Mengapa kemerdekaan negara perlu dipertahankan

Mengapa kemerdekaan negara perlu dipertahankan

PROGRAM bela negara yang digagas oleh pemerintah menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Umumnya bela negara selalu dikaitkan dengan upaya mempertahankan negara dari ancaman serangan militer dari negara asing. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa wacana bela negara ini muncul di tengah kondisi keamanan negara yang kondusif seperti sekarang?

Pertanyaan publik semakin banyak karena warga negara yang dilibatkan dalam progra bela negara ini juga tidak tanggung-tanggung, yakni 100 juta orang dalam 10 tahun. Kewajiban bela negara berlaku bagi warga negara di bawah 50 tahun dan pendidikan kewarganegaraan sedari TK hingga perguruan tinggi.

Pihak yang pro menanggapi bela negara sebagai momen untuk menunjukkan semangat patriotik melawan serangan dari luar.Sebaliknya, yang kontra menganggap momen bela negara sebagai upaya mobilisasi negara untuk melibatkan rakyat ke dalam perang.

Persepsi bahwa bela negara identik dengan perang telah menjebak pemahaman bela negara sama dengan wajib militer. Bela negara tidak diwajibkan kepada seluruh warga negara dan lebih diorientasikan untuk memupuk rasa nasionalisme dan patriotisme.Selain itu bela negara bersifat sukarela sedangkan wajib militer merupakan ikatan dinas.

Selanjutnya wajib militer merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh negara kepada seluruh rakyat dengan batasan usia tertentu. Wajib militer memang diorientasikan sebagai persiapan untuk menghadapi perang secara nyata. Asumsinya, negara sedang berada dalam ancaman perang dengan negara lain sehingga setiap warga negara dipanggil untuk mempertahankan negara melalui kegiatan wajib militer.

Saat ini bela negara dimaksudkan untuk memperkuat rasa nasionalisme dan semangat patriotisme warga negara Indonesiaditengah ancaman bagi bangsa saat iniberupa kejahatan terorisme internasional dan nasional, aksi kekerasan berbau SARA, pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut, udara, dan luar angkasa, gerakan separatisme, kejahatan dan gangguan lintas negara, dan perusakan lingkungan.

Melalui bela negara ini, diharapkan, dalam setiap diri warga negara akan tumbuh sikap dan perilaku warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara serta keyakinan akan pancasila sebagai ideologi negara guna menghadapi ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri yang membahayakan dan mengancam kedaulatan baik kedaulatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan negara.

Konsep bela negara sendiri mengandung arti keikutsertaan dalam pertahanan negara, yang meliputi: mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari segala ancaman. Sedangkan wujud pembelaan terhadap negara berupa hak dan kewajiban melalui pendidikan kewarganegaraan, pengabdian sebagai prajurit TNI dan pengabdian sesuai profesi.

Empat Argumentasi

Terdapat beberapa perspektif alasan negara perlu dibela oleh warganegaranya, yaitu: Pertama, berdasarkan teori dan tujuan negara. Alasan ini sangat erat kaitannya dengan tujuan akhir negara yaitu untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Dengan kata lain negara didirikan untuk menyejahterakan warganya. Jadi sudah seharusnya demi untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam bernegara setiap warga negara bersedia membela negaranya karena untuk kepentingan dirinya dan sesamanya.

Kedua, berdasarkan pada pemikiran rasional. Aspek pertahanan merupakan faktor penting dalam menjamin kelangsungan hidup Negara. Tanpa kemampuan mempertahankan diri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaan atau eksistensinya.

Ketiga,kontrak sosial, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 bertekad bulat untuk membela, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Keempat, pertimbangan moral, kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Kelima, ketentuan hukum atau yuridis, meliputi 1) UUD 1945 Pasal 27 Ayat (3): “Bahwa tiap warga Negara behak dan wajib ikut serta dalam upaya bela Negara”, 2) UUD 1945 Pasal 30 Ayat (1) dan (2) “”Bahwa tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta oleh TNI dan Kepolisian sebagai Komponen Utama, Rakyat sebagai Komponen Pendukung.

Selain itu (3) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6B :” Setiap Warga Negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, 4) UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat (1) “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya Bela Negara ysng diwujudkan dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara”, dan 5) UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat (2) “Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara dimaksud ayat (1) diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau wajib dan pengabdian sesuai dengan profesi (Cholisin, 2007).

Hak dan Kewajiban

Oleh karena itulah setiap warga negara Indonesia dengan hak dan kewajiban yang sama, dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Tentara dan masyarakat sipil merupakan sumber daya manusia yang menjadi komponen terpenting dalam sistem pertahanan nasional, yaitu pertahanan dan keamanan rakyat semesta.

