Membelanjakan harta untuk dakwah Islam termasuk

“Setiap muslim wajib bershadaqah”, para sahabat bertanya: “bagaimana kalau ia tidak mempunyai sesuatu untuk dishadaqahkan?” Nabi menjawab: “hendaklah ia bekerja hingga ia dapat mencukupkan kebutuhannya sendiri dan dapat pula bershadaqah”; para sahabat bertanya lagi: bila ia tidak dapat bekerja bagaimana? Nabi menjawab: hendaklah ia menolong orang yang memerlukan pertolongan. Para sahabat bertanya pula: bila ia tidak juga bagaimana? Nabi menjawab: hendaklah ia menyuruh orang lain berbuat yang baik. Para sahabat masih bertanya lagi: bila beramar ma’ruf pun ia tidak dapat, bagaimana? Nabi menjawab: hendaklah ia menahan diri dari keburukan; sungguh menahan diri dari keburukan itu merupakan shadaqah” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan an-Nasaai dari Abu Musa al-Asy’ari ra).

Macam-macam Bentuk Shadaqah

Rasulullah SAW menegaskan, dalam hadits ini, bahwa shadaqah merupakan kewajiban atas setiap muslim. Melihat pentingnya kewajiban shadaqah seperti disabdakan Nabi itu, para sahabat merasa perlu penjelasan lagi dengan bertanya kepada Rasulullah SAW, sampai tuntas, agar jangan sampai tidak dapat menunaikan kewajiban shadaqah itu.

Rasulullah melayani dengan sabar pertanyaan para sahabat yang memang ingin memperoleh bagian agar dapat bershadaqah dengan berbagai kemungkinan yang ada dalam diri masing-masing. Maka, diterangkan oleh Nabi berturut-turut: bila seseorang tidak mempunyai harta untuk shadaqah, tetapi mampu bekerja, hendaklah ia bekerja. Hasilnya dapat digunakan untuk mencukupkan kebutuhan diri sendiri dan selebihnya dapat digunakan untuk bershadaqah. Namun, apabila bershadaqah dengan harta benar-benar tidak mampu, supaya orang bershadaqah dengan memberikan jasa berupa bantuan tenaga kepada orang yang memerlukannya. Bila shadaqah berupa bantuan tenaga itupun tidak mampu juga, hendaklah bershadaqah dengan lisannya, yaitu mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan dan mencegah orang lain dari perbuatan munkar. Kalau untuk beramar ma’ruf dan bernahi munkar ini masih tidak mampu juga, hendaklah ia menahan diri dari perbuatan buruk. Jadi, menahan hawa nafsu agar tidak sampai melakukan keburukan adalah termasuk salah satu macam shadaqah.

Sekiranya yang bernilai shadaqah itu  hanya berupa memberi harta kepada orang lain, niscaya akan menyebabkan kecil hati bagi kaum muslimin yang tidak mampu. Rasa kecil hati itu pernah dialami oleh para sahabat yang tidak mampu, ketika melihat sahabat lain yang mampu bershadaqah dengan harta mereka. Oleh Rasulullah SAW kemudian dijelaskan bahwa membelanjakan harta bukanlah satu-satunya shadaqah, meski­pun yang terutama sekali dituju adalah kerelaan hati membelanjakan harta yang diperolehnya dengan susah payah itu untuk orang lain, setelah kebutuhan sendiri dicukupkan.

Shadaqah juga dapat berupa menyelesaikan perselisihan antara dua orang dengan cara adil; shadaqah dapat pula berupa menolong orang untuk mengendarai kendaraannya. Dapat pula berupa menolong mengangkatkan barang orang ke atas kendaraannya. Bahkan, shadaqah dapat pula berupa kalimah thayyibah yang diucapkan seseorang. Langkah seseorang pergi ke masjid untuk melakukan shalat jamaah juga dipandang sebagai shadaqah. Menyingkirkan gangguan dari jalan juga disebut shadaqah.

Demikian luas arti shadaqah yang disebutkan Rasulullah itu, hingga tidak mungkin ada orang yang terhindar dari kewajiban shadaqah sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas. Menyebutkan macam-macam perbuatan yang bernilai shadaqah itu sejalan benar dengan ketentuan bahwa bershadaqah adalah wajib atas setiap orang Islam.

