Nilai religius adalah nilai kerohanian yang bersifat mutlak dan abadi. Nilai religius hanya ada pada manusia yang percaya dan berkeyakinan kuat terhadap Tuhannya. Nilai religius dapat mendorong manusia untuk selalu berbuat kebaikan dan meninggalkan larangan-larangan atau melakukan keburukan. Karena manusia religius takut dosa yang akan menimpanya. Sehingga, membuatnya celaka dunia maupun akhirat. Nilai religius juga berfungsi untuk menentukan arah kehidupan manusia. Manusia yang religius akan memilih jalan hidupnya sesuai dengan aturan-aturan dalam agamanya. Karena nilai religius dapat melindungi atau membatasi seseorang untuk berbuat kerusakan atau dosa. Nilai religius juga dapat menjaga solidaritas antarsesama umat manusia baik itu satu agama maupun berbeda agama. Karena, Tuhan manusia memerintahkan untuk berbuat kebajikan kepada siapa saja meskipun kepada umat yang berbeda agama selama tidak mengikuti atau menyerupai peribadatan umat yang berbeda agama tersebut. Religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa, “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. (Mangunwijaya, 1994:12) Maksudnya, kepercayaan kepada Tuhan berasal dari hati. Keikhlasan dalam memercayai Tuhan hanya manusia itu sendiri yang tahu serta Tuhan. Keikhlasan dalam menjalankan syariat agama sangat diperlukan karena itulah salah satu cara agar Tuhan meridai manusia tersebut. Keikhlasan tidak mudah untuk dicapai untuk itulah mempelajari keikhlasan butuh latihan dan belajar setiap harinya. 18 Karya sastra yang di dalamnya termuat nilai-nilai budi pekerti, nilai-nilai yang memacu pembaca untuk melakukan kebajikan dan meninggalkan perilaku buruk berarti karya sastra tersebut mengandung nilai religius. Karya sastra yang layak dibaca adalah karya sastra yang isinya mengandung sarat nasihat-nasihat kebaikan. Untuk itulah, pengarang sebagai orang yang memiliki kreativitas yang tinggi harus sadar tentang baik atau buruk karya yang diciptakannya. Nilai-nilai religius harus ada di setiap kehidupan manusia. Manusia menjalankan kehidupannya tidak dapat lepas dari pegangan aturan agamanya. Nilai religius harus mengakar dan mengikat di hati manusia. Karena dari situ ketrentaman hati bermula. Segala aspek yang datang pada hidup manusia harus dipilih dan ditentukan sesuai dengan syariat agama. Oleh karena itu, nilai religius harus berkaitan erat dengan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, karya sastra, dan sebagainya. Sikap-sikap religius seperti berdiri khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentarasi diri pasrah sumarah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati, semua itu solah-bawa manusia religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya juga. (Mangunwijaya, 1994:12) Jadi, selain bersumber dari hati, nilai religius juga dilakukan dengan sikap. Yakni, sikapnya dalam beribadah terhadap Penciptanya. Nilai-nilai yang ada di dalam keagamaan disebut nilai religius, baik itu agama Islam, Kristen, Yahudi, dan agama lainnya. Penelitian ini diarahkan pada nilai religius agama Islam. Jadi, fokus utama variabel penelitian ini adalah nilai religius agama Islam yang terdapat dalam novel “Kain Ihram Anak Kampung” karya Abdul Mutaqin. Berdasarkan uraian pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa nilai religius adalah nilai yang membuat manusia dekat dengan Tuhan, merasa tentram saat mengingat dan beribadah pada Sang Maha Kuasa. Sehingga, tumbuhlah rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Meski memang, pada fitrahnya manusia ingin mengenal Tuhannya. Karya sastra yang bernilai religius adalah salah satu jalan untuk menularkan semangat taat pada titah Tuhan Semesta Alam. Dan tentu karya sastra yang bernilai religius tidak dapat lepas dari sastrawan yang memiliki sifat religius yang kuat. Sastrawan yang memiliki paham ilmu agama dan menjalankan agamanya dengan baik sangat peneliti apresiasi karena telah menciptakan karya sastra bernilai religius yang sangat bermanfaat bagi pembaca yang haus akan ilmu agama namun diracik dengan kisah-kisah mengunggah. Nilai religius dalam agama Islam bersumber dari Al-Quran dan Al-hadits. Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia, seperti yang telah difirmankan Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 2. Dan Al-Hadits adalah pelengkap, penguat, dan penafsir Al-Quran. Dua sumber ajaran agama Islam ini tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus berjalan beriringan karena keduanya berasal dari ajaran Allah yang Maha Esa. Menurut Syekh Mahmud Syaltout (dalam Maulana 2012: 4) terdapat tiga unsur utama yang terdapat dalam ajaran Islam, meliputi: 1. Akidah 2. Ibadah 3. Akhlak 20 1) Akidah “Istilah akidah berasal dari kata ‘aqada (ikatan atau simpul), jamaknya ‘aqa-id (mahkota, simpulan atau ikatan-ikatan iman). Dari segi bahasa aqidah berarti sesuatu yang tersimpul dalam hati dan dihormati seperti mahkota. Dari kata tersebut muncul i’tiqaad yang berarti membenarkan atau kepercayaan.” (Syafe’i, dkk, 2015:97) Menurut Supriadi (dalam Syafe’i, 2015:97) “Akidah secara istilah berarti sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan fitrah, akal dan wahyu, kemudian dipatrikan dalam hati, diyakini keshahihannya (kebenarannya) dan ditolak kebenaran selainnya.” Akidah juga selalu dikaitkan dengan rukun iman sebagai landasan dasar agama Islam. Rukun iman ada enam yaitu, iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab suci, iman kepada nabi dan rosul, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir baik dan buruk. 2) Ibadah Ibadah adalah cara hamba untuk semakin dekat dengan Penciptanya dan tujuan Tuhan menciptakan manusia yakni untuk beribadah kepadaNya. Menurut bahasa ibadah yaitu, : taat, tunduk, hina dan pengabdian. Ibn Taimiyah (dalam Jamaluddin 2013:49) menyatakan bahwa, ibadah sebagai puncak ketaatan dan ketundukan yang di dalamnya terdapat unsur cinta ( al-hubb). Ketaatan tanpa unsur cinta maka tidak bisa diartikan sebagai ibadah dalam arti yang sebenarnya. Jadi, ibadah harus diiringi keikhlasan untuk mengharap pertemuan dengan Allah di akhirat nanti serta juga sesuai dengan contoh dari rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Karena, dua poin di atas adalah syarat ibadah diterima. Muthahhari (2006:67) menyatakan ibadah terdiri atas perkataan dan perbuatan. Perkataan terdiri atas serangkaian kata dan kalimat yang kita baca yang telah ada contohnya dari rasulullah shalallahu’alaihi wassalam, seperti zikir setelah salat, zikir pagi dan petang, bacaan dalam salat, dan doa-doa dalam melaksanakan kegiatan, membaca Al-Qur’an serta mengucapkan “Labbaik” selama haji. Sedangkan perbuatan misalnya berdiri takbiratul ihram, rukuk, dan sujud saat salat yang juga sesuai dengan contoh dari rasulullah shalallahu’alaihi wassalam. Ibadah tidak boleh dikreasikan dengan hawa nafsu, dimodifikasi, dikurang-kurangi atau bahkan ditambah-tambahkan. Hal ini dapat membuat seseorang jatuh ke dalam perbuatan bid’ah yang telah dilarang rasulullah shalallahu’alaihi wassalam dalam haditsnya. Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam menyebutkan bid’ah adalah perkara baru dalam agama dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat berada di neraka. 3) Akhlak “Akhlak adalah bentuk jamak (plural) dari kata khuluq, yang berarti perangai, tabiat, dan adat. Khuluq berasal dari kata khalq yang berarti kejadian, buatan dan ciptaan. Secara bahasa akhlak diartikan sebagai perangai, adat istiadat, tabiat atau sistem perilaku yang dibuat.”