Dampak penetapan harga tertinggi dan terendah pada kesejahteraan pasar

Beras merupakan komoditi pangan yang penting peranannya bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsi beras mencapai 98 persen. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1.49 persen per tahun yang tidak diikuti oleh peningkatan produksi padi Indonesia serta peningkatan harga beras eceran menimbulkan permasalahan tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan ketahanan pangan nasional. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan beras di Indonesia, (2) menganalisis efektifitas perubahan kebijakan harga dasar pembelian pemerintah dibandingkan kebijakan harga dasar gabah dalam upaya peningkatan produksi, dan (3) mengevaluasi dampak kebijakan harga dasar pembelian pemerintah terhadap penawaran dan permintaan beras di Indonesia. Spesifikasi model penawaran dan permintaan beras menggunakan persamaan simultan dan diduga dengan metode Two Stages Least Squares (2SLS). Menggunakan data sekunder dengan rentang waktu (time series) dari tahun 1981 sampai 2005. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa permintaan beras untuk konsumsi di Indonesia dipengaruhi oleh koefisien harga beras eceran, harga jagung, jumlah penduduk dan permintaan beras untuk konsumsi tahun sebelumnya. Permintaan beras untuk konsumsi tidak responsif terhadap harga beras eceran dan harga jagung. Sedangkan terhadap jumlah penduduk Indonesia responnya elatis. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi beras masih merupakan kebutuhan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Kebijakan harga dasar pembelian pemerintah berdampak pada peningkatan produksi beras Indonesia, tetapi jumlah impor Indonesia juga meningkat. Hal ini dikarenakan koefisien produksi beras Indonesia tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah impor beras. Peningkatan produksi beras dan impor beras Indonesia mengakibatkan peningkatan pada penawaran beras di Indonesia, sedangkan jumlah permintaan beras untuk konsumsi akan menurun disebabkan oleh peningkatan harga beras eceran, selain itu kebijakan ini juga akan meningkatkan pendapatan usahatani padi per hektar. Kebijakan ini memberikan keuntungan kepada produsen sedangkan konsumen dirugikan dengan kehilangan surplus konsumen. Kebijakan harga dasar pembelian pemerintah sebaiknya diikuti oleh kebijakan perberasan lainnya, seperti kebijakan meningkatkan luas areal irigasi untuk meningkatkan produksi padi yang lebih tinggi. Kesejahteraan rakyat (konsumen) yang telah dirugikan akibat diterapkannya kebijakan harga dasar pembelian pemerintah, maka pemerintah seharusnya memberikan kompensasi kerugian konsumen, seperti adanya beras miskin (raskin) dan operasi pasar. Dana kompensasi dapat diperoleh pemerintah dari diberlakukannya kebijakan harga dasar pembelian pemerintah.

1.kapan pertama kali kuliner Indonesia dikenal di negara lain? 2.Kapan junk food dikenal di Indonesia?​

pada gambar a terlihat penebangan hutan yang berlebihan pada gambar b terlihat banjir a.susunlah lima pertanyaan terbuka tentang perbandingan kedua ga … mbar diatas terkait keruangan dan interaksi antarruang dalam lingkup Indonesia b.Jawablah setiap pertanyaan dengan beberapa kalimat yang membentuk satu paragraf satu paragraf untuk menjawab satu pertanyaan c.gunakan beberapa referensi pendukung d. hubungkan paragraf yang satu dan paragraf yang lain sehingga membentuk suatu karangan ilmiahPLIS KA JAWAB yg bnr HARI INI JGA DI KUMPUL NYA ​

Ipa kayu Jatih Dijadikan Bahan Pembuatan Sofa Meruapakan Perubahan.......

jelaskan 5 pengertian belajar​

Tuliskan peningkatan sumber daya alam di Malaysia​

Ayo Melengkapi Berikan tanda centang (√) pada kolom yang sesuai untuk menunjukkan kegiatan sel upaya pelestarian dan pengrusakan hewan maupun tumbuhan … ! No 1. Kegiatan Upaya Pengrusakan Hewan Maupun Tumbuhan Pelestarian Hewan dan Tumbuhan Alasan​

Jenis Sumber Daya Laut Hutan Bentuk Kerusakan Pencemaran laut Penebangan liar Cara Menanggulangi​

