This Paper A short summary of this paper 37 Full PDFs related to this paper This Paper A short summary of this paper 31 Full PDFs related to this paper
THOUGHT OF KH. AHMAD DAHLAN IN THE FIELDS changing the direction of the Qibla, as well as care for orphans. 2) KH. Ahmad Dahlan’s Thought in the field of education is inseparable from all outside influence, namely Muhammad Abduh. KH. Ahmad Dahlan moved to build Islamic school. Collaboration educational system between the secular education system and education teach religion only. So formed religious school and common knowledge taught. While the method using the method of education the pupils asked. Keyword: KH Ahmad Dahlan, Social Thought, Education Thought. . PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN DALAM BIDANG SOSIAL DAN PENDIDIKAN Abstrak Oleh Defti Arlen Sekitar awal abad ke 19 muslim di Yogyakarta belum benar-benar memahami apa itu Islam. Hal inilah yang mendasari KH. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaruan dalam bidang sosial dan pendidikan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan menganalisis sumbangan pemikirannya dalam bidang sosial dan pendidikan. Objek penelitian adalah pemikiran KH. Ahmad Dahlan. Teknik pengumpulan data menggunakan studi literatur dan dokumentasi. Pengecekan keabsahan data menggunakan triangulasi. Teknik analisis data menggunakan Critical Analysis Discourse (CDA). Berdasarkan penelitian diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam bidang sosial dipengaruhi oleh kaum intelek di wilayah Timur Tengah, yang bernama Sayid Jamaluddin Al Afghani. Gerak nyata yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan yaitu: mendirikan organisasi sosial Muhammadiyah, senantiasa mengajak umat muslim melakukan sholat ied di tanah lapang, mengubah arah kiblat, serta menyayangi anak yatim. 2) Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan tidak terlepas pula dari pengaruh luar yaitu Muhammad Abduh. KH. Ahmad Dahlan tergerak untuk membangun sekolah Islam. Sistem pendidikan mengkolaborasikan antara sistem pendidikan sekuler dan pendidikan yang hanya mengajarkan agama saja. Sehingga terbentuklah sekolah agama dan pengetahuan umum pun tetap diajarkan. Sedangkan metode pendidikan menggunakan metode murid bertanya. Kata kunci: KH Ahmad Dahlan, pemikiran bidang sosial, pemikiran bidang pendidikan DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. SkemaKerangkaPikir……………………………………… Gambar KH Ahmad Dahlan………………………………... GambarNyai Ahmad Dahlan………………………………. LambangOrganisasiMuhammadiyah……………………… LambangOrganisasiAisyiyah……………………………… GambarAnggotaPengurusMuhammadiyah………………. Muriddan Guru Madrasah Muhammadiyah………………. Masjid Gedhe………………………………………………. 50 137 138 139 140 141 142 143 DAFTAR TABEL Halaman 1.1 Empat Model Pokokpembaruanpendidikan diPondokMuhammadiyah……………………………………. 1.2 PembentukanPemikiran KH. Ahmad Dahlan Dalambidangsosialberdasarkanpemikiran SayidJamaluddin Al Afghani…………………………………. 1.3 PembentukanPemikiran KH. Ahmad Dahlan Dalambidangpendidikanberdasarkanpemikiran Muhammad Abduh…………………………………………….. 114 117 124 PERSEMBAHAN Dipersembahkan dengan setulus kasih kepada: Sepasang pahlawan yang telah mengajariku membaca mulai dari Alif- BaTa, A- B- C- D, berhitung 1- 2- 3- dan seterusnya, Ayahanda Hasannuddin, A.Md dan Ibunda Sutinah Wati. Diperuntukkan dengan sebening cinta kepada: Seorang kekasih, sahabat, teman dalam suka dan duka Sekaligus suami yang senantiasa sabar, M. Saipurrozi, S.Hut Sebagai kado sederhana kepada: Anakku yang selalu berada di sampingku, Nata Raja Diwangga M OT T O H ist oria V it a e M a gist ra (Cic e ro) Se ba ik - ba ik nya m a nusia a da la h dia ya ng be rguna ba gi m a nusia la in. (m e ) RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis bernama Defti Arlen dilahirkan di Tanjung Raja Kec. Tanjung Raja Kabupaten Lampung Utara pada tanggal 23 Desember 1989. Penulis adalah anak ke satu dari lima bersaudara pasangan Bapak Hasannuddin dan Ibu Sutinah Wati. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis antara lain : 1. 1995 - 2001 SD Negri 02 Tanjung Raja Lampung Utara 2. 2001 – 2004 SMP N 01 Tanjung Raja Lampung Utara 3. 2004 – 2007 SMA Gajah Mada Bnadar Lampung 4. 2007 – 2011 Mahasiswa Universitas Lampung di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Program Studi Pendidikan Sejarah. 5. 2012 sampai dengan sekarang Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. vii SANWANCANA Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ”Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam Bidang Sosial dan Pendidikan”. Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam rangka memperoleh gelar Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial pada Program Pascasarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Kegeruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari hambatan yang datang baik dari luar maupun dari dalam diri penulis sendiri, penulisan tesis ini pun tidak lepas dari bimbingan, bantuan serta petunjuk dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P Herianto, M.S selaku Rektor Universitas Lampung. 2. Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S selaku Direktur Pascasarjana Universitas Lampung sekaligus sebagai pembimbing I tesis yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang sangat membangun. viii 3. Bapak Dr. Bujang Rahman, M,Si. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. 4. Bapak Dr. Hi. Pargito, M.Pd selaku ketua Program Pascasarjana Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Lampung sekaligus sebagai dosen pembahas utama tesis. Terimakasih kepada bapak yang telah banyak memberikan masukan serta bimbingannya. 5. Ibu Dr. Risma Margaretha Sinaga, M.Hum selaku pembimbing II yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan, masukan, saran, dan kritik sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. 