Bagaimanakah pendapat para ulama tentang jumlah jamaah shalat Jumat

Suasana Salat Jumat. Foto: Shutterstock.com/MuhammadTeguhPujianto

Salah satu salat yang wajib dikerjakan oleh kaum laki-laki adalah salat jumat. Salat jumat berbeda dengan shalat berjama’ah biasa yang cukup dilakukan minimal dengan dua orang yaitu Imam dan Makmum. Shalat jumat memiliki bilangan jama’ah tertentu. Kitab Tausyikh, Syarah Fathul Qarib, hal. 79 menyebutkan bahwa salah satu syarat sahnya shalat jumat adalah harus dikerjakan minimal oleh 40 jama’ah beserta imam. Jika jumlah kurang dari 40 jama’ah, maka tidak sah.

Salat jumat merupakan salat berjama’ah yang dilaksanakan pada hari jumat waktu dzuhur, dalam batasan wilayah negeri atau kampung. Setelah dua khutbah dan tidak didahului oleh jamaah lain disatu kampung. Pelaksanaan shalat jumat, terdapat ketentuan yang berbeda karena perbedaan mazhab yang perlu dipahami agar shalat jumat yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang dicontohkan nabi Muhammad SAW.

Ulama berbeda pendapat tentang jumlah jama’ah salat jumat. Beberapa ulama menyebutkan salat jumat sah atau boleh dengan dua orang makmum. Namun Abu Hanifah berpendapat jumlah yang sah adalah minimal terdapat tiga orang makmum. Hal ini berdasarkan hadis dari Thabrani yang menyebutkan bahwa “Jumat itu wajib bagi setiap desa yang ada padanya seorang imam, walaupun penduduknya hanya ada empat orang”.

Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa salat jumat sudah sah jika diikuti minimal 40 orang. Beliau beranggapan bahwa orang yang keluar dari masjid untuk melihat dagangannya, kemudian kembali lagi hingga jumlah jamaah menjadi 40 lagi. Lalu nabi Muhammad SAW melanjutkan kembali khutbahnya dan salat jumat bersama mereka (40 orang).

Beliau berpendapat seperti itu atas dasar firman Allah SWT dalam QS. Al-Jumuah (62): 9 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. Sedangkan menurut Imam Malik, jika jumlah jama’ah kurang dari 40 sholat jumat tetap sah, namun dengan syarat jumlah jama’ah tidak hanya tiga atau empat jama’ah saja. Jumlah minimal jamaah ini sekiranya bisa menjadikan satu kampung.

Berdasarkan pendapat imam mazhab tersebut dapat disimpulkan bahwa agama tidak menetapkan batasan jama’ah salat jumat, hanya saja tergantung kepada mazhab yang digunakan oleh jama’ah tersebut.

alhikmah.ac.id – Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa ba’d:

Memang sebagian masyarakat kita meyakini bahwa sahnya shalat Jumat adalah minimal 40 orang. Ini tidak bisa disalahkan begitu saja, dan patut dihargai karena berasal dari pendapat salah satu ulama Ahlu Sunnah, yakni Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu. Bahkan Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari, bahwa dalam masalah ini terdapat lima belas pendapat para ulama.

Namun demikian pendapat-pendapat tersebut adalah  lemah. Ditinjau dari dua sisi. Pertama, tak ada satu pun riwayat yang shahih tentang batasan jumlah jamaah shalat Jumat. Kedua, sekali pun shahih, riwayat tersebut sifatnya hanya pengabaran (pemberitaan) saja bahwa dahulu pernah ada   shalat Jumat yang diikuti 40 orang. Jelas ini tidak bisa dijadikan dalil, sebab jika lain waktu – pada zaman  itu – pernah melihat  jumlah jamaah adalah 60 orang apakah lantas 60 orang adalah jumlah minimal? Atau lain kali melihat adalah 100 orang maka 100 orang adalah jumlah minimal? Tentu tidak demikian, apa yang terjadi saat itu tentu keadaan yang sifatnya –bahasa orang kebanyakan- ‘kebetulan’.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وقد قال عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث تعيين عدد مخصوص.

