Hak untuk menyampaikan pendapat dijamin dalam uud 1945 pasal

Manusia terlahir dengan hak-hak alamiah, yang tidak dapat dilepaskan atau diserahkan kepada masyarakat atau pemerintah, kecuali atas perjanjian. Hak-hak alamiah tersebut adalah hak untuk hidup (life), hak-hak untuk memiliki sesuatu (estate), dan hak kebebasan (liberte). Di Indonesia, hak-hak tersebut telah tercakup dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen yang menjamin perlindungan HAM warga negara Indonesia. Salah satu HAM yang dijamin oleh UUD 1945 adalah kebebasan berkumpul dan berserikat yang diatur dalam Pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal ini menjelaskan bahwa pemuatan hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan salah satu HAM yang menjadi hak konstitusi. Pasal ini pun menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak tersebut.

Selain itu, hak untuk berserikat dan berkumpul juga dijamin dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”. Sejalan dengan itu, kemudian dalam Pasal 24 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 juga berbunyi, “Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan Partai Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Ketentuan ini mengandung makna bahwa masyarakat diberikan hak untuk berperan secara aktif dalam penyelenggaraan negara melalui organisasi masyarakat sipil di luar pemerintahan demi tercapainya tujuan bangsa ini. Dalam praktik di Indonesia, pengaturan mengenai jaminan kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia dimulai pada tahun 1985 yang disebut dengan Perkumpulan, dengan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang disahkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Secara umum, aturan ini memberi ruang bagi masyarakat Indonesia untuk membentuk perkumpulan-perkumpulan sebagai wadah pengorganisasian diri sekaligus juga saluran aspirasi sosial dan politik. Selain KUHPer, pengaturan mengenai jaminan kebebasan berkumpul dan berserikat juga diatur di dalam Staatsblad 1870 Nomor 64. Stb. 1870-64 ini berisi 11 pasal yang mengatur tentang perkumpulan berbadan hukum, seperti firma, PT, koperasi, dan lain-lain. Selain itu, di dalam Stb.

1870-64 juga mengatur tentang perkumpulan yang tidak berbadan hukum. Secara umum, Stb. 1870-64 mengatur tentang pengakuan atas hak berserikat, pemberian perlindungan hukum dengan pemberian status badan hukum, dan mengatur hak-hak hukum yang menyertainya. Hingga pada rezim Orde Baru, Soeharto memberlakukan kebijakan wadah dan asas tunggal yang memberikan kontrol yang sangat ketat terhadap aktivitas warga negara, seperti dalam ideologi, pilihan politik, hingga pendirian organisasi masyarakat sipil (OMS). Pada era tersebut, Soeharto berusaha mengendalikan OMS dengan mengeluarkan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan UU ini lahir lebih menitikberatkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan hukum dan ditengarai merespon bermunculnya ormas-ormas Islam sejak tahun 1950-1n yang dianggap mengancam stabilitas politik. Di era Reformasi, lahir UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan kemudian direvisi menjadi UU No. 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2011 tentang Yayasan. Pada tahun 2013, pemerintah resmi mencabut UU No. 8 Tahun 1985 dan menggantikannya dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada tahun 2017, pemerintah menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

Hak untuk menyampaikan pendapat dijamin dalam uud 1945 pasal

Mahasiswa membawa poster dengan gambar wajah Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam aksi gabungan mahasiswa, di Jakarta Pusat, Sabtu, 1 April 2022. Mahasiswa menuntut penolakan 3 periode jabatan presiden Jokowi dan tolak penundaan pemilu. TEMPO/ Faisal Ramadhan

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga survei Indikator Politik Indonesia mengungkap hasil survei terbaru tentang kebebasan berpendapat. Melalui survei yang dilakukan pada 11-21 Februari itu menunjukkan sebanyak 62,9 persen masyarakat merasa takut berpendapat.

Kebebasan menjadi hal penting dalam negara demokratis seperti Indonesia. Kebebasan tersebut termasuk kebebasan berpendapat, berekspresi dan mempertahankan argumen di muka umum.

Sebagian besar negara maju menjunjung tinggi nilai kebebasan setiap individu. Hak atas kebebasan ekspresi dan berpendapat di Amerika Serikat diatur dalam dokumen Virginia Bill of Rights (12 Juni 1776), Declaration of Independence (4 Juli 1776), dan Undang-Undang Dasar.

Dalam sidang pertama PBB pada 1946, sebelum disahkannya Universal Declaration on Human Right atau traktat-traktat diadopsi, Majelis Umum PBB melalui resolusi nomor 59 (I) terlebih dahulu menyatakan “Hak atas informasi merupakan Hak Asasi Manusia Fundamental…standar dan semua kebebasan yang dinyatakan “suci’ oleh PBB.

Sementara itu, sejak Indonesia merdeka pada 1945, melalui konstitusi menegaskan kebebasan berekspresi. Mengutip komnasham.go.id, kebebasan itu tercantum dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Indonesia memiliki beragam perbedaan. Perbedaan itu meliputi suku, ras, agama, hingga pandangan yang dianut masing-masing kelompok dan individu tiap daerah. Membatasi hak berpendapat dan bersuara justru berpotensi menimbulkan perselisihan.

Mengutip dari Jurnal Balitbang HAM, meskipun mengemukakan pendapat adalah sebuah kebebasan, namun perlu adanya penyesuaian dengan ketentuan di negara dan tempat tertentu. Batasan tersebut dipengaruhi oleh moralitas masyarakat, ketertiban sosial dan politik masyarakat yang demokratis.

Hal itu yang membuat negara harus menjamin prinsip kebebasan berpendapat. Jika tidak bisa menyampaikan secara verbal, seorang individu atau kelompok tertentu akan memilih jalan koersi.

Konstitusi yakni UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yang jelas menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Selanjutnya, selain itu jaminan Kebebasan Berkumpul dan Berpendapat juga dijamin dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights), Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the rights of the child), Undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

RISMA DAMAYANTI

Baca: Survei Indikator Politik Indonesia: 62,9 Persen rakyat Semakin Takut Berpendapat

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”

Narasumber : Kenny Santiadi – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Pembahasan mengenai kebebasan menyampaikan pendapat akan dibagi menjadi 2 (dua) sudut pandang, yaitu sudut pandang konstitusional dan sudut pandang peraturan perundang-undangan. Sudut pandang hukum nasional akan dikaitkan dengan kebebasan berpendapat sebagai hak. Hak kebebasan berpendapat ini bisa memiliki berbagai macam tujuan, tapi dalam tulisan ini akan difokuskan dengan penggunaan hak kebebasan berpendapat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mencerdasarkan kehidupan bangsa, dapat diupayakan dengan perlindungan kebebasan berpendapat.

Secara teoritik untuk menjelaskan hak kebebasan berpendapat (freedom of speech), bisa merujuk pendapat dari Frederick Schauer. Schauer berpendapat,[1]

“…when a free speech is accepted, there is a principle according to which speech is less subject to regulation (within a political theory) than other forms of conduct having the same or equivalent effects. Under a free speech principle, any govermental action to achieve a goal, whether that goal be positive or negative, must provide stronger justification when the attainment of that goal…”

(…ketika kebebasan berpendapat diterima, ada prinsip yang menyatakan bahwa pendapat kurang tunduk pada regulasi (dalam teori politik) daripada bentuk perilaku lain yang memiliki efek yang sama atau setara. Berdasarkan prinsip kebebasan berbicara, setiap tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan, apakah tujuan itu positif atau negatif, harus memberikan justifikasi yang lebih kuat ketika pencapaian tujuan itu …)

Penjelasan di atas tepat untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, sebab Schauer menjelaskan bahwa kebebasan berpendapat berkaitan dengan pendapat yang tidak penuh pada aturan tertentu, bisa digunakan untuk tindakan pemerintah, dan memiliki tujuan tertentu. Menimbang beberapa ciri yang disampaikan untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, maka penting untuk melihat kesamaannya sesuai dengan regulasi di Indonesia. Kesamaan tersebut untuk mencari tahu terkait dengan tujuan dari penggunaan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Pengaturan hukum di Indonesia mengenai hak kebebasan berpendapat terdapat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (selanjutnya disingkat UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum). Jaminan perlindungan hak kebebasan meyampaikan pendapat ini diatur secara umum dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut. Perlindungan kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.**)”

Kemerdekaan pendapat termasuk hak yang sangat dasar, sebab hak kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia. Tujuan kebebasan menyampaikan pendapat berdasarkan bagian menimbang pada UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum untuk mewujudkan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perwujudan kebebasan menyampaikan pendapat dibagi menjadi berbagai macam bentuk, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu:

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Kemerdekaan menyampaikan pendapat yang bisa diungkapkan dengan berbagai bentuk mengindikasikan bahwa pendapat bisa disampaikan tidak hanya dengan lisan dan tulisan saja. Pendapat yang disampaikan tentu membutuhkan ruang sebagai sarana ekspresi dari pendapat yang hendak disampaikan. Pendapat yang hendak diekspresikan bisa disampaikan dalam ruang publik, Pasal 1 angka 2 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan,

“Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang didatangi dan atau dilihat setiap orang.”