Shadaqah dengan Harta

Perintah shadaqah dengan harta antara lain disebutkan dalam QS al-Munafiquun ayat 10 yang menekankan agar orang menyedekahkan harta bendanya yang berasal dari pemberian Allah itu sebelum berpulang ke Rahmatullah. Orang yang tidak menggunakan kesempatan pada waktu hidupnya untuk bershadaqah kelak pasti akan menyesal, karena menyaksikan betapa besar pahala shadaqah yang diberikan kepada mereka yang menggunakan kesempatan hidupnya untuk melaksanakan perintah shadaqah.

وَأَنفِقُواْ مِن مَّا رَزَقۡنَـٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوۡلَآ أَخَّرۡتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ۬ قَرِيبٍ۬ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ -١٠

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)-ku sampai waktu yang dekat, agar aku dapat bersedekah sehingga aku termasuk orang-orang yang saleh?” (QS al-Munafiqun: 10)

Shadaqah dengan harta membawakan keuntungan bagi yang bershadaqah, baik di dunia maupun di akherat nanti. Keuntungan di dunia berupa ganti rejeki yang lebih besar, sebagaimana dijanjikan Allah dalam firmannya:

وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَىۡءٍ۬ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۖ ۥ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٲزِقِينَ -٣٩

“Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya. Dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya”. (QS Saba’: 39)

Sebuah hadist dari Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad SAW mengajarkan:

“Setiap pagi ada dua malaikat yang turun di langit dunia untuk memanjatkan doa kepada Allah yang satu berdoa: Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang mau membelanjakan hartanya. Yang lain memanjatkan doa: Ya Allah, berikanlah kerusakan pada orang yang tidak mau membelanjakan hartanya”. (HR Bukhari Muslim)

Hadist riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda:

Allah Azza Wajalla berfirman: “Belanjakanlah hartamu, Aku akan memberi belanja kepadamu”, Rasulullah SAW bersabda pula, “Tangan Allah penuh, tidak berkurang karena dinafkahkan, amat banyak pemberiannya baik pada waktu malam maupun siang hari”. Nabi berkata lagi: “Beritahukanlah kepadaku apa saja yang dibelanjakan Allah sejak menciptakan langit dan bumi, sungguh hal itu tidak mengurangi kekayaan Allah sama sekali; singgasana Allah di atas air; di tangan Allah pulalah timbangan keadilan; Allah merendahkan orang yang dikehendaki dan mengangkat orang yang dikehendaki pula (melapangkan rejeki orang yang dikehendaki dan mempersempit rejeki orang yang dikehendaki pula)”.  (HR Bukhari Muslim)

Demikianlah beberapa ayat al-Quran dan hadist Nabi SAW mengajarkan bahwa bershadaqah itu akan membawakan keuntungan duniawi yang bersifat materiil kepada orang yang bershadaqah. Apa yang dishadaqahkan pasti akan memperoleh ganti dari Allah SWT dengan berlipat ganda.

Selain keuntungan duniawi yang bersifat materi, shadaqah dapat juga mendatangkan keuntungan yang bersifat maknawi, sebagaimana diajarkan dalam hadist Nabi SAW riwayat Turmudzi dari Muaz bin Jabal RA:

Dan shadaqah itu menghapus kesalahan seperti air memadamkan api.

Keuntungan ukhrawi daripada shadaqah antara lain dinyatakan dalam hadist Nabi SAW riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Adiy bin Abi Hatim RA:

Jagalah dirimu dari api neraka, meskipun hanya dengan shadaqah berupa sepotong tamar.

Masih banyak hadist yang dapat disebutkan yang menggembirakan shadaqah. Hal ini dapat dimengerti, karena shadaqah yang merupakan pelepasan harta untuk kepentingan orang lain itu merupakan hal yang amat berat bagi jiwa manusia. Ayat-ayat al-Quran menegaskan bahwa manusia berwatak amat cinta kepada harta benda; manusia amat senang mengumpulkan harta benda; manusia dalam hidupnya dihiasi dengan berbagai macam keinginan antara lain berupa keinginan memiliki harta benda, emas perak dengan sebanyak-banyaknya, manusia dikodratkan berwatak kikir; sekiranya kepada manusia diberikan khazanah rahmat Allah, niscaya ia tidak akan membelanjakannya, karena khawatir akan habis.