Abdul Haq telah berkata: “Tidak ada hadits  yang  shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.” Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.” [1]

Dua Orang Sudah Sah dan Mencukupi

Ya, dua orang, satu imam dan satu makmum atau lebih, sudah sah. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والرأي الراجح أنها تصح باثنين فأكثر

“Dan pendapat yang kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan dua orang atau lebih.”[2]

Hal ini berdasarkan riwayat, dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ

“Dua orang atau lebih adalah jamaah.”[3]

Sebenarnya hadits ini dhaif, sebagaimana yang dikatakan Imam Al Haitsami[4] dan Syaikh Al Albani.[5]

Namun, Imam Bukhari telah menjadikan teks hadits itu menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya, yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah, yakni Bab: Itsnan famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).

Dalam Bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Al Huwairits Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إذا حضرت الصلاة فأذنا وأقيما، ثم ليؤمكما أكبركما

“Jika datang waktu Shalat, maka adzanlah dan tegakkanlah shalat oleh kalian berdua, dan hendaknya yang menjadi imam adalah yang lebih tua dari kalian berdua.”[6]

Hadits ini menunjukkan bahwa walaupun berdua, maka shalat jamaah telah memadai, dan dalam hal ini shalat Jumat termasuk di dalamnya.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا .

“Menurut ijma’ (kesepakatan), semua shalat sudah disebut berjamaah walau pun dua orang, dan shalat Jumat juga demikian, tidak ada kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti lebih dari shalat selainnya.” [7]

Terakhir, saya sampaikan perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah:

صلاة الجماعة قد صحت بواحد مع الإمام وصلاة الجمعة هي صلا ة من الصلوات فمن اشترط فيها زيادة على ما تنعقد به الجماعة فعليه الدليل و لا دليل والعجب من كثرة الأقوال في تقدير العدد حتى بلغت إلى خمسة عشر قولا ليس على شيء منها دليل يستدل به قط إلا قول من قال : إنها تنعقد جماعة الجمعة بما تنعقد به سائر الجماعة كيف والشروط إنما تثبت بأدلة خاصة تدل على انعدام المشروط عند انعدام شرطه فإثبات مثل هذه الشروط بما ليس بدليل أصلا فضلا عن أن يكون دليلا على الشرطية مجازفة بالغة وجرأة على التقول على الله وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم وعلى شريعته لا أزال أكثر التعجب من وقوع مثل هذا للمصنفين وتصديره في كتب الهداية وأمر العوام والمقصرين باعتقاده والعمل به وهو على شفا جرف هار ولم يختص هذا بمذهب من المذاهب ولا بقطر من الأقطار ولا بعصر من العصور بل تبع فيه الآخر الأول كأنه أخذه عن أم الكتاب وهو حديث خرافة

“Shalat berjamaah sah dilakukan walaupun hanya dengan seorang (makmum) bersama seorang imam, sedangkan shalat Jumat merupakan salah satu dari shalat-shalat wajib lainnya. Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan yang ada pada shalat berjamaah, maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya dia tidak akan mendapatkan dalilnya. Anehnya banyak sekali pendapat tentang bilangan tersebut hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil yang dijadikan landasan oleh mereka kecuali satu pendapat saja. Sesungguhnya shalat Jum’at sama dengan jumlah pada shalat-shalat (berjamaah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan syarat hanya bisa tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa suatu ibadah tidak sah kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan syarat seperti ini (jumlah tertentu) sama sekali tidak berlandaskan atas sebuah dalil, terlebih lagi sikap tersebut merupakan kelancangan yang teramat sangat dan merupakan keberanian untuk berbicara atas Nama Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam syariatNya.

Saya senantiasa merasa heran kenapa hal itu bisa terjadi di kalangan para penulis, bahkan dicantumkan di dalam buku-buku panduan shalat, mereka memerintahkan orang awam untuk meyakini dan mengamalkannya, padahal pendapat tersebut ada di dalam jurang kehancuran, pendapat tersebut tidak khusus ada di dalam satu mazhab dari berbagai mazhab, juga bukan terjadi hanya pada satu daerah saja. Akan tetapi terjadi secara turun-menurun, seakan-akan pendapat tersebut diambil dari Kitabullah, padahal ia hanya merupakan hadits khayalan belaka.”[8]

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala AAlihi wa Shahbihi ajmain

Demikian. Wallahu A’lam.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA