Biografi W.R. SupratmanPada 1907, W.R. Supratman memulai pendidikan di Frobelschool setara taman kanak-kanak di Jakarta saat usianya 4 tahun. Kemudian, dia tinggal bersama kakaknya Ny. Rukiyem di Makasar dan menyelesaikan pendidikan di Tweede Inlandscheschool (Sekolah Angka Dua) pada 1917. Pada 1919, W.R. Supratman lulus ujian Klein Ambtenaar Examen (KAE), ujian untuk calon pegawai rendahan. Setelah lulus KAE, Wage melanjutkan pendidikan ke Normaalschool (Sekolah Pendidikan Guru). Baca Juga: Museum Sumpah Pemuda, lokasi ikrar Sumpah Pemuda yang berawal dari rumah tinggal
Nationalgeographic.co.id - Setelah bertahun-tahun mengikuti kakaknya tinggal di Makassar, Wage Rudolf Supratman, kembali ke Pulau Jawa pada 1924. Ia bekerja sebagai wartawan di Bandung dan menyumbangkan artikel-artikelnya ke surat kabar Kaoem Moeda, Kaoem Kita dan Sin Po. Dari sana lah, W. R. Supratman tertarik dengan suasana pergerakan. Ia pun berkontribusi dalam menciptakan lagu-lagu perjuangan yang membangkitkan semangat. Gubahan pertamanya adalah sebuah lagu yang berjudul Dari Barat Sampai Ke Timur. Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743 Suatu hari, Supratman membaca sebuah artikel yang menantang para komponis Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan tanah air. Menjawab hal tersebut, Supratman menggubah lagu Indonesia Raya yang pada subjudulnya ia tulis “lagu kebangsaan”. Pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan. Kisah di baliknya sangat menarik. Pertama kali berkumandang di Kongres Pemuda II Sebagai wartawan koran Sin Po, Supratman pernah meliput Kongres Pemuda I yang diselenggarakan pada 30 April-2 Mei 1926. Oleh sebab itu, pada Kongres Pemuda II, ia pun diundang kembali untuk meliputnya. Dalam acara tersebut, Supratman bertemu dengan Soegondo Djojopoespito. Dalam pertemuan itu, ia diminta Soegondo membawakan lagu Indonesia Raya dalam suatu acara di gedung Indonesische Clubgebouw, tempat dilaksanakannya Kongres Pemuda II. Namun, untuk menghindari represi agen-agen kolonial yang terus memantau keseluruhan acara, Supratman membawakan Indonesia Raya dalam gesekan biola, tanpa syair. Meskipun, sebelumnya salinan naskah lagu telah disampaikan di awal acara kepada sebagian pemuda yang hadir di kongres. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan sesaat setelah W.R. Supratman membawakan lagu Indonesia Raya. Saat itu juga, Indonesia Raya diterima dan ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Tak butuh waktu lama, naskah Indonesia Raya pun menyebar ke mana-mana. Koran Sin Po kemudian menerbitkan pamflet berisi naskah lagu Indonesia Raya dengan harga 20 sen per lembar. Supratman mendapatkan royalti sebesar 350 gulden atas penerbitan pamflet tersebut. Page 2
Sin Po kemudian menyiapkan sepuluh lembar pamflet untuk memenuhi permintaan warga, tapi dinas intelijen politik Hindia-Belanda menyitanya. Bergemanya lagu Indonesia Raya di hampir seluruh pelosok Nusantara membuat Belanda merasa terancam. Pada 1930, lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan di depan umum. Lagu tersebut dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan. Belanda khawatir, Indonesia Raya dapat memicu semangat kemerdekaan atau memicu pemberontakan. Supratman pun diinterogasi pemerintah Belanda. Ia ditanya mengapa memakai kata “merdeka, merdeka”. Dia menjawab kata-kata itu diubah pemuda lainnya, sebab lirik aslinya “moelia, moelia”. Protes pun berdatangan, sampai Volksraad turun tangan. Pemerintah Hindia-Belanda terpaksa meninjau kembali larangan yang dimaklumatkan Gubernur Jenderal. Mereka pun mengubahnya menjadi pembatasan. Akhirnya lagu Indonesia Raya minus lirik “merdeka, merdeka” boleh dinyanyikan, asal dalam ruangan tertutup. Akhir masa penjajahan Setelah belasan tahun dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda, harapan datang ketika Jepang mendarat di Indonesia dan mengusir penjajah Belanda. Awalnya, warga Indonesia mengira bahwa kemerdekaan sudah di depan mata sehingga mereka bisa menyanyikan Indonesia Raya dengan bebas. Namun ternyata, pendudukan Jepang tidak jauh berbeda dengan Belanda. Tak lama setelah menduduki Indonesia, pemerintah Jepang melarang lagu Indonesia Raya. Bahkan, bendera merah putih juga dilarang dikibarkan. Pada 1944, ketika posisinya dalam Perang Dunia II semakin terdesak, Jepang merasa membutuhkan bantuan pejuang Indonesia untuk bertahan. Dalam keadaan terjepit itu, mereka pun berjanji akan memerdekan Indonesia dalam waktu dekat. Baca Juga: Hari Kesaktian Pancasila dan Sejarah Erat Terkait dengan Gestapu 1965 Di tahun yang sama, para tokoh kemerdekaan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ada pula Panitia Lagu Kebangsaan yang terdiri atas Ir. Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Akhiar, Bintang Sudibyo, Darmawijaya, Kusbini, K.H Mansyur, Mohammad Yamin, Sastromulyono, Sanusi Pane, Cornel Simanjuntak, A. Subarjo dan Utoyo. Para Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan sejumlah perubahan kecil dan penyempurnaan pada lagu Indonesia Raya. Saat diciptakan pada 1928, bahasa Indonesia belum sempurna berkembang dari bahasa Melayu sehingga terdapat beberapa kata janggal dalam liriknya. Penyempurnaan itu menghasilkan lirik baru yang dipakai sampai sekarang. Kemerdekaan Indonesia akhirnya menjadi kenyataan pada 17 Agustus 1945. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan bersama oleh mereka yang berkumpul di Jalan Pengangsaan Timur 56, Menteng, Jakarta. Pada 18 Agustus 1945, berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia ditetapkan secara konstitusional sebagai lagu kebangsaan. *) Dinukil dari buku Merayakan Indonesia Raya dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Dolly Salim jadi pelantun Indonesia Raya saat Kongres Pemuda II
SERAMBINEWS.COM - Dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda, orang lebih mengenal Wage Rudolf Supratman, komposer sekaligus pencipta lagu kebangsaan Indonesia. Jarang sekali yang tahu siapa orang pertama yang menyanyikan lagu Indonesia Raya itu. Jangankan tahu, bertanya pun, barangkali tidak. Dialah Dolly Salim—nama aslinya Theodora Athia Salim—putri pahlawan nasional yang fasih berbicara menggunakan banyak bahasa, Agus Salim. Bagi Dolly, 28 Oktober 1928 merupakan hari yang tak akan pernah ia lupakan. Seperti dikutip dari Historia.id, bersama salah seorang rekannya dari Minahasa, Johana Tumbuan, Dolly merupakan sedikit pemudi yang hadir dalam kongres yang diselenggarakan di Jl. Kramat Raya No 106 Jakarta itu. Saat itu, Dolly masih berusia 15 tahun. Baca: Cantiknya Nasywa Nathania, Anak Desy Ratnasari yang Kini Beranjak Remaja Meski awalnya menolak, karena merasa secara umur belum masuk kategori pemuda, Dolly akhirnya mau mengikuti ajakan teman-temannya. Saat itu, Dolly mewakili organisasi kepanduan National Indonesische Padvinderij (Natipij) yang berada di bawah naungan Jong Islamieten Bond (JIB). Waktu itu, Haji Agus Salim menjabat sebagai penasibat di organisasi tersebut. Dolly Salim jadi pelantun Indonesia Raya saat Kongres Pemuda II ()Setelah menghasilkan keputusan-keputusan yang sangat penting untuk meneruskan perjuangan kemerdekaan Indonesia, Kongres Pemuda II akhirnya ditutup dengan memperdengarkan lagu Indonesia Raya. W.R. Supratman, si pencipta lagu, mengiringi lagu itu dengan biola ikoniknya. “Hadirin segera senang dengan lagu itu dan minta diulang. Dolly, salah satu gadis remaja, putri sulung Haji Agus Salim, menyanyikan lirik lagu tersebut,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 2. Halaman selanjutnya arrow_forward
|