Mengapa ibadah puasa disebut sebagai sarana mengendalikan diri

Oleh : Fathur Rohman, Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam

FTIK UNISNU-Puasa merupakan salah satu bentuk ibadah jasmaniyah rohaniyah. Ibadah jasmaniyah artinya ibadah yang pelaksanaannya membutuhkan kinerja fisik, sedangkan ibadah rohaniyah berarti ibadah yang menuntut adanya keterlibatan sisi ruhaniyah dalam menjalaninya. Jadi, ibadah puasa adalah ibadah yang tidak hanya melulu berurusan dengan fisik saja, tapi juga menekankan aspek non fisik, yakni mental dan spiritual. Orang yang berpuasa tidak hanya dilatih agar kuat dan tahan secara fisik, tapi juga dilatih untuk menata jiwanya agar kuat dan tahan dari segala godaan nafsu duniawi. Dalam istilah jawa, puasa atau poso berarti ngeposno roso yang berarti berusaha menghentikan segala nafsu dan hasrat lahir batin.

Dalam literatur Fikih,puasa diartikan dengan imsak yang berartimenahan atau mengendalikan. Yang dimaksud adalahmengendalikan diri dari hal-hal yang membatalkan puasaseperti makan dan minum, dari terbit fajar sampai terbenam matahari.Tapi yang diharapkantentunya puasa tidak sebatas mengendalikan diri secara lahiriah, melainkan juga secara rohaniah.  Jadi bisa dipahami bahwapuasa menyasar semua dimensi dalam diri manusia, baik fisik dan non fisik. Berpuasa berarti mengendalikan diri, sisi jasmani sekaligus rohani.

Sebagaimana arti kata puasa itu sendiri, pengendalian diri merupakaninti ajaran puasa.Dengan perintah puasa, sejatinya Allah menghendaki agar manusia mampu mengendalikan diri, karena di sinilah letak kelemahan terbesar manusia. Hal initelah digambarkan dengan jelas oleh Al-Quran lewat kisah Nabi Adam AS (Q.S, 20:115).Kisah indah Nabi Adam dan istrinyadi surga harus berakhir tragis. Mereka berdua terusir dari surga dan dibuang ke bumi karena tidak mampu mengendalikandiri dari dorongan hasrat memakan buah terlarang.Meminjam bahasa Nur Cholis Madjid, Kisah nabi Adam AS inimerupakan drama kosmis yang memberikan pelajaran berharga bahwa segala permasalahan manusia sejatinya bermula dari ketidakmampuanmengendalikan diri.

Pengendalian diri atau self control, dalam kamus psikologididefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau menghambat dorongan yang ada (JP Chaplin; 2008). Disebutkan bahwa orang  yang mampu mengontrol dirinya adalah orang yang rela menunda kepuasan sesaat demi manfaat yang lebih besar dan menahan diri dari keinginan atau tindakan yang merugikan.Adanya kemampuan pengendalian diri mendorong seseorang untuk membuat keputusan yang lebih baiksehingga tidak mudah terjatuh dalam kesalahan. Pengendalian diri yang baik juga dapat menghindarkan seseorang dari segala dorongan dan tindakan yang dapat memicu konflik, baik pribadi maupun dengan orang lain.

Bahkan, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwakemampuan self control ternyata menjadi salah satu kunci untuk menjalani kehidupan yang bahagia. Hal ini karena orang yang mampu mengendalikan diri akan berpikir jauh sebelum bertindak. Ia tidak akan bersikap gegabah dan serampangan sehingga tidak akan melakukan tindakan yang merugikan. Dengan begitu, kehidupan akan terhindar dari berbagai masalah sehingga hati dan pikiran menjadi lebih tenang dan hidup pun lebih bahagia.

Puasa Ramadhanadalah salah satu wadah untuk memperkuat kemampuan mengendalikan diri kita. Dalam ibadah puasa, kita dibiasakan untuk menahan segala dorongan dan keinginan untuk sementara, tidak sepanjang waktu. Hal ini dimaksudkan untuk mendidik manusia agar mampu mengelola keinginan dan hasratnya dengan baik. Mengerti kapan harus menahan keinginan dan kapan menyalurkan keinginan sesuai ajaran Allah Swt. Dengan kata lain, puasa tidak membinasakan keinginan manusia, tapi mendidik manusia agar memiliki kemampuan pengendalian diri yang proporsional.

