Mengapa terjadi kekosongan kekuasaan setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II

tirto.id - Salah satu babak penting dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah periode tiga setengah tahun masa pendudukan Jepang (1942-1945). Singkat memang, tapi membawa pengaruh yang signifikan bagi perjalanan republik. Masa pendudukan yang pendek ini kelak bermuara pada beberapa peristiwa penting yang salah satunya adalah terbukanya jalan bagi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Jepang mulai masuk ke Indonesia pada 27 Desember 1941 setelah berhasil menguasai wilayah Kepulauan Tambelan di sekitar Laut Cina Selatan. Dua pekan berselang, yakni pada 11 Januari 1942, mereka mendarat di Tarakan dan Manado. Dua wilayah tersebut diduduki dengan serangan cepat yang membuat Belanda tidak berkutik.

Baca juga: Sejarah Jepang Mendarat dan Betapa Loyonya KNIL di Tarakan


Dalam rentang waktu yang hampir bersamaaan, Jepang juga berhasil menguasai Balikpapan pada 24 Januari 1942, Ambon pada 2 Februari 1942, dan Makassar pada 9 Februari 1942. Selain itu, mereka juga menguasai Palembang pada 15 Februari 1942 bersamaan dengan jatuhnya Singapura. Dengan demikian, daerah kaya minyak yang ada di Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan telah dikuasai Jepang seluruhnya (Wenri Wanhar, Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi (2014), hlm. 110-111). Ini adalah langkah penting sebagai bekal mereka dalam menghadapi perang di Pasifik yang memiliki arena tempur yang begitu luas.
Menghadapi kedatangan Jepang yang demikian cepat, menurut Maman S. Mahayana dalam artikel berjudul “Japanese Occupation Government Policy in Indonesia on Culture and Literature: a case study of Asia Raja Newpaper (1942-1945)”, secara umum terdapat tiga respons orang Indonesia dalam memandang kedatangan Jepang menggantikan kedudukan Belanda. Pertama, kelompok yang menyambut dan mendukung kedatangan mereka atas keberhasilannya mengusir Belanda dari Indonesia. Kedua, kelompok yang belum menentukan sikap antara mendukung atau menentang. Dan ketiga, kelompok yang sejak awal menentang kehadiran Jepang, walaupun mereka masih belum berani menunjukkannya secara langsung (hlm. 129). Selain itu, Maman juga membagi orang yang menentang pendudukan Jepang ini dalam dua kelompok; (1) kelompok yang terdiri dari keluarga amtenar, kaum bangsawan, dan pegawai pemerintahan dalam struktur negara kolonial Hindia Belanda. (2) Golongan orang-orang pergerakan yang sejak awal menempatkan pemerintah Jepang sebagai kekuatan imperialis dan perwujudan fasisme baru menggantikan kedudukan Belanda.

Silang Pendapat Golongan Tua dan Muda

Jepang mulai mengalami banyak kekalahan di front Pasifik dalam menghadapi Sekutu. Juni 1944, Angkatan Laut Jepang kalah dalam pertempuran di Laut Filipina. Satu bulan kemudian, mereka kehilangan pangkalan angkatan laut di Saipan (Kepulauan Mariana), yang berakibat pada terjadinya krisis kabinet di dalam negeri. Perdana Menteri Tojo (1941-1945) meletakkan jabatannya. Ia digantikan oleh Jenderal Koiso Kuniaki (1944-1945).
Kekalahan demi kekalahan itu terus berlangsung hingga mencapai puncaknya pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945: Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu. Peristiwa pengeboman tersebut menewaskan ratusan ribu warga. Jepang kemudian menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu. Beberapa sumber lain menyebutkan 15 Agustus 1945, ini muncul karena perbedaan zona waktu antara Jepang dan AS sebagai pusat kekuatan Sekutu di Pasifik pada waktu itu. Menyerahnya Jepang kepada Sekutu membuat terjadinya kekosongan kekuasaan di Indonesia. Di satu sisi, Sekutu sebagai pemenang perang dan penguasa baru di wilayah jajahan masih belum datang. Dan di sisi lain, Jepang yang ada di wilayah republik sudah tidak memiliki kewenangan dan semangat untuk melakukan pendudukan. Menyikapi kekosongan kekuasaan tersebut, terjadilah silang pendapat yang tajam antara golongan tua dan muda. Sukarno, Hatta, dan generasi tua lainnya ragu-ragu dalam menyikapi kekalahan Jepang. Mereka takut memancing konflik lebih jauh dengan pihak Jepang yang nantinya berakibat pada pertumpahan darah yang tak berkesudahan. Selain itu, Sukarno dan Hatta juga masih terikat janji dengan Jepang ketika mereka pergi ke Vietnam untuk dilantik sebagai etua dan wakil ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Baca juga: Sejarah Sukarno-Hatta Menjemput Janji Kemerdekaan ke Dalat


