-kitab Deuterokanonika dalam Alkitab adalah kitab-kitab yang dipandang sebagai anggota yang kanonik dari Perjanjian Lama Kristiani oleh Gereja Katolik Roma dan Kekristenan Timur akan tapi tidak ada dalam Alkitab Ibrani, yang kerap dipandang protokanonik. Perbedaan ini sudah menimbulkan perdebatan dalam Gereja awal tentang apakah kitab-kitab tersebut bisa dibacakan dalam gedung-gedung Gereja dan karenanya bisa diklasifikasikan sebagai naskah-naskah yang kanonik. Kata deuterokanonika berasal dari Bahasa Yunani yang berfaedah 'termasuk kanon kedua'. Etimologi kata ini membingungkan, namun mengindikasikan keragu-raguan dalam penerimaan kitab-kitab tersebut ke dalam kanon oleh beberapa pihak. Perlu dicermati bahwa istilah tersebut tidak berfaedah non-kanonik; sekalipun istilah tersebut kadang-kadang digunakan sebagai eufemisme untuk menyebut kitab-kitab Apokrif. Umat Kristiani Protestan biasanya tidak menggolongkan kitab apapun sebagai kitab "deuterokanonika"; kitab-kitab itu mereka keluarkan dari Alkitab, atau mengelompokkannya dalam anggota tersendiri yang dinamakan Apokrif. Kemiripan makna selang istilah-istilah yang berlainan ini menimbulkan kebingungan selang deuterokanonika Katolik Roma dan Ortodoks dengan naskah-naskah yang dianggap non-kanonik oleh satu atau kedua kelompokan umat Kristiani tersebut. KatolikIstilah Deuterokanonika pertama kali digunakan pada tahun 1566 oleh orang-orang Kristen yang sebelumnya beragama Yahudi dan teolog Katolik Sixtus dari Siena untuk menyebut naskah-naskah Kitab Suci Perjanjian Lama yang kanonisitasnya ditentukan untuk umat Katolik oleh Konsili Trente, namun sudah dikeluarkan dari beberapa kanon terdahulu, teristimewa di Timur. Penerimaan akan kitab-kitab tersebut di selang umat Kristiani awal tidaklah universal, namun konsili-konsili regional di Barat menerbitkan kanon-kanon resmi yang memasukkan kitab-kitab tersebut semenjak abad ke-4 dan ke-5.[1] Naskah-naskah Kitab Suci deuterokanonika adalah:
Ada perbedaan selang anggota apokrifa dalam Alkitab King James tahun 1611 dengan deuterokanon Katolik. Anggota apokrifa Alkitab King James, selain kitab-kitab deuterokanonika, meliputi pula tiga kitab berikut ini, yang tidak diketengahkan kanonik oleh Konsili Trente:
Ketiga kitab tersebut sendiri merupakan anggota apokrifa dari Vulgata Clementina, di mana ketiganya secara spesifik dinamakan "di luar seri kanon". Alkitab Douay-Rheims tahun 1609 memasukkan ketiga kitab ini dalam suatu apendiks, namun ketiganya tidak dibawa masuk dalam Alkitab-Alkitab Katolik sekarang ini. Ketiga kitab ini bersama kitab-kitab deuterokanonika ada dalam anggota apokrif dari Alkitab-Alkitab Protestan. Pengaruh SeptuagintaBeberapa agung kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru diambil dari Septuaginta Yunani—yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika maupun apokrifa—baik deterokanonika maupun apokrifa secara kolektif dinamakan anagignoskomena. Beberapa kitab terlihatnya sudah ditulis naskah aslinya dalam Bahasa Ibrani, namun naskah asli tersebut sudah lama hilang. Namun temuan-temuan arkelogis pada abad terakhir sudah menemukan suatu naskah yang mengandung hampir ⅔ dari kitab Sirakh, dan fragmen-fragmen dari kitab-kitab lainnya sudah ditemukan pula. Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi pada abad pertama Masehi, bahkan di wilayah Romawi Provinsi Iudaea, dan oleh karenanya secara alami dibuat menjadi naskah yang paling luas digunakan oleh umat Kristiani purba. Dalam Perjanjian Baru, Ibrani 11:35 menyebutkan suatu kejadian yang hanya secara eksplisit tercatat dalam salah satu dari kitab-kitab deuterokanonika (2 Makabe 7). bahkan bisa diceritakan bahwa, 1 Korintus 15:29 diambil dari 2 Makabe 12: 44, "karena bila dia tidak mengharapkan orang-orang mati bangun kembali, karenanya merupakan kesia-siaan dan kebodohan untuk berdoa untuk orang-orang yang sudah mati". 1 Korintus 15:29 tentunya menunjukkan hal ada jerih-payah untuk membantu orang-orang mati supaya terbebas dari dosa-dosa mereka. (Pembaptisan juga bermakna jerih payah penyelamatan untuk orang lain dalam Perjanjian Baru, bdk. Matius 20:22-23, Markus 10:38-39 dan Lukas 12:50) Kendati demikian, Yosefus (sejarawan Yahudi) sepenuhnya menolak kitab-kitab deuterokanonika[3], sementara Athanasius yakin bahwa kitab-kitab tersebut berfaedah untuk dibacakan, namun kecuali Kitab Barukh dan Surat Yeremia, kitab-kitab tersebut tidak ada di dalam kanon.[4] Pengaruh VulgataHieronimus dalam prolognya[5] menyebutkan suatu kanon yang tanpa kitab-kitab deuterokanonika, kecuali kitab Barukh.[6] Sekalipun demikian, Vulgata Hieronimus memasukkan kitab-kitab deuterokanonika serta apokrif. Dia mengaanggap kitab-kitab tersebut sebagai Kitab Suci dan mengutip kalimat-kalimat dari kitab-kitab itu sekalipun dia menyebutkan bahwa kitab-kitab itu "tidak ada dalam kanon". Dalam prolognya untuk kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, dia menyebutkan bahwa Yudit dianggap sebagai Kitab Suci oleh Konsili Nicea Pertama.[7] Dalam balasannya untuk Rufinus, dengan gigih dia membela bagian-bagian deuterokanonika dari kitab Daniel sekalipun orang-orang Yahudi pada abad itu tidak melakukan hal itu: Dosa apakah yang sudah kuperbuat jikalau aku mengikuti penilaian gereja-gereja? Namun barang siapa yang menuduh aku mengikuti keberatan-keberatan bahwa orang-orang Ibrani lazimnya menolak Riwayat Susana, Nyanyian Tiga Anak Suci, dan riwayat Baal dan Naga, yang tidak ada dalam gulungan kitab Ibrani, membuktikan bahwa dia hanyalah seorang penjilat yang dungu. Karena aku tidak mengikuti pandangan-pandangan pribadiku sendiri, melainkan keterangan-keterangan bahwa mereka [orang-orang Yahudi] lazimnya menentang kita. (Terhadap Rufinus, 11:33 402 Masehi]).Dengan demikian Hieronimus mengakui prinsip yang digunakan untuk melakukan kanon —penilaian Gereja, bukannya penilaiannya sendiri atau pun penilaian orang-orang Yahudi. Vulgata juga penting sebagai tolok ukur kanon dalam hal kitab-kitab manakah yang kanonik. ketika Konsili Trente menyusun daftar kitab-kitab yang termasuk dalam kanon, konsili ini mengkualifikasikan kitab-kitab "seluruhnya beserta semua anggotanya, sebagaimana yang biasa dibacakan dalam Gereja Katolik, dan sebagaimana yang ada dalam edisi Vulgata Latin Kuno".