Apakah menjadi pusat perdagangan terbesar di Asia Tenggara pada abad ke?

KOMPAS.com - Pada saat perekonomian Asia maju, perekonomian Eropa justru masih tertinggal jauh. Pusat perkembangan ekonomi dan politik dunia dalam abas ke-14 sampai abad ke-15 merupakan dunia Islam, khususnya Turki Usmani.

Penguasaan atas wilayah-wilayah itu sekaligus telah menyekat jalur perdagangan dari Timur ke Barat yang mengakibatkan barang dagangan dari Timur seperti rempah-rempah menjadi langka dan harga tinggi.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI (1990) karya Marwati Djoened Poesponegoro, meski harga rempah-rempah mahal, minat bangsa Eropa terhadapnya justru semakin tinggi. Sehingga pedagang Eropa berupaya mencari jalan alternatif ke daerah penghasil komoditi tersebut.

Meningkatnya permintaan baik dari Eropa maupun negara lain, secara tidak langsung mendorong para produsen di Nusantara, khususnya Maluku untuk memperluas tanaman ekspornya, seperti pala dan cengkeh.

Baca juga: Pengertian Kolonialisme dan Imperialisme

Di Sumatera juga mengembangkan komoditi yang sedang banyak diminati, seperti lada. Meski harganya hanya separuh rempah-rempah, namun lada sudah termasuk komoditi ekspor yang penting dari Nusantara, bahkan Asia Tenggara.

Pusat perdagangan Malaka

Sejak runtuhnya Sriwijaya, kota pelabuhan terbesar sebagai pusat perdagngan adalah Malaka. Kota pelabuhan yang sekaligus menyandang nama kerajaan itu muncul pada abad ke-15 Masehi.

Kemunculannya sekaligus menggeser kedudukan Pasai dalam dunia perdagangan internasional. Secara geografis letak Malakan cukup strategis dan lebih menguntungkan dibandingkan Pasai.

Agar kotanya tetap ramai, penguasa Malaka berusaha mengamankan jalur perdagangannya dari bajak laut. Selain itu juga berupaya menjalin hubungan baik dengan Majapahit, Siam, dan China.

Malaka juga mengirimkan ekspedisi militernya ke negeri-negeri yang dianggap penting untuk dikuasai karena menghasilkan barang yang dibutuhkan Malaka.

Baca juga: Alasan Kedatangan Eropa ke Indonesia

Kota Malaka semakin berkembang pesat, apalaghi setelah penguasa Malaka menajdi Islam pada 1414. Hal tersebut mendorong semakin banyak pedagang Islam dari Arab dan India melakukan kegiatan perdagangan di Malaka.

Untuk menumbuhkan sistem birokrasi yang dapat memenuhi tugasnya dalam mengatur perekonomian, penguasa Malaka mengeluarkan jabatan yang erat kaitannya dengan perdagangan di pelabuhan adalah Syahbandar.

Ada empat syahbandar di Malaka, yaitu:

  1. Syahbandar yang mengurusi para pedagang Gujarat
  2. Syahbandar yang mengurusi para pedagang Keling, Bengali, Pegu, dan penduduk Pasai
  3. Syahbandar yang menjaga kepentingan pedagang Jawa, Malaka, Banda, Pelambang, Kalimantan, dan Filipina.
  4. Syahbandar yang menjaga dan mewakili pedagang China dan kepulauan Liu-Kiu.

Biblioteca Casanatense Ilustrasi bangsa Portugis dari abad ke-16 yang dimuat dalam Códice Casanatense. Tulisan di pojok kiri ilustrasi berbunyi, Orang dari Kerajaan Malaka yang disebut bangsa Malayos (Melayu).Masuknya Bangsa Portugis

Informassi mengenai kemajuan Kota Malaka dan kekayaannya sampai ke telinga Bangsa Portugis. Atas dasar informasi tersebut, utusan bangsa Portugis sampao ke Kota Malaka dan menjalin hubungan persahabatan dengan penguasanya dan menetap di Malaka sebagai perwakilan Bangsa Portugis.

Baca juga: Pesisir dan Pedalaman Zaman Kolonial

Namun, karena Sultan Muhammad Syah yang saat itu sebagai penguasa mendengar kabar bahwa kedatangan Portugis memiliki tujuan buruk, maka dirinya berniat merusak empat kapal milik Portugis namun gagal.

Hal ini membuat Portugis berpikir bahwa untuk menguasai perdagangan hanyalah dengan cara penaklukan, sekaligus mengokohkan eksistensinya dalam dunia perdagangan Asia.

Sebelum kembali ke Malaka, Portugis telah menguasai sekitar Teluk Persia dan pantai barat India yang dijadikan pangkalan.

Kemudian pada 1511, Kapten Portugis berlayar dari Goa menuju Malaka dengan membawa armada Portugis yang berkekuatan 1200 orang dan 18 kapal perang.

Perang terjadi secara sporadis sepanjang bulan Juli hingga awal Agustus dan dimenangkan oleh Portugis.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Kerajaan Malaka menjadi salah satu kerajaan Islam yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Karena letaknya yang strategis, kerajaan ini merupakan pusat perdagangan dan penyebaran agama Islam di Nusantara. Penasaran dengan kelanjutan sejarah Kerajaan Malaka? Yuk simak ulasan lengkapnya, seperti berikut ini!

Awal Mula Kerajaan Malaka di Nusantara

Menjadi salah satu kerajaan Islam yang berkembang di Asia Tenggara, kerajaan ini terletak di wilayah yang strategis dan mudah dijangkau. 

Pasalnya, lokasi kerajaan ini dekat dengan jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Sementara itu, ibu kota kerajaan ini berada di Melaka tepatnya di dekat dengan Selat Malaka. 

Awal mula kerajaan ini dapat berdiri karena adanya campur tangan dari Parameswara. Ia merupakan anak dari raja Sriwijaya yang berhasil selamat ketika sedang terjadi serangan dari kerajaan Majapahit atau dikenal dengan Perang Paragreg. 

Akhirnya, Parameswara memimpin kerajaan sejak tahun 1403 sampai dengan tahun 1424. Karena merupakan anak dari raja Sriwijaya, ia bukanlah pemeluk agama Islam. Barulah pada pertengahan masa pemerintahannya, 

Parameswara memutuskan untuk memeluk Islam. Diketahui, keputusan besarnya tersebut tak lepas dari pengaruh para pedagang Islam. Hal ini karena lokasi kerajaan Malaka yang merupakan pusat perdagangan besar yang banyak dikunjungi pedagang Islam.

Keputusannya untuk memeluk agama Islam juga membuat Parameswara mengubah namanya menjadi Iskandar Syah. 

Kepemimpinannya dalam sejarah Kerajaan Malaka berlanjut hingga digantikan oleh anaknya pada tahun 1424 bernama Sultan Muhammad Syah. Di masa kepemimpinannya, wilayah kerajaan mengalami perluasan hingga seluruh Semenanjung Malaka. 

Setelah masa kepemimpinan Sultan Muhammad Syah, ia digantikan oleh saudaranya pada tahun 1444 hingga 1459 bernama Sultan Muzhaffar Syah. 

Masa pemerintahan berikutnya dipegang oleh Sultan Mansur Syah yang menjabat mulai tahun 1459 sampai dengan 1477. Kemudian, dilanjutkan oleh Sultan Alauddin Syah (1477-1488) dan terakhir Sultan Mahmud Syah (1488 – 1528). 

Baca Juga: Mengupas Sejarah Kerajaan Aceh di Masa Lampau

Masa Keemasan dan Penyebab Runtuh

Sistem pemerintahan yang digunakan yaitu kerajaan, dimana mewariskan takhta kepada penerus putra mahkota. Pewarisan takhta ini dimulai dari era Muhammad Iskandar Syah sampai dengan masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah. Pemerintahan ini terus berlanjut hingga masa keruntuhan kerajaan ini terjadi. 

Kerajaan ini memperoleh masa kejayaannya di masa kepemimpinan Sultan Muzhaffar Syah yang menjabat tahun 1444 hingga 1459. Pada catatan sejarah Kerajaan Malaka diketahui bahwa ia berhasil menjadikan Malaka sebagai pusat perdagangan antara Barat dan Timur. 

Bahkan, prestasi kerajaan ini mampu membuat kerajaan Siam bertekuk lutut dihadapkan kerajaannya. Perluasan wilayah terus berlangsung sampai melebar ke Pahang, Indragiri, dan juga Kampar. 

Setelah itu masa kejayaan terus berlanjut dan dirasakan pada masa kepemimpinan Sultan Mansyur Syah. Dalam masa kepemimpinan raja Sultan Mansyur Syah, terdapat laksamana bernama Hang Tuah yang membantu dalam melakukan perluasan wilayah. 

Masa kejayaan Kerajaan Malaka tidak berlangsung abadi, sebab keruntuhan mulai dirasakan di era Sultan Alaudin Syah. Tak berhenti sampai di situ saja, hal ini berlanjut hingga kepemimpinan Sultan Mahmud Syah. 

Di masa ini wilayah yang semula menjadi kekuasaannya, perlahan mulai terlepas satu persatu. Sampai pada akhirnya, Kerajaan Malaka harus berhadapan dengan pasukan Portugis. 

Perebutan kekuasaan wilayah oleh Portugis ini dipimpin oleh Alfonso D’albuquerque. Perlawanan terus dilakukan, namun akhirnya kerajaan Malaka mengalami kegagalan. Sehingga, sejarah Kerajaan Malaka harus berakhir karena wilayahnya menjadi milik Portugis. 

Baca Juga: 5 Perkembangan Sejarah Kerajaan Hindu Budha di Indonesia

Peninggalan Kerajaan Malaka

Kerajaan Malaka memiliki peran penting atas penyebaran agama Islam di Nusantara, terlebih di era pemerintahan Sultan Mansyur Syah. 

Kerajaan ini memiliki saksi bisu yang masih bisa disaksikan hingga kini, mulai dari masjid, benteng, hingga karya sastra.  Bangunan tersebut tersebar di beberapa wilayah yang ada di Indonesia bahkan negara tetangga.  

Peninggalan kerajaan ini meliputi Masjid Agung Deli  yang ada di Kota Medan, Masjid Raya Baiturrahman Aceh, Masjid Johor Baru Malaysia, hingga Benteng A’ Famosa yang merupakan bangunan berarsitektur ala Eropa tertua di benua Asia. 

Menariknya, di dalam benteng A’ Famosa terdapat mata uang yang menjadi bukti sejarah Malaka di bidang perdagangan. 

Tidak hanya meninggalkan bangunan bersejarah saja, sebab kerajaan ini juga melahirkan karya sastra yang cukup banyak. 

Bukti karya sastra kerajaan ini dibagi menjadi empat kategori, yaitu hikayat, suluk, syair, riwayat, dan nasihat. Masing masing karya sastra tersebut memiliki konsep yang berbeda. 

Seperti contoh karya sastra sejarah Kerajaan Malaka hikayat yang memiliki konsep seperti dongeng, tetapi bernuansa Islami. Selanjutnya, ada suluk yang merupakan karya sastra berisi tasawuf mengenai ketuhanan. 

Selain itu, terdapat karya sastra syair yang berupa puisi lama yang terdiri dari 4 baris. Selain itu ada riwayat dan nasihat yang berisi kisah kehidupan para nabi. 

Peninggalan masa Kerajaan Malaka memang mampu memberikan nilai sejarah tersendiri, terutama dalam penyebaran Islam di Nusantara. Bukti peninggalan sejarah kerajaan ini tak hanya berupa bangunan yang masih kokoh hingga kini, tetapi juga melahirkan karya sastra otentik. Bahkan, karya sastranya masih bisa dinikmati hingga masa modern seperti saat ini. 

Baca Juga: Mengenang Sejarah Kerajaan Kediri, Awal Berdiri Hingga Runtuh