6. Ibu Dr. Pujiati,M.Pd selaku dosen pembahas kedua yang telah memberikan masukan, saran sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan SosialFKIP Universitas Lampung. 8. Rekan-rekan seperjuangan magister pendidikan IPS angkatan 2012 Apriyanti, S.Pd, Inayahtullah, S.Pd, ibu Fauziah, S.Pd, Ibu fatma, ibu Sumarti, fatma rosa, mb merita sagita. 9. Teman – teman magister Pendidikan IPS FKIP Univerrsitas Lampung 10. Serta kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. ix Semoga amal baik yang Bapak, Ibu, Saudara berikan, akan selalu mendapatpahala dari dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata dengan kerendahan hati, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat. Bandar Lampung, Juni 2014 Penulis, Defti Arlen x 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari sentuhan ajaran agama, khususnya Agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya sekolah-sekolah yang bernuansa Islami, seperti pondok pesantren dan madrasah. Agama Islam tersebar dan berkembang dengan pesat. Persebarannya pun sampai pada Pulau Jawa. Hal ini dipertegas dengan pendapat Sutrisno (1998: 9-10) menyatakan bahwa, “Di Pulau Jawa agama Islam juga berkembang dengan pesat. Kapan tepatnya agama Islam masuk ke Jawa dengan tepat sungguh sulit menetapkannya.” Perkembangan Agama Islam yang terjadi di Pulau Jawa belum dapat dikatakan berhasil, khususnya pada abad ke- 19. Hal ini diperjelas oleh pernyataan Anshoriy (2010: 35) menyatakan bahwa. “Masyarakat Islam di tanah Jawa pada permulaan abad ke 20 boleh dikatakan gelap, pengap, dan tidak cukup memuaskan. Hal ini disebabkan sikap Pemerintah Hindia Belanda yang menghalang-halangi perkembangan agama Islam, ditambah keadaan jiwa masyarakat Indonesia yang masih jauh dari yang diinginkan menurut Islam. Potret umat Islam di tanah Jawa sebelum tahun 1900, secara spiritual tampak mengalami kemunduran”. Keadaan yang demikian, diperparah lagi dengan adanya sikap dari Pemerintah Hindia Belanda yang memarginalkan umat muslim. Sehingga sangat sulit untuk mengalami perkembangan sebagaimana yang diungkapkan oleh Fakhruddin 2 dalam Sutrisno (1998: 20) menyatakan bahwa, “Umat Islam Indonesia pada waktu sebelum tahun 1900 tampak dalam keadaan kemunduran. Umat Islam dilanda oleh arus formalisme tanpa menyadari dan menghayati apa yang terkandung dalam ajaran itu.” Formalisme dalam agama menunjukkan keadaan atau gejala di mana masyarakat pendukung dan pemeluknya hanya berpegang dan memperlihatkan segi lahiriyah dari pengalaman agama itu, tanpa mendalami arti hakikinya. Berbagai ritual merajalela tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Hal-hal tersebut seperti: bid’ah, khurafat, takhayul, dan syirik. Sutrisno (1998. 26-27) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah, khurafat, takhayul, dan syirik adalah sebagai berikut. “Bid’ah ialah penemuan baru atau penyimpangandari apa yang biasa dilakukan dan disetujui menurut sunah, sedangkan yang dimaksud dengan takhayul ialah kepercayaan terhadap yang serba khayal seperti bayangan, fantasi, gagasan khayal yang menguasai seluruh jiwa seorang manusia atau kelompok. Takhayul menyebabkan manusia selalu hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran serta menyebabkan berbagai jenis penyakit atau gangguan jiwa. Takhayul sendiri mengakui bahwa segala bayangan dan khayalan itu merupakan suatu kebenaran. Akhirnya, manusia akan tidak berdaya karena rasa takut dan khawatir. Syirik mengandung arti mempersekutukan Tuhan Yang Maha Esa. Baik takhayul, maupun khurafat, dan syirik menunjukkan tanda-tanda kelemahan”. Keadaan umat Islam yang demikian, menurut catatan sejumlah tokoh pembaharu Islam ketika itu khususnya untuk daerah di Pulau Jawa, juga disebabkan oleh upaya para Wali dalam menyiarkan agama Islam belum sampai kepada taraf memberikan ajaran yang termuat dalam Al- Quran secara utuh. Lebih lanjut Anshoriy (2010: 36) menyatakan bahwa. ”Ajarannya baru sampai kepada hal-hal dasar yang membentuk umat Islam, dalam pengertian, sebagai suatu bangsa yang menganggap agama 3 Islam itu adalah agama dari para raja di tanah Jawa. Meskipun pengajaran untuk shalat, puasa, dan sebagainya sudah diberikan, tetapi para Wali belum sempat memberikan hikmah dan faedah dari ibadah-ibadah tersebut. Maka tidak heran jika ibadah secara Islam pada waktu itu baru menjadi upacara keagamaan dan belum dipahami maksud dan tujuannya. Itulah sebabnya tidak terdapat sinar kebesaran dan kecemerlangan dalam masyarakat yang menganut agama Islam.” Masyarakat melaksanakan zakat dan kurban seperti yang diajarkan agama Islam. Masyarakat juga mencari ilmu dan menyadari bahwa menyia-nyiakan anak yatim itu berdosa. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa ketika itu sepertinya tidak mengindahkan hukum dan ajaran agama Islam. Ditambah lagi masyarakat Islam seperti belum mantap dalam hal ketauhidan, masih memakai adat dan tradisi-tradisi yang telah diwariskan sebagai bagian di dalam upacara-upacara keagamaan. Menurut Anshoriy (2010: 37) “Alam animisme masih kuat di lingkungan masyarakat. Misalnya memperlakukan Al-Quran sebagai jimat, sebagai kitab keramat yang harus dipuja-puja. Padahal, Al-Quran semestinya dibaca dan dimengerti sebagai petunjuk dalam amalan manusia agar selamat hidupnya dunia akhirat.” Sesuai dengan alam dan pikiran animisme itu, masyarakat sering mengadakan ritual selamatan ataupun pertemuan di antara keluarga dan para tetangga, dengan hidangan berbagai sajian lengkap untuk dipersembahkan kepada para arwah leluhur dan arwah Nabi Muhammad SAW. Ditinjau dari segi kemasyarakatan dan budaya, ritual selamatan memang memiliki nilai sosial seperti keakraban di antara masyarakat itu sendiri. Hanya saja karena penyajian sesajian itu justru