(Syafe’i, dkk, (2015:139) Menurut Ibnu Qudamah (dalam Hadhiri, 2015:14) “Akhlak merupakan ungkapan kondisi jiwa, yang begitu mudah bisa menghasilkan perbuatan tanpa 22 membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika perbuatan itu baik, maka disebut akhlak yang baik, dan jika buruk disebut akhlak yang buruk.” Adapun ruang lingkup akhlak yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Akhlak terhadap Allah Akhlak terhadap Allah adalah perilaku mencintai Allah dengan mengerjakan segala perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Akhlak terhadap Allah juga berarti beribadah hanya mencari keridaanNya, mensyukuri nikmat yang setiap saat diberikannya, menyegerakan taubat kepadaNya, tidak menduakanNya, dan mencintaiNya dengan cinta yang paling utama, melebihi cinta terhadap makhlukNya. Meminta segala sesuatu kepada Allah, mempelajari ajaran agama Islam yang telah diturunkannya melalui utusannya adalah juga bentuk kecintaan terhadap Allah. Senantiasa berzikir untuk mengingatnya. Mengerjakan segala amal ibadah dan meninggalkan larangan juga karena ingin meraih ridaNya. Serta menjaga agamaNya dengan ikhlas dan mengharap bertemu wajahNya di surgaNya nanti di hari kemudian. b. Akhlak terhadap Kitabullah Akhlak terhadap kitabullah adalah dengan memercayai bahwa Al-Quran adalah kitab yang berdasarkan firmah Allah subhana wata’ala dan Al-Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan diamnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Dengan mempelajari dan mendalami, serta mengamalkan Al-Quran dan Al-Hadits adalah bentuk akhlak yang baik dan kecintaan terhadap kitabullah. Cara mengamalkan rasa cinta terhadap kitabullah adalah dengan membaca Al-Quran dan Al-Hadits setiap hari, mentadaburi, menafsirkan, dan mengamalkan, serta mengajarkannya dengan sepenuh hati, ikhlas mengharap rida Allah. c. Akhlak terhadap Rasulullah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam adalah utusan Allah yang terakhir terhadap manusia di muka bumi ini. Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai pembawa berita gembira terhadap umat manusia di dunia. Perjuangan Rasulullah yang telah membawa pelita indah agama Islam patut manusia syukuri. Untuk itulah, akhlak terhadap Rasulullah adalah dengan mengerjakan segala amal ibadah seperti yang telah dicontohkannya dan setiap hari bersalawat untuknya demi mengharap syafaatnya di hari akhir nanti. d. Akhlak terhadap Orang Tua dan Anggota Keluarga Keluarga adalah manusia pertama di dunia yang umat manusia kenal dan saling mencintai serta mengasihi. Orang tua adalah aset atau tiket untuk masuk surga seperti yang telah dijanjikan Allah pada hambaNya. Untuk itulah, setiap manusia harus berakhlak baik terhadap kedua orang tua yang telah berkorban tenaga, harta, darah demi membesarkan anak-anaknya. Begitu pun dengan saudara kandung dan kerabat, juga harus berakhlak baik terhadap mereka. Mengajak mereka kepada kebaikan, menasehati mereka saat berbuat salah, berbagi tenaga maupun harta terhadap mereka. e. Akhlak terhadap Diri Sendiri Berakhlak baik tidak hanya kepada orang lain namun juga diharuskan kepada diri sendiri. Makan, minum untuk jasmani, beribadah untuk rohani adalah cara berakhlak baik terhadap diri sendiri. Karena untuk berakhlak baik terhadap 24 Allah, kitabullah, rasulullah, orang tua, anggota keluarga, dan sesama umat manusia, harus terlebih dahulu berakhlak baik terhadap diri sendiri. Agar berakhlak baik pada yang disebutkan di atas dapat dijalankan. f. Akhlak terhadap Sesama Manusia Seorang muslim sejati, tidak cukup hanya berbuat baik terhadap Allah dan Rasulullah, hanya mengerjakan ibadah saja tanpa memikirkan kehidupan dunianya dengan sesama umat manusia adalah akhlat yang tidak baik terhadap dirinya dan sesama umat manusia. Berahklah baik terhadap sesama manusia adalah dengan cara mengajak kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, tidak menceritakan aib-aib, tidak memfitnah, membantu untuk taat kepada Allah, membantu dalam harta dan tenaga. |