Shadaqah yang Utama

Bershadaqah mempunyai nilai bertingkat-tingkat. Hadist Nabi SAW riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah RA menerangkan, seseorang datang kepada Rasulullah bertanya tentang shadaqah yang paling besar pahalanya. Dijawab Nabi, “bahwa kamu bersedekah di waktu sehat dan amat sayang terhadap hartamu dan dalam waktu sama takut fakir dan mengharapkan kekayaan; jangan kamu tangguhkan bershadaqah sampai kamu hampir mati, baru mengatakan untuk si fulan sekian dan untuk si fulan sekian, padahal sebenarnya harta tersebut telah menjadi hak si fulan”.

Al-Quran surat Ali Imran ayat 92 mengajarkan bahwa kita hanya akan memperoleh nilai kebaikan yang sebenarnya apabila bersedia membelanjakan sesuatu yang masih kita sukai.

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ‌ۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَىۡءٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ۬ -٩٢

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Ali Imran 92)

Batasan Kelebihan Harta

Sampai pada batas manakah harta dapat dikatakan telah merupakan kelebihan dari kebutuhan seseorang dan orang-orang yang menjadi tanggungannya? Jawaban atas pertanyaan ini sangat relatif. Dalam kehidupan seperti yang berlaku pada zaman Nabi, kebutuhan hidup digambarkan dalam hadist Utsman riwayat Turmudzi dan Hakim: bahwa hak seseorang dalam hidup ini hanya terbatas memenuhi kebutuhan rumah untuk tempat tinggal, pakaian untuk menutup aurat, dan makanan serta minuman sehari-hari. Berdasar atas atas kebutuhan hidup pada masa Nabi itu, maka selebihnya dari kebutuhan primer itu telah merupakan kelebihan yang harus disedekahkan.

Apabila ukuran dalam hadist Utsman tersebut kita pegang teguh pada saat sekarang ini, tentu akan mudah menimbulkan tuduhan bahwa Islam tidak memberikan kesempatan untuk menikmati kehidupan melebihi dari kebutuhan-kebutuhan primer, padahal selain papan, sandang, dan pangan dalam perkembangan hidup manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang relatif dapat digolongkan kebutuhan primer seperti pendidikan, alat-alat pembantu seperti kendaraan, surat kabar, majalah, dan mungkin juga radio, televisi, pesawat telepon dan sebagainya.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa untuk menentukan batas kelebihan kebutuhan hidup itu amat relatif, maka untuk memudahkan memperoleh ketentuan umum dalam hal ini dapat diambil ajaran dari ayat 67 surat al-Furqan yang menyebutkan sebagian sifat ibaadurrahman ialah yang apabila membelanjakan harta tidak melebihi kebutuhan dan pula tidak kurang dari keperluan, tengah-tengah antara keduanya.

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَڪَانَ بَيۡنَ ذَٲلِكَ قَوَامً۬ا -٦٧

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS al-Furqan 67)

Mengukur Kebutuhan

Kebutuhan orang dapat diukur dengan kedudukannya dalam masyarakat. Kebutuhan seorang guru tidak sama dengan seorang buruh penunggu toko, kebutuhan seorang penjaga kantor tidak sama dengan kebutuhan kepala kantor dan sebagainya. Jangan berkecenderungan kepada hidup berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Cukuplah kebutuhan yang wajar, selebihnya dapat termasuk kelebihan yang terkena wajib shadaqah.

Pada akhirnya, apakah seseorang dalam mencukupkan hidupnya termasuk wajar atau berlebih-lebihan, amat bergantung pada bisikan hati nuraninya yang dijiwai dengan iman kepada Allah dan Hari Akhir serta kesadaran akan fungsinya dalam hidup ini, yaitu hidup yang diliputi suasana pengabdian atau beribadah kepada Allah SWT baik dalam mencukupi kebutuhan diri sendiri, kebutuhan keluarga maupun tanggung jawab sosialnya.

