Khalifah yang memerintahkan penulisan hadis pada masa Dinasti Umayyah adalah Khalifah

UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SEMANGAT

PENULISAN HADIS

Saifuddin Zuhri Qudsy

Email:

Abstrak

Here I try to uncover various foundation of time and space underlying the

nature of caliph ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz’s thought who formally

commanded codifying hadith. I use Peter L. Berger theory of sociology of

knowledge to get an understanding of how the process ‘Umar bin ‘Abdul

‘Aziz that has lived in the luxuriousness dynastic of Umayyah capable to

pay attention on hadith whereas formerly it was allowed running wild in the

arms individual thalib hadith and didn’t get attention from any Umayyad

caliphate.

Kata Kunci: periodesasi hadis, kodifikasi hadis, sosiologi pengetahuan

A. Pendahuluan

alam sejarah periodesasi hadis versi Hasbi Ash-Shiddiqiey,

terdapat tujuh periodesasi. Masa wahyu dan pembentukan

masyarakat

(ashr wahy wa al-taqwim)

(13 SH-11H); Periode

pembatasan dan penyelidikan hadis

(ashr tatsbut wa al-iklal min al-riwayah)

(12H-40H); Periode Penyebaran hadis ke berbagai wilayah

(ashr intisyar

riwayat ila al-amshar)

(41H- akhir abad I H); Periode Penulisan dan

Pembukuan Hadis secara Resmi

(ashr al-kitabat wa al-tadwin).

(II H-akhir);

Periode Pemurnian, Penyehatan, dan penyempurnaan

(ashr tajrid wa al-

tashih wa al-tanqih)

(awal IIIH-akhir); Periode pemeliharaan, penertiban,

dan penghimpunan

(ashr Tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u)

258 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

(IV H-Jatuhnya Baghdad (656H); Periode pensyarahan, penghimpunan, dan

pentakhrijan

(al-Syarh, wa al-jam’u wa takhrij)

(656 H-Sekarang).1

Dari tujuh periodesasi yang disebutkan di atas, penulis tertarik untuk

membahas masa periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi,

dengan Umar bin Abdul Aziz sebagai pemrakarsanya. Semangat penulisan

hadis yang pada awalnya dilakukan orang-perorang mulai masa sahabat

hingga tabiin kemudian menarik perhatian salah seorang khalifah Umayyah

untuk melakukan penyelamatan hadis secara nasional dan dilakukan

serentak. Hal ini pula yang kemudian membuat kami tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai sejarah sosial terbentuknya gagasan

mengenai pengumpulan hadis secara resmi yang dilakukan pada masa

khalifah Umayyah ini.

Latar belakang historis mengenai hadis, yakni bagaimana umat Islam

pada waktu itu memperlakukannya, dan latar kehidupan Umar bin Abdul

Aziz yang sangat berbeda dengan khalifah-khalifah Umayyah lainnya

membuat kami tertarik untuk menelaahnya melalui analisis sosiologi

pengetahuan.2 Sosiologi pengetahuan mencoba untuk menganalisis dan

menghubungkan berbagai ide dengan realitas masyarakat serta menelaah

setting historis tempat ide-ide tersebut diproduksi dan diterima. Sehingga

dengan demikian kami akan mengkaji pertama-tama hadis sebagai salah

satu sumber pengetahuan Islam, kemudian Umar bin Abdul Aziz, sebagai

pencetus kodifikasi hadis, dengan mengkaji berbagai ide-ide dan sejumlah

faktor sosial yang membentuk dan mendorong dia melakukan kodifikasi

hadis.

B. Memahami Hadis dalam Sistem Pengetahuan Masyarakat Islam

Hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah al-Qur’an. Pada

masa Rasulullah, hadis melekat dalam memori para sahabat dan belum

banyak ditulis, bahkan di awal-awal wahyu, hadis dilarang untuk dicatat

karena khawatir bercampur dengan al-Qur’an. Para sahabat merupakan

1 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy,

Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,

(Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 30.

2 Terma sosiologi pengetahuan merupakan satu terma yang diperkenalkan pertama kali

oleh Marx Scheler yang kemudian diracik dan dikemas dengan sangat apik oleh Karl

Manheim dan Peter L. Berger. Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,

The Social

Construction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge

(England: Penguin,

1991), hlm. 16.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 259

penyambung lidah Rasulullah. Banyak diantara mereka yang mendengar

berbagai hal secara langsung dari Rasulullah. Bahkan Umar bin Khattab

secara bergantian dengan tetangganya menghadiri majlis nabi Saw. Namun

banyak diantara sahabat yang tidak menulisnya karena disamping ada

larangan, alat-alat pendukung tulis menulis pada saat itu masih belum

banyak, dan yang paling utama adalah bahwa pada umumnya masyarakat

masih belum melek tulisan serta kuatnya tradisi hafalan mereka.

Pada masa khulafaur Rasyidin, sebenarnya sudah mulai tampak

kebutuhan akan hadis, terutama pada masalah-masalah yang khalifah

sendiri tidak tahu dan belum mendapatkannya secara langsung dari

Rasulullah. Namun hal itu masih sangat minim sekali, dan hanya terbatas

pada ketidaktahuan sahabat pada satu kasus yang pernah ada di masa

Rasulullah, tapi kemudian diselesaikan oleh sahabat yang lain yang

menyaksikannya secara langsung pada masa Rasul. Perkembangan Islam

yang semakin pesat pada masa Umar bin Khattab membuat perkembangan

meniscayakan perlunya tenaga pengajar agama, penyambung lidah

Rasulullah serta penyampai petuah-petuah Rasulullah mengenai berbagai

hal yang terkait dengan kehidupan manusia.

Bahkan setelah terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan,

kebutuhan akan hadis semakin meningkat. Para sahabat semakin berhati-

hati dalam menerima hadis karena telah muncul benih-benih hadis palsu

pada masa Ali bin Abi Thalib dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin

Abu Sufyan.3 Misalnya hadis

“Ali sebaik-baik manusia, barang siapa

meragukannya maka dia kafir.”

