Jika kalian merupakan seseorang yang memiliki kesempatan untuk merasakan produk dari bank

KOMPAS.com - Indonesia mengenal dua jenis bank, yakni bank konvensional dan bank syariah. Secara umum dari segi operasional, meski ada perbedaan bank konvensional dan bank syariah, keduanya memiliki beberapa kesamaan.

Perbedaan bank konvensional dan bank syariah paling mencolok adalah pada proses akad. Lalu apa sebenarnya perbedaan bank syariah dan bank konvensional?

Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Banyak perbankan mendirikan unit bisnis syariah terpisah. Itu sebabnya, hampir seluruh bank syariah di Tanah Air, sahamnya juga banyak dimiliki bank konvensional yang sudah lebih dulu eksis.

Bank syariah dianggap sebagai solusi sebagian masyarakat muslim yang menganggap riba adalah hal terlarang. Lantaran dalam perbedaan bank konvensional dan bank syariah, bank syariah tak mengenal sistem bunga-berbunga.

Baca juga: Pinjaman Online Syariah Bebas Riba, Apa Saja Syaratnya?

Berikut beberapa perbedaan bank syariah dan bank konvensional, baik dalam hal mengelola simpanan nasabah (dana pihak ketiga) maupun pengelolaan pembiayaan (penyaluran dana pihak ketiga).

Pengelolaan dana pihak ketiga

Perbedaan bank syariah dan konvensional pertama adalah dalam akad pengelolaan dana pihak ketiga. Sebagaimana bank konvensional, bank syariah juga menghimpun dana dari masyarakat dengan berbagai produk simpanan.

Pada dasarnya, fungsi yang ditawarkan serupa dengan simpanan di bank konvensional, yaitu sebagai instrumen penyimpanan uang.

Perbedaan bank syariah dan bank konvensional adalah terdapat pada penerapan konsep bunga. Di mana simpanan seperti tabungan syariah tidak mengenal bunga.

Baca juga: Apa Itu Bank Kustodian dalam Investasi Reksadana?

Di Indonesia, tabungan syariah yang menggunakan prinsip-prinsip islami diawasi oleh Dewan Syariah Nasional (DSN), sebuah lembaga yang berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Selain merujuk pada aturan dan prinsip syariah, tabungan bank syariah juga tunduk pada peraturan otoritas keuangan, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Jika menyimpan uangnya di bank konvensional, nasabah bisa mendapatkan bunga bank. Sementara di bank syariah tidak mengenal bunga-berbunga karena dianggap riba.

Konsep tabungan bank syariah sebenarnya sudah diatur oleh DSN MUI. Dikutip dari Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 2/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan, tabungan syariah memiliki akad antara nasabah dan bank.

Baca juga: Apa Perbedaan Dinar dan Dirham?

Dalam fatwa tersebut, tabungan yang dibenarkan dalam perbankan syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’ah.

Menurut DSN MUI, konsep tabungan dengan akad mudharabah adalah nasabah sebagai pemilik dana (shahibul mal) mempercayakan simpanannya pada bank yang berperan sebagai pengelola dana (mudharib).

Sebagai mudharib, bank syariah melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dana dari nasabah ini disalurkan untuk kegiatan usaha produktif.

Nasabah bisa mendapatkan porsi keuntungan dari pengelolaan dana yang dilakukan bank syariah. Jumlah persentase keuntungannya sudah disepakati saat pembukaan rekening.

Baca juga: Mengapa Dinar Kuwait Jadi Mata Uang Paling Mahal di Dunia?

Lebih jelasnya, pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah (kesepakatan persentase) dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Keuntungan yang diperoleh nasabah dari bagi hasil ini sering juga disebut sebagai sewa modal.

Sementara wadi'ah yakni dana yang dititipkan nasabah ke bank syariah bersifat simpanan. Artinya, simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.

Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank. Ciri dari tabungan wadi’ah ini tidak dikenai biaya pemeliharaan rekening, bebas administrasi dan tidak ada bagi hasil.

Konsep wadi'ah biasa diterapkan bank syariah sebagai pengganti dari giro pada bank konvensional, sehingga wadi'ah bisa dikatakan hampir serupa dengan giro.

Baca juga: Apa Itu Emas UBS?

Perbedannya dengan bank konvensional, bank syariah tidak menyalurkan dananya untuk usaha yang dianggap tak sesuai prinsip syariah.

Bunga vs bagi hasil

Perbedaan bank konvensional dan bank syariah selanjutnya adalah pada akad pembiayaan. Sebagaimana pada produk simpanan, salah satu akad yang lazim digunakan dalam perjanjian pemberian modal dari bank syariah kepada nasabahnya adalah mudharabah.

Akad lainnya yang juga sering dipakai yakni musyarakah dan murabahah. Penggunaan ketiga akad ini yang menjadi perbedaan bank syariah dan bank konvensional.

Mengutip Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), bahwa mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

Baca juga: Biaya Haji Indonesia Vs Malaysia, Mana Lebih Mahal?

Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 persen kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Dalam fatwanya, MUI menegaskan LKS sebagai penyedia dana wajib ikut menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

Baca juga: Berapa Biaya Nikah di KUA Terbaru?

Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.

Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. Biaya operasional selama penempatan dana ini kemudian dibebankan kepada mudharib.

Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

MUI sendiri mengatur syarat modal yang diberikan LKS kepada nasabahnya antara lain modal harus diketahui jumlah dan jenisnya,  modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

Itulah beberapa perbedaan bank konvensional dan bank syariah (perbedaan bank syariah dan bank konvensional) dari sisi pengelolaan dana pihak ketiga dan skema pinjaman atau sewa modal.

Baca juga: Mengintip Gaji dan Tunjangan Pinangki sebelum Dipecat dari PNS

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Oleh: Haris Nur Rahmawati dan Gavril Dhiren Irwanto

Maqashid al-shariah bermuara pada kemaslahatan umat, dimana hal ini ditunjukkan dengan upaya menegakkan kemaslahatan umat selaku makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Allah SWT berfirman : 

ياأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا 

Artinya: Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Tuhan kalian, Dzat yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu, lalu menciptakan darinya istrinya, lalu menebarkan dari keduanya generasi-generasi yang banyak serta istri-istrinya. Bertakwalah kalian kepada Allah Dzat yang dengan nama-Nya kalian tolong-menolong dan menjalin silaturahmi antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kalian.” (Q.S. Al-Nisa: 1) (Fiqih Maqashid (3): Kemaslahatan Adalah Inti Syariat Islam, 2018)

Kemaslahatan umat dapat tercapai apabila umat manusia saling tolong-menolong dalam hal kebaikan. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan mengoptimalkan pengumpulan dan penyaluran Ziswaf kepada umat manusia. Ziswaf sendiri merupakan kepanjangan dari Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf. Di dalam ekonomi berlandaskan ajaran Islam, keadaan dimana suatu ekonomi dikuasai oleh golongan yang terlarang merupakan sebuah hal yang dilarang. Berdasarkan alasan tersebut, Islam menjadikan Ziswaf hukumnya wajib dan sunnah agar terjadi mobilitas harta yang lebih tinggi di masyarakat sehingga dapat menekan angka ketimpangan sosial hingga titik paling rendah.

Ziswaf sendiri memiliki manfaat sebagai sarana untuk menegakkan keadilan sosial. Salah satu faktor kenapa kemiskinan terjadi adalah karena adanya alokasi sumber daya yang tidak merata. Maka dari itu seperti yang sudah dijelaskan di atas, ziswaf sendiri berperan sebagai jembatan antara golongan yang lebih beruntung dengan yang tidak beruntung sehingga keadilan sosial dapat ditegakkan.

Ziswaf menurut pengelolanya terbagi menjadi dua sektor yaitu karitatif dan pemberdayaan. Dalam sektor karitatif, ziswaf dikelola untuk memberikan sumbangan kepada kaum yang membutuhkan dan bersifat jangka pendek. Dalam sektor pemberdayaan, ziswaf dikelola bersifat jangka panjang dan biasanya terorganisir dalam rencana yang tertata rapi. Dalam sektor pemberdayaan, ziswaf memiliki andil yang besar untuk memberdayakan green economy, sebuah gagasan pengembangan ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial dengan memperhatikan risiko lingkungan. 

Di Indonesia sendiri, berbagai permasalah kerap menghampiri lembaga Ziswaf. Pada awal tahun 2021, Ombudsman mencatat lima hal penting dalam Rapid Assesment mereka terhadap pengelolaan zakat berbasis UU No 23 tahun 2011, yaitu:

  • Fungsi ganda BAZNAS sebagai operator dan regulator
  • Birokrasi perizinan lembaga amil zakat (LAZ)
  • beban prosedur pelaporan bagi LAZ
  • Kualitas pembinaan Kementerian Agama terhadap BAZNAS, BAZNAS daerah, dan LAZ
  • Belum cukup perhatian dari pemerintah dan BAZNAS terhadap pembinaan dan pengawasan LAZ tradisional dan komunitas

Adanya permasalahan tersebut sangat disayangkan karena Indonesia memiliki potensi pengembangan Ziswaf yang sangat besar. Sutan Emir Hidayat selaku Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah Manajemen Eksekutif KNEKS dalam sebuah webinar menyatakan bahwa pada laporan UNDP 2017 dana zakat terkumpul 500 miliar dolar per tahun (Komite Nasional Ekonomi Dan Keuangan Syariah, n.d.). Apabila potensi Ziswaf dapat dioptimalkan, green economy untuk mengatasi isu-isu global seperti perubahan iklim dan ketersediaan energi terbarukan pun dapat diatasi. Secara tidak langsung apabila isu-isu global tersebut dapat diatasi dengan baik dapat membantu terjalinnya kemaslahatan umat karena lingkungan yang baik akan menyebabkan kehidupan yang lebih baik lagi. (Green Waqf: Wakaf Sebagai Solusi Perbaikan Alam Dan Kemandirian Energi, 2021)

Sumber:

Fiqih Maqashid (3): Kemaslahatan adalah Inti Syariat Islam. (2018, November 29). NU Online. Retrieved August 6, 2022, from https://islam.nu.or.id/ekonomi-syariah/fiqih-maqashid-3-kemaslahatan-adalah-inti-syariat-islam-Fy16l

Green Waqf: Wakaf Sebagai Solusi Perbaikan Alam dan Kemandirian Energi. (2021, August 23). WaCIDS. Retrieved August 6, 2022, from https://wacids.or.id/2021/08/23/green-waqf-wakaf-sebagai-solusi-perbaikan-alam-dan-kemandirian-energi/

Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. (n.d.). Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. Retrieved August 6, 2022, from https://knks.go.id/berita/301/optimalisasi-potensi-ziswaf-jadi-solusi-penanganan-covid-19?category=1

Sugita, A. ., Rohmat Hidayat, A., Hardiyanto , F. ., & Wulandari, S. I. (2020). Analisis Peranan Pengelolaan Dana Ziswaf Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat Pada Lazisnu Kabupaten Cirebon. Jurnal Indonesia Sosial Sains, 1(1), 9–18. https://doi.org/10.36418/jiss.v1i1.6

Budiarto, U. (2021, December 30). Dinamika Tantangan Regulasi dan Kebijakan Pengelolaan Zakat Nasional. Komite Nasional Ekonomi Dan Keuangan Syariah. Retrieved August 6, 2022, from https://knks.go.id/isuutama/35/dinamika-tantangan-regulasi-dan-kebijakan-pengelolaan-zakat-nasionalVaghefi, N., Siwar, C., & Aziz, S. A. A. G. (2015). 

Green Economy: Issues, Approach and Challenges in Muslim Countries. Theoretical Economics Letters, 05(01), 28–35. https://doi.org/10.4236/tel.2015.51006