[8] Istilah yang digunakan di luar Gereja KatolikPenggunaan kata apokrifa (Bahasa Yunani: tersembunyi) untuk naskah-naskah tersebut, walaupun tanpa maksud menghina, diartikan sebahagian pihak bahwa tulisan-tulisan yang dipertanyakan tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam Kanon Alkitab. Klasifikasi semacam ini mengelompokkan kitab-kitab tersebut bersama beberapa kitab injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru apokrif lainnya. Style Manual for the Society of Biblical Literature merekomendasikan penggunaan istilah literatur deuterokanonika bukannya Apokrifa dalam tulisan akademis. Di luar Katolisisme Romawi, istilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan sebagai analogi untuk menyebut kitab-kitab yang dibawa masuk dalam Perjanjian Lama oleh Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Ortodoks Oriental, namun tidak dibuat menjadi anggota dari Tanakh Yahudi, atau pun Perjanjian Lama Protestan. Di kalangan Ortodoks, istilah ini dimengerti bahwa kitab-kitab tersebut ditulis sesudah Alkitab Ibrani. Dalam Alkitab Amharik yang dipergunakan dalam Gereja Ortodoks Ethiopia (salah satu Gereja Ortodoks Oriental), kitab-kitab Perjanjian Lama tersebut tetap terdaftar sebagai kitab-kitab yang kanonik, namun tidak demikian halnya dalam Gereja-Gereja lain, kitab-kitab tersebut kerap disisihkan ke dalam anggota terpisah. Selain kitab-kitab yang diceritakan di atas, ada pula kitab-kitab yang dianggap kanonik hanya oleh Gereja Ethiophia, yakni Henok (I Henokh) dan Kufale (Yobel). Sekalipun demikian, "Kitab-Kitab Makabe" dalam Alkitab mereka seluruhnya berlainan dari kitab-kitab Makabe yang digunakan oleh Gereja lain, tidak ada persamaan kecuali judulnya. Ortodoksi TimurGereja Ortodoks Timur secara tradisional memasukkan semua kitab dari Septuaginta ke dalam Perjanjian Lamanya. Perbedaan-perbedaan regional timbul karena hal ada variasi-variasi yang berlainan dari Septuaginta, sehingga ada yang jumlah kitabnya lebih banyak dari pada lainnya. Orang Yunani menggunakan kata Anagignoskomena untuk menamakan kitab-kitab dari Septuaginta Yunani yang tidak ada dalam Tanakh Ibrani. Kitab-kitab tersebut mencakup seluruh kitab deuterokanonika Katolik Romawi di atas, plus naskah-naskah berikut ini:
Seperti halnya kitab-kitab deuterokanonika Katolik, naskah-naskah tersebut diintegrasikan dengan keseluruhan Perjanjian lama, bukannya dicetak dalam anggota terpisah. Beberapa agung versi Alkitab Protestan meniadakan kitab-kitab tersebut. Umumnya diyakini bahwa Yudaisme secara resmi mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dan naskah-naskah tambahan berkata Yunani yang ada dalam daftar di atas dari Kitab Suci mereka dalam Konsili Jamnia agak tahun 100 Masehi, namun pernyataan ini juga masih dierdebatkan.[9] Beragam Gereja Ortodoks umumnya memasukkan naskah-naskah (yang aslinya ada dalam Bahasa Yunani) tersebut, dan beberapa di selangnya memasukkan Mazmur Salomo ke dalam Alkitabnya. Dalam Gereja-Gereja ini, kitab 4 Makabe kerap dibawa masuk ke dalam suatu appendix, karena di dalamnya terkandung semacam tendensi ke arah faham pagan. Dalam Gereja Ortodoks Ethiopia, salah satu denominasi dalam Ortodoksi Oriental, ada pula tradisi yang kuat untuk mempelajari Kitab Henokh dan Kitab Yobel. Kitab Henokh disebut-sebut di Surat Yudas dalam Perjanjian Baru (Yudas 1:14-15). Perjanjian BaruIstilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan untuk menyebut antilegomena yang kanonik, yakni kitab-kitab Perjanjian Baru yang, seperti kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian lama, tidak diterima secara universal oleh Gereja purba, namun yang sekarang tercakup dalam ke-27 kitab Perjanjian Baru yang diakui oleh hampir semua umat Kristiani. Kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian Baru adalah sebagai berikut: Lihat pula