Hadis digunakan oleh kelompok pembela

Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh lai adalah

“Sosok yang

berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan Muawiyyah”

yang digunakan

sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru setelah khalifah Ali, yakni dinasti

Umayyah dengan Muawiyah sebagai khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah

yang merupakan pendukung sayyidina Ali merupakan golongan yang

banyak memalsukan hadits. Al-Kholili dalam kitab

Irsyad

mengatakan

bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari 13.000 hadis yang isinya

3 Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy,

Sejarah

dan Pengantar……,

hlm. 46.

260 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan kecaman terhadap dua

Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.4

Pada periode keempat, yakni hadis pada masa

Intisyar riwayah il al-

amshar

(penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak sahabat

kecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan penyambung lidah

Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-cerita yang berkait

dengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja pengumpulannya

baru sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum ada kordinasi dengan

pihak para khalifah Umayyah.

Di sisi lain, masa-masa ini sebenarnya merupakan masa-masa rawan

hadis palsu, karena khawarij, Syi’ah senantiasa merongrong kekuasaan bani

Umayyah, sedangkan kelompok bani Umayyah juga membutuhkan

legitimasi untuk kekuasaannya agar diakui sehingga hadis palsu di sini tidak

terelakkan. Dalam bahasa lain, pada dasarnya hadis palsu dipengaruhi oleh

situasi politik kekuasaan yang berlangsung pada itu.

C. Mengenal Sosok Umar bin Abdul Aziz

Nama lengkapnya adalah Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan

bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf

bin Qushai bin Kilab, al-Quraisy al-Madani. Dia lahir pada tahun 61 H dan

wafat pada 101 H. Ayahnya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan merupakan

seorang yang pernah menjabat pemimpin kota Mesir selama kurang lebih

20an tahun dan di sana pulalah Umar lahir. Ayahnya adalah orang yang

memiliki nasab yang bagus, pola kehidupan masa musa yang juga tidak

kalah bagus, Abdul Aziz adalah seorang yang cinta pada hadis-hadis

Rasulullah. Dia sering hadir di majlis Abu Hurairah dan para sahabat lain.5

Sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin

Khaththab. Umar bin Abdul Aziz biasa dikenal juga dengan sebutan Umar

II. Menurut sebagian sumber, pada masa ketika Umar bin Khaththab

menjadi khalifah, dia sering ronda pada malam hari. Khalifah Umar sangat

terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah

kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak

4 Abu Ya’la al-Kholil bin Abdillah,

Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits,

dalam CD

Maktabah Syamilah.

5 Ali Muhammad Muhammad al-Shallabi,

Al-Khalifah al-Rasyid wa al-Muslih al-Kabir

Umar bin Abdil Aziz,

tp. tt. Hlm. 10.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 261

perempuan dan ibunya yang berasal dari bani Hilal, seorang penjual susu

yang miskin.

Kata ibu “

Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini

supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari.

Anaknya menjawab

Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul

Mukminin melarang kita berbuat begini.

Si ibu masih mendesak “

Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan

tahu.

Balas si anak

Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul

Mukminin tahu.

Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak

gadis itu.6 Lalu Umar meminta pembantunya, Aslam untuk menandai

tempat dia mendengar percakapan antara ibu dan puterinya tersebut.

Kemudian keesokan harinya, perempuan dan putrinya itu dicari dan

ternyata sang ibu adalah seorang janda dan puterinya masih gadis. Melihat

hal ini, Umar bin Khattab kemudian mengumpulkan putera-puteranya dan

mengatakan, “siapa diantara kalian yang mau menikahi gadis tersebut?

Demi Allah, bila aku masih tertarik kepada perempuan maka tentu aku

tidak akan mengusulkannya pada orang lain” Lalu Asim berkata: “Nikahkan

dia denganku, karena hanya aku yang masih bujang. Kata Umar,

Semoga

lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang

akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam.

” Asim segera menikahi gadis

miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila

yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu

Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin

Abdul-Aziz. jadi Umar bin Khattab adalah mbah buyutnya Umar bin Abdul

Aziz dari jalur ibunya.

Ciri-ciri Umar bin Abdul Aziz adalah kulitnya berkulit coklat sawo

matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung,

dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda. Hamzah bin Sa’id,

menceritakan peristiwa ini bahwa “Suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin

menemui bapaknya sedang pada waktu itu dia masih bocah, lalu seekor

kuda menanduknya sehingga melukainya, maka bapaknya sambil mengusap

6 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi,

Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil

Aziz,

(Iskandariyah: Daar Ibnu Khaldun, 1996), hlm. 9.

262 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

darah yang mengalir seraya mengatakan, ‘Kalau engkau bisa menjadi orang

Bani Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.’”7

Sebenarnya garis nasab Umar II tidak berjalur darah kekhilafahan,

karena dia adalah putra dari Abdul Aziz bin Marwan sedangkan jalur

kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin Marwan. Pada masa

bujangnya Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu dari

menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan. Tak heran jika ia telah hafal al-

Qur’an di masa kecilnya. Kemudian dia meminta kepada ayahnya agar

mengizinkannya untuk melakukan

rihlah

(perjalanan jauh) dalam

thalabul

ilmi

(menuntut ilmu) menuju Medinah. Di sana dia belajar agama menimba

ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Medinah. Di Medinah dia belajar

kepada Abdullah bin Umar bin Khattab dan Anas bin Malik, Dan di sanalah

pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Allah

menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih

dalam urusan agama. Bahkan di Medinah dia sering dipuji oleh Anas bin

Malik, misalnya perkataannya “Belum pernah aku dipimpin shalat yang

shalatnya mirip dengan shalat Rasulullah selain dari pemuda ini, yakni

Umar bin Abdul Aziz.”8

Dia dikenal pula dengan kezuhudannya, sebagaimana dikatakan dalam

sebuah kisah Ahmad bin Abi al-Hiwari, “Aku mendengar Abu Sulaiman ad-

Daroni dan Abu Shofwan keduanya tengah memperbincangkan Umar bin

Abdul Aziz dan Uwais al-Qorni. Berkata Abu Sulaiman kepada Abu

Shofwan, ‘Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang lebih zuhud ketimbang

