Show
Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang bermula dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada akhir-akhirnya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan untuk penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil. Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas lebih kurang 8 juta kilometer2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, beberapa Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, beberapa akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno hingga ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan harus militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6] Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat luas dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada akhir-akhirnya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada akhir-akhirnya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus menghentikan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, mudah untuk dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada akhir-akhirnya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran sekitar tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap berkembang dan pada akhir-akhirnya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4] Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme hingga ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran luas ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani untuk turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara keseluruhan dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia lebih dari 3000 tahun dan memiliki panjang lebih dari 44 mil (71 km.)[13] Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa sekitar 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau sekitar 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan jumlah penduduk paling banyak.[16] Asal usulNama Persia bermula dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, berdasarkan naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]
Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, adalah bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awal mulanya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia bidang dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu sekitar tahun 1000 SM[19] dan pada awal mulanya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal. PerluasanPada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, beberapa Yunani, Libya, bidang utara Jazirah Arab serta India barat laut. Perang Yunani-PersiaSetelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi untuk menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah untuk meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, baik dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu akhir-akhirnya dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana untuk memecat Aristagoras dari jabatan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih untuk menghasut negara-negara kota Ionia untuk memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka. karena itu terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga diikuti oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia. Konflik tersebut berlanjut hingga tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang lebih akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia mendapatkan beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum akhir-akhirnya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat untuk kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang. Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada akhir-akhirnya dapat melanjutkan invasi. Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada akhir-akhirnya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur beberapa akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia. Fase kebudayaanXerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut. Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia. Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk untuk menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada akhir-akhirnya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang bermula dari Babylon, memohon kepada Darius untuk menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak. Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis turut campur sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan jabatan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan untuk melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes akhir-akhirnya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang akhir-akhirnya dengan kematian Koresh. Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama sekitar 45 tahun, hingga tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia merasakan kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes. KeruntuhanArtaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, untuk mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai bidang dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena karena yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena karena alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22] Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Lebih jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya. Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung. AgamaKuil, walaupun berfungsi untuk tujuan keagamaan, namun berguna juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil harus, adalah bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23] Daftar raja wangsa AkhemeniyahBelum terbukti
Sudah terbuktiDi awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka mendapatkan kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir. Keterangan
Catatan kaki
Sumber : id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya. Page 2
Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang bermula dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada yang belakang sekalinya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan bagi penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil. Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas bertambah kurang 8 juta kilometer2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, beberapa Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, beberapa akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno sampai ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan harus militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6] Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat lapang dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada yang belakang sekalinya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada yang belakang sekalinya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus membubarkan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, gampang bagi dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada yang belakang sekalinya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran bertambah kurang tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap menjadi bertambah sempurna dan pada yang belakang sekalinya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4] Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme sampai ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran lapang ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani bagi turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara semuanya dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia bertambah dari 3000 tahun dan memiliki panjang bertambah dari 44 mil (71 km.)[13] Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa bertambah kurang 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau bertambah kurang 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan banyak penduduk paling banyak.[16] Asal usulNama Persia bermula dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, berdasarkan naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]
Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, adalah bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awal mulanya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia segi dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu bertambah kurang tahun 1000 SM[19] dan pada awal mulanya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal. PerluasanPada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, beberapa Yunani, Libya, segi utara Jazirah Arab serta India barat laut. Perang Yunani-PersiaSetelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi bagi menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah bagi meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, tidak sewenang-wenang dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu yang belakang sekalinya dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana bagi memecat Aristagoras dari jabatan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih bagi menghasut negara-negara kota Ionia bagi memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia bagi memimpin mereka. karena itu terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga disertai oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia. Konflik tersebut berlanjut sampai tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang bertambah akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia mendapatkan beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum yang belakang sekalinya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat bagi kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang. Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada yang belakang sekalinya dapat melanjutkan invasi. Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada yang belakang sekalinya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur beberapa akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia. Fase kebudayaanXerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut. Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia. Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk bagi menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada yang belakang sekalinya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang bermula dari Babylon, memohon kepada Darius bagi menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak. Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis ikut-ikut sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan jabatan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan bagi melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes yang belakang sekalinya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang yang belakang sekalinya dengan kematian Koresh. Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama bertambah kurang 45 tahun, sampai tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia merasakan kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes. KeruntuhanArtaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, bagi mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai segi dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena sebab yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena sebab alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22] Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Bertambah jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya. Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung. AgamaKuil, walaupun berfungsi bagi tujuan keagamaan, namun mempunyai manfaatnya juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil harus, adalah bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23] Daftar raja wangsa AkhemeniyahBelum terbukti
Sudah terbukti
Di awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka mendapatkan kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir.
