Pasal 34 UUD 1945 yang mengatur pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak terlantar olehnegara mempunyai kaitan yang sangat erat dengan pasal 33 yang mengatur dasar demokrasi ekonomi negara. Dengan menggunakan penafsiran sistematik dari kedua pasal tersebut, penyelesaian masalah fakir miskin dan anakanak terlantar di Indonesia harus dikaitkan dengan asas demokrasi ekonomi. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tugas-tugas pemerintah untuk "memelihara" fakir miskin dan anak-anak terlantar perlu segera dibuat. DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol25.no3.478
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Akhir-akhir ini, Indonesia mengalami berbagai permasalahan. Seperti kemiskinan, Virus corona, Omnibuslaw, dan permasalahan lainya. Kita sepakat bahwa di Negara Indonesia segala sesuatu telah diatur oleh Undang-Undang Dasar (UUD 1945). • BERLAKU Besok 1 Februari 2021, Pulsa hingga Token Listrik Dikenakan Pajak, Harga Jual jadi Berapa? Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan konstitusional bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUD 1945 juga sebagai dasar hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menjamin hak konstitusional warga negara. Dalam Undang- Undang Dasar UUD 1945 Pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh Negara. • Arti 30 Jenis Mimpi, dari Memberi Zakat Kepada Fakir Miskin hingga Melihat Pintu Surga Terbuka Mengacu pada pasal tersebut tanpa disadari Negara meletakan beban kepada dirinya sendiri berupa kewajiban untuk menanggung sebagian penderitaan masyrakat miskin dalam hal ini atas dirinya sendiri maupun kegagalan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakatnya. Melalui kewajiban tersebut maka Negara melalui praktiknya, memerlukan banyak program dalam mengentaskan kemiskinan. Dan program tersebut justru bersifat fregmentaris atau sementara. Hasilnya seperti obat hanya menyembuhkan gejala saja tapi bukan penyakitnya. Halaman selanjutnya arrow_forward
ABSTRAK Undang-Undang Dasar 1945 adalah landasan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti halnya Pasal 34 Ayat 1 Undang -Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir Miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut mempunyai makna bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pada kenyataan dilapangan saat ini, Undang-Undang tersebut tidak berjalan sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Di kota Banda Aceh yang merupakan ibukota dari provinsi Aceh, kita dengan mudah menemukan para fakir miskin yang mendapat penghasilan dari mengemis di jalanan, pusat keramaian, warung kopi, lampu merah dan rumah ibadah. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat strategi dan faktor penghambat yang dialami pemerintah kota Banda Aceh dalam mengimplementasikan Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 di kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif dengan sumber observasi lapangan, dokumentasi dan wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini, strategi yang dilakukan pemerintah kota Banda Aceh adalah melakukan pembinaan, pemberdayaan dan penanganan terhadap fakir miskin dan anak terlantar sedangkan faktor yang menjadi kendala pemerintah kota banda aceh adalah masih kurangnya kesadaran masyarakat kota Banda Aceh, baik yang menjadi objek kebijakan maupun masyarakat umum. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi permasalahan fakir miskin dan anak terlantar di kota Banda Aceh. kurangnya kesadaran beberapa pihak yang belum mengerti bahwasanya permasalahan tersebut adalah tanggungjawab bersama masih menjadi kendala. Kata Kunci: Implementasi, Strategi, Fakir Miskin, Anak Terlantar.
Opini Oleh : Dr. Sakka Pati, SH., MH., (Kapuslitbang Konflik Demokrasi Hukum dan Humaniora LPPM Unhas) PORTALMAKASSAR.COM – Pada zaman yang semakin modern dan serba maju ini, ternyata kesenjangan ekonomi masyarakat masih menjadi “pekerjaan rumah” yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. ADVERTISEMENT Bahkan sama saat ini, begitu mudah dijumpai para pengemis dengan bermacam sebutan seperti gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan. Mereka adalah cerminan kehidupan fakir miskin dan anak-anak terlantar. Masyarakat fakir, miskin, dan anak-anak yang terlantar dianggap sebagai kondisi ekstrim keterbelakangan kondisi perekonomian seseorang sehingga negara harus memberikan perhatian khusus. Hal ini dilakukan dengan melakukan pemeliharaan terhadap mereka. Dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) dinyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Keberadaannya yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu menjadi pertanyaan besar, apakah benar fakir miskin dan anak terlatar “dipelihara” oleh negara? Secara etimologi, kata “dipelihara” berasal dari kata dasar “pelihara” yang artinya dijaga atau dirawat. Apabila merujuk pada pengertian tersebut, maka memang benar fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, karena hingga saat ini keberadaannya masih ada dan dibiarkan terus bertambah. Apabila arti yang demikian digunakan pada kalimat Fakir miskin dan anak terlantar “dipelihara” oleh negara maka berkembang dan bertambahnya masyarakat kaum fakir, miskin, dan anak terlantar merupakan tujuan yang diharapkan. Masyarakat gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan yang makin hari terus bertambah jumlahnya menunjukkan keberhasilan “pemeliharaan” terhadap mereka. Namun jika merujuk pada terminology hukum, maka kata “dipelihara” tersebut mengarah pada makna “penanganan” fakir miskin. Untuk itu, penanganan fakir miskin dan anak-anak terlantar dapat merujuk pada makna penanganan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Fakir Miskin bahwa yang dimaksud dengan penanganan fakir miskin yaitu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Di Kota Makassar sendiri, sepanjang lampu merah akan ditemui banyak pengemis mulai dari orang tua hingga anak-anak yang masih berada di usia sekolah. Bahkan tidak jarang seorang “ibu” membawa bayinya untuk ke jalanan untuk mengemis. Anak dengan usia sekolah, yang harusnya mampu menjadi generasi emas di masa mendatang, justru sejak dini telah diperkenalkan dengan dunia “mengemis”. Masa depannya telah dihancurkan, dan dunia anak-anaknya telah diwarnai dengan dunia orang dewasa yang harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya. Gambaran ini harusnya mampu menarik perhatian khusus pemerintah agar fakir miskin dan anak-anak terlantar benar-benar dipelihara dalam terminology hukum. Akan menyedihkan sekali apabila kata “dipelihara” pada Pasal 34 ayat (1) UUD NRI 1945 diarahkan artinya pada mempertahankan eksistensi atau mengembangbiakkan fakir miskin dan anak terlantar. Tentu saja, kita harus percaya bahwa makna kata “dipelihara oleh negara” dalam Pasal 34 ayat (1) UUD NRI 1945 mengarah pada terminology hukum yang artinya “penanganan”. Oleh sebab itu, yang harus menjadi rujukan pemerintah dalam menangani hal tersebut yaitu Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Fakir Miskin. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk “memelihara” fakir miskin dan anak-anak terlantar dalam artian positif, yang salah satu bentuk tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 jo. Pasal 1 angka 4 dan 5 UU Fakir Miskin yang secara tegas mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk bertanggung jawab menyediakan pelayanan perumahan. Yang dimaksud dengan ”penyediaan pelayanan perumahan” adalah bantuan untuk memenuhi hak masyarakat miskin atas perumahan yang layak dan sehat.
|