Sistem pertahanan ini menempatkan TNI dan Polri sebagai komponen utama dan rakyat sebagai komponen pendukung.Mengakhiri polemik yang terjadi sudah seyogyanya pemerintah segera menyusun Rancangan UU tentang Komponen Pendukung Pertahanan Negara yang akan menjadi payung hukum mobilisasi warga sipil untuk kepentingan bela negara.

Selain itu wacana bela negara ini harus tetap berpegang teguh pada prinsip-peinsip demokrasi, HAM, dan kesejahteraan umum.Prinsip demokrasi mengharuskan setiap tindakan pemerintah dalam pelaksanaan pertahananharus sejalan dengan aspirasi rakyat dan melalui persetujuan rakyat melalui DPR.

Prinsip HAM mengharuskan bahwa kegiatan initidak melanggar HAM dengan alasan apapun. Prinsip kesejahteraan umum, mengandung makna bahwa kegiatan ini tidak menjadikan rakyat semakin menderita. Oleh karena itu, kalaupun harus dijalankan program bela negara perlu dibarengi dengan program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Martien Herna Susanti, dosen Jurusan Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang

Demikian pula kemerdekaan pers. Pembatasan kemerdekaan pers dapat dibedakan antara kebebasan yang bersumber dari lingkungan pers sendiri (self sensorship), dan yang dari luar lingkungan pers yang bersumber dari kekuasaan publik (public authority). Pembatasan dari dalam lingkungan pers sendiri adalah pembatasan yang bersifat self restraint atau self censorship, baik atas dasar kode etik atau UU Pers. Pembatasan yang bersumber dari kekuasaan publik mencakup: 1. Pembatasan atas dasar ketertiban umum (public order). 2. Pembatasan atas dasar keamanan nasional (national security). 3. Pembatasan untuk menjamin harmoni politik dan sosial. 4. Pembatasan atas dasar kewajiban menghormati privasi (privacy). 5. Pembatasan atas dasar ketentuan pidana, ketentuan perdata, dan ketentuan  hukum administrasi, atau hukum lainnya. (1) Pembatasan atas dasar ketertiban umum. Ketertiban umum (public order) didapati dalam semua sistem hukum sebagai dasar membatasi hak atau perbuatan. Atas alasan ketertiban umum, penguasa dibenarkan melakukan tindakan preventif atau represif yang bersifat pembatasan. Sayangnya, tidak ada satu pengertian baku mengenai isi, bentuk, dan tata cara membuat keputusan atau tindakan atas dasar keterbitan umum. Memang ada ketentuanketentuan yang dibuat atas dasar pertimbangan ketertiban umum. Pada dasarnya, setiap ketentuan yang mengatur suatu persyaratan (misalnya syarat menjadi Anggota Dewan Pers), didasari pertimbangan ketertiban umum, perizinan yang disertai syarat-syarat tertentu, dibuat atas dasar pertimbangan ketertiban umum. Namun pada umumnya berbagai tindakan atas dasar pertimbangan ketertiban  umum merupakan suatu diskresi. Walaupun diskresi diperlukan (necessary), tetapi mudah menjadi tindakan subyektif dan sewenangwenang. Dengan demikian, kalau tidak berhati-hati dan dipertalikan dengan asas-asas lain (seperti kehati-hatian, asas tujuan yang benar menurut hukum), dasar ketertiban umum dapat menjadi alat perbuatan sewenang-wenang. Pers yang merdeka harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan ketertiban umum sebagai dasar pembatasan, agar tidak menjadi ranjau bagi dirinya sendiri. (2) Pembatasan atas dasar keamanan nasional (national security). Keamanan nasional (seluruh atau sebagian wilayah) berkaitan dengan ancaman atas ketenteraman, kenyamanan, keutuhan bangsa, atau keutuhan wilayah negara. Contoh-contoh yang bertalian dengan keamanan nasional adalah rahasia negara, rahasia militer.  Bagaimana agar pembatasanpembatasan tersebut tidak menjadi alat menyalahgunakan kekuasaan (misuse of power), digunakan secara berlebihan (deterrement de pouvoir), atau dilaksanakan secara sewenangwenang (arbitrary). Keadaan sebagai dasar pembatasan, dapat menjadi instrumen mengontrol pers, seperti sensor (preventif dan represif), breidel, atau larangan beredar. Apakah hal itu mungkin? Sangat mungkin, lebih-lebih apabila penerapannya dimungkinkan menggunakan diskresi. Bagaimana cara melakukan penjegalan atau perlawanan hukum (legal action) apabila atas nama pembatasanpembatasan itu mengancam hal-hal seperti kemerdeka-an