untuk suatu tujuan yang berdasarkan alam pikiran animis, maka terasa menyimpang dari ajaran agama Islam yang murni atau yang 4 sesuai dengan Al Quran dan Hadist. Maka dari itu untuk memurnikan kembali ajaran Islam diperlukan tokoh pemikir yang kelak akan membawa pembaharuan di dalam ajaran agama Islam. Ada banyak tokoh pembaru Agama Islam yang tersebar di Indonesia diantaranya: Syaikh Jamil Jambek, Syaikh al Minangkabawi, dan KH Ahmad Dahlan dari Yogyakarta sesuai dengan fokus kajian peneliti. Yogyakarta memang sudah terkenal sebagai kota perjuangan yang bersejarah. Sejarah memberi bukti berkali-kali Yogyakarta tampil ke muka sebagai pusat perjuangan. Di samping itu, yogyakarta juga memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Ditinjau dari segi geografi, Yogyakarta terhitung daerah pedalaman yang sunyi dan jauh dari keramaian maupun hubungan dari dunia luar. Uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sekitar tahun 1900 awal kemunculan tokoh pembaru dalam Islam. Lebih lanjut Anshoriy (2010: 37) menegaskan “Dalam setting sosio kultural seperti itulah muncul seorang pembaharu atau bisa dikatakan seorang yang memberikan pencerahan yang kelak pemikirannya akan banyak membawa perubahan, baik dalam ajaran agama Islam, sosial serta memberikan kontribusi dalam alam pendidikan.” Dalam hal ini dia adalah KH Ahmad Dahlan sesuai dengan fokus penelitian. Semasa pertumbuhan dan perkembangan KH Ahmad Dahlan banyak melihat berbagai kejadian atau fenomena yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Sehingga fenomena tersebut mempengaruhi pola pikir KH Ahmad Dahlan bertekat untuk melakukan pemurnian ajaran Islam kembali. Pemikiran atau ide-ide K.H. Ahmad Dahlan tidak terlepas dari hasil petualangannya dalam rangka menimba ilmu di berbagai tempat seperti Mekkah dan Kairo. Maka saat 5 KH Ahmad Dahlan menimba ilmu inilah dia banyak berjumpa dengan tokohtokoh pembaru Islam. Diantaranya Sayid Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Pemikiran bidang sosial KH Ahmad Dahlan tertuang dalam gerakan Muhammadiyah yang ia dirikan pada tanggal 18 November 1912. Organisasi ini mempunyai karakter sebagai gerakan sosial keagamaan. Titik tekan perjuangannya mula-mula adalah pemurnian ajaran Islam dan bidang pendidikan. Muhammadiyah mempunyai pengaruh yang berakar dalam upaya pemberantasan bid’ah, khurafat dan tahayul. Lebih lanjut menurut Sanusi (2013: 91) sebagai berikut. “dalam praktik sosialnya, K.H Ahmad Dahlan hendak menyederhanakan praktik sosial yang dianggapnya rumit dan menjadi beban bagi masyarakat. Seperti halnya acara slametan yang bila dilaksanakan akan membutuhkan modal yang tidak sedikit”. Ide pembaruannya menyentuh aqidah dan syariat, misalnya tentang upacara kematian talqin, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, menziarahi kuburan yang dikeramatkan, memberikan makanan sesajen kepada pohon-pohon besar, jembatan, rumah angker dan sebagainya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam, dikarenakan dapat mendorong timbulnya kepercayaan syirik serta dapat merusak aqidah Islam. Latar belakang lahir Muhammadiyah ada dua hal, yaitu: pertama, bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad XX, terutama melalui tokoh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dari kedua tokoh 6 pembaharuan Islam ini, gagasan Muhammad Abduh diakui memiliki pengaruh paling besar dan bertahan lama terhadap lahirnya Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh, seperti juga K.H. Ahmad Dahlan, dalam agenda pembaharuan mereka lebih memberikan perhatian kepada upaya-upaya pendidikan. Kedua, kenyataan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respon terhadap pertentangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Dalam kaitan ini, Muhammadiyah lahir dari proses pertentangan yang panjang dan berlangsung perlahan antara dua kelompok besar dalam masyarakat Jawa. Di pulau Jawa, kelompok elitnya kembar: kaum priyayi, kaum muslimin yang dangkal tingkat komitmen keIslamannya, sedang di satu pihak, dan kaum santri, kaum muslimin yang taat. Konsep Islam yang hendak K.H. Ahmad Dahlan dekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur'an sematamata, tetapi juga dapat memahami makna yang terkandung di dalam Al Quran. Maka diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang terdapat di dalam Al Qur’an. Bidang pendidikan, K.H hmad Dahlan lantas mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka K.H Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah 7 agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur'an. Di samping itu, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. K.H Ahmad Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolahsekolah, masjid, langgar, rumah sakit, dan poliklinik. K.H. Ahmad Dahlan semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme, dan Kejawen. Inti gerakan pemurnian ajaran Islam seperti pendahulunya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab cukup bergema. K.H. Ahmad Dahlan dan pengikutnya teguh pendirian dalam upaya menegakkan ajaran Islam yang murni sesuai Al Qur’an dan Hadis, mengagungkan ijtihad intelektual bila sumbersumber hukum yang lebih tinggi tidak bisa digunakan, termasuk juga menghilangkan taklid dalam praktik fiqih dan menegakkan amal ma’ruf nahi munkar. Menyadari hal tersebut, penulis bermaksud menganalisis kembali tentang pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang sosial dan pendidikan, agar dapat mencontoh tauladan beliau sebagai seseorang yang memiliki pemikiran 8 intelektual. Melakukan analisis yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah merupakan sebuah usaha dalam mempelajari secara mendalam lagi terkait dengan pemikiran dari K.H Ahmad Dahlan. Dengan demikian penulis akan menyusun kembali peristiwa sejarah tentang K.H. Ahmad Dahlan yang ide-idenya tertuang baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang pendidikan dari berbagai sumber buku dan literatur. Kemudian dari hasil yang telah dianalisis, ditemukan sebuah rekonstruksi tentang pemikiran K.H Ahmad Dahlan. B. Fokus Penelitian Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka fokus dari penelitian yang akan peneliti tindak lanjuti adalah sebagai berikut ini. 1. Pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam bidang Sosial ditinjau dari aspek organisasi social dan amal usaha. 2. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang Pendidikan ditinjau dari aspek: sistem dan metode. C. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diajukan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam bidang Sosial? 2. Bagaimanakah pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan? 9 D. Tujuan Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan adalah sebagai berikut ini. 1. Untuk mengetahui pemikiran K.H Ahmad Dahlan dan menganalisis sumbangan pemikirannya dalam bidang sosial. 2. Untuk mengetahui pemikiran K.H Ahmad Dahlan dan menganalisis sumbangan pemikirannya dalam bidang pendidikan. E. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat secara teori dan manfaat secara praktik. 1. Secara teori, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan sebagai rujukan dalam mengadakan penelitian lain yang berkaitan K.H Ahmad Dahlan. 2. Secara praktik, penelitian ini dapat digunakan sebagai suplemen materi pembelajaran pada siswa SMA kls XI semester 1 pada materi Pahlawan Indonesia, mengenai pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang sosial dan pendidikan dalam sejarah bangsa Indonesia. F. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini sejarah dengan memperhatikan beberapa aspek, seperti: subjek, objek, tempat, waktu, dan kajian ilmu yang dianggap sesuai dengan isi penelitian. Sasaran dalam penelitian ini pemikiran K.H Ahmad Dahlan 10 dalam bidang sosial dan pendidikan. Waktu penelitian dimulai sejak bulan Juli 2013. Penelitian ini bersifat analisis literatur. Sesuai materi sejarah, maka tidak terlepas dari tradisi IPS. Dalam upaya mengungkapkan bagian pemikiran KH Ahmad Dahlan tentu mencakup beberapa komponen-komponen yang berkaitan dengan tradisi IPS. Menurut Pargito (2010: 44-49) lima tradisi dalam pendidikan IPS sebagai berikut. 1. IPS sebagai transmisi kewarganegaraan (social studies as citizenship transmission). 2. IPS sebagai pengembangan pribadi seseorang (social studies as personal development of the individual). 3. IPS sebagai pendidikan reflektif (social studies as reflective inquiri). 4. IPS sebagai pendidikan ilmu-ilmu sosial (social studies as social sciences). 5. IPS sebagai kritik kehidupan sosial (social studies as social criticism). Berdasarkan dari pernyataan tersebut di atas, maka tradisi IPS yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu IPS sebagai transmisi kewarganegaraan (social studies as citizenship transmission), karena di dalam program citizenship transmission ada suatu upaya untuk mengajarkan tentang nilai-nilai luhur. Misalnya menceritakan sebuah kisah tentang perjuangan seorang pahlawan dan contohcontoh moral yang dapat membangkitkan inspirasi dan semangat para generasi muda serta dapat dijadikan sebagai alat untuk mempererat rasa nasionalisme. Tujuan citizenship transmission adalah membentuk sikap pribadi yang baik yang diharapkan dapat dimiliki oleh generasi muda. Kaitannya dengan penelitian ini adalah bahwa diharapkan generasi muda dapat mengetahui tentang sejarah pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang sosial dan pendidikan serta meneladani sifat-sifat kepahlawanan beliau, sehingga generasi muda memiliki 11 karakter atau pribadi yang baik, dan lebih memiliki sikap terpuji dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kaum Pembaru Pemikiran Mencari jawaban dari pertanyaan, siapakah sesungguhnya yang dapat dikatakan sebagai modernis atau pembaru pemikiran.? Merupakan suatu hal yang sulit, karena para ahli belum mempunyai kesepakatan pendapat tentang siapa dikategorikan sebagai pembaru pemikiran. Meski demikian penulis mencoba memaparkan defenisi dari teori pembaru pemikiran dari beberapa para ahli seperti berikut ini. Dr. Mochtar Pobotinggi dalam Taufik (2005: 55) merumuskan bahwa, “Kaum intelektual atau pembaru pemikiran itu adalah anggota masyarakat yang lebih mampu menyatakan perasaan dalam ucapan yang jelas (bijak)”. Sementara itu, Abdullah (1981: 13) menyatakan bahwa. “Cendekiawan atau pembaru pemikiran bukan kedudukan yang diangkat, dan juga bukan berdasarkan pilihan orang banyak. Kecendikiawanan atau pembaru pemikiran adalah bagaimana seseorang yang mau menghubungkan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karenanya cendikiawan atau pembaru pemikiran itu dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seseorang intelektual atau kaum modernis dituntut untuk dapat menganalisis permasalahan masyarakat secara jujur dan objektif, apa adanya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Penilaian yang jujur dan objektif itu diharapkan akan lahir analisis-analisis yang bermanfaat bagi masyarakat”. Lebih lanjut Sardar (1996: 88) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan intelektual muslim atau kaum modernis adalah, “Golongan muslim berpendidikan 13 yang memiliki kelebihan istimewa menyangkut nilai-nilai budaya dan karenanya dapat dijadikan pemimpin”. Defenisi yang diberikan oleh Zianuddin Sardar ini lebih menekankan pada komitmen keilmuan dan perjuangan demi tegaknya ajaran Islam dalam tatanan masyarakat ke intelektual atau pemabaru pemikiran seseorang ditandai oleh kedalaman ilmu yang ditekuni, selain profesi lainnya. Melalui ilmu-ilmu tersebut menjadikan mereka terpanggil untuk mendarmabaktikan dalam