Ruang publik yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat menjadi penting, sebab dengan pendapat yang disampaikan di ruang publik bisa memenuhi dua aspek ontologis (berkaitan dengan keadaan). Aspek ontologis pertama yang bisa dipenuhi berkenaan dengan ekspresi kemanusiaan (express themselves) dan keunikan identitas (unique identity). Pemenuhan dua aspek ontologis ini sangat penting, mengacu pada pendapat Arendt,[2]

“Grounding speech as a distinctive characteristic of human beings that express themselves publicly might provide a non-consequentialist aspect to the theory of personal development. In an Arendtian sense, one might attribute to speech an existential signifiance: only by way of speech do human being express their unique identity among others in the public realm.”

(Sebagai ciri khas manusia yang mengekspresikan diri secara terbuka dapat memberikan aspek non-konsekuensialis pada teori pengembangan pribadi. pengertian Arendtian, orang mungkin mengaitkan ucapan dengan makna eksistensial: hanya dengan cara bicara manusia mengekspresikan identitas unik mereka di antara yang lain di ranah publik.)

Pendapat yang dikemukakan oleh Arendt bisa menjembatani tentang hak kebebasan berpendapat dengan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Arendt mengkategorikan kebebasan berpendapat terkait dengan eksistensi manusia yang signifikan untuk mengungkapkan keunikan identitasnya. Pendapat tersebut jika ditarik lebih jauh bisa ditafsirkan bahwa pembatasan kebebasan berpendapat secara sewenang-wenang atau pelarangan kebebasan berpendapat secara mutlak, berdampak manusia tidak dapat mewujudkan eksistensinya. Keterbatasan dalam perwujudan eksistensi manusia, sama halnya dengan membatasi juga upaya untuk membuat manusia lebih cerdas. Hasil akhir dari berbagai macam pembatasan kebebasan berpendapat, tanpa menimbang eksistensi manusia dapat berakhir dengan komunitas yang eksklusif, jauh dari kata inklusif.

Pendapat dari Arendt, diakui juga dalam Pasal 4 huruf c UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,

“Mewujudkan iklim yang kondusif bagi partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.”

Kreativitas dan partisipasi merupakan bagian dari iklim demokrasi. Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat termasuk hal yang penting. Pengabaian terhadap perlindungan hak kebebasan berpendapat bisa menyebabkan menurutnya tingkat partisipasi dan kreativitas dari warga negara. Cara untuk menyampaikan pendapat juga aspek yang tidak boleh dilupakan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Arendt berpendapat ruang tersebut dinamakan sebagai ruang penampakan (ersheinungsraum),[3]

“Ruang penampakan terjadi di tempat orang-orang saling berinteraksi dengan bertindak dan berbicara; ruang itulah yang menjadi dasar pendirian dan bentuk negara…Ruang itu ada secara potensial pada setiap himpunan orang, memang hanya secara potensial; ia tidak secara niscaya diaktualisasi di dalam himpunan itu dan juga tidak dipastikan untuk selamanya atau untuk waktu tertentu…”

Partisipasi dan kreativitas ini tidak jarang dibungkam, padahal dengan terwujudnya kedua hal ini bisa mendorong upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kejadian paling baru terjadi teror kepada Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (CLS FH UGM). Pembicara di CLS FH UGM yang berjudul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sitem Ketatanegaraan”. Pembicara diskusi tersebut Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum mendapat teror dari tanggal 28 Mei 2020 hingga 29 Mei 2020, selain pembicara yang mendapat teror, moderator dan narahubung juga diteror.[4] Meskipun pelaku teror belum terungkap, kejadian itu menunjukan bahwa diskusi ilmiah tidak bebas dari teror pihak-pihak tertentu.

Simpulan yang dapat diberikan atas paparan di atas terkait dengan hak kebebasan menyampaikan pendapat sebagai upaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan hal yang patut diperhatikan. Perhatian yang diberikan terhadap hak menyampaikan pendapat bisa digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kreativitas dan partisipasi publik yang pada akhirnya berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan tidak hanya diukur dengan seberapa banyak warga negara bisa menikmati sistem pendidikan konvensional, melainkan tingginya atensi partisipasi publik merupakan hal yang harus diperhatikan.

Tersedia di
Spotify

Anchor

Google Podcast

Referensi:

[1] Schauer, Frederick. 1982. Free Speech: A Philosophical Inquiry. New York: Cambridge University Press.

[2] Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition. Chicago: Chicago University Press.

[3] Hardiman, F. Budi. 2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.

[4] Pradito Rida Pertana, UGM Ungkap Teror Gegara Diskusi: Ojol ‘Serbu’ Rumah, Ancaman Pembunuhan, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5034266/ugm-ungkap-teror-gegara-diskusi-ojol-serbu-rumah-ancaman-pembunuhan (diakses pada tanggal 27 Juli 2020).

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.