Dengan pengendalian diri yang kuat, niscaya kita tidak akan mudah terjatuh dalam lobang kesalahan dan senantiasa berjalan lurusdi jalan Allah Swt. Kehidupan yang lurus inilah yang akan menghantarkan manusia menggapai kebahagiaan. Tentu bukan hanya bahagia di dunia, tapi juga bahagia yang lebih besar, yakni kebahagiaan di akhirat kelak. Wallahu A’lam bi Al-Shawab

Episode Artikel Khusus Ramadan (4)

PAGI ini Sabtu, 19 Mei 2018 aktivitas pembelajaran hari pertama di puasa ramadan hari ke 3 mulai berlangsung, setelah diliburkan awal puasa. Menjadi hari istimewa karena ada beberapa catatan menarik yang bisa ditulis ini, salah satunya adalah baru masuk pintu gerbang sudah disambut dengan senyum bahagia dari sejumlah siswa kelas VII dan VIII (insyaallah) ini adalah "pejawantahan" dari hikmah datangnya nikmat syukur di puasa ramadan.

Karenanya tidak ada kata yang pantas kami (warga pembelajar) ucapkan kecuali rasa syukur. Tidak ada ungkapan yang perlu kami panjatkan, kecuali beribu terima kasih. Dan tidak ada pernyataan yang wajib kami serukan, kecuali Alhamdulillah. Ya, kami harus mengucapkan semuanya itu, karena di awal masuk dan bertepatan dengan datangnya bulan ramadan ini kami mendapat sambutan manis penuh rahmad dari siswa binaan.

Kalau bukan karena kasih sayang Allah SWT yang begitu besar kepada kami, tentu kami tidak mungkin bisa menjalani bulan yang identik dengan puasa tersebut dengan baik. Sungguh, rugi besar kalau kita tidak mampu memanfaatkan bulan yang datangnya hanya setahun sekali ini dengan penuh kekhusukan, senyuman, saling sapa, dan yang pasti menambah ketekunan dalam menjalankan berbagai macam ibadah.

Berdasar sejarah sebelum ramadan tiba, Rasulullah SAW senantiasa menyampaikan khutbahnya agar para sahabat benar-benar mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan agung ini. Beliau mengingatkan berbagai keutamaan puasa ramadan agar tidak ada hari, jam, menit, dan detik terlewatkan begitu saja. Jalani penuh ketekunan ibadah kepada Allah SWT, mantabkan jiwa hanya mengabdi kepada Yang Maha segala-galanya tersebut. Kini, di bulan ramadan ini mari kita hiasi nafas dan detak nadi kita menjadi tasbih, tidur dan istirahat kita menjadi ibadah, amal-amal baik yang kita tanam diterima, dan doa-doa kita dikabulkan.

Apakah isi khutbah yang disampaikan Nabi? Begini isinya: ”Bermohonlah kalian kepada Allah, Tuhan kalian, dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbing kalian untuk melaksankan puasa (shaum) dan membaca kitab-Nya. Celakalah orang yang tidak menda­pat ampunan Allah pada bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan haus kalian, kelaparan dan kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fakir dan miskin. Muliakanlah para orang tua kalian, sayangilah yang muda, sambunglah tali persaudaraan kalian, jagalah lidah kalian, tahanlah pandangan kalian dari apa yang tidak halal kalian pandang dan perliharalah pendengaran kalian dari dari apa yang tidak halal kalian dengarkan.

Petuah penuh hikmah yang disampaikan jelang puasa ramadan, perintah yang mulai diwajibkan (untuk melakukan ibadah puasa Ramadhan) pada tahun ke 2 Hijriyah atau 624 Masehi setelah Nabi hijrah ke Madinah, bersamaan dengan disyariatkannya salat ied, zakat fitrah, dan kurban. Hal ini berarti, bahwa puasa ramadan adalah suatu ibadah yang bernilai universal dan ibadah yang disempurnakan dari umat-umat terdahulu.

Ayat Al-Quran yang seringkali dikutip oleh juru dakwah (ustaz), entah dalam kultum maupun kajian ramadan yang saya yakin pembaca sudah hafal. Semuanya terkait perintah puasa yang ada dalam Q.S 2 - 183 (Surat Al-Baqarah ayat 183). Bunyi terjemahannya sebagai berikut: ”.... Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa....”.

