Bahasa yang digunakan dalam menyanyikan musik didong adalah

AYOINDONESIA.COM -- Didong adalah bentuk kesenian tradisional Gayo di daerah bagian tengah provinsi Aceh. Kesenian ini juga tercatat pernah digelar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Banda Aceh, dan Medan.

Pertunjukkan Didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang saling berkelakar sambil membuat sajak improvisasi yang disebut syair.

Dilansir dari ensiklopedia Indonesian Heritage edisi Bahasa dan Sastra, kata 'Didong' dipercaya berasal dari kata 'dendang' yang berarti sama dengan 'denang' dan 'donang' dalam bahasa Gayo. Artinya adalah 'menghibur diri sendiri dengan menyanyi sambil diiringi musik dan bekerja'.

Didong meliputi seni sastra, suara, dan tari. Pemain Didong menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan musik khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala, dan badan.

Baca Juga: Mengenal Rabab Pariaman, Tradisi Pertunjukan Lisan dari Sumatera Barat

Kelompok Didong umumnya terdiri atas 30-50 orang. Mereka duduk berkeliling selama pertunjukkan. Empat atau enam orang di antaranya dikenal sebagai 'ceh'.

Para 'ceh' merupakan penyanyi Didong. Seorang ceh harus dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahan syair di tempat. Pasalnya, pertunjukan Didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang harus berbalas sindiran dan cemoohan.

Tugas tersebut dilakukan oleh seorang 'ceh kul' atau ceh besar, atau ceh satu. Di samping ceh kul, terdapat pula ceh kedua dan ketiga; masing-masing ditemani seorang ceh apit, alias pembantu atau teman.

Baca Juga: Ebeg Banyumas, Kesenian Tari Roh Binatang yang Menjadi Warisan Budaya


Page 2


Page 3

AYOINDONESIA.COM -- Didong adalah bentuk kesenian tradisional Gayo di daerah bagian tengah provinsi Aceh. Kesenian ini juga tercatat pernah digelar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Banda Aceh, dan Medan.

Pertunjukkan Didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang saling berkelakar sambil membuat sajak improvisasi yang disebut syair.

Dilansir dari ensiklopedia Indonesian Heritage edisi Bahasa dan Sastra, kata 'Didong' dipercaya berasal dari kata 'dendang' yang berarti sama dengan 'denang' dan 'donang' dalam bahasa Gayo. Artinya adalah 'menghibur diri sendiri dengan menyanyi sambil diiringi musik dan bekerja'.

Didong meliputi seni sastra, suara, dan tari. Pemain Didong menyanyikan syair atau sajak dengan mengikuti iringan musik khusus. Pertunjukkan diperindah dengan gerakan lengan, kepala, dan badan.

Baca Juga: Mengenal Rabab Pariaman, Tradisi Pertunjukan Lisan dari Sumatera Barat

Kelompok Didong umumnya terdiri atas 30-50 orang. Mereka duduk berkeliling selama pertunjukkan. Empat atau enam orang di antaranya dikenal sebagai 'ceh'.

Para 'ceh' merupakan penyanyi Didong. Seorang ceh harus dapat menggubah lagu dan syair serta menyanyikan gubahan syair di tempat. Pasalnya, pertunjukan Didong sering berbentuk pertandingan antara dua kelompok yang harus berbalas sindiran dan cemoohan.

Tugas tersebut dilakukan oleh seorang 'ceh kul' atau ceh besar, atau ceh satu. Di samping ceh kul, terdapat pula ceh kedua dan ketiga; masing-masing ditemani seorang ceh apit, alias pembantu atau teman.

Baca Juga: Ebeg Banyumas, Kesenian Tari Roh Binatang yang Menjadi Warisan Budaya

Sumber: Ensiklopedia Indonesian Heritage

Bahasa yang digunakan dalam menyanyikan musik didong adalah

Arti kata didong | Negara Indonesia memiliki bahasa nasional, yakni Bahasa Indonesia. Walaupun Bahasa Indonesia hadir sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari, terkadang masih banyak kata yang terdengar asing. Selain itu, ada banyak juga kata dalam Bahasa Indonesia yang belum kita ketahui makna maupun artinya secara harafiah.