Pranala luar
Pustaka
edunitas.com Page 4Kitab-kitab Deuterokanonika dalam Alkitab adalah kitab-kitab yang dipandang sebagai anggota yang kanonik dari Perjanjian Lama Kristiani oleh Gereja Katolik Roma dan Kekristenan Timur akan tapi tidak ada dalam Alkitab Ibrani, yang kerap dipandang protokanonik. Perbedaan ini sudah menimbulkan perdebatan dalam Gereja awal tentang apakah kitab-kitab tersebut mampu dibacakan dalam gedung-gedung Gereja dan karenanya mampu diklasifikasikan sebagai naskah-naskah yang kanonik. Kata deuterokanonika berasal dari Bahasa Yunani yang berfaedah 'termasuk kanon kedua'. Etimologi kata ini membingungkan, namun mengindikasikan keragu-raguan dalam penerimaan kitab-kitab tersebut ke dalam kanon oleh beberapa pihak. Perlu dicermati bahwa istilah tersebut tidak berfaedah non-kanonik; sekalipun istilah tersebut kadang-kadang digunakan sebagai eufemisme untuk menyebut kitab-kitab Apokrif. Umat Kristiani Protestan biasanya tidak menggolongkan kitab apapun sebagai kitab "deuterokanonika"; kitab-kitab itu mereka keluarkan dari Alkitab, atau mengelompokkannya dalam anggota tersendiri yang dinamakan Apokrif. Kemiripan makna selang istilah-istilah yang berlainan ini menimbulkan kebingungan selang deuterokanonika Katolik Roma dan Ortodoks dengan naskah-naskah yang dianggap non-kanonik oleh satu atau kedua kumpulan umat Kristiani tersebut. KatolikIstilah Deuterokanonika pertama kali digunakan pada tahun 1566 oleh orang-orang Kristen yang sebelumnya beragama Yahudi dan teolog Katolik Sixtus dari Siena untuk menyebut naskah-naskah Kitab Suci Perjanjian Lama yang kanonisitasnya ditentukan untuk umat Katolik oleh Konsili Trente, namun sudah dikeluarkan dari beberapa kanon terdahulu, teristimewa di Timur. Penerimaan akan kitab-kitab tersebut di selang umat Kristiani awal tidaklah universal, namun konsili-konsili regional di Barat menerbitkan kanon-kanon resmi yang memasukkan kitab-kitab tersebut semenjak abad ke-4 dan ke-5.[1] Naskah-naskah Kitab Suci deuterokanonika adalah:
Ada perbedaan selang anggota apokrifa dalam Alkitab King James tahun 1611 dengan deuterokanon Katolik. Anggota apokrifa Alkitab King James, selain kitab-kitab deuterokanonika, meliputi pula tiga kitab berikut ini, yang tidak diketengahkan kanonik oleh Konsili Trente:
Ketiga kitab tersebut sendiri merupakan anggota apokrifa dari Vulgata Clementina, di mana ketiganya secara spesifik dinamakan "di luar seri kanon". Alkitab Douay-Rheims tahun 1609 memasukkan ketiga kitab ini dalam suatu apendiks, namun ketiganya tidak dibawa masuk dalam Alkitab-Alkitab Katolik sekarang ini. Ketiga kitab ini bersama kitab-kitab deuterokanonika ada dalam anggota apokrif dari Alkitab-Alkitab Protestan. Pengaruh SeptuagintaBeberapa agung kutipan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru diambil dari Septuaginta Yunani—yang mencakup kitab-kitab deuterokanonika maupun apokrifa—baik deterokanonika maupun apokrifa secara kolektif dinamakan anagignoskomena. Beberapa kitab terlihatnya sudah ditulis naskah aslinya dalam Bahasa Ibrani, namun naskah asli tersebut sudah lama hilang. Namun temuan-temuan arkelogis pada abad terakhir sudah menemukan suatu naskah yang mengandung hampir ⅔ dari kitab Sirakh, dan fragmen-fragmen dari kitab-kitab lainnya sudah ditemukan pula. Septuaginta secara luas diterima dan digunakan oleh orang-orang Yahudi