pers, kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan lain-lain. Ada beberapa landasan sebagai pembenaran pelaksanaan pembatasan: Pertama; asas negara hukum. Salah satu batu patokan (corner stone) ajaran negara hukum yaitu: “semua tindakan harus berdasarkan atas hukum” (based on law). Maksudnya: (1) Pelaku tindakan harus mempunyai wewenang (legal authority). (2) Obyek yang menjadi sasaran tindakan juga harus ditentukan oleh hukum. (3) Tata cara bertindak diatur dan dijalankan sesuai hukum. Dengan demikian, setiap perbatasan harus disertai aturan hukum yang mengatur wewenang, obyek, dan  tata cara melakukan tindakan. Perlu ditambahkan, yang dimaksud hukum dalam negara hukum, yaitu hukum yang mencerminkan kepentingan rakyat banyak dan tidak mengandung serba membenarkan tindakan penguasa (hukum sebagai alat kekuasaan semata). Para anggota Nazi diadili, mengatakan: Tidak melanggar hukum (tidak melanggar asas negara hukum). Mereka bertindak (menyiksa dan membunuh jutaan manusia) berdasarkan hukum yang dibuat pemerintah Nazi atas perintah Fuhrer (Sang Pemimpin). Formal barangkali memang hukum, tetapi secara substantif bukan hukum, karena hukum dibuat sebagai alat kekerasan dan penindasan terhadap publik. Ajaran lain negara hukum: Rakyat (bersama-sama atau secara individual), mempunyai hak untuk melawan keputusan penguasa yang merugikan mereka, melalui pengadilan atau badan lain sebagai arbiter yang jujur dan tidak berpihak (fair and impartial). Kedua; asas ubi ius ibi remedium. Setiap hak berhak atas pemulihan,  terjaga dan dapat dipertahankan (remedy). Pemulihan dapat berupa pemulihan hak yang hilang, ganti rugi, menghentikan suatu tindakan dan lain-lain. Menghadapi kemungkinan pelanggaran hak akibat pembatasan-pembatasan, harus tersedia prosedur yang terbuka (oppeness), fair (fairness), dan tidak berpihak (imparsiality). Khusus untuk pers, harus dibedakan antara pelanggaran pembatasan yang bersifat jurnalistik dan non jurnalistik. Ketiga; asas tindakan tidak berlebihan (non excessive), rasional, dan proporsional. Tidak dibenarkan, suatu pembatasan dilaksanakan secara berlebihan, melampau batas-batas kepantasan, dan tidak proporsional. Di sini berlaku prinsip: “sledgehammer must not be used to crack a nut”. Janganlah menggunakan palu yang terlalu besar kalau sekedar untuk memecah satu biji kacang.  Selain pembatasanpembatasan di atas, pers juga membatasi diri sendiri melalui kode etik jurnalistik dan self sencorship. Pembatasan kode etik adalah pembatasan-pembatasan dalam bentuk kewajiban memenuhi syarat-syarat jurnalistik. Self sencorship adalah pembatasan yang bertalian dengan policy redaksi mengenai kebijakan pemberitaan, pilihan pemberitaan dalam rangka mewujudkan fungsi-fungsi sosial pers, seperti menjaga harmoni sosial, dan lain-lain. Dalam keadaan tertentu, policy redaksi dapat berwujud melepaskan (fettering) kebebasan atas kemauan sendiri demi kepentingan yang lebih besar. media itu harus memikul tanggung jawab atas pemberitaan itu, jika kasus itu masuk ke pengadilan. Selanjutnya, perlu diperiksa apakah pemberitaan itu dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme dalam UU no 16/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan  hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.” Perlu juga disimak, apakah rangkaian pemberitaan tersebut bisa digolongkan pada Pasal 28 ayat (2) UU no 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Betapa pun beratnya kesalahan dalam pemberitaan, siapa pun tidak boleh membredel pers nasional. Jika memang dianggap  salah dan dinilai punya itikad buruk yang sengaja dirancang, ajukan penanggungjawabnya ke pengadilan, walaupun ancaman hukumannya sangat berat, yaitu 6 tahun penjara, atau seumur hidup. Jika nanti ada undangundang baru yang memberi wewenang pemerintah melakukan pemblokiran situs maka pemblokiran hanya boleh dilakukan setelah melalui pengadilan. Dengan cara ini, tindakan “pukul dulu, urusan belakangan” terhadap media, bisa dihindari.***

Muhammad Ridlo Eisy adalah anggota Dewan Redaksi Pikiran Rakyat, dan Ketua Komini Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Dewan Pers.

Download