Uwais al-Qorni.’ Maka Abu Shofwan menimpali, ‘Mengapa?’ Beliau

menjawab, ‘Karena Umar bin Abdul Aziz telah memiliki dan menguasai

dunia namun ia tetap zuhud darinya.’ Maka Abu Shofwan membela seraya

mengatakan, ‘Seandainya Uwais diberi kekuasaan terhadap harta tentu ia

akan berbuat sebagaimana yang diperbuat Umar bin Abdul Aziz!’ Maka

berkata Abu Sulaiman, ‘Jangan samakan orang yang telah mencoba dengan

orang yang belum mencobanya, karena seorang yang tatkala dunia berada di

tangannya namun ia tetap tidak menoleh harapan darinya, itu lebih utama

daripada orang yang tidak pernah diuji dengan dunia sekalipun sama-sama

7 Abu Faiz al-Atsari, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan Penegak

Keadilan

,

” Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10, 1432 H.

8 Al-Suyuthi,

Tarikh Khulafa’,

terj. Fachry, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 281.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 263

ia tidak menaruh harapan darinya.’”9 Hal senada diungkapkan oleh Malik

bin Dinar, dia berkata: “Orang-orang berkomentar mengenaiku, “Malik bin

Dinar adalah orang zuhud.” Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud

hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun

ditinggalkannya.”10 Umar bin Abdul Aziz ketika menjadi khalifah memiliki

satu pakaian saja, dan dia tidak berpakaian jika pakaiannya dicuci.

Di Medinah, Umar bin Abdul Aziz juga belajar pada salah satu dari

tujuh ahli Fiqh Medinah, yakni Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin

Mas’ud. Dia belajar dari Shalih bin Kaisan, salah seorang tabiin senior,

yang memang ditugasi Abdul Aziz agar mengajari dan mendidik Umar.

Setelah ayahanda meninggal dunia Umar diminta untuk tinggal bersama

pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia dinikahkan dengan

putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan.11 Fathimah

memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara

perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin

Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana. Istrinya yang lain adalah Lamis

binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad.

Umar II dikarunia empat belas anak. Diantaranya adalah Umar bin

Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah

Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-

Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan,

Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah. Ia memiliki tiga istri.12

Ketika dia menjadi khalifah, dia mengatakan sesuatu yang sangat ekstrim

kepada istrinya, Fathimah, “Wahai Fatimah, saat ini aku telah menjadi

khalifah, dan saya tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang dengan

perempuan, oleh karena itu terserah kepadamu, apakah kamu akan bersabar

bersamaku atau kamu boleh meninggalkanku jika kamu mau.” Dengan

menitikkan air mata, istrinya menjawab, “Saya akan bersabar.” Suatu hal

yang tentu sangat berat bagi perempuan yang telah bersuami. Ketika Umar

II meninggal, Fathimah berkata “Demi Allah, Umar tidak pernah mandi

9 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi,

Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil

Aziz……,

hlm. 184.

10 Ibnu Katsir,

Al-Bidayah wa al-Nihayah,

tt.tp. hlm. 699.

11

Ibid.

12 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi,

Siiratu wa Manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil

Aziz……,

hlm. 314-315.

264 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

besar karena berhubungan suami istri atau karena mimpi basah selama dia

menjadi khalifah hingga dia meninggal.13

D. Kiprah Politik Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi Khalifah

Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sempat menempati

posisi strategis. Diantaranya pada tahun 706 M ketika berumur 25 tahun dia

diangkat sebagai gubernur Medinah setelah ayah mertuanya meninggal. Dia

menjadi gubernur Medinah sekitar 7 tahun. Penampilannya sebagai

gubernur berbeda dari gubernur lainnya karena ia sangat adil dalam

memerintah. Di Medinah, dia membentuk satu ‘dewan penasihat’ yang

beranggotakan para ulama yang berpengaruh di kota itu. Dalam dewan itu,

ia bersama ulama mendiskusikan berbagai masalah penting yang berkaitan

dengan agama, urusan rakyat dan pemerintahan. Melalui dewan itu, ia

berusaha mempersatukan pandangan antara umara (pemerintah) dan ulama

dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi rakyat dan

pemerintah.

Namun, kepiawaiannya dalam memimpin suatu daerah menyebabkan

kecemburuan dari gubernur daerah lain. Kemudian pada masa al-Walid I dia

diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur karena hasutan dari al-

Hajjaj bin Yusuf, gubernur Irak pada waktu itu, kepada khalifah al-Walid.

Dalam literatur sejarah, Al-Hajjaj adalah sosok gubernur Iraq yang lalim,

sehingga banyak warga Iraq yang tidak kerasan tinggal di wilayah tersebut

dan hijrah ke Medinah. Umar bin Abdul Aziz tidak menyukai al-Hajjaj

karena sikapnya tersebut, sehingga ketika al-Hajjaj hendak melaksanakan

haji, Umar kemudian mengirim surat kepada khalifah al-Walid agar tidak

memperkenankan al-Hajjaj lewat Medinah. Lalu al-Walid menggaransi hal

ini dan memenuhi permintaan Umar II. Al-Walid menyurati Hajjaj bin

Yusuf, “Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz meminta kepadaku agar kamu

tidak melewati daerahnya. Oleh karenanya jangan melewati daerah orang

yang membencimu.” Sehingga Hajjaj pun menghindari Madinah.14

Namun hal ini dibalas oleh al-Hajjaj dengan mengatakan kepada al-

Walid bahwa Medinah dan Makkah membutuhkan gubernur yang baru yang

13 Kuliah Umum Dr. Mohammad Musa al-Shareef,

http://www.youtube.com/watch?v=Uwe0221d7VA, diunduh pada 20 Oktober 2012.

