Cerita Guru yang Rela Digaji Kecil Meski Menjabat Kepala Sekolah dan Kemudian Seorang Panglima Besar Berpangkat Jenderal, dialah Panglima Besar Jenderal Sudirman, berikut kisahnya. SRIPOKU.COM-Bertepatan dengan Hari Guru Nasional yang jatuh pada Senin (25/11), kisah pengabdian pahlawan tanpa tanda jasa ini memang menjadi inspirasi. Namun tahukah anda jauh sebelumnya, ada sosok guru yang menjadi panutan dan sosoknya tercatat dalam sejarah, bahkan Cerita Guru yang Rela Digaji Kecil Meski Menjabat Kepala Sekolah ini menarik untuk disimak. Meski dalam perjalanannya, sang Guru Kecil demikian sapaannya dan julukannya, Kemudian menjadi Seorang Panglima Besar Berpangkat Jenderal. Siapakah sosok inspirastif ini, dialah Panglima Besar Jenderal Soedirman, sosok yang melegenda dan dikenal sebagai orang yang sangat mencinta organisasi, di mana dia bernaung sebagai aktivis Muhammadiyah. Berikut Kisah Pengalima Besar Jenderal Sudirman, cerita Guru Menjabat Kepala Sekolah Rela Digaji Kecil Hingga Jadi Panglima Besar Berpangkat Jenderal Dikenal Sebagai Guru Kecil Siapapun tahu, jika sebelum menjadi seorang Panglima Besar, Jendral Soedirman aktif berorganiasi bahkan menjadi seorang guru. Guru kecil merupakan julukan Jenderal Soedirman, bahkan dia sempat menjabat kepala sekolah meski digaji sangat kecil. Cerita Jenderal Soedirman memulai karir politiknya dengan menempak diri di Organisasi Muhammadiyah. Halaman selanjutnya arrow_forward Sumber: Sriwijaya Post
Suryagemilangnews.com, Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah merupakan salah satu ormas yang berjasa didalamnya. Muhammadiyah memiliki beberpa tokoh yang sudah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tokoh Muhammdiyah yang menjadi Pahlawan Nasional memberikan banyak inspirasi bagi bangsa Indonesia. Siapa saja pahlawan dari Muhammadiyah tersebut? Berikut nama-namanya; 1. KH. Ahmad Dahlan Melalui Surat Keputusan Presiden No 657 Tahun 1961, Pemerintah Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional pada 1961. Dia dinilai turut membangkitkan pembaruan Islam dan pendidikan melalui organisasi Muhammadiyah mendorong masyarakat untuk terus belajar dan beramal dengan dasar keislaman. 2. Hj. Siti Walidah Dengan mendirikan Aisyiyah pada tanggal 19 Mei 1917 yang menghimpun kaum ibu, Ia mendukung kemajuan dan kesetaraan perempuan. Melalui organisasi inilah sepak terjang Nyai Ahmad Dahlan membumikan pendidikan agama, sosial, dan pelayanan kesehatan. Kemudian pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional pada 10 November 1971 sesuai Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971. 3. Ir. Soekarno Ir. Soekarno merupakan salah satu murid KH. Ahmad Dahlan. Ia bersekolah di HBS Surabaya atas bantuan kawan bapaknya, HOS Tjokroaminoto yang merupakan tokoh Sarekat Islam. Soekarno tinggal dirumah Tjokroaminoto bersama dengan murid lainnya seperri Alimin, Musso, Darsono, Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno resmi menjadi kader Muhammadiyah pada tahun 1930 dan pernah menjadi pengurus Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah milik Muhammadiyah di Bengkulu. Di kota inilah, ia bertemu Fatmawati, kader Aisyiah dan anak tokoh Muhammadiyah setempat, yang kemudian menjadi istrinya. Wujud kecintaan Soekarno kepada Muhammadiyah adalah ketika Ia berwasiat, “Bungkuslah mayat saya dengan bendera Muhammadiyah.” Hal itu juga dikaitkan dengan sang istri yang lahir di kalangan kultur Muhammadiyah 4. Fatmawati Soekarno Fatmawati merupakan sosok penjahit bendera pusaka yang dikibarkan dalam Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Pemerintah memberi penghargaan kepadanya sebagai pahlawan nasional lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 November 2000. 5. Jendral Soedirman Terkenal dalam pertempuran di Ambarawa dan Magelang (Desember 1945). Sukses memimpin perang gerilya di beberapa daerah pulau Jawa saat Agresi Militer Belanda I (21 Juli-5 Agustus 1947) dan agresi militer Belanda II (19 Desember 1948). Yang tidak kalah fenomenal Ia juga mengomandoi Serangan Umum 1 Maret yang merebut kembali Ibu Kota Yogyakarta. Puncak karier Pak Dirman di Muhammadiyah sebagai Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah daerah Banyumas. Sebelum berkarier di dunia militer, selain aktif di kepanduan HW, Sudirman muda pernah bergabung dalam barisan Lucht Bescherming Dinest (LBD), Lembaga Dinas Perlindungan Udara yang dibentuk sejak tahun 1939 oleh rezim kolonial Belanda. 