Misalnya apabila seseorang akan membeli perhiasan yang dalam Islam dibolehkan. Perhiasan berharga berapa yang boleh dibeli, untuk dapat dikatakan wajar, tidak berlebihan, tidak bermewah-mewahan, amat sukar diperoleh ukuran berapa besar kemampuan orang yang akan membeli perhiasan itu, tetapi juga masih harus dikaitkan dengan kewajiban sosialnya yang wajib diperhatian bagi orang yang memiliki harta benda.

Orang yang membeli cincin bermata jamrut seharga satu juta rupiah, di tengah masyarakat yang kurang tempat pendidikan, di tengah masyarakat yang sebagian besar untuk mencukupkan kebutuhan makan sehari-hari saja tidak dapat terpenuhi, akan dinilai tidak mempunyai rasa tanggung jawab sosial.  Ia telah mengabaikan kewajibannya terhadap masyarakat karena membelanjakan harta untuk membeli perhiasan tersebut. Bila diukur dengan ajaran Islam yang menyangkut fungsi hak milik yang berfungsi sosial hal itu akan merupakan pembelanjaan yang berlebih-lebihan, hanya menuruti keinginan hawa nafsu untuk  hidup berkemewahan.

Penerima Shadaqah

Islam, dalam mewajibkan shadaqah, tidak memberi peluang kepada umat manusia untuk bermalas-malas, menantikan shadaqah orang yang akan diterimanya. Sebaliknya, ajaran Islam memerintahkan agar orang bekerja mencari nafkah untuk hidupnya dan dalam waktu sama mencela orang yang hidup menyandarkan kepada pertolongan orang lain. Karena itu, yang berhak menerima shadaqah adalah orang yang benar-benar memerlukan pertolongan karena usahanya tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Atau, karena sesuatu peristiwa yang terjadi pada diri seseorang, ia amat memerlukan bantuan dari orang lain.  Hadist Nabi SAW mengajarkan bahwa orang yang mampu mencukupkan kebutuhan hidup dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, demikian pula orang yang cukup kuat untuk bekerja mencari nafkah, tidak berhak menerima shadaqah.

Sanak Kerabat Diutamakan

Dari ayat-ayat al-Quran dan hadist, kita peroleh ajaran bahwa sanak kerabat yang memerlukan pertolongan diutamakan untuk menerima shadaqah seseorang. Misalnya, ayat 177 surat al-Baqarah, ayat 90 surat an-Nahl, ayat 26 surat al-Isra’, ayat 38 surat ar-Ruum, dan ayat 23 surat as-Syura. Bahkan dalam ayat 215 surat al-Baqarah terdapat ketentuan suatu urutan kepada siapa shadaqah itu diberikan, yaitu berturut-turut kepada kedua orang tua, sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, kemudian orang dalam perjalanan (ibnu sabil) yaitu orang yang dalam perjalanan bukan karena maksiat dan memerlukan bantuan.

يَسۡـَٔلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ‌ۖ قُلۡ مَآ أَنفَقۡتُم مِّنۡ خَيۡرٍ۬ فَلِلۡوَٲلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ‌ۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٍ۬ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ۬ -٢١٥

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS al-Baqarah 215)

Pada suatu hari Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk bershadaqah, kemudian berkata salah seorang sahabat: “Ya Rasulullah, saya mempunyai satu dinar”, maka beliaupun memerintahkan: “Shadaqahkanlah uangmu itu untuk keperluan dirimu”, orang itu berkata: “saya mempunyai dinar lain”, Rasulullah memerintahkan: “Shadaqahkanlah uangmu itu untuk anakmu”; orang itu berkata lagi: “saya masih mempunyai yang lain”, beliau memerintahkan “Shadaqahkanlah uang itu untuk istrimu”; orang itu mengatakan lagi “saya masih mempunyai yang lain”, Rasulullah memerintahkan “Shadaqahkanlah uang itu untuk pembantu rumah tanggamu, orang itu menjawab lagi “saya masih punya yang lain”, maka beliau menjawab: “Engkau lebih tahu kepada siapa uang itu akan engkau shadaqahkan”.