pada abad pertama Masehi, bahkan di wilayah Romawi Provinsi Iudaea, dan oleh karenanya secara alami dibuat menjadi naskah yang paling luas digunakan oleh umat Kristiani purba. Dalam Perjanjian Baru, Ibrani 11:35 menyebutkan suatu perihal jadinya yang hanya secara eksplisit tercatat dalam salah satu dari kitab-kitab deuterokanonika (2 Makabe 7). bahkan mampu diceritakan bahwa, 1 Korintus 15:29 diambil dari 2 Makabe 12: 44, "karena bila dia tidak mengharapkan orang-orang mati bangun kembali, karenanya merupakan kesia-siaan dan kebodohan untuk berdoa untuk orang-orang yang sudah mati". 1 Korintus 15:29 tentunya menunjukkan hal ada jerih-payah untuk membantu orang-orang mati supaya terbebas dari dosa-dosa mereka. (Pembaptisan juga bermakna jerih payah penyelamatan untuk orang lain dalam Perjanjian Baru, bdk. Matius 20:22-23, Markus 10:38-39 dan Lukas 12:50) Kendati demikian, Yosefus (sejarawan Yahudi) sepenuhnya menolak kitab-kitab deuterokanonika[3], sementara Athanasius yakin bahwa kitab-kitab tersebut berguna untuk dibacakan, namun kecuali Kitab Barukh dan Surat Yeremia, kitab-kitab tersebut tidak ada di dalam kanon.[4] Pengaruh VulgataHieronimus dalam prolognya[5] menyebutkan suatu kanon yang tanpa kitab-kitab deuterokanonika, kecuali kitab Barukh.[6] Sekalipun demikian, Vulgata Hieronimus memasukkan kitab-kitab deuterokanonika serta apokrif. Dia mengaanggap kitab-kitab tersebut sebagai Kitab Suci dan mengutip kalimat-kalimat dari kitab-kitab itu sekalipun dia menyebutkan bahwa kitab-kitab itu "tidak ada dalam kanon". Dalam prolognya untuk kitab Yudit, tanpa menggunakan kata kanon, dia menyebutkan bahwa Yudit dianggap sebagai Kitab Suci oleh Konsili Nicea Pertama.[7] Dalam balasannya untuk Rufinus, dengan gigih dia membela bagian-bagian deuterokanonika dari kitab Daniel sekalipun orang-orang Yahudi pada abad itu tidak melakukan hal itu: Dosa apakah yang sudah kuperbuat jikalau aku mengikuti penilaian gereja-gereja? Namun barang siapa yang menuduh aku mengikuti keberatan-keberatan bahwa orang-orang Ibrani lazimnya menolak Riwayat Susana, Nyanyian Tiga Anak Suci, dan riwayat Baal dan Naga, yang tidak ada dalam gulungan kitab Ibrani, membuktikan bahwa dia hanyalah seorang penjilat yang dungu. Karena aku tidak mengikuti pandangan-pandangan pribadiku sendiri, melainkan keterangan-keterangan bahwa mereka [orang-orang Yahudi] lazimnya menentang kita. (Terhadap Rufinus, 11:33 402 Masehi]).Dengan demikian Hieronimus mengakui prinsip yang digunakan untuk melakukan kanon —penilaian Gereja, bukannya penilaiannya sendiri atau pun penilaian orang-orang Yahudi. Vulgata juga penting sebagai tolok ukur kanon dalam hal kitab-kitab manakah yang kanonik. ketika Konsili Trente menyusun daftar kitab-kitab yang termasuk dalam kanon, konsili ini mengkualifikasikan kitab-kitab "seluruhnya beserta semua anggotanya, sebagaimana yang biasa dibacakan dalam Gereja Katolik, dan sebagaimana yang ada dalam edisi Vulgata Latin Kuno".