Kaka tolong bantu jawab kak​

mengapa penduduk Indonesia sebenarnya tidak merata?​

Buatlah pertanyaan dengan kata tanya Dimana,Siapa,Mengapa tentang penyelenggaraan SEA Games ​

♔ About | Materi Pelajaran | Gerbang Informasi | Peta Situs ♔

Laman ini adalah tampilan mode baca. Klik di sini untuk keluar dari mode baca: Harga Tertinggi (Price Ceiling)

FacebookTwitterPinItShortURL

Harga tertinggi (en: price ceiling) adalah harga maksimum di mana suatu barang (atau jasa) boleh dijual. Sehingga, penjual tidak dapat menjual suatu barang dengan harga di atas harga tertinggi tersebut.[1][2][3][4] Harga tertingi ini sering disebut juga dengan harga batas atas. Harga tertinggi merupakan suatu bentuk intervensi pemerintah dalam mengendalikan harga untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti melindungi konsumen agar tetap mampu membeli suatu barang atau jasa.

Pengaruh Harga Tertinggi pada Penawaran dan Permintaan (Pasar)

Ketika pemerintah melakukan intervensi pada pasar, maka "teori invisible hand" menjadi tidak lagi berlaku. Pada kasus ini terjadi apabila harga tertinggi yang ditetapkan oleh pemerintah berada di bawah harga keseimbangan. Namun apabila harga tertinggi ditetapkan di atas harga keseimbangan, maka intervensi tersebut tidak berpengaruh pada pasar. Untuk memahami bahasan tersebut, mari kita lihat tabel dan grafik di bawah ini:

Daftar Permintaan dan Penawaran Mie Instan
Pilihan Harga (Rp) Jumlah Permintaan (Unit) Jumlah Penawaran (Unit)
A 5.000 9 18
B 4.000 10 16
C 3.000 12 12
D 2.000 15 7
E 1.000 20 0

Dampak penetapan harga tertinggi dan terendah pada kesejahteraan pasar
Harga tertinggi pada kurva permintaan dan penawaran | Gambar berlisensi hak cipta Tentorku

Dari data mie instan di atas, harga keseimbangan terjadi pada harga Rp. 3.000 dengan jumlah barang yang diminta 12 unit dan jumlah barang yang ditawarkan 12 unit. Apabila pemerintah menetapkan harga tertinggi lebih tinggi dari harga keseimbangan, misalnya Rp. 4.000 (garis i), ini berarti penjual tidak boleh menjual barang dengan harga di atas Rp. 4.000. Keadaan ini tidak berpengaruh karena penjual boleh menjual barang dengan harga yang lebih rendah, maka boleh juga menjual pada harga keseimbangan Rp. 3.000.

Perdebatan timbul ketika pemerintah menetapkan harga tertinggi di bawah harga keseimbangan, misalnya Rp. 2.000 (garis ii), ini berarti penjual tidak boleh menjual barang dengan harga di atas Rp. 2.000. Akibatnya harga keseimbangan tidak dapat tercapai atau terjadi perbedaan jumlah permintaan dan penawaran (titik D). Pada titik D ini jumlah barang yang diminta lebih besar daripada jumlah barang yang ditawarkan sehingga terjadi kekurangan barang atau market shortage.

Contoh Implementasi Harga Tertinggi

Kita pastinya sudah seringkali mendengar harga tertinggi atau harga batas atas dari berbagai media cetak maupun elektronik. Berikut ini adalah contoh-contoh ketika pemerintah mengintervensi pasar menggunakan harga tertinggi:

  • Subsidi BBM: harga BBM di Indonesia ditentukan oleh pemerintah sehingga SPBU tidak dapat mengubah harga BBM sesuai mekanisme pasar. Hal ini membuat kelebihan permintaan yang mengakibatkan kelangkaan karena penawaran tidak dapat mencukupi permintaan pembeli.[5]
  • Harga batas atas taksi online: pemerintah menetapkan harga tertinggi agar konsumen mampu membayar harga taksi online. Namun tentu saja harga batas atas ini tidak berpengaruh karena harga keseimbangan berada di bawah harga batas atas. Kasus ini adalah polemik yang masih hangat di tahun 2017 ini.[6]
  • Harga batas atas pesawat: pemerintah menetapkan harga tertinggi agar maskapai tidak seenaknya menaikkan harga diluar kewajaran ketika high-season (misalnya ketika masa mudik lebaran).[7]

Ketika pemerintah mengintervensi pasar dengan penetapan harga tertinggi, tentunya akan timbul pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut. Penganut sistem ekonomi pasar bebas tentunya berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam pasar dan biarkan hukum permintaan dan penawaran berlaku. Sebab, adanya campur tangan pemerintah dapat membuat pasar tidak lagi efisien.