kehidupan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip. Ahmad Watik dalam Rais (1989: 3-4) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan intelektual muslim, cendekiawan atau pembaru pemikiran adalah sebagai berikut. “Orang yang karena pendidikannya, baik formal maupun informal mempunyai perilaku cendekiawan. Kecendikiawanan tersebut tercermin dan merespon lingkungan hidupnya dengan sikap kritis, kreatif. Objektif, analitis dan bertanggung jawab, karena karena sikap kecendikiawanan itu. Ia mempunyai wawasan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Belum tentu seorang yang ilmuan atau akademikus adalah seorang cendekiawan atau pembaru pemikiran.selain itu, kategori cendekiawan dapat pula dimasukkan budayawan, seniman, ulama atau siapa pun yang mempunyai perilaku cendikiawan di atas”. Berdasarkan beberapa pendapat di atas bahwa yang dimaksud dengan kaum modernis atau pembaru pemikiran Islam adalah seorang muslim yang karena pendidikannya, baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal, mempunyai kedalaman berbagai disiplin keilmuan, keluasan pandangan yang disertai kebijakan dan keadilan, sehingga dapat bergerak dalam multidimensi aktivitas kehidupan, tidak terbenam dan terbawa arus perubahan, kemajuan, dan perkembangan zaman. Namun dengan jiwa kritis, kreatif, objektif dan tanggung jawab berusaha menjawab dengan berbagai alternatif pemecahan, mengarahkan perubahan masyarakat, dengan mengubah pola pikir masyarakat dari tradisi 14 berfikir konvensional yang jauh tertinggal dari kemajuan zaman dengan pola pikir yang berorientasi kepada kemajuan mengikuti perkembangan zaman yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Dalam hal ini sangat sesuai dengan kepribadian seorang K.H Ahmad Dahlan yang dengan kepintaran yang Ia miliki dipergunakan untuk meluruskan ajaran Islam khususnya pada awal abad ke dua puluh untuk daerah Kauman Yogyakarta dan untuk umat Islam pada umumnya. B. Tataran Teori Pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam Bidang Sosial Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, K.H Ahmad Dahlan dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Dengan cepat ia mendapat tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, dan Komite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kontribusi pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam bidang sosial ialah dengan mendirikan organisasi sosial yaitu yang diberi nama Muhammadiyah. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 8 November 1912 M atau 8 Djulhijah 1330 Hijriah. Menurut Ansoriy (2010: 56) “Awal berdiri terdapat 9 orang pengurus inti yang pertama adalah Ahmad Dahlan sebagai ketua dan Abdullah Sirat sebagai sekretaris. Sementara, anggotanya adalah Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan Mohammad Fakih. Sejak awal Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik, tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan”. Secara garis besar ada dua hal yang ingin dilakukan oleh K.H Ahmad Dahlan secara serempak, yaitu pertama, melepaskan umat Islam dari kungkungan takhayul, bi’dah dan khurafat yang membelenggu umat dari pemahaman tauhid yang benar, dan ke dua, memajukan pendidikan umat Islam dengan memberikan 15 angkatan mudanya ilmu-ilmu Barat dalam rangka merebut kebahagiaan keduniaan yang jugaharus dikejar oleh umat Islam. Gerakan kembali ke Kitabullah dan Sunnah Rasul saw, dikumandangkan oleh K.H Ahmad Dahlan sambil menyadarakan umat bahwa perbuatan syrik merupakan penyakit terberat sedang obat yang sejati adalah tauhid yang benar. Kata-kata yang dikutip oleh almarhum KH Hadjid, salah satu murid dari K.H Ahmad Dahlan dalam Rais (2004; 16) “Al-daau musyaarakatullahi fi jabarulih Wa al- dawaau tauhidullahi haqqan”. Bahwa tauhid yang benar dapat memperbaiki seluruh dimensi kehidupan manusia sehingga dapat melepaskan manusia dari setiap belenggu yang bersifat sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain-lain. Landasan dasar K.H Ahmad Dahlan dalam menjalankan organisasi Muhammadiyah ini yaitu surat Al Ma’un. Bila dicermati secara mendalam surat Al Ma’un itu terdapat beberapa pesan penting versi K.H Ahmad Dahlan dalam Rais (2004; 17), antara lain. “Pertama, orang yang mentelantarkan kaum dhu’afa tergolong di dalam mereka yang mendustakan agama, kedua, ibadah shalat memiliki dimensi sosial yang kelewat jelas, dalam arti tidak ada faedah shalat bila tidak dikerjakan dimensi sosialnya, ketiga, melakukan amal shalih tidak boleh dibarengi dengan riya’, dan keempat, termasuk mendustakan agama adalah mereka yang tidak mau memberi pertolongan kepada orang lain, yang bersifat egois dan egosentris”. Inti yang terkandung di dalam surat Al Ma’un tersebut sudah jelas tujuannya dan manfaatnya yaitu demi kepentingan hidup orang banyak serta demi terciptanya suatu kehidupan yang adil dan sejahtera. Di samping itu, menurut Anshoriy (2010; 84) menyatakan bahwa, “sebenarnya yang mendorong K.H Ahmad Dahlan 16 untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah adalah sebuah ayat firman Allah yang telah ditelaahnya benar-benar yaitu surat Ali Imran ayat 104 yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyuruh manusia kepada keutamaan dan menyuruh berbuat kebajikan serta mencegah berlakunya perbuatan yang munkar. Umat yang berbuat demikian adalah yang akan bahagia.” (QS Ali Imran (3);104) Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh K.H Ahmad Dahlan sempat mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti di Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain-lain, telah berdiri cabang Muhammadiyah. Menurut Adams (1966: 151) dalam Anshoriy (2010: 58) menuliskan sebagai berikut. “Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan Tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapat sambutan besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Kiai Ahmad Dahlan sering mengadakan tabligh di Surabaya, yaitu di Gang Peneleh. Dalam pengajian itu, HOS Cokroaminoto, Bung Karno, dan Roeslan Abdoelgani untuk pertama kalinya mendengarkan penjelasan tentang Islam dari Kiai Ahmad Dahlan“. Sebagai seorang yang demokratis, Ahmad Dahlan juga memfasilitasi kebebasan berpendapat bagi para angota Muhammadiyah. Ini dilakukan termasuk untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vargadering (persidangan umum). Lebih lanjut Herpratiwi (2009: 99), menerangkan bahwa K.H Ahmad Dahlan dalam berorganisasi berpegang pada beberapa prinsip sebagai berikut. 