[8] Istilah yang digunakan di luar Gereja KatolikPenggunaan kata apokrifa (Bahasa Yunani: tersembunyi) untuk naskah-naskah tersebut, walaupun tanpa maksud menghina, diartikan sebahagian pihak bahwa tulisan-tulisan yang dipertanyakan tersebut tidak boleh dibawa masuk ke dalam Kanon Alkitab. Klasifikasi semacam ini mengelompokkan kitab-kitab tersebut bersama beberapa kitab injil dan kitab-kitab Perjanjian Baru apokrif lainnya. Style Manual for the Society of Biblical Literature merekomendasikan penggunaan istilah literatur deuterokanonika bukannya Apokrifa dalam tulisan akademis. Di luar Katolisisme Romawi, istilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan sebagai analogi untuk menyebut kitab-kitab yang dibawa masuk dalam Perjanjian Lama oleh Gereja Ortodoks Timur, dan Gereja Ortodoks Oriental, namun tidak dibuat menjadi anggota dari Tanakh Yahudi, atau pun Perjanjian Lama Protestan. Di kalangan Ortodoks, istilah ini dipahami bahwa kitab-kitab tersebut ditulis sesudah Alkitab Ibrani. Dalam Alkitab Amharik yang dipergunakan dalam Gereja Ortodoks Ethiopia (salah satu Gereja Ortodoks Oriental), kitab-kitab Perjanjian Lama tersebut tetap terdaftar sebagai kitab-kitab yang kanonik, namun tidak demikian halnya dalam Gereja-Gereja lain, kitab-kitab tersebut kerap disisihkan ke dalam anggota terpisah. Selain kitab-kitab yang diceritakan di atas, ada pula kitab-kitab yang dianggap kanonik hanya oleh Gereja Ethiophia, yakni Henok (I Henokh) dan Kufale (Yobel). Sekalipun demikian, "Kitab-Kitab Makabe" dalam Alkitab mereka seluruhnya berlainan dari kitab-kitab Makabe yang digunakan oleh Gereja lain, tidak ada persamaan kecuali judulnya. Ortodoksi TimurGereja Ortodoks Timur secara tradisional memasukkan semua kitab dari Septuaginta ke dalam Perjanjian Lamanya. Perbedaan-perbedaan regional timbul karena hal ada variasi-variasi yang berlainan dari Septuaginta, sehingga ada yang jumlah kitabnya lebih banyak dari pada lainnya. Orang Yunani menggunakan kata Anagignoskomena untuk menamakan kitab-kitab dari Septuaginta Yunani yang tidak ada dalam Tanakh Ibrani. Kitab-kitab tersebut mencakup seluruh kitab deuterokanonika Katolik Romawi di atas, plus naskah-naskah berikut ini:
Seperti halnya kitab-kitab deuterokanonika Katolik, naskah-naskah tersebut diintegrasikan dengan semuanya Perjanjian lama, bukannya dicetak dalam anggota terpisah. Beberapa agung versi Alkitab Protestan meniadakan kitab-kitab tersebut. Umumnya diyakini bahwa Yudaisme secara resmi mengeluarkan kitab-kitab deuterokanonika dan naskah-naskah tambahan berkata Yunani yang ada dalam daftar di atas dari Kitab Suci mereka dalam Konsili Jamnia agak tahun 100 Masehi, namun pernyataan ini juga sedang dierdebatkan.[9] Beragam Gereja Ortodoks umumnya memasukkan naskah-naskah (yang aslinya ada dalam Bahasa Yunani) tersebut, dan beberapa di selangnya memasukkan Mazmur Salomo ke dalam Alkitabnya. Dalam Gereja-Gereja ini, kitab 4 Makabe kerap dibawa masuk ke dalam suatu appendix, karena di dalamnya terkandung semacam tendensi ke arah faham pagan. Dalam Gereja Ortodoks Ethiopia, salah satu denominasi dalam Ortodoksi Oriental, ada pula tradisi yang kuat untuk mempelajari Kitab Henokh dan Kitab Yobel. Kitab Henokh disebut-sebut di Surat Yudas dalam Perjanjian Baru (Yudas 1:14-15). Perjanjian BaruIstilah deuterokanonika kadang-kadang digunakan untuk menyebut antilegomena yang kanonik, yakni kitab-kitab Perjanjian Baru yang, seperti kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian lama, tidak diterima secara universal oleh Gereja purba, namun yang sekarang tercakup dalam ke-27 kitab Perjanjian Baru yang diakui oleh hampir semua umat Kristiani. Kitab-kitab deuterokanonika Perjanjian Baru adalah sebagai berikut: Lihat pula
Pranala luar
Referensi
edunitas.com |