6. Ir. Djuanda Kiprah monumentalnya ialah mencetuskan Deklarasi Djuanda tahun 1957. Menegaskan bahwa wilayah kelautan dan kepulauan indonesia adalah kesatuan wilayah NKRI. Saat masih muda, Djoeanda aktif di Paguyuban Pasundan dan Muhammadiyah. Ayahnya, R Kartawidjaja juga pengurus Muhammadiyah di Tasikmalaya. Dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1962, Djoeanda menyampaikan testimoninya: “Karena mengindahkan petunjuk orangtua saya, saya kenali Muhammadiyah. Bukan sekadar kenal saja, tetapi saya malah dipercaya memasak kecerdasan putra-putri anak didik Muhammadiyah di masa itu. 7. KH. Fachrodin Fachrodin tidak pernah belajar di pendidikan formal, namun Ia adalah pembelajar sejati. Selain menunaikan ibadah haji, Ia memanfaatkan untuk menimba ilmu disana. Hingga dikenal akan kepandaiannya berpidato, berorganisasi, dan mengarang. Fachrodin dipercaya sebagai pemimpin redaksi pertama Suara Muhammadiyah yang terbit tahun 1915. Ia kemudian membantu mengurusi nasib jamaah Indonesia yang mendapat perlakuan kurang baik dari pejabat setempat. Setelah kembali dari tanah suci, ia memprakarsai pembentukan Badan Penolong Haji. Ia juga pernah diutus menghadiri konferensi Islam di Kairo sebagai wakil umat Islam Indonesia. Pada usia 26 tahun, Fahcrodin dipercaya sebagai Sekretaris PP Muhammadiyah selama beberapa tahun. Pada tahun 1920, ia ditetapkan sebagai Ketua Bagian (sekarang Majelis) Tabligh PP Muhammadiyah, lalu menjadi Wakil Ketua I PP Muhammadiyah pada periode kepemimpinan KH Ibrahim (1923-1932). Fachrodin menjelma menjadi tokoh pergerakan nasional yang disegani dan dihormati. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No 162 Tahun 1964. 8. H Abdul Malik Karim Amrullah Buya Hamka terlibat dalam perang gerilya bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Ia kemudian ke Jakarta dan memilih jalur politik. Dalam Pemilihan Umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. 9. Gatot Mangkoepradja Peran Gatot Mangkoepradja dalam pergerakan nasional dengan mengusulkan Jepang dalam pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. 10. KH. Mas Mansoer Ia kembali ke Tanah Air tahun 1915 dan bergabung dengan Sarekat Islam (SI) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Mas Mansoer dipercaya sebagai penasihat pengurus besar SI. Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran) bersama Wahab Hasboellah. Mas Mansoer merupakan salah satu dari tokoh empat serangkai selain Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara yang sangat diperhitungkan oleh Jepang. Pemerintah kemudian menetapkan Mas Mansoer sebagai pahlawan nasional. 11. Ki Bagoes Hadikoesoemo Ketika KH Mas Mansoer dipaksa Jepang menjadi Ketua Pusat Tenaga Rakyat, Ki Bagus diminta menggantikan posisi Ketua Umum PP Muhammadiyah yang ditinggalkan Mas Mansoer. Saat itu, Ki Bagoes juga menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Pemerintah kemudian menetapkannya sebagai pahlawan nasional. 12. Kasman Singodimedjo Perselisihan ada pada tujuh kata dalam rumusan dasar negara yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kelompok non-Muslim keberatan. Kasman kemudian meyakinkan kelompok Muslim bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat mewakili tujuh kata tersebut. Kasman yang berorientasi nasionalis ini aktif dalam berbagai organisasi. Selain Muhammadiyah, dia aktif di Jong Java, Jong Islamiten Bond, dan Masyumi. Pada 8 November 2018, Presiden Joko Widodo memberi anugerah pahlawan nasional kepada Kasman. 13. A.R. Baswedan Baswedan adalah sosok wartawan pejuang yang produktif dalam menghasilkan karya tulis. Di era revolusi, tulisannya kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimistis. Menjelang kemerdekaan Indonesia, dia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain itu, bersama dengan Haji Agus Salim (menteri muda luar negeri), Rasyidi (sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir, dan Sutan Pamuntjak, Baswedan menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk Pemerintah RI. Kemudian Ia ditetapkan menjadi salah satu tokoh pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi pada tahun 2018. 14. Nani Wartabona Pemikiran nasionalisme dari berbagai tokoh itulah yang kemudian menjiwai perjuangan dan kepribadiannya hingga setibanya di kampung halamannya, Nani Wartabone menggerakan rakyat untuk berani menentang Belanda. Ia menanamkan cita-cita kemerdekaan kepada semua masyarakat. Kiprahnya dimulai tatkala ia mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Gorontalo. Bersama dengan rakyat Gorontalo Ia memperjuangkan kemerdekaannya melawan penjajah. Atas jasanya sebagai pejuang kemerdekaan Ia diangkat . Pahlawan Nasional pada tahun 2003 15. Abdul Kahar Muzakkir Setelah melalui berbagai perdebatan sengit dalam perundingan alot pada sidang Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945, lahirlah rumusan dasar negara RI yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Kemudian dikenal hingga kini sebagai Pancasila. Abdul Kahar Muzakkir dan Ki Bagus Hadikusumo adalah dua tokoh Muhammadiyah yang mendukung teguh Islam menjadi dasar negara. Kemudian baru pada tahun 2019 Ia dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi. (bal) |