Lembaga yang bertugas menyelenggarakan pemilihan umum di daerah adalah…


17 April 2022

Jakarta (SIB) - Anggota Dewan Kehormata n Penyelenggara Pemilu ( DKPP), Didik Supriyanto menilai, pengelenggaraan pemilihan umum ( pemilu) di Indonesia cukup kompleks.

Sebab, dalam penyelenggaraannya, ada tiga lembaga pemilu yang melaksanakannya yaitu DKPP, Badan Pengawas Pemilu serta Komisi Pemilihan Umum.

“Di tempat lain itu penyelenggara pemilu cuma satu, bahkan di Jerman, penyelenggara pemilu itu BPS,” ujar Didik dalam diskusi virtual bertajuk ‘Pers, Bawaslu, dan Pilkada”, Rabu (4/11).

“Jadi satu dianggap enggak cukup, dua, enggak cukup, bikin tiga,” kata dia.

Meski demikian, menurut Didik, setiap lembaga tidak memiliki tugas yang saling tumpang tindih. Pasalnya, yang bertugas menyelenggarakan dan melaksanakan tahapan pemilu adalah KPU.

Sedangkan, yang melakukan pengawasan adalah Bawaslu. Adapun DKPP bertugas untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.

Menurut dia, penyebab banyaknya lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia karena pengalaman para pemain politik di Indonesia, yaitu partai politik, fraksi di DPR hingga presiden.

Para pemain politik inilah yang kemudian membuat Undang-undang dan membentuk adanya lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. “Berdasarkan pengalaman mereka, dalam pelaksanaan tahapan pemilu banyak hal-hal yang terjadi, kompleksitas di satu sisi dan sisi lain dalam kompetisi menyebabkan terjadinya banyak pelanggaran,” papar Didik.

Menurut Didik, pelanggaran yang kerap terjadi pada tahapan awal pemilu di Indonesia hanya dua jenis, yakni pelanggaran administrasi dam pelanggaran tindak pidana.

Namun, menjelang pemilu tahun 2014 ditemukan pelanggaran-pelanggaran lain, misalnya, kode etik. “Menurut pembuat Undang-undang, lembaga-lembaga ini perlu dikontrol, KPU dan jajarannya perlu dikontrol demikian juga bawaslu,” ujar Didik.

“Inilah hal-hal terjadi pada saat pelaksanaan tahapan pemilu, sehingga untuk mengurusi semua ini diperlukan tiga lembaga sekaligus,” tutur dia.

Tak Lagi Digunakan

Terpisah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) tidak akan digunakan lagi dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2020.

Hal itu menyusul rencana KPU yang akan melakukan perubahan 2 Peraturan KPU (PKPU) terkait pemungutan suara dan penghitungan suara, serta rekapitulasi suara.

Hal itu diungkapkan oleh Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik dalam Focus Group Discussion (FGD) bersama Bawaslu, DKPP, dan Kementerian/Lembaga terkait pada hari Selasa (3/11) kemarin. FGD ini merupakan tindaklanjut dari uji publik terkait rancangan perubahan PKPU 8 Tahun 2018 dan PKPU 9 Tahun 2018 beberapa hari lalu.

Dalam forum tersebut, Evi menyampaikan secara bergantian draft perubahan PKPU 8 maupun 9 Tahun 2018. Perubahan baik menyangkut penyesuaian isi pasal, penambahan pasal maupun penghapusan pasal yang dianggap tidak lagi relevan.

Beberapa pasal di PKPU 8 Tahun 2018 yang mengalami perubahan, kata dia, mulai dari penyebutan nomenklatur pengawas (di tingkat kab/kota serta kelurahan/desa dari Panwaslu kab/kota menjadi Bawaslu kab/kota dan PPL menjadi Panwaslu kelurahan/desa), perubahan penamaan formulir (dari kode ke nama peruntukannya), atau penambahan pasal yang mengatur perlengkapan penggunaan Sirekap.

"Adapun pasal di PKPU 9 Tahun 2018 yang mengalami perubahan mulai dari penghapusan istilah Situng yang tidak lagi digunakan hingga tata cara koreksi rekapitulasi melalui Sirekap apabila ada dari saksi," kata Evi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (4/11).

Ketua KPU Arief Budiman menambahakan, draft PKPU terkait Pemungutan dan Penghitungan ada pengaturan baru yang berkaitan dengan keadaan pandemi Covid-19.