Sementara para pemimpin generasi muda menginginkan pernyataan kemerdekaan yang dramatis dan keluar dari bayang-bayang pemerintah pendudukan Jepang. Namun, tak seorang pun dari mereka berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta di sisi mereka. Hal ini bisa dipahami mengingat posisi Sukarno dan Hatta waktu itu begitu sentral dan kharismatik, tak hanya bagi kebanyakan orang Indonesia, tetapi juga di hadapan para tentara Jepang (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), hlm 443-444). Perbedaan pandangan ini kelak menyebabkan peristiwa penculikan Sukarno dan Hatta pada 16 Agustus 1945 pagi ke Rengasdengklok oleh golongan pemuda. Dalih para pemuda dalam penculikan ini adalah untuk mengamankan Sukarno-Hatta jika terjadi pemberontakan oleh Peta dan Heiho di Jakarta. Akan tetapi, hal ini tidak pernah terbukti dan memang hanya akal-akalan pihak pemuda agar Sukarno dan Hatta mau ikut mereka ke Rengasdengklok.Melihat gelagat yang mulai mencurigakan, Sukarno dan Hatta segera sadar bahwa ini merupakan siasat untuk memaksa mereka menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang. Keduanya tetap menolak paksaan para pemuda. Bahkan, sebagaimana ditulis oleh Haryono Rinaldi dalam artikel berjudul, “Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia”, ketika Sukarno diancam oleh Wikana—perwakilan pihak pemuda—yang mengatakan akan terjadi pertumbahan darah jika keinginan mereka tidak dilaksanakan. “Soekarno bukannya takut justru balik menggertak dengan mempersilahkan para pemuda untuk membunuhnya saat itu juga. Soekarno juga mengatakan bahwa dia tidak mau memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu karena terikat dengan kedudukannya sebagai ketua PPKI, sehingga menurutnya soal proklamasi kemerdekaan harus ditanyakan kepada wakil-wakil PPKI” (hlm. 146).

Mengapa terjadi kekosongan kekuasaan setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II

Infografik Mozaik Jepang Menyerah Sekutu. tirto.id/Sabit

Situasi serba tegang ini segera berubah ketika Ahmad Subardjo—yang termasuk perwakilan golongan tua—bertemu dengan perwakilan dari golongan pemuda di Jakarta. Dalam pertemuan itu dicapailah kesepakatan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia harus segera dilaksanakan di Jakarta. Tak lama setelah itu, Subardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, dengan diantar Jusuf Kunto (perwakilan dari pemuda) pergi Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno dan Hatta. Subardjo segera memberitahukan kesepakatannya dengan pemuda dan kondisi terkini yang sedang berlangsung di Jakarta kepada dwi tunggal republik. Setelah mendengarkan informasi dari Subardjo, Sukarno dan Hatta segera kembali ke Jakarta untuk menemui Mayor Jendral Nishimura sebagai penguasa tertinggi militer Jepang di Indonesia. Pertemuan ini untuk menjajaki sikap Nishimura mengenai rencana Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam pertemuan itu juga turut hadir Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penerjemah.Sukarno dan Hatta menekankan kepada Nishimura bahwa Jendral Terauchi di Vietnam telah menyerahkan mandat pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia kepada PPKI yang mereka pimpin. Oleh karena itu, melihat kondisi yang dialami oleh Jepang sekarang--menurut pandangan mereka--kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan.

Namun, Nishimura masih tetap menolak rencana proklamasi kemerdekaan karena menurutnya Jepang telah terikat pada janji untuk menjaga status quo di daerah yang didudukinya. Maka itu, Nishimura melarang Sukarno dan Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka melaksanakan proklamasi kemerdekaan.

Kebuntuan itu mendorong kepada keputusan bahwa kemerdekaan Indonesia memang harus ditentukan oleh bangsa Indonesia sendiri, terlepas dari bayang-bayang, izin, dan pengaruh Jepang yang telah kalah perang.

