Jakarta - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengatakan akan melaporkan Sistem Informasi Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum (Situng KPU) ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Apa itu Mahkamah Internasional?Laporan dilakukan agar Mahkamah Internasional dapat menganalisi lebih jauh Situng KPU yang dinilai curang. Berikut 5 fakta yang perlu diketahui:
ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT 1. SejarahMahkamah Internasional didirikan pertama kali di Den Haag, Belanda pada tahun 1945. Lembaga ini dibentuk dalam proses yang panjang hingga akhirnya disahkan oleh piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 2. Pengertian dan FungsiTugas dan fungsi Mahkamah Internasional berdasarkan piagam PBB, yakni menyelesaikan sengketa hukum yang dibawa oleh sebuah negara ke Mahkamah Internasional.Tertulis juga, hanya negara yang bisa menjadi pihak dalam suatu perkara. Artinya, individu tak dapat mengajukan gugatan di Mahkamah Internasional. 3. Lokasi Saat ini pusat Mahkamah Internasional berada di Peace Palace, Carnegieplein 2, Belanda.Mahkamah Internasional saat ini dipimpin oleh Abdulqawi Ahmed Yusuf asal Somalia. Ia telah menjabat sejak 2018 lalu.4. Jumlah Hakim Berdasarkan data dari situs resmi Mahkamah Internasional, pengadilan tersebut terdiri dari 15 hakim. Dalam aturannya, hakim tersebut akan menjabat selama 9 tahun lamanya.Hakim Mahkamah Internasional tersebut juga dipilih secara terpisah. Pemilihan diadakan di New York, Amerika Serikat pada musim gugur dan akan memulai masa jabatannya pada 6 Februari tahun berikutnya.5. Hubungan dengan Indonesia Indonesia pernah berurusan dengan Mahkamah Internasional di tahun 1998. Kala itu, Indonesia dan Malaysia bersama-sama meminta putusan atas kepemilikan pulau Ligitan dan Sipadan.Pada putusan yang dilaksanakan tahun 2002 itu, Mahkamah Internasional menyatakan kepemilikan kedua pulau jatuh pada kedaulatan Malaysia. Simak Juga 'Melihat Lagi Sederet Sisi Lain di Sidang Putusan MK': [Gambas:Video 20detik] Simak Video "Pembelaan Suu Kyi di Mahkamah Internasional" [Gambas:Video 20detik] (pay/nwy) Dalam interaksi konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sengketa adalah adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara dua bangsa yang berbeda. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik. Pasal 2 (3) Piagam PBB menetukan bahwa segenap anggota PBB harus menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan damai dan mempergunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional, serta keadilan tidak terancam. Ada dua cara untuk menyelesaikan sengketa internasional, yaitu:
Cara penyelesaian sengketa dengan damai seperti ditentukan Pasal 33 (1) Piagam PBB, yaitu : negosiasi (negotiation), enkuire (enquiry), mediasi (mediation), dan konsiliasi (konsiliation) adalah suatu penyelesaian sengketa jika para pihak dapat membuat perjanjian penyelesaian sengketa. Artinya kedua pihak, telah sama-sama setuju atas rekomendasi yang disarankan suatu komisis (misalnya komisis konsiliasi), jika rekomendasi tersebut tidak diterima oleh kedua pihak yang bersengketa, maak sengketa tersebut belum terselesaikan. Untuk menyelesaikan sengketa dengan jalan damai yang sesuai dengan asas-asas keadilan dan hukum internasional, maka diperlukan badan yang berdiri sendiri dan badan ini kedudukannya sebagai alat perlengkapan utama . organ utama PBB. Badan ini tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu dan harus bebas dari segala pengaruh. Telah kita ketahui bahwa salah satu cara penyelesaian sengketa secara hukum atau judicial sentlement dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalaui badan peradilan internasional (world court atau international court). Dalam hukum internasional, penyelesaian secara hukum dewasa ini dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yaitu Permanent Court of International of Justice (PCIJ) atau Mahkamah Permanen Internasional Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, the International Tribunal for the Law of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982) atau International Criminal Court (ICC) Pada masa LBB peristiwa yang penting ialah dibentuknya Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of Internasional Justice – PCIJ). Mahkamah berdiri setelah statute diratifikasi oleh mayoritas Negara-negara anggota PBB, PCIJ berdiri tahun 1921 da berkedudukan di Den Haag. Mahkamah Internasional dalam rangka PBB disebut Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ). Menurut pasal 92 Piagam PBB disebut statute ICJ didasarkan pada Satuta PCIJ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Piagam PBB. Dikarenakan peran Mahkamah Internasional begitu penting dalam penyelesaian sengketa internasional, maka dalam blog ini penulis tertarik untuk memaparkan lebih jauh mengenai Mahakamah Internasional. A. Sejarah Berdirinya Mahkamah Internasional Pada latar belakang diatas telah diuraikan sedikit mengenai Mahkamah Internasional, sebelum penulis mengkaji lebih jauh mengenai segala sesuatu yang terkait Mahkamah Internasional, maka sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana sejarah timbulnya Mahkamah Internasional. PCIJ merupakan pendahulu Mahkamah Internasional (ICJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal 14 Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada tahun 1922. Sebagai badan peradilan internasional, PCIJ diakui sebagai suatu peradilan yang memainkan peranan penting dalam sejarah penyelesaian sengketa internasional. Arti peran ICIJ tampak sebagai berikut:
Meskipun mempunyai peranan yang penting dan cukup kuat, namun pecahnya Perang Dunia II pada bulan September 1939 telah berakibat serius terhadap PCIJ dan secara politis telah menghentikankegiatan-kegiatan Mahkamah. Terjadinya peperangan yang terus berkelanjutan ini bahkan telah membuat PCIJ menjadi bubar. Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah internasional. Pada tahun 1943 pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli London untuk mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied Committee yang dipimpin oleh Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil mengeluarkan laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa rekomendasi sebagai berikut :
Setelah berbagai pertemuan dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya dicapailah kesepakatan pada Konferensi San Fransisco pada tahun 1945 yang memutuskan bahwa akan dibentuk suatu badan Mahkamah Internasional beru dan badan ini merupakan badan utama PBB (Pasal 92 Piagam PBB). B. Dasar Hukum Mahkamah Internasional. Secara keseluruhan, ada 5 (lima) aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah:
Di dalam Piagam PBB 1945, dasar hukum yang berkenaan tentang MI terdapat dalam BAB XIV tentang MI sebanyak 5 pasal yaitu pasal 92-96. Sedangkan di dalam Statuta MI sendiri, ketentuan yang berkenaan dengan proses beracara terletak pada BAB III yang mengatur tentang Procedure dan BAB IV yang memuat tentang Advisory Opinion. Ada 26 pasal (pasal 39 – 46) yang tercantum di dalam BAB III, sementara di dalam BAB IV hanya terdapat 4 pasal (pasal 65-68). Dasar hukum yang ketiga yaitu Aturan Mahkamah (Rules of the Court), (1970) yang terdiri dari 108 pasal. Aturan ini dibuat pada tahun 1970 dan telah mengalami beberapa amandemen dimana amandemen terakhir adalah pada tahun 2000. Aturan ini berlaku atau entry into force sejak tanggal 1 Februari 2001 dan bersifat tidak berlaku surut atau non-retroactif, Dasar hukum yang berikutnya adalah Panduan Praktek (Practice Directions) I-IX. Ada 9 panduan praktek yang dijadikan dasar untuk melakukan proses beracara di MI. Panduan praktek ini secara umum berkisar tentang surat pembelaan (written pleadings) yang harus dibuat dalam beracara di MI. Dasar hukum terakhir dari proses beracara di MI adalah Resolusi tentang Praktek Judisial Internal dari Mahkamah (Resolution Concerning the Internal Judicial Practice of the Court), (1976). Resolusi ini terdiri dari 10 ketentuan tentang beracara di MI yang telah diadopsi pada tanggal 12 Apil 1976. Resolusi ini menggantikan resolusi yang sama tentang Internal Judicial Practice yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1968. C. Komposisi Mahkamah Internasional 1. Hakim Mahkamah Internasional
2. Hakim Ad Hoc Dalam perkembangannya apabila suatu negara terlibat sengketa dan komposisi hakim tidak ada hakim dari negara yang bersangkutan maka negara tersebut dapat meminta dipilih hakim ad-hoc. Hakim ad-hoc ini dipilih diluar dari 15 orang hakim Mahkamah. Seorang hakim Mahkamah Internasional tidak dilarang untuk memeriksa suatu kasus yang menyangkut negaranya atau kepentingan negaranya (Pasal 31 Statuta), meskipun Rules of Court (aturan hukum acara ICJ) menyatakan bahwa jika ia adalah ketua atau presiden Mahkamah, ia seharusnya menonaktifkan fungsinya sebagai ketua atau presiden dalam kasus tersebut. Fungsi ketua dalam hal inidigantikan oleh wakil ketua. Apabila suatu Negara pada suatu sengketa tidak memiliki hakim yang berkebangsaan negaranya, ia dapat meminta agar seorang hakim ad hoc dipilih (Pasal 31 ayat(3) ). Seorang Hakim ad hoc diharuskan untuk mengucapkan sumpah seperti halnya seorang hakim yang dipilih suatu pihak yang hendak meminta hakim ad hoc. Ia harus mengumumkannya secepat mungkin niat tersebut. Peranan dan kedudukan Hakim ad hoc ini sama dengan perana dan kedudukan hakim biasa. Namun, dalam persyaratan kuorum hakim untuk mengambil putusan yaitu sebanyak 9 (Sembilan), tidaklah termasuk suara dari Hakim ad hoc ini. 3. Chamber
4. The Registry
D. Yurisdiksi Mahkamah Internasional Secara umum, jurisdiksi dapat diartikan sebagai kemampuan atas dasar hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Hal ini juga berlaku bagi MI dimana jurisdiksi dijadikan dasar untuk menyelesaikan sengketa atas dasar hukum internasional. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari MI. Yurisdiksi mempunyai dua istilah yaitu konteks kedaulatan negara dan konteks organ yudisial. Dalam konteks kedaulatan negara, yurisdiksi adalah manifestasi dari kedaulatan. Bowett medefinisikan yurisdiksi sebagai kewenangan untuk membuat hukum dan kewenangan negara untuk memaksakan berlakunya aturan hukum. Yurisdiksi dalam konteks organ yudisial berakaitan erat dengan kewenangan untuk memaksakan berlakunya hukum pada umumnya diserahkan pada cabang yudisial dari kekuasaan negara. Pengertian yurisdiksi menurut beberapa ahli : 1. Mochtar Kusumaatmadja Yurisdiksi adalah wewenang suatu negara untuk memaksa pentaatan terhadap hukumnya baik yurisdiksi kriminal maupun pedata 2. Brown Lie Yurisdiksi merupakan aplikasi dari kedaulatan. Negara berdaulat dapat memaksakan pentaatan hukumnya 3. D.J Harris Yurisdiksi adalah kekuasaan berdasar hukum internasional untuk mengatur orang dan benda dengan hukum nasionalnya Sehingga dapat dikemukakan yurisdiksi pada dasarnya adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan internasiobal, yang memberi kekuasaan pada pengadilan internasional untuk memeriksa kasus, menerapkan hukum dan mengambil keputusan atasnya. Ada empat kriteria yang menentukan yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu pengadilan internasional,yakni :
Sedangkan yurisdiksi itu sendiri dapat dibagi menjadi : 1. Yurisdiksi Teritorial Secara umum, Statuta Roma 1998 menegaskan bahwa mahkamah internasional dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah negara pihak dalam Statuta Roma 1998. Namun mahkamah internasional dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya di wilayah negara bukan pihak, selama ada perjanjian khusus dimana sepanjang menyangkut kasus pelakunya adalah warga negara dari negara pihak dalam Statuta Roma 1998[1]. Apabila suatu kasus dirujuk kepada penuntut umum oleh Dewan Keamanan PBB yang mengambil tindakan dalam kerangka bab VII Piagam PBB, Statuta Roma 1998 tidak menegaskan tentang aspek teritorial tempat kejadian pelanggaran maupun aspek nasionalitas pelakunya. Dalam hal inisiatif, mahkamah internasional dapat menerapkan yurisdiksinya di wilayah negara yang bukan pihak atas kejahatan yang dicakup oleh mahkamah internasional yang pelakunya bukan warga negara dari negara pihak dalam Statuta Roma 1998[2]. Selain itu kapal dan pesawat udara dalam konteks yuridiksi teritorial dianggap sebagai wilaah dari negara tempat kapal atau pesawat udara itu didaftarkan (the state of regisration)[3]. 2. Yurisdiksi Ratione Temporis (waktu) Selain dibatasi secara teritorial, yurisdiksi organ yudisial juga dapat dibatasi oleh waktu. Salah satu prinsip yang dianggap fundamental dalam suatu hukum adalah asas legalitas, berdasarkan prinsip ini, seserang tidak dapat dianggap melakukan kesalahan dan dijatuhi hukuman apabila tidak ada hukum yang mengatur. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum atas dasar tindakan yang pada waktu dilakukan belum dinyatakan sebagai suatu pelanggaran. 3. Yurisdiksi Ratione Personae Ukuran lain yang menentukan kualitas yurisdiksi suatu organ yudisial adalah kriteria tentang siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum di muka organ yudisial yang bersangkutan. Mengenai hal ini, Statuta Roma 1998 menegaskan bahwa Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi atas orang (natural person). Dengan demikian, Mahkamah Internasional tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili legal person, termasuk juga negara dan organisasi internasional. Penegasan ini dilengkapi oleh ketentuan yang menyatakan bahwa orang yang melakukan pelanggaran secara material masuk dalam Mahkamah Internasional harus menaggung pertanggungjawaban secara individual[4]. 4. Yurisdiksi Ratione Materiae Hal terakhir yang menentukan kinerja yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah materi dan jenis-jenis kejahatan yang dicakup oleh yurisdiksi Mahkamah Internasional. Kejahatan itu diatur dalam Artikel 5-8 Statuta Roma 1998. Empat kategori kejahatan internasional adalah sebagai berikut :
Pengertian kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 :
Yuridiksi Mahkamah Internasional mencakup 2 hal: Yuridiksi mahkamah ini merupakan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa antara 2 negara atau lebih (Jurisdiction Ratione Personae) Yuridiksi Mahkamah Internasional dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: a. Berdasar pasal 36 ayat 1 statuta Berdasar pasal 36 ayat 1 statuta, yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional. b. Doktirn Forum Prorogatum Menurut doktrin ini, yurisdiksi seperti ini (Propogated Jurisdiction) timbul manakala hanya satu negara yang menyatakan dengan tegas persetujuannya atas Yurisdiksi Mahkamah. Kesepakatan pihaj lainnya diberikan secra diam-diam, tidak tegas atau tersirat saja. c. The Optional Clause Pasal 36 Ayat 2 Statuta Berdasar pasal 36 ayat 2 yaitu klausul pilihan, dinyatakan bahwa Negara-negara peserta pada statute dapat setiap waktu menyatakan penerimaan wajib ipso facto yurisdiksi Mahkamah dan tanpa adanya perjanjian khusus terhadap Negara yang menerima kewajiban serupa atas semua sengketa hukum mengenai: – Penafsiran suatu perjanjian – Setiap masalah hukum internasional – Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi, akan merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional – Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran suatu kewajiban internasional 2. Noncontentious (Advisory) Jurisdiction Yaitu dasar hukum yurisdiksi mahkamah untuk member nasehat atau pertimbangan hukum kepada organ utama atau organ PBB lainnya. Nasihat hukum yang diberikan terbatas sifatnya, hanya terkait dengan ruang lingkup kegiatan atau aktifitas dari 5 badan atau organ utama dan 16 badan khusus PBB. a. Pihak nonanggota PBB dan intervensi pihak ketiga Pihak non anggota PBB, Pasal 93 ayat 1 piagam PBB menyatakan bahwa semua anggota PBB ipso facto adalah anggota atau peserta pada statute mahkamah internasional. Pasal 93 ayat 2 piagam menyatakan bahwa Negara-negara nonanggota PBB dapat pula menjadi pihak pada statu mahkamah dengna syarat-syarat yang ditetapkan oleh majelis umum atas rekomendasi dari dewan keamanan. Mengenai intervensi pihak ketiga, suatu Negara dapat pula memohon untuk ikut serta/melakukan intervensi dalam suatu persidangan suatu sengketa manakala Negara ketiga tersebut memiliki kepentingan hukum. Kepentingan hukum dalam arti putusan mahkamah yang akan dikeluarkan dapat berpengaruh kepada kepentingannya. Ketentuan mengenai intervensi ini termuat pula dalam aturan mahkamah yaitu dalam pasal 62 statuta dan rules of the international court of justice pasal 81-86. Untuk sebuah kasus dapat diterima atau admissible di MI, negara sebagai pihak yang beracara harus menerima jurisdiksi dari MI. Penerimaan jurisdiksi di dalam MI ini dapat dalam bentuk: 1. Perjanjian Khusus atau Special Agreement Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Ada 14 kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihak untuk menerima jurisdiksi dari MI, yaitu kasus Asylum (Kolombia/Peru); Minquiers and Ecrehos (Perancis/Inggris); Sovereignty over Certain Frontier Land (Belgia/Belanda); North Sea Continental Shelf (Jerman/Denmark; Jerman/Belanda); Continental Shelf (Tunisia/Libya Arab Jamahiriya); Delimitation of the Maritime Boundary in the Gulf of Maine Area (Kanada/Amerika Serikat); Continental Shelf (Libya Arab Jamahiriya/Malta); Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali); Land, Island and Maritime Frontier Dispute (El Salvador/Honduras); Territorial Dispute (Libya Arab Jamahiriya/Chad); Gabcíkovo-Nagymaros Project (Hongaria/Slovakia); Kasikili/Sedudu Island (Botswana/Namibia); Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia); Corfu Channel (Inggris v. Albania); Arbitral Award Made by the King of Spain on 23 December 1906 (Honduras v. Nikaragua) 2. Ketundukan dari Perjanjian Internasional Dalam bentuk ini, jurisdiksi MI ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada jurisdiksi MI jika terjadi sengketa. Para pihak tinggal memakai dasar ketentuan dari perjanjian internasional tersebut yang mengharuskan untuk menerima jurisdiksi dari MI, “The application shall specify as far as possible the legal grounds upon which the jurisdiction of the Court is said to be based; it shall also specify the precise nature of the claim, together with a succinct statement of the facts and grounds on which the claim is based” Kurang lebih ada 300 perjanjian internasional yang menerima jurisdiksi MI jika ada sengketa. Pada umumnya jurisdiksi MI dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dari perjanjian internasional yang akan dimintakan kepada MI. 3. Deklarasi Ketundukan bagi negara Anggota Statuta MI Pada bentuk ini, Negara yang menjadi anggota dari Statuta MI yang kemudian beracara di MI dapat dalam waktu yang tidak ditentukan untuk menyatakan ketundukannya ke MI, jadi tanpa membuat perjanjian khusus terlebih dahulu atau bersifat compulsory ipso facto. Kurang lebih ada 60 negara di dunia yang memakai cara ini untuk menerima jurisdiksi dari MI. salah satu contoh adalah : “I have the honour, by direction of the Minister for Foreign Affairs, to declare on behalf of the Government of Japan, that in conformity with paragraph 2 of Article 36 of the Statute of the International Court of Justice, Japan recognizes as compulsory ipso facto and without special agreement, in relation to any other State accepting the same obligation and on condition of reciprocity, the jurisdiction of the International Court of Justice, over all disputes which arise on and after the date of the present declaration with regard to situations or facts subsequent to the same date and which are not settled by other means of peaceful settlement. This declaration does not apply to disputes which the parties thereto have agreed or shall agree to refer for final and binding decision to arbitration or judicial settlement. This declaration shall remain in force for a period of five years and thereafter until it may be terminated by a written notice”. 4. Keputusan MI tentang Jurisdiksi MI Jika terjadi sengketa mengenai jurisdiksi MI maka sengketa tersebut akan diselesaikan oleh keputusan MI sendiri. Para pihak dapat mengajukan preliminary objections atau keberatan awal atas jurisdiksi MI. Ada 26 kasus dimana diajukan keberatan awal atas jurisdiksi MI. 5. Interpretasi Putusan Jurisdiksi MI dilihat dari Statuta MI, Pasal 60, dimana MI harus memberikan interpretasi jika diminta oleh baik satu maupun kedua pihak yang beracara. Cara permintaan interpretasi putusan tersebut dapat dalam bentuk perjanjian khusus antara para pihak yang bersengketa, ataupun aplikasi sendiri dari salah satu pihak yang bersengketa. Contoh kasus interpretasi putusan dilakukan oleh negara Kolombia pada kasus Asylum antara Kolombia melawan Peru dan juga negara Nigeria dalam kasus Land and Maritime Boundary antara Nigeria melawan Kamerun 6. Revisi Putusan Ketundukan pada jurisdiksi MI dengan cara ini adalah melalui aplikasi dengan syarat bahwa ada fakta baru (novum) yang belum diketahui MI dan para pihak ketika keputusan itu dibuat dan bukan karena ada unsur kesengajaan dari para pihak. Jangka waktu yang diberikan untuk revisi putusan adalah 10 tahun sejak keputusan dikeluarkan. Contoh untuk kasus revisi putusan adalah pada kasus Continental Shelf yang diajukan oleh negara Tunisia (Tunisia melawan Libya Arab Jamahiriya) E. Hukum Acara dan Proses Beracara dalam Mahkamah Internasional serta Putusan MI Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.