1. Senantiasa menghubungkan diri (mempertanggung jawabkan tindakannya) kepada Allah. 17 2. Perlu adanya ikatan persaudaraan berdasar kebenaran (sejati). 3. Perlunya setiap orang, terutama para pemimpin terus menerus menambah ilmu, sehingga dapat mengambil keputusan yang bijaksana. 4. Ilmu harus diamalkan. 5. Perlunya dilakukan perubahan apabila memang diperlukan untuk menuju keadaan yang lebih baik. 6. Mengorbankan harta sendiri untuk kebenaran, ikhlas dan bersih. Pemikiran K.H Ahmad Dahlan dalam bidang sosial ini dibuktikan dengan didirikannya organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini sebagai wadah untuk memperjuangkan nasib rakyat Indonesia yang pada waktu itu masih mencari jati diri serta untuk memperbaiki nasib rakyat. Di samping mendirikan sebuah organisasi K.H Ahmad Dahlan juga ikut berperan serta dalam membina pemuda daerah Kauman Yogyakarta khususnya supaya tidak terperosok pada jalan yang sesat. C. Tataran Teori Pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam Bidang Pendidikan Pendidikan merupakan sebuah agen yang sangat kuat untuk menyosialisasikan ideal-ideal dan doktrin-doktrin keIslaman membuat pihak pemerintah kolonial memberikan perhatian serius terhadap pendidikan Islam. K.H Ahmad Dahlan ingin mereformasi pendidikan Islam terpengaruh dan terinspirasi oleh ide-ide yang berkembang di Timur Tengah seperti Muhammad Abduh. Pendapat ini dipertegas dengan penyataan Latif (2005: 130) menyatakan bahwa. “Pelopor awal dari kemunculan ideologi dan madrasah modernis-reformis di Hindia adalah komunitas keturunan Arab. Usaha-usaha rintisan dari masyarakat ini dikembangkan lebih lanjut oleh para santri pribumi yang baru pulang dari Timur Tengah, terutama oleh mereka yang terpengaruh oleh ide-ide Abduh ataupun yang telah secara langsung menjalin kontak dengannya dan atau para muridnya di Mesir”. Perkembangan pendidikan Islam oleh K.H Ahmad Dahlan dengan gigih ia perjuangkan dan wujudkan dengan mendirikan lembaga pendidikan yang 18 menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum terwujud pada tahun 1911. Sekolah pertama yang berhasil didirikan K.H Ahmad Dahlan mulai dengan 8 orang siswa, bertempat di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m, dan ia sendiri bertindak sebagai guru. Pada tahap awal, proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali. Teori belajar dan pembelajaran K.H Ahmad Dahlan dilatar belakangi sejarah kehidupannya dimasa itu. K.H. Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional yang mampu membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan terbentuk karena pada masa itu penuh perjuangan. Adapun pengertian pahlawan nasional menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2009 pasal 1 ayat 4 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, sebagai berikut. “Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia”. Begitu gigih perjuangan Ahmad Dahlan, hingga membuahkan hasilnya setelah bekerja keras selama setahun. Tepatnya pada tanggal 1 Desember 1911, Sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidayah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa. Enam bulan kemudian, terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah tersebut. 19 Sekolah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan ini telah tersebar luas hingga ke pelosok. Ini bukti bahwa sekolah ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan ini memberikan warna yang berbeda di dalam sistem pengajarannya dibandingkan dengan sekolah-sekolah khususnya sekolah pesantren-pesantren yang berkembang pada saat itu. Sistem, metode dan konsep pembelajaran yang dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan ini mengadopsi sedikit tentang sistem yang sedikit lebih modern yang tidak lagi terikat atau konvensional. Tujuan dengan menggunakan metode ini adalah untuk mempersiapkan peserta didik yang mampu bersaing dan menjawab tantangan dunia seperti yang dituliskan oleh Herpratiwi (2009: 90) sebagai berikut. “Pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Dahlan kelihatannya memenuhi harapan dan keperluan masyarakat. Pengaruh pendidikan dan pengalamannya di Arab beliau bandingkan dengan pendidikan yang ada di negara Indonesia yang sangat memprihatinkan. Oleh karenanya kepedulian Ahmad Dahlan terhadap pendidikan sudah dibuktikan. Hal ini dibuktikannya bahwa pernah menjadi guru agama di Kweekschool (sekolah guru) Jetis Osvia atau Mosvia di Magelang dan diberbagai tempat”. Gagasan dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan mendirikan kegiatan pengajian yang diberi nama Fathul Asror Wa Mifftahus Sa’adah, wadah ini khusus membimbing kaum muda usia 25 tahun agar tidak terjerumus ke dalam kenistaan, kenakalan dan kemaksiatan pada umumnya, serta untuk gemar beramal. Taktik atau teori pembelajaran yang dilakukan Ahmad Dahlan mula-mula mengumpulkan pemuda dan mendiskusikan apa yang diinginkan atau kebutuhannya, misalnya berdarma wisata, membuat mereka gembira, namun sedikit demi sedikit dimasukkan pendidikan agama, ahlak mulia dan pendidikan 20 kepemimpinan. Dibangkitkan jiwa wirausahanya, sikap mandiri, rela berkorban, beramal, tak kenal lelah untuk menegakkan kebenaran. Ternyata tanpa disadari oleh mereka kegiatan itu menarik dan efektif. Menurut Herpratiwi (2009: 98) “Diajarkan juga kepada mereka agar memiliki jiwa yang sabar, tidak lekas marah, mengemong, jujur dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi kenyataan, mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah”. Proses pembelajarannya sudah mengenal media pembelajaran, misalnya menggunakan papan tulis, meja, kursi dan sebagaimana pendidikan model Barat. Materi pelajarannya tidak hanya pendidikan agama Islam saja, namun diberi pelajaran pengetahuan umum seperti ilmu pengetahuan alam dan berhitung. Kelahiran sekolah Muhammadiyah tersebut, Ahmad Dahlan mengemukakan beberapa azas pendidikan bernuansa Islami menurut Kutoyo (1998) dalam Herpratiwi (2009: 99) azas pendidikan Islami sebagai berikut. 