Muasal istilah ramadan sendiri bersumber dari kata ramidha, yarmadhu, ramadan, yang artinya sangat panas. Sehingga jika ada kalimat, armada asy-syai’, maknanya adalah membakar sesuatu. Dengan demikian, makna bulan ramadan bila diaplikasikan secara bahasa adalah bulan pembakaran. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah yang akan dibakar? Jawabannya adalah nafsu manusia.

Lantas bagaimana cara membakar nafsu manusia itu? Caranya tentu saja tidak membakarnya secara langsung seperti kita membakar kayu atau kertas. Namun dengan cara berlapar dan menahan dahaga. Logikanya, jika manusia dalam keadaan lapar dan haus, dijamin nafsu raga manusia akan loyo, tidak punya tenaga. Kalau sudah tidak berkekuatan lagi, nafsu manusia akan mati dan tidak berkutik lagi. Nafsu manusia akan luluh bak binatang buas yang sudah dijinakkan. Yang menjadi masalah adalah apakah nafsu (manusia) memang harus dimatikan?

Kalau sampai nafsu (harfiah) manusia yang dimatikan bagaimana keberlangsungan hidupnya, mungkinkah mereka menjadi manusia yang tanpa dosa dan akan benar-benar menjadi manusia sempurna.

Memang kita sering salah dalam memahami nafsu itu sendiri. Kita biasanya mengidentikkan nafsu dengan keburukan, kebejatan, atau keserakahan. Padahal, nafsu itu secara bahasa bermakna jiwa, atau ruh. Hal itu bisa kita lihat dari firman Allah SWT, ”Dan jiwa (nafs) serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka, Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan.” (QS. Asy Syams: 7-8)

Jika kita memahami ayat tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa nafsu itu ternyata bersifat netral, tidak condong kekanan tidak pula kekiri alias berada di posisi tengah-tengah. Dengan kata lain, nafsu itu tidak bersifat baik dan juga tidak bersifat buruk. Namun, dalam penciptaannya, Allah SWT hanya memberikan ilham (potensi) terhadap nafsu tersebut, yaitu nafsu bisa dibawa ke arah kebaikan dan kejahatan.

Dalam ajaran Islam, Islam tidak pernah mengajarkan untuk ‘membunuh’ nafsu. Akan tetapi, Islam datang untuk ‘mengendalikan’ nafsu manusia. Jika memang kebaradaan nafsu itu tidak untuk dimatikan. Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana manusia dikatakan telah dapat mengendalikan atau memenuhi tuntutan nafsu dengan benar, padahal nafsu itu senantiasa menuntut untuk dipenuhi dan dipuaskan? Jawabannya adalah nafsu senantiasa harus didam­pingkan dengan ajaran-ajaran Islam. Manusia dikatakan mengikuti hawa nafsu ketika manusia tersebut tidak mengikuti ajaran Islam.

Misalnya saja, kita mempunyai nafsu lapar, tetapi kita memenuhi rasa lapar tersebut dengan memakan makanan yang haram atau mendapatkannya dengan cara mencuri. Kita mempunyai nafsu belanja, tetapi kita memenuhinya dengan barang haram atau membeli barang tersebut dari hasil korupsi. Kita mempunyai nafsu berkuasa, namun kita mendapatkan kekuasaan itu dengan melakukan politik uang atau bermain curang saat pemilihan umum. Dan, masih contoh yang bisa kita temukan dalam diri kita sendiri atau orang lain yang mencerminkan pemenuhan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Oleh karena itu, memasuki puasa ramadan kali ini perlu dijadikan ‘kesempatan emas’ untuk kembali mendidik nafsu kita yang lepas kontrol selama setahun lalu. Salah satunya dengan cara mengendalikan keinginan-keinginan yang dilarang Islam. Keinginan makan, minum, berkarir, berkuasa, dan lain sebagainya harus bersandar pada semangat Islam. Harapannya, setelah ramadan selesai, kita menjadi manusia yang benar-benar suci, sungguh-sungguh kembali ke fitri.

Jangan biarkan diri kita menderita kelaparan dan kehausan dengan tidak memperoleh apa-apa, selain haus dan lapar itu sendiri. Kita lupakan pesan moral ibadah puasa yang sakral berupa menuju jalan ketakwaan. Kita tidak cukup hanya mengendalikan nafsu makan, minum, atau seks sebagaimana biasanya dalam berpuasa. Kita juga harus mengendalikan nafsu-nafsu kita yang lain yang jumlahnya banyak sekali. Semoga!

Si - Pembelajar -