14 Abdullah bin Abdul Hakam,

Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak Keadilan,

terj.

Habiburrahman Syaerozi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 38-39.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 265

lebih baik dari Umar II. Al-Walid kemudian termakan provokasi al-Hajjaj

sehingga memberhentikan Umar II dari jabatan gubernur. Namun, hanya

saja beberapa tahun kemudian al-Hajjaj dicopot dari jabatannya dan dilucuti

pula orang-orang setianya, karena mereka tidak mau mengakui Sulaiman

sebagai khalifah. Dan ketika meninggalnya Hajjaj bin Yusuf, Umar bin

abdul Aziz berkata “sujudku untuk Allah karena berakhirnya masa hidup

Hajjaj.15 Menurut Imam al-Suyuti, ketika al-Walid berkuasa, al-Walid ingin

menghentikan Sulaiman sebagai putera mahkota dan penerus khalifah

dengan menggantikannya pada anaknya. Banyak orang dan kelompok yang

rela, baik secara sukarela maupun terpaksa, dengan upaya al-Walid ini.

Namun Umar bin Abdul Aziz menolaknya dengan mengatakan kepada

Sulaiman “di pundak kami ada baiat.” Dan dia terus menerus menyatakan

pendapatnya ini hingga al-Walid marah dan memasukkan dirinya ke dalam

kamar sempit dengan jendela yang tertutup rapat dengan harapan dia mati

karena sesak nafas dan kelaparan. Namun setelah empat hari, dia diberikan

ampunan. Para pengawal mendatangi Umar dan mendapati kepalanya telah

miring.16

Pada masa Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan, Umar II diangkat

sebagai katib (sekretaris) bahkan wazir, disamping Roja’ bin Haiwah.

Dalam sebuah sumber dinyatakan bahwa Roja’ bin Haiwah (Wazir khalifah

Sulaiman yang berasal dari Palestina) berkata, “Pada hari Jum’at, khalifah

kaum muslimin pada waktu itu, Sulaiman bin Abdul Malik, mengenakan

pakaian berwarna hijau lalu ia melihat ke arah cermin seraya berkata,

‘Sungguh demi Allah aku adalah seorang pemuda yang menjadi raja.’” Lalu

beliau berangkat sholat bersama kaum muslimin dan ia kembali ketika hari

hari telah menjadi sangat panas. Setelah usia beliau telah lanjut ia menulis

surat wasiat bahwa penggantinya kelak adalah putranya sendiri yaitu Ayub

bin Sulaiman namun ia masih kecil dan belum baligh, maka aku (Roja’ bin

Haiwah) mengatakan, ‘Apa yang telah engkau persiapkan wahai Amirul

Mukminin, sesungguhnya yang menjaga seorang khalifah kelak di alam

kuburnya adalah kebaikannya karena telah menunjuk penggantinya yang

shalih.’ Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku akan menulis surat

wasiat setelah beristikharah kepada Allah perihal penggantiku kelak.’

15

Ibid.,

hlm. 38.

16 Al-Suyuti,

Tarikh Khulafa’……..,

hlm. 280-281.

266 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

Namun, setelah berlalu satu atau dua hari tiba-tiba beliau membakar surat

wasiat yang telah ia tulis lalu memanggilku dan bertanya, ‘Menurutmu

bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?’ Aku katakan, Beliau saat ini

sedang menghilang di kota Konstantinopel dan tidak ada kabar berita

apakah ia masih hidup atau telah meninggal sebagaimana engkau ketahui.’

Beliau melanjutkan, ‘Wahai Roja’, kalau begitu siapa orang yang pantas

menjadi penggantiku?’ Aku katakan, ‘Itu berada pada keputusanmu, aku

hanya ingin tahu siapa orang yang engkau pilih kelak.’ Khalifah

mengatakan, ‘Bagaimana menurutmu dengan Umar bin Abdul Aziz?’ Aku

katakan, Aku mengetahui siapa beliau, beliau adalah seorang yang jujur dan

memiliki keutamaan.’ Lalu beliau menandaskan, ‘Kalau begitu aku akan

tetapkan bahwa ia adalah penggantiku, tetapi bila aku tidak menetapkan

salah satu dari keturunan Abdul Malik pasti akan terjadi fitnah, dan mereka

tidak akan membiarkan kepemimpinan berpindah dari tangan mereka

kecuali bila aku tetapkan salah satu keturunan mereka adalah pengganti

setelah Umar bin Abdul Aziz.’ Maka aku katakan, ‘Kalau begitu, tetapkan

saja Yazid bin Abdul Malik —dan tatkala itu beliau sedang tidak di

tempat—sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz kalau memang hal itu

akan membawa kepada keridhaan mereka.’ Kemudian khalifah Sulaiman

bin Abdul Malik menuliskan surat wasiat penetapan Umar bin Abdul Aziz

sebagai penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik adalah pengganti setelah

Umar bin Abdul Aziz, dan tulisan ini ditutup dan disegel.’”17 Sebelum

Sulaiman wafat, Sulaiman mengatakan kepada para pembesar Umayyah,

dengarkan dan patuhi perintah-perintah orang yang namanya disebutkan

dalam surat ini, lalu mereka yang hadir menjawab, “baik kami akan

mendengar dan mentaatinya”. Ketika Sulaiman telah tiada, isi surat

tersebut dibacakan oleh Roja’: “Ini tulisan dari Abdullah Sulaiman, amirul

mukminin kepada Umar bin Abdul Aziz, bahwasanya aku memberikan

mandat kepadanya untuk menggantikanku sebagai khalifah, kemudian

setelah kepemimpinan dia penggantinya adalah Yazid bin Abdul Malik.

Maka dengarlah dan patuhlah kepada dirinya, bertakwalah kalian dan

jangan berselisih pendapat, niscaya dia akan memuaskan kalian.18 Namun

Hisyam yang mendengar nama Umar II langsung berkata; “Tidak, demi

17 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi,

Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil

Aziz……,

hlm. 45. Cek pula

Min A’lam al-Salaf,

Biografi Umar bin Abdul Aziz, hlm. 62.