1. Penyebaran pengetahuan atau ilmu Islam merupakan kewajiban setiap orang muslim. 2. Mengajar dan belajar adalah sifat yang hakiki yang wajib pada setiap umat dan organisasi Islam. 3. Menyelenggarakan pendidikan, baik sekolah maupun pondok pesantren serta pengajian. Untuk hal itu perlu membentuk guru keliling. 4. Isi pendidikan dan pengajaran Islam adalah imam, cinta sesama, rasa tanggungjawab, pengembangan berpikir, penguasaan terhadap diri sendiri, dan pengajaran biasa seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. 5. Perlu disusun kesatuan sistem pendidikan dan azas pendidikan dan pengajaran Islam. Ada metode lainnya juga yang diterapkan oleh K.H Ahmad Dahlan di mana hal ini pula lah yang menjadi pembeda Ahmad Dahlan dengan yang lainnya. Metode 21 bertanya terlebih dahulu kiranya dapat menjadi jalan bagi pemahaman murid terhadap pelajar yang diberikan guru. Kebiasaan dengan menggunakan metode murid bertanya terlebih dahulu tidak hanya K.H Ahmad Dahlan praktikan pada murid-murid yang masih baru, begitu pula berlaku bagi murid yang sudah lama berguru padanya. Perihal metode murid bertanya, guru menjawab sebagaimana dipraktikan K.H Ahmad Dahlan terlihat dari percakapan dengan muridnya sebelum memulai pelajaran. Seperti yang dituliskan oleh Basral (2010: 181) sebagai berikut. “Kalian maunya pengajian apa?” jawab Dahlan ketika ditanya perihal pengajian hari itu. Daniel, sang murid baru berkata, “Begini, Kiai. Biasanya kalau pengajian yang kami tahu dan selama ini kami ikuti itu bahannya dari guru ngaji”. “kalau begitu, nanti yang pintar hanya guru ngajinya,” jawab Dahlan sambil meletakkan biola”. Begitulah apa yang dipraktikan K.H Ahmad Dahlan sehari-hari dalam mengajar. Dalam paradigma modern, metode murid bertanya yang biasa dipraktikan K.H Ahmad Dahlan dalam kehidupan sehari-hari adalah metode yang membuat murid cenderung lebih aktif dan atraktif dalam memahami pelajaran. Karena di dalam metode tersebut, tidak ada tekanan dari sang guru tentang pelajaran tertentu. Metode bertanya adalah menugaskan kepada siswa untuk membuat pertanyaan sebanyak-banyaknya, sesuai dengan materi atau pokok bahasan. Sehingga bukan guru yang membuat pertanyaan tetapi siswa kemudian dibahas bersama (cooperative learning). Gagasan pikiran cemerlang Ahmad Dahlan tersebut, jelas tidak layak untuk diabaikan. Gagasan dan pikiran semacam itu jelas mengandung banyak hal yang perlu dipelajari terutama bagi pendidikan di Indonesia. Pada saat itu Ahmad Dahlan sama sekali tidak mendapat dukungan dari lembaga pendidikan manapun, 22 sebab pada waktu itu belum ada sebuah sekolah pendidikan dasar sekalipun di kalangan masyarakat pribumi, sehingga dapat dipahami kalau gerakan pembaharuan yang dilandasi pendidikan bersifat sangat partikal, ialah mengembangkan gagasan dan pikiran sekaligus mengusahakan fasilitas pendukung untuk melaksanakan gagasan dan pikirannya. D. Hakekat Pendidikan IPS Roberta Woolover dan Kathryn P. Scoot (1987) dalam Buku Dasar – Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial merumuskan ada lima perspektif dalam mengajarkan Ilmu Pengetahuan Sosial (Pargito, 2010: 44). Kelima perspektif tersebut tidak berdiri masing-masing, bisa saja ada yang merupakan gabungan dari perspektif yang lain. Kelima perspektif tersebut ialah: 1. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan (social studies as citizenship transmission). Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai program pendidikan pelestarian kebudayaan suatu bangsa sudah ada sejak adanya manusia itu sendiri, model ini berkembang hingga tahun 1960 an. Dalam berbagai literatur program pendidikan citizenship transmission dilakukan dengan memberikan contoh dan cerita yang disusun untuk mengajarkan kebijakan, cita – cita luhur bangsa dan nilai kebudayaan. 2. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai Pendidikan ilmu-ilmu sosial (social studies as social sciences) Inilah alasan yag sangat kuat terhadap perlunya pendidikan ilmu pengetahuan sosial sebagai program pendidikan ilmu – ilmu sosial adalah karena 23 mengajarkan ilmu –ilmu sosial secara terpisah – pisah memberatkan siswa sekolah secara kurikuler. Program pembelajaran secara disipliner (terpisah) hanya akan menambah beban siswa sekolah Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas dalam belajar. 3. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai cara berpikir reflektif (social studies as reflective inquiry). Pendidikan reflektif bukan sekedar mengajarkan disiplin ilmu pengetahuan dan pemindahan nilai secara akumulatif, tetapi kurikulum sekolah harus berpegang kepadakebutuhan dan minat siswa sekolah. Siswa diarahkan agar menjadi warga Negara yang efektif tidak hanya dengan menghafalkan isi materi pelajaran tetapi mempraktekan pengambilan keputusan dalam kehidupan sehari – hari. 4. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai pengembangan pribadi siswa (social studies as personal development of the individual) Pengembangan pribadi seseorang melalui Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial tidak langsung tampak hasilnya tetapi setidaknya melalui Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial akan membekali kemampuan seseorang dalam pengembangan diri melalui berbagai keterampilan sosial dalam kehidupannya. 5. Ilmu Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai kritik sosial (social studies as social criticism). Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai media pengembangan kritis siswa agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis dengan berbagai metode pemecahan masalah. 24 Penelitian ini masuk dalam tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai proses pewarisan kepada generasi penerus dalam kehidupan bermasyarakat (social studies as citizenship transmission). Ada beberapa hal yang dapat dipetik hikmahnya pada sebuah pemikiran KH Ahmad Dahlan baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang pendidikan. Secara global nilai luhur yang dapat dijadikan teladan hidup bagi generasi penerus salah satunya adalah senantiasa memiliki jiwa yang pantang menyerah, bekerja keras dan berusaha maksimal demi meraih impian dan cita-cita. Selain itu, tekun di dalam beribadah dan juga giat dalam bekerja, yang mana hal ini telah dibuktikan oleh KH Ahmad Dahlan dengan melakukan terobosan dalam bidang organisasi sosial yakni Muhammadiyah, serta dalam bidang pendidikan yaitu pondok pesantren Muhammadiyah. E. Sejarah Dalam Lingkaran Tradisi IPS Sejarah merupakan suatu disiplin ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadian atau peristiwa manusia dimasa lampau. Jika hal ini dikaitkan dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu yang terdapat di dalam IPS. Kedudukan sejarah di dalam IPS itu adalah sebagai interdisisplin atau salah satu bagian dari ilmu pengetahuan sosial . Secara rinci Kartodirjo (1993: 120) mengemukakan sebab-sebab keterkaitan antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial, sebagai berikut. 1. Sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan berbagai masalah atau gejala yang serba kompleks. 2. Pendekatan multidimensional atau multidimensional atau social scientific adalah yang paling tepat untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala di atas. 25 3. Ilmu-ilmu social telah mengalami perkembangan pesat sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analitis historis. 4. Lagi pula, studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informative tentang apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana, tetapi ingin melacak berbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain. Berkaitan dengan kutipan-kutipan tersebut di atas, maka jelas bahwa sejarah memiliki kedudukan dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial, karena sejarah itu sendiri bagian dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mata pelajaran sejarah dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dalam rangka untuk membantu peserta didik mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Sehingga peserta didik dapat berfikir sistematis, kritis, bersikap dan bertindak di dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, pendidikan IPS bertugas mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif untuk perbaikan segala ketimpangan, dan terampilan mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang di masyarakat. Dalam hal ini, sejarah juga memiliki peranan dalam membentuk sikap, pengetahuan, dan ketrampilan agar peka terhadap masalah-masalah social yang terjadi, dan mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi, baik di lingkungan sekolah, maupun di lingkungan masyarakat. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang tanggung jawab utamanya adalah membantu peserta didik dalam mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, sikap, nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam 26 kehidupan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional maupun global. Hal ini sejalan dengan tujuan kurikulum IPS yaitu mengkaji seperangkat fakta, peristiwa konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan perilaku manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini dan diantisipasi untuk dimasa yang akan datang. IPS sebagai “the process of learning to live with other people”. Dari uraian tersebut tampak bahwa IPS bertujuan untuk melatih peserta didik agar berpikir sistematis, kritis, bersikap dan bertindak sehingga mampu menyesuaikan diri terhadap kehidupan masyarakat. Dengan demikian guru dituntut untuk melatih peserta didik untuk menemukan suatu isu-isu atau masalah atau konsensus yang ada dalam kehidupan masyarakat. Ilmu pengetahuan sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmuilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Ilmu pengetahuan sosial dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek dan cabangcabang ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). Keterampilan dasar IPS dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Namun secara umum dapat terbagi atas: (1) Work Study skill, contohnya adalah membaca, membuat out line,membaca peta, dan menginterpretasikan grafik, (2) Group process skill, contohnya adalah berpikir kritis dan pemecahan masalah serta, (3) Social living skill, contohnya adalah tanggung jawab, bekerjasama dengan orang lain, hidup dan bekerja sama dalam suatu kelompok. Sejarah telah 27 mencatat semua pengalaman umat manusia dari generasi ke generasi hingga zaman modern ini. Belajar sejarah berarti juga menggunakan pengalaman orang lain dari masa lampaunya, yang berarti mampu memproyeksikan diri ke masa lampau sampai ribuan tahun yang lalu. Menurut Mackenzie yang dikutip oleh Pargito (2010: 39-40). “Ilmu Sosial adalah semua bidang ilmu y |