Keterangan
Catatan kaki
Sumber : id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya. Page 3
Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang bermula dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada yang belakang sekalinya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan bagi penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil. Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas lebih kurang 8 juta kilometer2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, sebagian Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, sebagian akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno sampai ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan harus militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6] Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat luas dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada yang belakang sekalinya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada yang belakang sekalinya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus menghentikan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, mudah bagi dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada yang belakang sekalinya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran sekitar tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap menjadi bertambah sempurna dan pada yang belakang sekalinya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4] Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme sampai ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran luas ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani bagi turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara semuanya dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia lebih dari 3000 tahun dan memiliki panjang lebih dari 44 mil (71 km.)[13] Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa sekitar 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau sekitar 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan jumlah penduduk paling banyak.[16] Asal usulNama Persia bermula dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, berdasarkan naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]
Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, adalah bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awal mulanya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia segi dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu sekitar tahun 1000 SM[19] dan pada awal mulanya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal. PerluasanPada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, sebagian Yunani, Libya, segi utara Jazirah Arab serta India barat laut. Perang Yunani-PersiaSetelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi bagi menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah bagi meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, tidak sewenang-wenang dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu yang belakang sekalinya dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana bagi memecat Aristagoras dari jabatan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih bagi menghasut negara-negara kota Ionia bagi memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia bagi memimpin mereka. karena itu terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga disertai oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia. Konflik tersebut berlanjut sampai tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang lebih akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia mendapatkan beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum yang belakang sekalinya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat bagi kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang. Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada yang belakang sekalinya dapat melanjutkan invasi. Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada yang belakang sekalinya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur sebagian akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia. Fase kebudayaanXerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut. Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia. Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk bagi menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada yang belakang sekalinya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang bermula dari Babylon, memohon kepada Darius bagi menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak. Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis ikut-ikut sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan jabatan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan bagi melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes yang belakang sekalinya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang yang belakang sekalinya dengan kematian Koresh. Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama sekitar 45 tahun, sampai tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia merasakan kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes. KeruntuhanArtaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, bagi mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai segi dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena sebab yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena sebab alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22] Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Lebih jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya. Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung. AgamaKuil, walaupun berfungsi bagi tujuan keagamaan, namun mempunyai manfaatnya juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil harus, adalah bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23] Daftar raja wangsa AkhemeniyahBelum terbukti
Sudah terbukti
Di awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka mendapatkan kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir.
Keterangan
Catatan kaki
Sumber : id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya. Page 4
Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang berasal dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada yang belakang sekalinya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan bagi penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil. Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas bertambah kurang 8 juta km2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, sebagian Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, sebagian akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno sampai ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan wajib militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6] Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat lapang dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada yang belakang sekalinya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada yang belakang sekalinya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus mencerai-beraikan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, gampang bagi dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada yang belakang sekalinya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran bertambah kurang tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap menjadi bertambah sempurna dan pada yang belakang sekalinya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4] Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme sampai ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran lapang ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani bagi turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara semuanya dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia bertambah dari 3000 tahun dan memiliki panjang bertambah dari 44 mil (71 km.)[13] Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa bertambah kurang 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau bertambah kurang 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan banyak penduduk terbanyak.[16] Asal usulNama Persia berasal dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, sesuai naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]
Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, yaitu bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awalnya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia segi dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu bertambah kurang tahun 1000 SM[19] dan pada awalnya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal. PerluasanPada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, sebagian Yunani, Libya, segi utara Jazirah Arab serta India barat laut. Perang Yunani-PersiaSetelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi bagi menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah bagi meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, tidak sewenang-wenang dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu berkesudahan dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana bagi memecat Aristagoras dari kedudukan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih bagi menghasut negara-negara kota Ionia bagi memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia bagi memimpin mereka. maka terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga disertai oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia. Konflik tersebut berlanjut sampai tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang bertambah akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia memperoleh beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum yang belakang sekalinya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat bagi kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang. Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada yang belakang sekalinya bisa melanjutkan invasi. Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada yang belakang sekalinya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur sebagian akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia. Fase kebudayaanXerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut. Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia. Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk bagi menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada yang belakang sekalinya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang berasal dari Babylon, memohon kepada Darius bagi menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak. Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis ikut-ikut sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan kedudukan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan bagi melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes yang belakang sekalinya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang berkesudahan dengan kematian Koresh. Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama bertambah kurang 45 tahun, sampai tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia mengalami kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes. KeruntuhanArtaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, bagi mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai segi dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena sebab yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena sebab alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22] Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Bertambah jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya. Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung. AgamaKuil, walaupun berfungsi bagi tujuan keagamaan, namun mempunyai manfaatnya juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil wajib, yaitu bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23] Daftar raja wangsa AkhemeniyahBelum terbukti
Sudah terbuktiDi awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka memperoleh kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir. Keterangan
Catatan kaki
Sumber : id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya. |