18

Ibid.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 267

Allah dia seharusnya tidak menjadi khalifah kita.” Roja menjawab: “Jadi

jika kamu tidak patuh maka kami akan memenggal lehermu.” “Berdirilah

dan baiatlah dia” tegas Roja’ kepada Hisyam bin Abdul Malik. Akhirnya

dengan raut muka marah terpaksa dia membaiat Umar bin Abdul Aziz.

dalam versi lain, ketika mendengar Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti

khalifah Sulaiman, Hisyam berkata, “Bah”, lalu seorang dari ahli Syam

langsung mencabut pedangnya dan mengatakan “Kau berani mengatakan

‘bah’ pada perkara yang telah diputuskan oleh amirul mukminin?! Lalu

Hisyam baru reda ketika disebutkan pengganti Umar bin Abdul Aziz adalah

Yazid bin Abdul Malik.19

Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ia bercerita, “Seusai Umar

bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik dan baru keluar

dari pekuburan ia mendengar suara hentakan kaki kendaraan (hewan

tunggangan), lalu ia bertanya, ‘Suara apa itu?’ Lalu dijawab, ‘Itu adalah

suara kendaraannya khalifah wahai Amirul Mukminin, aku mendekatkannya

agar engkau menaikinya.’ Ia menjawab, ‘Siapa aku ... aku tidak pantas

menaikinya ... jauhkan itu dariku, dekatkan saja keledaiku.’ Lalu aku

dekatkan keledainya lalu beliau menaikinya.20

Kemudian datang pengawal khalifah di depan beliau dengan membawa

tombak, lalu beliau mengatakan, ‘Menjauhlah kalian dariku, siapa aku ...

aku hanyalah salah satu di antara kaum muslimin.’ Lalu beliau berjalan dan

manusia mengikutinya hingga mereka sampai ke masjid, lalu beliau naik

mimbar dan manusia berkumpul kemudian beliau mengatakan, ‘Wahai

sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini

(kepemimpinan), tiadanya kesepakatan dariku sebelumnya, tidak pula ada

permohonan atau musyawarah dari kaum muslimin, maka dengan ini aku

umumkan bahwa aku telah melepas kewajiban kalian untuk berbai’at

kepadaku. Maka silakan kalian memilih orang yang pantas menjadi

pemimpin kalian.’ Maka semua manusia bersuara dengan satu suara seraya

mengatakan, ‘Sungguh kami telah memilih engkau wahai Amirul

Mukminin, dan kami telah ridho denganmu, maka jalankan amanah ini

semoga Allah memberkahimu.’ Maka tatkala semua suara telah mereda dan

semua manusia telah ridho dengan kepemimpinan beliau lalu beliau memuji

19 Abdullah bin Abdul Hakam,

Biografi Umar bin Abdul Aziz…..,

hlm. 47.

20

Ibid.

hlm. 47.

268 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

Allah, menyanjung-Nya, dan bershalawat kepada Nabi Saw, lalu dia

mengatakan, ‘Sesungguhnya aku berwasiat agar kalian senantiasa bertakwa

kepada Allah karena takwa kepada-Nya akan menjaga diri dari segala

sesuatu, beramallah untuk akhirat kalian, karena barang siapa yang beramal

untuk akhiratnya maka Allah akan mencukupkan urusan dunianya .... Wahai

sekalian manusia, kepada (pemimpin) yang taat kepada Allah maka kalian

wajib menaatinya dan kepada (pemimpin) yang bermaksiat kepada-Nya

maka kalian wajib tidak menaatinya, maka taatilah aku selama aku menaati

Allah dan bila aku bermaksiat kepada-Nya maka janganlah kalian

menaatiku.’”21

E. Kecintaan Umar Bin Abdul Aziz Kepada Hadis

Setelah Nabi wafat, berita-berita tentang penilaian, pendapat dan

praktiknya tentu saja memainkan peran yang penting dalam pembuatan

keputusan dalam komunitas muslim awal, setidaknya di wilayah-wilayah di

mana Nabi pernah mengekspresikan pandangan-pandangan yang diketahui

secara umum. Selama masa kehidupan Nabi, sebagian pengikutnya meminta

pendapatnya tentang berbagai macam masalah sebagai bentuk kepatuhan

terhadap perintah Al-Quran, ‘Wahai orang-orang beriman … patuhilah rasul

(Muhammad)’, dan ‘Kalian mempunyai contoh yang baik dalam diri

Rasulullah’. Setelah wafatnya, bisa dipahami jika para Sahabat

berkeinginan untuk menyampaikan informasi-informasi tersebut kepada

umat Islam yang baru meluas menjadi komunitas muslim. Namun tidak

semua sahabat nabi setuju dengan penulisan hadis ini, sebutlah Abu bakar

dan Umar bin Khattab yang cenderung sangat membatasi penulisan hadis

karena kuatir bercampur dengan al-Qur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena

pada dasarnya mereka hidup di zaman yang masih sangat dekat dengan nabi

dan masih belum terlalu membutuhkan penulisan hadis. Kendati demikian

ada beberapa sahabat yang memiliki shahifah dan menulis hadis rasulullah,

dan dalam berbagai literatur, tulisan pada masa sahabat dan masa tabiin

senior ini kemudian menjadi salah satu rujukan paling utama Namun ketika

Islam semakin meluas dan pada babakan berikutnya mulai banyak

pemalsuan hadis, maka penulisan hadis mulai dibutuhkan. Pada masa tabiin,

21

Ibid.,

hlm. 50-51.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 269

kebutuhan akan hadis semakin nyata seiring dengan semakin banyak

sahabat Rasulullah yang wafat.

Umar bin Abdul Aziz meriwayatkan hadis dari beberapa sahabat dan

tabiin. Misalnya, ayahnya sendiri, Anas bin Malik, Ibnu Umar, Ibnu Ja’far,

Said bin Musayyib, Ibnu Farizh, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin

Abdurrahman,22 Ibnu Abi Salamah, Ibnu Salam, dan Saib bin Uhkt Namr,

salah seorang sahabat yang diusap kepalanya dan melaksanakan haji wada’

bersama Rasulullah.23 Dalam hemat kami, pembentukan rasa cinta dan

keinginan untuk mengkodifikasi hadis pada masa Umar II menjadi khalifah

telah terbentuk ketika dia berada di Medinah, baik ketika belajar maupun

ketika menjadi gubernur Medinah. Latar belakang kehidupan Umar II di

Medinah kemudian inilah yang menurut kami membuat dirinya

menginstruksikan pengumpulan hadis di masa kekhalifahannya. Sedangkan

murid-muridnya antara lain, Ibrahim bin Abi Ublah Syamr bin Yaqzan bin

Umar bin Abdullah, Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, Ishaq bin

Rusyd, Ismail bin Abu Hakim, Ayyub bin Abu Tamimah Kaisan, Ja’far bin

Barqan, Hamid bin Abu Hamid, Daud bin Abi Hindun, Yahya bin Atiq,

Sahm bin Yazid, dan lain-lain.24

Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada

tahun 99 H, Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis

nabi. Umar II sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang

mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya, karena

meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan

dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-

hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghapalnya. Maka

tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para

penghapal yang masih hidup. Pada tahun 100 H. Khalifah Umar bin Abdul

Azis memerintahkah kepada gubernur Medinah, Abu Bakar bin Muhammad

bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada

para penghafal. Umar bin Abdul Azis menulis surat kepada Abu Bakar bin

Hazm yang berbunyi:

22 Al-Suyuti,

Tarikh Khulafa’……,

hlm. 280.

23 Abu al-Farah Abdul Rahman Ibn al-Jauzi,

Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin ‘Abdil

Aziz……,

hlm. 18-20.

24 Al-Bukhari,

Shahih Bukhari

, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah.

270 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013







Artinya:

“Umar bin Abdul Aziz menulis kepada Abu Bakr bin Hazm: Perhatikanlah

apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu tulislah. karena aku takut

akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan diterima

selain hadis Rasul SAW dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan

majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat

mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”

25

Di samping kepada gubernur Medinah, khalifah juga menulis surat

kepada Gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga

secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin

Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri. Kemudian Al-Zuhri mulai melaksanakan

perintah khalifah tersebut. Dalam berbagai literatur, al-Zuhri merupakan

salah satu ulama yang pertama kali membukukan hadis.

Al-Zuhri pernah mengatakan, “Kami diperintahkan Umar bin Abdul

Aziz untuk menghimpun hadis. Kami pun menuliskannya pada

daftar

demi

daftar

, lalu dikirim ke seluruh wilayah kekuasaan Islam masing-masing satu

daftar

.” Kata

daftar

di sini berarti kumpulan besar hadis. pada dasarnya

naskah hadis yang telah ditulis oleh Al-Zuhri jumlahnya bukan hanya satu,

tetapi cukup banyak. Di antaranya adalah: (a)

Juz’

yang disampaikan secara

munawalah

kepada Ibn Juraij; (b)

Shahifah

yang diberikan kepada ‘Abd al-

Rahman ibn ‘Amr al-Auza’i; (c)

Nuskhah

yang disimpan oleh ‘Abd al-

Rahman ibn Namirah al-Yahsubiy; (d)

Kitab

besar yang disimpan oleh ‘Abd

al-Rahman ibn Yazid; (e)

Shahifah

berisi sekitar tiga ratus hadis yang

ditulis oleh Hasyim ibn Basyir dari Al-Zuhri; (f)

Shahifah

yang dimiliki

oleh Sulaiman ibn Katsir; (g)

Shahifah

yang diserahkan kepada ‘Ubaidullah

ibn ‘Amr untuk disalin dan diriwayatkan; (h)

Nuskhah

yang dimiliki oleh

Zakariya ibn ‘Isa; (i)

Shahifah

berisi sekitar tiga ratus hadis yang khusus

25 Nabia Abbots,

Studies in Arabic Literary Papyri

11, Chicago, 1967, hlm. 64.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 271

untuk Al-Zuhri sendiri; dan (j)

Kitab

yang disimpan oleh Ibrahim ibn al-

Walid.26

Dalam versi yang lain, memang dalam kapasitasnya sebagai seorang

khalifah, Umar bin Abdul al-Aziz pernah mengeluarkan surat perintah

secara resmi yang ditujukan kepada seluruh pejabat dan ulama di berbagai

daerah agar seluruh hadis yang tersebar di masing-masing daerah segera

dihimpun. Surat itu antara lain dikirim kepada gubernur Medinah, Ibn

Hazm Abu Bakr ibn Muhammad ibn ‘Amr (w. 117 H). Isi dari surat itu

adalah: (1) khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis

karena kepergian para ulama; dan (2)

khalifah memerintahkan agar hadis

yang ada di tangan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman segera dihimpun.27 Namun

sayangnya, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah

telah meninggal dunia. Kemudian, penggantinya, Yazid II (Yazid bin Abdul

Malik) membebastugaskan Ibn Hazm sebagai gubernur Medinah, sehingga

dia menghentikan tugasnya, berikut orang-orang yang membantunya dalam

penulisan hadis juga turut berhenti. Penulisan hadis baru dimulai lagi secara

aktif ketika Hisyam bin Abdul Malik menjadi khalifah, dan itu diteruskan

oleh Al-Zuhri. Sebenarnya Ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama

besar di negeri Hijaz dan Syam, juga mendapatkan surat serupa dari Umar

bin Abdul Aziz. Al-Zuhri berhasil melaksanakan tugas penghimpunan hadis

sebelum khalifah Umar II meninggal dunia. Kompilasi hadis dari Al-Zuhri

ini bagian-bagiannya segera dikirim ke berbagai daerah untuk bahan

penghimpunan hadis selanjutnya.28 Kemudian sepeninggal Umar bin Abdul

Aziz, Al-Zuhri masih terus melakukan tugas penulisan atau penghimpunan

hadis dan mendapat dukungan baru dari khalifah Yazid II yang

26 Ahmad,

Dala’il Tautsiq,

hlm. 493. Lihat pula, Saifuddin,

Arus Tadwin Hadis dan

Historiografi Islam,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

27 al-Bukhari,

Shahih al-Bukhari

, juz I, hlm. 71; al-Darimiy,

Sunan al-Darimiy

, jilid I,

hlm. 126; Ibn Sa‘ad,

Thabaqat al-Kubra

, jilid II, hlm. 387; al-Baghdadiy,

Taqyid al-‘Ilm

,

hlm. 105-106.

28 Ibn ‘Abd al-Barr,

Jami‘ Bayan al-‘Ilm

, juz I, hlm. 76. Sebagian sumber menyebutkan

bahwa proses kompilasi dan kodifikasi (

tadwin

) hadis yang dilakukan oleh Al-Zuhri adalah

dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berkisar pada satu tema dan masing-masing tema

disusun dalam satu karya (kitab) tersendiri. Sebut saja sebagai contoh, kitab tentang salat,

kitab tentang zakat, kitab tentang puasa, dan kitab tentang talak. Lihat Abu Zahwu,

al-

Hadits wa al-Muhadditsun

, hlm. 128-129; Ahmad ‘Umar Hasyim,

Qawa‘id Ushul al-Hadits

,

(Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 241. Dari sini, tidak mengherankan jika Al-Zuhri juga

dilaporkan memiliki kitab khusus yang menghimpun hadis-hadis tentang

sirah

dan

maghaziy

.

272 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

mengangkatnya sebagai hakim, lalu dari khalifah Hisyam ibn ‘Abd al-

Malik. Bahkan, khalifah Hisyamlah yang telah mendorongnya agar serius

menuliskan hadis untuk kepentingan pangeran muda, para sekretaris

peradilan, dan untuk memperkaya perpustakaan khalifah.29

F. Hadis dan Umar bin Abdul Aziz: Eksternalisasi, Objektivasi, dan

Internalisasi

Perjalanan hadis dari masa periode wahyu hingga pra kodifikasi

mengalami proses-proses yang luar biasa. Pada masa khulafaur rasyidin

pertama hingga ketiga, hadis masih terjaga dan belum banyak perjalanan

lawatan pencarian karena sangat banyak sahabat yang masih hidup. Agak

berbeda ketika pada masa setelah Utsman, para sahabatpun mulai berhati-

hati dalam menerima hadis yang diterima dan belum pernah didengarnya

karena peristiwa pembunuhan Utsman. Pada masa Ali lebih parah lagi,

Umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok, dan mulai ada pemalsuan

hadis. Hal semakin diperparah pada masa Muawiyah, pemalsuan semakin

kentara dan bahkan mulai abad 41 H adalah masa-masa permulaan

pemalsuan hadis. Sehingga hadis sebagai sumber pengetahuan Islam mulai

tercemari.

Sementara itu, Umar bin Abdul Aziz adalah laki-laki yang hidup dalam

rahim zaman yang seperti itu. Hanya saja masa remaja Umar ada di

Madinah yang tidak terlalu dicekoki oleh hiruk pikuk dunia perpolitikan

seperti di Damaskus dan Kufah. Miliu Madinah nampaknya berpengaruh

betul dan melandasi latar belakang intelektualnya sebagai seorang khalifah

sekaligus ilmuan. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat Rasul yang

menjadi kiblat bagi-orang-orang yang ingin mempelajari hadis rasul pada

masa itu. Hal ini setidaknya bisa dibuktikan bahwa, tokoh-tokoh hadis

sekaliber pengarang

Kutubut Tis’ah

, menunjukkan bahwa Madinah

merupakan daerah yang sama sekali tidak pernah dilewatkan oleh para

pencari hadis ini.30 Sementara itu, disamping lahir di Madinah,31 Umar bin

Abdul Aziz menjadi gubernur Madinah selama kurang lebih 7 tahun,

29 Abbot,

Arabic Literary Papyri

, hlm. 33.

30 Syauqi Abu Khalil,

Athlas Hadis Nabawi,

(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), hlm. 9-16.

31 Firdaus A.N.,

Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz,

(Jakarta: Pedoman

Ilmu jaya, 1988) hlm. 54.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 273

sehingga dia sangat paham dengan pengetahuan masyarakat Madinah pada

waktu itu, lebih-lebih tentang hadis.

Dalam pandangan Berger dan Luckhmann, masyarakat merupakan

sebuah kenyataan objektif yang di dalamnya ada proses pelembagaan yang

dibangun atas pembiasaan (habituation). Pembelajaran hadis di Madinah

sangat mungkin terekam kuat di benak Umar bin Abdul Aziz sehingga

menjadi pengalaman empirik yang mengendap dan tersimpan dalam

kesadaran yang kemudian diwariskan dan diinstruksikan ketika dia menjadi

khalifah. Di Madinah, saat menjadi Gubernur, dia melakukan apa yang

disebut Berger sebagai Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi

diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik.

Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi

individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai

produk manusia (

Society is a human product

). Kehidupan pada Dinasti

Umayyah yang serba mewah dan tak kurang suatu apa serta munculnya

berbagai bentuk hadis palsu yang disebabkan oleh politik aliran

menyebabkan dia berpikir mengenai bagaimana seharusnya yang dilakukan

oleh para pencari hadis pada waktu itu yang masih bergantung pada

individu-individu dan belum bergantung pada negara. Tampaknya masa-

masa Madinah merupakan proses refleksi dan perenungan Umar bin Abdul

Aziz mengenai bagaimana pencarian hadis seharusnya dilakukan. Sehingga

ketika dia diangkat sebagai sebagai khalifah, salah satu gebrakan yang

muncul adalah melakukan tadwin hadis resmi dari negara. Pada tahap ini ia

melakukan proses institusionalisasi tadwin hadis melalui negara (khalifah).