Sebuah kekosongan kekuasaan atau vakum kekuasaan adalah suatu kondisi yang terjadi ketika suatu pemegang kekuasaan telah kehilangan kendali atas sesuatu dan tidak ada yang menggantikan mereka.[1] Hal ini biasanya merupakan situasi politik yang dapat terjadi jika pemerintah tidak memiliki suatu otoritas sentral yang dapat diidentifikasi. Dalam sebuah kekosongan kekuasaan, seperti kondisi vakum secara fisika, kekuatan lain akan cenderung dengan "buru-buru" mengisi kekosongan tersebut segera setelah terjadi, mungkin dalam bentuk milisi bersenjata atau pemberontak, kudeta militer, panglima perang atau diktator.

Sejarawan Fernand Braudel membandingkan situasi Italia pada masa Renaissans sebagai sebuah "zona siklon, kekosongan besar", yang akan menarik tentara asing:

"Kekuatan pembatas di sisi timur dan barat daya Eropa bervariasi dari abad ke abad. Dunia para nomaden berputar di antara kelalaian, kelemahan dan kewaspadaan yang kadang-kadang tidak efektif. Sebuah hukum fisika sekarang menarik mereka ke arah barat, sekarang ke arah timur, berdasarkan apakah kehidupan eksplosif mereka akan terpicu dengan lebih mudah di Eropa, Islam, India, atau China. Karya klasik Eduard Fueter menarik perhatian ke zona siklon, sebuah kekosongan besar pada tahun 1494 atas Italia yang terfragmentasi di antara wilayah republik pangeran dan republik perkotaan. Seluruh Eropa tertarik ke dalam badai ini - menciptakan daerah tekanan rendah. Dalam cara yang sama badai terus-menerus meniup orang-orang dari stepa arah timur atau ke barat sesuai dengan garis dimana perlawanan paling sedikit.[2]


Selama atau setelah perang saudara, sering terjadi beberapa macam kekosongan kekuasaan. Sebagai contoh, negara Somalia yang kala itu dilanda perang kemudian terperosok dalam kekosongan kekuasaan, tanpa pemerintah pusat atau presiden yang memegang kontrol atas apa yang seharusnya adalah "Republik Somalia " .

Awal perang saudara di Bosnia pada tahun 1992 ditandai dengan kekosongan kekuasaan yang mengikuti disintegrasi Yugoslavia.

Sebuah kekosongan kekuasaan juga dapat terjadi setelah krisis konstitusi di mana sebagian besar dari pemerintah mengundurkan diri atau dikeluarkan, menciptakan isu-isu yang tidak jelas mengenai suksesi posisi kekuasaan .

Setelah Perang Dunia II, terjadi kekosongan kekuasaan di Eropa. Seiring dengan pembagian Jerman menjadi Republik Demokrasi Jerman dan Jerman Barat, diplomasi luar negeri Stalin dan tata kelolanya, pengembangan senjata nuklir, kebijakan luar negeri pengurungan komunisme, ekspansionisme Uni Soviet dan Amerika Serikat dan tumbuhnya ketida-kepercayaan (ketakutan terhadap hegemoni) terlihat menjadi faktor munculnya Perang Dingin. Kekosongan kekuasaan ini juga terjadi di Asia Tenggara di mana Indonesia menyatakan kemerdekaannya setelah penyerahan Jepang terhadap Tentara Sekutu.

Kontrol ketat yang diterapkan Partai Baath Saddam Hussein diberlakukan di Irak dapat dieksploitasi selama periode transisi setelah Invasi Irak 2003. Namun, kebijakan Pemerintah AS membersihkan anggota partai Baath dari pemerintah Irak setelah invasi tersebut malah menciptakan kekosongan kekuasaan yang cepat diisi oleh pemberontak Irak, yang kemudian mulai menyerang personel Tentara Amerika menggunakan alat peledak improvisasi dan penembak runduk.[3]

Konsep umum dari "kekosongan kekuasaan" juga relevan dengan banyak situasi pribadi dan organisasi . Dalam dunia kriminal banyak gembong narkoba yang mampu menjadi tidak-tersentuh karena ketakutan terhadap reaksi balasan yang terjadi dalam situasi kekosongan kekuasaan .

  1. ^ http://dictionary.cambridge.org/dictionary/british/power-vacuum
  2. ^ Fernand Braudel, Capitalism and Material Life, New York, Harper & Row, 1967, vol. I, p.57
  3. ^ http://www.guardian.co.uk/Iraq/Story/0,,2252730,00.html

 

Artikel bertopik politik ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kekosongan_kekuasaan&oldid=19235197"