Apabila kita tinjau dari contoh subsidi BBM, maka intervensi pemerintah dapat menyebabkan kelebihan permintaan yang membuat market shortage (barang sulit didapatkan) bila harga batas atas yang ditetapkan lebih rendah daripada harga ekuilibrium. Lalu bagaimana kalau tidak dibatasi? Di Indonesia yang daya beli masyarakatnya rendah, dikhawatirkan jika hukum permintaan dan penawaran berlaku maka harga keseimbangan (harga BBM) tidak lagi dapat dijangkau oleh kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini dikhawatirkan dapat membuat gejolak di masyarakat dan membuat gaduh pemerintahan.

Pendukung penetapan harga BBM memandang kebijakan ini adalah cara untuk mengatasi masalah kemiskinan. Mereka menganggap kelompok berpenghasilan rendah tidak dapat menikmati BBM apabila tidak disubsidi. Memang ada "efek samping" yaitu kelangkaan di sejumlah tempat tertentu, namun efek buruk ini dianggap kecil dan tidak sebanding dengan manfaat yang didapatkan dari penetapan harga BBM.

Sedangkan mereka yang menolak penetapan harga BBM berpendapat bahwa kebijakan ini bukanlah kebijakan terbaik untuk mengatasi rendahnya daya beli masyarakat. Kebijakan ini dianggap tidak efisien untuk menyalurkan daya beli pada kelompok berpenghasilan rendah. Menurut mereka lebih baik menyalurkan penghasilan secara langsung (seperti BLT) daripada "mengganggu" pasar.[2][3]

Senada dengan subsidi BBM, harga batas atas untuk barang atau jasa juga menimbulkan kontroversi. Penetapan harga batas atas membuat masyarakat yang berpenghasilan tinggi harus ikut berkompetisi dengan yang berpenghasilan rendah untuk mendapatkan barang. Selain itu, harga batas atas juga dapat menurunkan laba perusahaan. Hal ini dapat mengganggu iklim investasi pada sistem ekonomi pasar bebas.

Referensi

  1. Case et al., 2011, “Constraints on the Market and Alternative Rationing Mechanisms,” Principles of Economics, 10th edition, Prentice Hall, Boston, MA.
  2. Samuelson & Nordhaus, 2009, “MINIMUM FLOORS AND MAXIMUM CEILINGS,” Economics, 19th edition, McGraw-Hill, New York, NY.
  3. Mankiw, N. G., 2014, “6-1 Controls on prices,” Principles of Economics, 7th edition, Cengage Learning, Stamford, CT.
  4. Boyes & Melvin, 2008, “3.c. Price Ceilings: The Market for Rental Housing,” Fundamentals of Economics, 4th edition, Houghton Mifflin, Boston, MA.
  5. Junaedi, “BBM Langka di Majene, Nelayan Menganggur dan Sopir Angkot Sulit Penuhi Setoran,” Kompas.com, http://regional.kompas.com/read/2016/09/26/18325111/bbm.langka.di.majene.nelayan.menganggur.dan.sopir.angkot.sulit.penuhi.setoran (diakses 27 Mei 2017).
  6. Fauzi, A., “Ini Penjelasan 11 Poin Revisi PM 32/2016 tentang Taksi ‘Online’,” Kompas.com, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/03/24/090000126/ini.penjelasan.11.poin.revisi.pm.32.2016.tentang.taksi.online. (diakses 26 Mei 2017).
  7. Sukmana, Y., “Harga Tiket Pesawat Mahal, KPPU Tuntut Tarif Batas Bawah Dihapus,” Kompas.com, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/06/07/183210726/harga.tiket.pesawat.mahal.kppu.tuntut.tarif.batas.bawah.dihapus. (diakses 26 Mei 2017).