Bagian awal proses beracara dapat dilakukan dengan penyerahan perjanjian khusus (bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima jurisdiksi MI. Perjanjian khusus ini harus berisikan inti sengketa dan identitas para pihak. Karena tidak ada pembagian sebelumnya apakah negara A disebut sebagai Respondent atau Applicant, maka MI membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring pembeda, contoh Indonesia/Malaysia. Selain penyerahan perjanjian, juga ada bentuk lain proses awal beracara di MI, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral) oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi berisikan identitas, Negara yang menjadi pihak lawan dan subjek dari konflik, disebut sebagai Applicant. Sementara negara yang lain disebut Respondent. Untuk bentuk ini, MI menggunakan singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang bersengketa, contoh Indonesia v. Malaysia Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut biasanya ditandatangani oleh wakil atau agent yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan. Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya register) MI dan dilengkapi kekurangan-kekurangan jika ada sesuai dengan statuta MI dan Aturan Mahkamah, maka register MI akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut ke kedua belah pihak dan negara anggota dari MI. Kemudian hal tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah atau Court’s General Lists yang akan diteruskan dengan press release. Versi dua bahasa (Perancis dan Inggris) dari perjanjian atau aplikasi tersebut setelah didaftar, dialih-bahasakan dan dicetak, akan dikirim ke Sekretaris Jenderal PBB, negara yang mengakui jurisdiksi MI dan setiap orang yang memintanya. Tanggal pertama perjanjian atau aplikasi diterima oleh register adalah tanggal permulaan dimulainya proses beracara di MI. Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di MI, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan, yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, MI memberikan kebebasan kepada para pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaan tertulis maupun presentasi pembelaan. 2. Pembelaan Tertulis (Written Pleadings) Pada tahap ini urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, adalah Memorial dan Tanggapan Memorial (Counter Memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan MI menyetujuinya, maka dapat diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply). Batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial maupun tanggapan memorial ditentukan secara sama oleh MI, jika kedua belah pihak tidak mengaturnya. Ketentuan yang serupa juga berlaku dalam hal pemilihan bahasa resmi yang nantinya akan dipakai. Sebuah memorial harus berisikan sebuah pernyataan fakta, hukum yang relevan dan submissions yang diminta, sedangkan tanggapan memorial harus berisikan argumen pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang diminta. Dokumen pendukung biasanya langsung menyertai memorial, akan tetapi jika dokumen tersebut terlalu panjang, maka dimasukan ke dalam lampiran. Di dalam tahap tertulis ini, MI dapat meminta dokumen dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa 3. Presentasi Pembelaan (Oral Pleadings) Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka dimulailah proses presentasi pembelaan atau oral pleadings. MI menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari MI dan para pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum atau open for public, jika para pihak tidak menentukan lain dan disetujui oleh MI. Para pihak mendapat dua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MI. Jika para pihak menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari MI, maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register guna dipersiapkan terjemahan simultan yang telah dilakukan sejak 1965. Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika MI beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untuk hearing tersebut dapat diperpanjang. Akan tetapi menurut Aturan Mahkamah 1978, pasal 60, proses hearing tersebut berada dibawah pengawasan MI dan waktu hearing disesuaikan dengan pertimbangan MI, “The oral statements made on behalf of each party shall be as succinct as possible within the limits of what is requisite for the adequate presentation of that party’s contentions at the hearing. Accordingly, they shall be directed to the issues that still divide the parties, and shall not go over the whole ground covered by the pleadings, or merely repeat the facts and arguments these contain. The Court may at any time prior to or during the hearing indicate any points or issues to which it would like the parties specially to address themselves, or on which it considers that there has been sufficient argument.” 5. Perihal Khusus Selain dari proses normal beracara di MI, juga ada perihal khusus yang dapat mempengaruhi jalannya proses beracara tersebut. Perihal tersebut adalah Keberatan Awal atau Preliminary Objection, Ketidakhadiran Salah Satu Pihak atau Non-Appearance, Keputusan Sela/Sementara atau Provisional Measures, Beracara Bersama atau Joinder Proceedings dan Intervensi atau Intervention. 6. Keberatan Awal (Preliminary Objections) Keberatan awal diajukan oleh pihak yang dituduhkan atau respondent atas dasar aplikasi yang diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah MI dari proses pengambilan keputusan. Adapun alasan yang biasanya digunakan untuk melakukan Keberatan Awal ini adalah bahwa MI tidak mempunyai jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap signifikan oleh MI. Adapun keputusan MI berkenaan dengan Keberatan Awal ini adalah antara lain bahwa MI akan menerima Keberatan Awal tersebut kemudian menutup kasus yang diajukan dan menolak kemudian meneruskan proses beracara Keberatan Awal ini diatur dalam pasal 79 Aturan Mahkamah 1978. 7. Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance) Non-Appearance biasanya dilakukan oleh pihak respondent dengan dasar antara lain menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran pihak respondent ini tidak menghentikan jalannya proses beracara di MI. Proses normal beracara baik tertulis maupun presentasi akan terus berjalan yang kemudian diberikan keputusan MI. 8. Keputusan Sela/Sementara (Provisional Measures) Jika pada suatu waktu dalam proses beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari applikasi yang diajukan, maka pihak applicant dapat meminta MI untuk mengindikasikan usaha-usaha perlindungan (interim measures of protection) atau keputusan sela (provisional measures). MI dapat meminta para pihak untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan efektifitas keputusan MI atas permintaan Keputusan Sela tersebut. Ketentuan mengenai Keputusan Sementara ini diatur di dalam Aturan Mahkamah pasal 73-78 9. Beracara Bersama (Joinder Proceedings) Jika MI menemukan bahwa ada dua pihak atau lebih dari proses beracara yang berbeda, akan tetapi mempunyai argumen dan petitum yang sama atas satu pihak lawan yang sama, maka MI dapat memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings). Para pihak tersebut hanya bisa mempunyai satu hakim ad hoc dengan satu pembelaan baik tertulis maupun presentasi yang digabung untuk melawan satu pihak yang sama. 10. Intervensi (Intervention) MI memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas sengketa yang diajukan. Hak ini dapat diajukan jika Negara tersebut beranggapan bahwa ada kepentingan dari sisi hukum atau legal nature interest yang akan terkena dengan adanya keputusan dari MI. Lebih jauh mengenai intervensi ini akan dibahas pada bab berikutnya. 11. Keputusan (Judgment) Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai. Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir. Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai. Dan, ketiga, MI memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan. Selain itu pendapat hakim MI dibagi atas tiga bagian, yaitu pendapat yang menolak atau dissenting opinion, pendapat yang menyetujui tetapi berbeda dalam hal tertentu atau separate opinions dan pendapat yang menyetujui atau declarations. F. Putusan Mahkamah Internasional Suatu sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut :
Kesepakatan ini dapat dialihkan pada setiap tahap persidangan dengan memberitahukan kepada Mahkamah bahwa mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya kesepakatan, Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (order) yang berisi penghapusan sengketa dari daftar Mahkamah. Contoh hal seperti ini tampak dalam sengketa yang ditangani PCIJ yaitu the Delimitation of the Territorial Waters between Island of Castello and Coasts of Anatolia, Losinger, Bochgrave (1973) 2. Tidak dilanjutkannya persidangan Suatu Negara penuntut atau pemohon setiap waktu dapat memeberitahukan Mahkamah bahwa mereka telah sepakat untuk tidak melanjutkanpersidangan atau kedua belah pihak menyatakan bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya. 3. Dikeluarkannya Putusan (Judgment) Ada beberapa cara yaitu : a. Putusan diterbitkan untuk masyarakat luas Putusan tersebut ipublikasikan secara luas memiliki segi positif yaitu telah memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan hukum internasional dengan argument-argumen hukum dan pendapat –pendapat para hakim dimana telah menjadi “sumber hukum” penting yang kemudian banyak diikuti oleh putusan-putusan selanjutnya. b. Pendapat Para Hakim, terdiri dari : Yaitu suatu pendapat hakim yang tidak setuju dengan satu atau beberapa hal dari putusan Mahkamah, khusunya dasar hukum dan argumentasi dari putusan dan akibatnya mengeluarkan putusan atau pendapat yang menetang putusan Mahkamah tersebut. Yaitu suatu pendapat yang menyatakan dukungan seorang hakim terhadap utusan Mahkamah khusunya mengenai ketentuan hukum yang digunakan dan beberapa aspek yang menurutnya penting, namun ia sendiri tidak sepaham dengan semua atau beberapa argumentasi Mahkamah meskipun akhirnya isi putusan sama dengan Mahkamah. c. Putusan Mengikat Para Pihak Sifat putusan Mahkamah adalah mengikat, final, dan tidak ada banding. Putusan Mahkamah hanya mengikat para pihak yang sengketa dan tidak mengikuti prinsip stare decisis (sifat mengikat preseden) seperti yang dikenal dalam system hukum Common Law. d. Penafsiran dan Perubahan Putusan. Wewenang untuk menafsirkan dan mengubah putusan berada di tangan Mahkamah dengan ketentuan : – Atas permo G. Kasus yang Melibatkan Peran Mahmakah Internasional dalam Penyelesaian Sengketa. 