Hadir sebagai acuan berbahasa Indonesia, tentunya KBBI disusun oleh lembaga yang terakreditasi dan kompeten dibidang bahasa. Tak lain adalah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, sebagai lembaga penyusunan KBBI.

Dilanjutkan oleh Balai Pustaka sebagai penerbit, serta dinaungi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Artinya, KBBI memiliki hak paten dari pemerintah Republik Indonesia. Nah, apakah kamu sudah tahu arti kata didong dalam KBBI? Demi menambah wawasan dan perbendaharaan kata, berikut arti kata didong dalam KBBI.

Arti kata didong dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah di.dong [n cak] (1) orang Prancis; (2) orang asing berkulit putih (orang Eropa) [ark n] (1) pertunjukan komedi wayang boneka; (2) pertunjukan tari dan musik; (3) Antr kesenian tradisional Gayo yg dimainkan dng cara menyanyikan pantun sambil menari

Setelah membaca arti dari kata didong apakah kamu tertarik untuk mengetahui lebih banyak lagi arti kata dari KBBI?

Nah, demi membantu kamu lebih banyak mengetahui kosakata bahasa Indonesia dengan arti yang akurat, kami menyediakan Kamus Besar Bahasa Indonesia online!

Tentunya Kamus Besar Bahasa Indonesia Online ini bisa kamu akses secara cepat, mudah dan praktis. Hal yang kamu butuhkan tak lain hanya perangkat elektronik yang terhubung dengan jaringan internet.

Selanjutnya kamu bisa langsung ketik kata yang dicari untuk dapat mengetahui arti kata tersebut dalam KBBI yang telah kami sediakan. Sangat praktis kan?

Kepraktisan dalam belajar tentu akan memicu dan menambah semangat untuk terus menemukan hal baru. Selain itu, hal ini juga dapat membantu menghadirkan rasa nasionalisme. Sebab Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa.

Jadi, yuk belajar arti kata dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia Online bersama-sama! Semoga artikel kami membawa kebermanfaatan untuk kamu ya! Terima kasih sudah singgah.

Oleh Theresia Widiningtyas

Penikmat hip hop pasti tahu rap battle atau tanding rap, adu kecakapan dalam menyanyikan lirik-lirik rap. Tanding rap mulai dikenal di kota New York pada tahun 1981. Ketika itu, di panggung Harlem World Club, seorang rapper (penyanyi rap) bernama Busy Bee tiba-tiba melantunkan rap yang “menyerang” musisi rap lainnya. Tak dinyana, rapper Kool Moe Dee, salah satu musisi yang disebut Busy Bee dalam lirik rapnya, ada di antara penonton. Dia menyambar mikrofon dan melompat ke atas panggung, melancarkan rap balasan pada Busy Bee. Sejak itu adu rap menjadi salah satu pertunjukan penting dalam musik hip hop. Hebat, ya! Pastinya tidak mudah mencipta lirik rap dalam sekejap untuk “menghajar” lawan.

Tradisi “adu rap” seperti itu juga dimiliki masyarakat tradisional Indonesia sudah sejak berabad-abad lalu. Salah satunya adalah masyarakat Gayo yang banyak berdiam di wilayah Kabupaten Aceh Tengah, Daerah Istimewa Aceh. Kesenian rakyat Gayo yang mempertunjukkan adu kecakapan vokal dan sastra ini disebut dengan didong. Umur kesenian ini diperkirakan sama tuanya dengan keberadaan masyarakat Gayo itu sendiri. Arti kata “didong” pun tidak dapat dipastikan dengan jelas. Ada yang berpendapat kata “didong” mendekati pengertian kata “dendang” dalam Bahasa Indonesia, meskipun bahasa Gayo juga mengenal kata denang atau donang yang artinya juga mirip dengan kata “dendang”. 