Di sini penulis berpendapat bahwa bagi Umar, hanya melalui institusi

negaralah Hadis bisa diselamatkan. Hal ini terbukti dengan ucapannya:

“Perhatikanlah hadis Rasulullah SAW., lalu tulislah. Karena aku

mengkhawatirkan lenyapnya ilmu itu dan hilangnya para ahli”

“Perhatikanlah apa yang dapat diperoleh dari hadis Rasul lalu

tulislah. karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan

meninggalnya ulama dan jangan diterima selain hadis Rasul SAW

dan hendaklah disebarluaskan ilmu dan diadakan majelis-majelis

ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat

mengetahuinya, maka sesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.”

274 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

Pada tahap ini jika meminjam Berger, Umar bin Abdul Aziz melakukan

Objektivikasi

, yakni hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari

kegiatan dan proses eksternalisasi manusia tersebut. Pada tahap ini

masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (

Society is an objective

reality

), atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang

dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Para pencari hadis,

sebagai bagian dari masyarakat, terutama para tokoh yang diberikan tugas

melakukan pencarian terhadap hadis lalu membukukannya menjadi satu

bendel. Salah satu yang berhasil melakukannya adalah Ibnu Syihab al-Zuhri.

Kemudian dalam perjalanannya, kodifikasi/

tadwin

hadis yang

diperintahkan oleh Umar bin Abdul Aziz menjadi kenyataan, terutama

setelah Ibnu Syihab al-Zuhri merampungkan perintah tersebut. Kitab ini

kemudian menjadi pegangan dan dipelajari oleh para pencari hadis

setelahnya yang kemudian menjadi satu sumber kekuatan baru dan

menginspirasi para pencari hadis setelahnya, atau dalam bahasa Pierre

Bourdie, hasil kodifikasi hadis tersebut melahirkan berbagai bentuk struktur

baru (

Structuring structure

) dari tangan-tangan

muhaddis

setelahnya,

misalnya munculnya berbagai bentuk kitab hadis dan mengalami titik

kemajuannya ketika lahir

kutubut sittah

.

G. Simpulan

Dari tulisan ini dapat disimpulkan beberapa hal, pertama, bahwa Umar

bin Abdul Aziz adalah sosok manusia yang lahir dari rahim zamannya,

yakni zaman Dinasti Umayyah yang dipenuhi oleh keserbamewahan,

banyak hadis palsu yang dibuat untuk memperkuat golongan atau kelompok

tertentu. Namun miliu Madinah banyak berpengaruh pada khalifah yang

satu ini sehingga ketika kembali ke Damaskus ia memerintahkan agar

hadis-hadis Rasulullah ditulis dan dikumpulkan. Kedua, proses kodifikasi

hadis yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz tidak berangkat dari ruang

hampa. Proses eksternalisasinya dimulai semenjak hidup di lingkungan

istana Umayyah yang serba mewah lalu ia menghirup suasana segar

Madinah dengan belajar dan berguru pada tokoh-tokoh hadis dan fiqih

terkemuka lalu ia diangkat menjadi Gubernur Madinah hingga akhirnya ia

menjadi khalifah. Kemudian proses objektivikasi terjadi ketika ia menjadi

khalifah dan memerintahkan secara resmi agar hadis dibukukan setelah

sebelumnya hadis berada di tangan-tangan individu para ahli hadis.

Saifuddin Zuhri Qudsi, Umar bin Abdul Aziz dan Semangat Penulisan Hadis | 275

Sehingga ketika terkumpul, maka kumpulan hadis tersebut mengalami

proses internalisasi yang menumbuhkan minat para pencari hadis semakin

bergairah dalam menulis dan mengumpulkannya dalam berbagai bentuk

yang lain yang berbeda dengan yang sebelumnya. Proses ini kemudian

mengalami kemajuan pesatnya ketika muncul

kutubut sittah

yang menjadi

rujukan umat Islam hingga saat ini.

Wallahu a’lam

.

Daftar Pustaka

Abbots, Nabia,

Studies in Arabic Literary Papyri

11, Chicago, 1967.

Abdillah, Abu Ya’la al-Kholil bin,

Al-Irsyad fi Ma’rifati ‘Ulama al-hadits,

dalam CD

Maktabah Syamilah.

al-Atsari, Abu Faiz, “Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembela Sunnah dan

Penegak Keadilan

,

” Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10, 1432

H.

al-Barr, Ibn ‘Abd,

Jami‘ Bayan al-‘Ilm

, juz I,

Al-Bukhari,

Shahih Bukhari

, dalam CD Mausuah Maktabah Syamilah.

al-Shallabi, Ali Muhammad Muhammad,

Al-Khalifah al-Rasyid wa al-

Muslih al-Kabir Umar bin Abdil Aziz,

tp. tt.

al-Shareef, Mohammad Musa,

http://www.youtube.com/watch?v=Uwe0221d7VA, diunduh pada 20

Oktober 2012.

Al-Suyuthi,

Tarikh Khulafa’,

terj. Fachry, Jakarta: Hikmah, 2010.

Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi,

Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009

Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann,

The Social Construction of

Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge,

England: Penguin,

1991.

Firdaus A.N.,

Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz,

Jakarta:

Pedoman Ilmu jaya, 1988.

Hakam, Abdullah bin Abdul,

Biografi Umar bin Abdul Aziz Penegak

Keadilan,

terj. Habiburrahman Syaerozi, Jakarta: Gema Insani Press,

2002.

276 | ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013

Ibn al-Jauzi, Abu al-Farah Abdul Rahman,

Siiratu wa manaaqibu ‘Umar bin

‘Abdil Aziz,

Iskandariyah: Daar Ibnu Khaldun, 1996.

Ibnu Katsir,

Al-Bidayah wa al-Nihayah,

tt.tp.

Khalil, Syauqi Abu,

Athlas Hadis Nabawi,

Damaskus: Dar al-Fikr, 2005.

Saifuddin,

Arus Tadwin Hadis dan Historiografi Islam,

Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011.