1. Kasus Posisi Terkait dengan peran dan tugas Mahkamah Internasional yang telah diuraikan di atas, maka penulis akan menganalisis tentang kasus yang ditangani oleh Mahkamah Internaional yaitu kasus Pulau Sipadan – Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, dengan kasus posisi sebagai berikut : Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia–Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo”. Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad. Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission / JC & Joint Working Groups / JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan. Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI. Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International. Proses penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan – Ligitan Oleh Mahkamah Internasional. Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara. ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”. Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963. Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut. Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik. Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum. MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa. MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni: v Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an. v Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia. Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”. Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963. Hasil Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan – Ligitan oleh Mahkamah Internasional Sidang International Court and Justice (ICJ) pada tanggal 17 Desember 2002 telah memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang sejak tahun 1970-an menjadi sengketa antara Malaysia dan Indonesia, secara resmi menjadi milik Malaysia. Sehubungan dengan keputusan yang cukup mengejutkan Bangsa Indonesia tersebut, bersama ini kami menyampaikan masukan dan tanggapan sebagai berikut :
Satu hal mendasar yang “terlupakan” dalam UU No. 4/Prpl1960 adalah Pulau Sipadan dan Ligitan tidak dimasukkan dalam wilayah negara kepulauan Indonesia.
Namun dilain pihak Malaysia sejak tahun 1980-an telah melakukan berbagai pembangunan infrastruktur pariwisata bahari di kedua pulau, Sipadan dan Ligitan meskipun masih dalam status sengketa. Indonesia beberapa kali mengajukan protes kepada Malaysia, namun pengembangan pariwisata di kedua pulau berjalan terus.
Dengan telah berlakunya UN,CLOS ‘82 secara resmi diseluruh dunia sejak 16 Nopember 1994, maka Indonesia secara yuridis formal telah diakui sebagai negara kepulauan, termasuk hak-hak dan kewajiban yang melekat pada wilayah negara kepulauan. Salah satu kewajiban Indonesia adalah penyesuaian cara penarikan garis pangkal sesuai dengan ketentuan dalam LJNCLOS ‘82, yang selanjutnya menjadi dasar untuk penetapan perbatasan wilayah laut, meliputi lebar Laut Teritorial 12 mil (pasal 3 LTNCLOS ‘82), Lajur Tambahan (Contigous Zone) 24 mil (pasal 33), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil (pasal 48 dan 57) serta Landas Kontinen selebar 200 mil (pasal 76). Khusus untuk landas kontinen dimana konfigurasi dasar lautnya sedemikian rupa sehingga batas terluamya berada di continental margin yang terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum selebar 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil dari kedalaman laut 2500 meter. Tahun 1989 – 1995 Dishidros TNI-AL telah melaksanakan survei lapangan guna penyesuaian titik dasar yang terdapat dalam Undang-Undang 4/Prp/1960 (200 titik), dimana telah didapatkan 232 titik dasar. Hasil penyesuaian penarikan garis pangkal berdasarkan UNCLOS ‘82, maka didapat 189 titik dasar. Hasil survei inilah (189 titik dasar) yang digunakan sebagai lampiran dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia berupa Peta Iktisar wilayah yuridiksi Negara Kepulauan Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 4/Prpl1960, namun tanpa mencantumkan daftar koordinat titik-titik dasar. Penetapan UU (Undang-Undang) Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini antara lain dimaksud untuk memasukkan (secara hukum) pulau Sipadan dan Ligitan yang tidak tercantum dalam UU No. 4/Prpl1960, namun masih sangat lemah karena batas wilayah negara Republik Indonesia hanya berupa Peta Iktisar, tanpa daftar koordinat titik-titik dasar.
Indonesia mengartikan, garis batas 4 dera at 10 menit LU tersebut berlanjut terus ke laut. Karena itu, Indonesia berpendapat bahwa Konvensi 1891 tidak hanya mengatur batas darat Borneo, melainkan juga batas laut. Hal itu diperkuat dengan Mukadimah Konvensi 1891 yang menyebutkan, Konvensi dibuat untuk menetapkan batas antara wilayah milik Belanda di Pulau Borneo dan negaranegara di pulau tersebut yang berada dalam kekuasaan Inggris. Penafsiran itu pun sesuai dengan Konvensi Wina 1969 Pasal 31 tentang Perjanjian Intemasional yang mengatakan, interpretasi suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan makna kontekstual dan memperhatikan tujuan pembentukan.