"Sementara untuk draft PKPU Rekapitulasi juga diatur tentang Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang juga baru akan digunakan pada Pemilihan 2020," ujar Arief.

Menimbang pentingnya dua rancangan PKPU ini, Arief pun berharap lembaganya mendapat masukan dari peserta FGD untuk kedua draft PKPU tersebut sebelum dibawa ke parlemen guna dibahas bersama DPR dan pemerintah (Kemendagri).

"Mudah-mudahan bisa memberikan catatan dan semoga bisa selesai cepat dan bisa diimplementasikan di Pemilihan 2020," pungkasnya - (Kps/Okz/f)

KELEMBAGAAN DKPP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan, Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat (Pasal 1 ayat (7)). Selanjutnya, Pasal 1 ayat (24) menyebutkan, “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu”.

Penjelasan tentang DKPP diatur terinci pada Bab III, Pasal 155-Pasal 166. Tugas DKPP disebutkan pada Pasal 156 ayat (1), yakni:

  1. menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu; dan
  2. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Selanjutnya, DKPP memiliki kewenangan antara lain:

  1. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
  2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;
  3. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik; dan
  4. memutus pelanggaran kode etik (Pasal 159 ayat (2).

Kewajiban DKPP diuraikan pada Pasal 159 ayat (3), yaitu;

  1. menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi;
  2. menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu;
  3. bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas pribadi; dan
  4. menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

Subjek penanganan perkara DKPP (subjectum litis) terdiri atas; Pengadu dan Teradu. Tentang Pengadu disebutkan pada Pasal 458 ayat (1) yaitu;

  1. Peserta Pemilu,
  2. Tim kampanye,
  3. Masyarakat, dan/atau pemilih yang dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP.

Sedangkan Teradu terdiri dari atas 3 unsur, yaitu;

  1. unsur KPU; Anggota KPU, Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kab/Kota, Anggota KIP Aceh, Anggpta KIP Kab/Kota, Anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS), Anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN);
  2. unsur Bawaslu; Anggota Bawaslu, Anggota Bawaslu Provinsi, Anggota Bawaslu Kab/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Desa/Kelurahan, dan Pengawas TPS, dan Anggota Panwaslu Luar Negeri;
  3. Jajaran Sekretariat Penyelenggara Pemilu

Meskipun teradu adalah semua jajaran penyelenggara Pemilu dari Pusat sampai tingkat paling rendah, pola penanganan dugaan adanya pelanggaran kode etik dilakukan secara berjenjang:

  1. Berdasarkan Pasal 155 ayat (2) “DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi dan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota”.
  2. Untuk perkara dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota PPLN, anggota KPPSLN, dan Panwaslu LN diselesaikan oleh DKPP.

Penjelasan tentang Tim Pemeriksa Daerah yang selanjutnya disebut TPD, diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 164 ayat (1), (2), (3) dan (4), yaitu:

  1. DKPP dapat membentuk tim pemeriksa daerah untuk memeriksa dugaan adanya pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu di daerah.
  2. Tim pemeriksa daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan memeriksa pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota.
  3. Tim pemeriksa daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan memeriksa dan dapat memutus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PPK, PPS, KPPS, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Desa/Kelurahan, dan Pengawas TPS.
  4. Tim pemeriksa daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) unsur keanggotaannya terdiri dari unsur DKPP, KPU Provinsi, Bawaslu Provinsi, dan unsur masyarakat sesuai kebutuhan.

Putusan DKPP bersifat final dan mengikat (final and binding). Pada tahun 2013, sifat putusan yang diatur sejak DKPP masih menggunakan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pernah di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh kelompok masyarakat sipil. Hasilnya, melalui Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013, MK memutuskan bahwa sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.

Pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, “Sifat putusan DKPP yang final dan mengikat” juga tidak berubah (Pasal 458 ayat (10). Adapun proses pengambilan keputusan, diatur dalam Pasal 458 ayat (10), (11) dan (12), yaitu:

  1. DKPP menetapkan putusan setelah melakukan penelitian dan/atau verifikasi terhadap pengaduan tersebut, mendengarkan pembelaan
    dan keterangan saksi, serta mempertimbangkan bukti lainnya.
  2. Putusan DKPP berupa sanksi atau rehabilitasi diambil dalam rapat pleno DKPP.
  3. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dapat berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian tetap untuk Penyelenggara Pemilu.
  4. Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat.
  5. Penyelenggara Pemilu wajib melaksanakan putusan DKPP.