Hadist yang diriwayatkan Ahmad, Muslim dan Turmudzi dari Abu Hurairah RA mengajarkan bahwa uang yang dibelanjakan seseorang untuk sabilillah, untuk memerdekakan budak, untuk orang miskin, dan untuk keluarganya, yang paling besar pahalanya adalah yang dibelanjakan untuk keluarganya.

Hadist Nabi SAW riwayat Bukhari-Muslim mengajarkan bahwa shadaqah untuk orang miskin mendapat pahala satu shadaqah, sedang shadaqah untuk sanak kerabat mendapat pahala dua, yaitu pahala shadaqah dan pahala menghubungkan tali persaudaraan (silaturrahmi).

Demikian luasnya pengertian shadaqah menurut ajaran Islam hingga memberi nafkah untuk kepentingan keluarga yang menjadi tanggunganpun termasuk shadaqah, sebagaimana diajarkan dalam hadist Nabi SAW riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Mas’ud al-Anshari RA:

“Bila orang muslim membelanjakan harta untuk mencukupkan nafkah keluarga, dengan niat memperoleh ridla Allah SWT, maka orang itu mendapat pahala shadaqah”.

Bershadaqah kepada Siapapun adalah Kebaikan

Shadaqah kepada siapapun merupakan kebaikan yang berpahala; tetapi shadaqah untuk sanak keluarga mempunyai kelebihan kebaikan dibanding shadaqah kepada selain keluarga.

Meskipun demikian, bila kita memang mempunyai kelonggaran, jangan seluruh harta yang akan dishadaqahkan hanya tertuju pada keluarga, tetapi hendaklah juga kepada yang lain; misalnya kepada tetangga yang bukan keluarga, orang yang datang untuk meminta bantuan karena kebutuhan mendesak, kepentingan amal sosial, pembangunan tempat ibadah, dan sebagainya. Kepada semua itu kita berikan bagiannya, meskipun bila tiba-tiba bersama-sama dengan kebutuhan keluarga yang amat mendesak, lebih kita utamakan kepentingan keluarga.

Shadaqah kepada non Muslim

Sering menjadi pertanyaan, apakah dalam kita memberikan shadaqah itu harus diberikan kepada saudara-saudara kita yang beragama Islam? Untuk memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, dapat dikemukakan ketentuan ayat 8-9 surat al-Mumtahanah yang mengajarkan agar umat Islam berbuat baik dan berbuat adil kepada siapapun yang tidak bersikap memusuhi umat Islam.

لَّا يَنۡهَٮٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَـٰتِلُوكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ (٨) إِنَّمَا يَنۡہَٮٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَـٰتَلُوكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوڪُم مِّن دِيَـٰرِكُمۡ وَظَـٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡ‌ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ -٩

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS al-Mumtahanah 8-9)

Jadi, yang dilarang adalah bila umat Islam berteman setia kepada mereka yang nyata-nyata memusuhi umat Islam. Dengan demikian, bershadaqah kepada selain saudara seagama dapat dibenarkan, selagi memang mereka benar-benar memerlukan bantuan.

Bahkan, dalam suatu hadist riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah RA, diceritakan bahwa ada orang niat bershadaqah tiba-tiba diberikan kepada pencuri. Pagi harinya orang-orang mengatakan bahwa orang tersebut memberikan shadaqah kepada pencuri. Mengetahui hal itu, orang tersebut memuji kepada Allah dan berniat akan bershadaqah lagi. Shadaqah yang kedua ini ternyata diberikan kepada perempuan pezina. Pagi harinya orang-orang mengatakan bahwa shadaqahnya diberikan kepada perempuan pezina. Setelah diketahuinya, orang tersebut berniat lagi memberikan shadaqah lagi, yang ternyata diberikan kepada orang yang tergolong kaya. Pagi harinya orang memperkatakan bahwa shadaqah telah diberikan kepada orang kaya. Orang tersebut memuji kepada Allah pula, tetapi agak ada perasaan mengapa tiga kali bershadaqah berturut-turut diberikan kepada pencuri, perempuan pezina, dan orang kaya, apakah tidak salah alamat, dan apakah dengan demikian shadaqahnya berpahala? Kemudian datanglah seseorang kepadanya, (mungkin malaikat) untuk membesarkan hatinya; dikatakan kepadanya:

“Shadaqahmu yang diterima pencuri, mudah-mudahan dapat memberikan peringatan agar ia menghentikan perbuatannya; shadaqahmu yang diterima perempuan pezina mudah-mudahan dapat memberikan peringatan kepadanya untuk menghentikan perbuatan zinanya; shadaqahmu yang diterima orang kaya itu mudah-mudahan akan menjadi pelajaran baginya agar ia mau menshadaqahkan sebagian rejeki yang diberikan Allah kepadanya”.

Shadaqah Seorang Isteri

Ada hal lain yang baik dikemukakan, untuk menunjukkan bagaimana kuat anjuran bershadaqah itu dalam Islam, yaitu bila seorang istri bershadaqah dengan harta berasal dari belanja yang diberikan suaminya, asalkan tidak berakibat mengganggu terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, maka istri itu akan mendapat pahala atas shadaqah yang dilakukan dan suami akan mendapat pahala, karena harta yang dishadaqahkan itu berasal dari hasil kerjanya.

Hadist riwayat Bukhari Muslim dari Aisyah RA mengatakan:

“Apabila istri menshadaqahkan sebagian makanan rumah tangganya tanpa berakibat merusak kecukupan kebutuhannya, maka ia mendapat pahala atas shadaqah yang telah dilakukannya, dan suaminya mendapat pahala karena ia telah bekerja menghasilkan harta yang dishadaqahkan istrinya itu…”.

Ikhlas Shadaqah Karena Allah

Amalah shadaqah bukan hubungan antara si mampu dengan si miskin, tetapi sesungguhnya adalah hubungan antara si mampu dengan Allah SWT. Al-Qur’an surat Muzzamil ayat 20 memerintahkan agar kita bermuamalah dengan Allah dengan jalan memberikan pinjaman yang baik; segala kebaikan yang kita lakukan adalah untuk kepentingan diri kita sendiri; kebaikan yang kita lakukan akan bernilai kebaikan di sisi Allah dan akan memperoleh balasan pahala yang besar.

وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَقۡرِضُواْ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنً۬ا‌ۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٍ۬ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ هُوَ خَيۡرً۬ا وَأَعۡظَمَ أَجۡرً۬ا‌ۚ

“…tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya…” (QS Muzammil 20)

Oleh karenanya dalam memberikan shadaqah diutamakan secara rahasia, tidak diketahui oleh orang lain. Kalaupun dilakukan dengan cara yang dapat diketahui orang lain, jangan sampai dikotori dengan rasa riya’, ingin memperlihatkan kebaikan kepada orang lain.

Al-Quran surat al-Insan ayat 9 menggambarkan keikhlasan orang bershadaqah dengan ungkapan:

إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءً۬ وَلَا شُكُورًا -٩

“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS al-Insan 9).

Meskipun dari pihak yang bershadaqah dilarang untuk mengharapkan balasan atau ucapan terima kasih dari yang menerima shadaqah, tetapi Nabi SAW mengajarkan; bila beliau menerima amanat shadaqah selalu membacakan shalawat untuk keluarga orang yang bershadaqah.

Ucapan terimakasih harus datang dari pihak yang menerima shadaqah, bukan karena diharapkan oleh pihak yang memberikan. Doa semoga shadaqahnya dikabulkan Allah, diberi balasan dengan berlipat ganda, baik pula diucapkan oleh orang yang menerima shadaqah. Dengan demikian apakah orang yang menerima shadaqah itu mengucapkan terimakasih ataukah tidak, tidak boleh mempengaruhi rasa ikhlas dalam melaksanakan amal shadaqah kita. Kita tidak boleh kecil-hati bila yang menerima shadaqah itu tiba-tiba tidak mengucapkan terimakasih ataupun tidak mendoakan untuk kita.

(Tim Redaksi; diambil dari Syarah Hadits oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A.)