Keputusan final ICJ ini meneguhkan kedaulatan Malaysia atas pulau Sipadan dan Ligitan, dilain pihak Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa dan harus menerimanya karena keputusan ICJ bersifat final.
Dalam perjanjian batas maritime kedua negara ini, yang cukup menonjol dan perlu disqsialisasikan untuk Pemda di wilayah perbatasan adalah pulau Christmas yang memiliki wilayah ZEE selebar 38,75 mil (12 mil wilayah kedaulatan dan 26,75 mil wilayah ZEE, kearah Utara) dan Pulau Ashmore (dulu bernama Ashmore Reef) dengan ZEE selebar 24 mil (12 mil wilayah kedaulatan dan 12 mil ZEE).
RANGKUMAN Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah internasional. Pada tahun 1943 pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli London untuk mengkaji masalah tersebut yaitu Inter-Allied Committee yang dipimpin oleh Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil mengeluarkan laporannya pada tanggal 10 Februari 1944 yang memuat beberapa rekomendasi sebagai berikut :
Setelah berbagai pertemuan dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya dicapailah kesepakatan pada Konferensi San Fransisco pada tahun 1945 yang memutuskan bahwa akan dibentuk suatu badan Mahkamah Internasional beru dan badan ini merupakan badan utama PBB (Pasal 92 Piagam PBB). Suatu organisasi internasional harus berlandaskan pada aturan, aturan yang berkenaan dengan MI sebagai sebuah organisasi internasional. Adapun kelima aturan tersebut adalah:
Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Internasional terdiri dari Hakim Mahkamah Internasional, Hakim Ad Hoc, Chamber dan The Registr. Sedangkan mengenai Yurisdiksi, pada dasarnya adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan internasiobal, yang memberi kekuasaan pada pengadilan internasional untuk memeriksa kasus, menerapkan hukum dan mengambil keputusan atasnya. Ada empat kriteria yang menentukan yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu pengadilan internasional,yakni :
Secara umum mekanisme beracara di MI akan dijelaskan berurutan menurut bagiannya. Perlu digarisbawahi bahwa mekanisme beracara ini adalah untuk kasus-kasus yang sifatnya contentious.
Perihal putusan Mahkamah Internasional, Suatu sengketa yang diperiksa oleh Mahkamah Internasional dapat berakhir karena hal-hal sebagai berikut :
Kesepakatan ini dapat dialihkan pada setiap tahap persidangan dengan memberitahukan kepada Mahkamah bahwa mereka telah mencapai kesepakatan. Dalam hal terjadinya kesepakatan, Mahkamah akan mengeluarkan surat putusan (order) yang berisi penghapusan sengketa dari daftar Mahkamah. Contoh hal seperti ini tampak dalam sengketa yang ditangani PCIJ yaitu the Delimitation of the Territorial Waters between Island of Castello and Coasts of Anatolia, Losinger, Bochgrave (1973)
Suatu Negara penuntut atau pemohon setiap waktu dapat memeberitahukan Mahkamah bahwa mereka telah sepakat untuk tidak melanjutkanpersidangan atau kedua belah pihak menyatakan bahwa mereka sepakat untuk menarik kembali sengketanya.
Yang terakhir ialah mengenai analisis kasus Sipadan-Ligitan, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa :
Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010. DAFTAR PUSTAKA Sumber buku : Adolf Huala, S.H, LL.M, Ph.D.2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika Merrilis. J.G. 1986. Penyelesaian Sengketa Internasional.Bandung : Tarsito. Disadur oleh Achmad Fauzan S.H. Suryokusumo, Sumaryo. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: FHUP, 2006. Bowett, D.W, Q.C.LL.D. 1991. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. Suryokusumo, Sumaryo. 2007. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : PT Tatanusa Setianingsih Sri, Suwardi.2004. Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Pers) Siswanto,Arie, 2006. Yurisdiksi Material, Bogor : Ghalia. Starke,J.G, 2000. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta : Sinar Grafika Sumber Internet : http://isdianto.blogspot.com/2008/07/kemenangan-malaysia-atas-p-sipadan-p.html diunduh : Rabu, 8 desember 2009 pk. 23.30 dpk-go.id Desember 30, 2007 in umum ww.wikipedia.com Sumber Koran / majalah : SK. Kompas, Sipadan-Ligitan, Ujian Kematangan Suatu Bangsa, Jakarta, 18 Desember 2002. SK Kompas, Sangir Bobol, Indonesia Terancam, Jakarta, 23 Desember 2002. Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK. Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002. Hasjim Djalal, Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi ?, SK Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003
[1] Statuta Roma 1998, Art.4.2
[2] Statuta Roma 1998, Art.12.2
[3] Statuta Roma 1998, Art.12.2.(a)
[4] Statuta Roma 1998,Art.25.2 |