Zaman dahulu, setiap klan dalam masyarakat Gayo memiliki satu kelompok didong sendiri. Kadangkala, pertandingan antara dua kelompok didong dari klan yang berbeda diadakan dalam pertemuan antarklan. Didong dilangsungkan dengan nyanyian teka-teki yang mengusung tema “wajib”, disesuaikan dengan acara pengundang kelompok didong seperti upacara pernikahan, mendirikan rumah, makan bersama sesudah panen, dan lain-lain. 

Anggota kelompok didong bisa mencapai 40 orang, namun yang turun bermain umumnya hanya 25-30 orang. Para pemain dibagi menjadi dua kategori, yaitu ceh dan penunung. Ceh adalah penyair yang merangkap komponis dan biduan, sedangkan penunung adalah pemain yang bertugas mengiringi ritme nyanyian dengan bertepuk tangan atau menepuk bantal kecil, sambil menggerakkan tubuh. 

Syair  kemerdekaan

Di masa  pendudukan Jepang, kesenian didong menjadi lesu. Banyak yang kesulitan bertahan hidup akibat himpitan ekonomi. Kondisi ini memengaruhi isi syair-syair didong. Tidak ada lagi tema-tema wajib, hanya protes-protes yang membangkitkan nasionalisme melawan kekejaman penjajah Jepang. Saat revolusi fisik berlangsung, di garis belakang, seniman-seniman didong mengobarkan semangat para pejuang yang akan bertempur di Medan dan Tanah Karo. 

Seniman didong juga mengajak rakyat bekerja keras mengisi kemerdekaan. Dalam puisi berjudul Kulubana (Bencana) yang ditulisnya tahun 1948, Ceh Lakkiki dengan tegas mengingatkan masyarakat agar tidak terlena dalam kemerdekaan. Masyarakat harus tetap bekerja keras agar terhindar dari bencana kelaparan dan kemiskinan. 

Syair-syair didong bertemakan mengisi kemerdekaan ini tidak hanya ditujukan pada rakyat, tetapi juga pada pemerintah dan pemimpin negeri. Puisi Ari Sabang ku Meruke (Dari Sabang ke Merauke), misalnya, yang ditulis kelompok didong Kabinet Mude, antara lain berpesan pada pemerintah agar memimpin rakyat bersatu padu dari Sabang hingga Merauke. 

Seiring waktu, isi syair-syair puisi didong berubah mengikuti dinamika permasalahan sosial budaya masyarakat. Fungsi didong pun berkembang, selain memberikan hiburan dan memelihara nilai serta norma-norma adat, juga menjadi kontrol dan kritik sosial pada masyarakat serta pemerintah. 

Namun kini, syair kaya makna seperti itu makin jarang ditampilkan dalam pertandingan didong. Adu didong Gayo cenderung berubah menjadi saling ejek dan merendahkan (Arfiansyah: 2017), yang ternyata lebih menghibur penonton. Kemampuan berbahasa Gayo pada generasi muda juga jauh menurun. Adu didong tidak lagi dalam bahasa Gayo halus yang mengandung kedalaman makna, tetapi bahasa percakapan sehari-hari yang kadang terasa kasar dan tidak beretika. 

Meski demikian, upaya melestarikan seni tradisi lisan didong dengan nilai-nilai luhurnya terus dilakukan. Misalnya melalui kegiatan ekstrakurikuler didong di sekolah-sekolah dan berbagai festival kesenian tradisional yang melibatkan didong Gayo. Bahkan polisi pun menggunakan didong untuk menyosialisasikan tertib lantas. 

Dengan menyediakan ruang dan kesempatan berekspresi pada kesenian didong Gayo, kita tentu berharap  seni tradisi lisan ini akan terus hidup sebagai salah satu kekayaan budaya Nusantara yang digemari anak-anak muda. Seperti tanding rap itu, bukan? 

Editor Nuria Soeharto

Foto: Indonesiana.TV

Sumber:

Arfiansyah. 8 Januari 2017. “Didong, Bahasa, dan Etika.” LintasGAYO.co (daring, diakses 31 Juli 2021) 

Melalatoa, M.J. 1982. Didong, Kesenian Tradisional Gayo. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 

Vengesayi, Kwapi. 12 November 2019. “On Hip Hop: History of the Battle”. Museum of Pop Culture (daring, diakses 31 Juli 2021)