Dalam bidang kesehatan salahuddin membangun 2 rumah sakit yang berada di kota

Masa Kejayaan Dinasti Ayyubiyah
terjadi pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi, Dinasti Ayyubiyah mengalami kemajuan dalam bidang kebudayaan dan peradaban Islam. Hal ini ditandai dengan berdirinya lembaga ilmu pengetahuan yang bernama Al Azhar. Dalam bidang industri dan perdagangan pada masa dinasti ayyubiyah menggunakan mata uang sebagai alat perdagangan yang terbuat dari emas dan perak ( dinar dan dirham ) termasuk pengenalan mata uang tembaga yang di sebut fulus, fulus di sediakan Sebagai alat tukar untuk barang yang nilainya kecil.

Dalam bidang kesehatan salahuddin membangun 2 rumah sakit yang berada di kota
Dinasti Ayyubiyah memiliki peran penting dalam peradaban Islam selama ia berdiri. Selain penyebaran ajaran Islam Sunni di Timur Tengah dan Asia Tengah, kemajuan Dinasti Ayyubiyah juga terjadi di bidang-bidang lain, seperti pendidikan, ilmu pengetahuan, kesehatan, ekonomi dan arsitektur.

Kejayaan dinasti ini memang terjadi begitu gemilang pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, setelahnya kejayaan Dinasti Fatimiyah mulai runtuh karena keturunannya disibukkan dengan perebutan tahta dan mempertahankan wilayah. Ekspansi besar-besaran pun memang hanya terjadi pada masa Sholahuddin, Ia dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan disegani, juga seorang yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan. Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan dalam bidang perdagangan dan perindustrian.

Masa Kejayaan Dinasti Ayyubiyah

Dinasti Ayyubiyah pada masanya mencapai puncak kejayaan dalam berbagai bidang antara lain :

Bidang Pendidikan

Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan, terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan Salahuddin. Damaskus, ibu kota Suriah, masih menyimpan jejak arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan kedua tokoh tersebut.

Nuruddin berhasil merenovasi dinding-dinding pertahanan kota, menambahkan beberapa pintu gerbang dan menara, membangun gedung-gedung pemerintahan yang masih bias digunakan hingga kini, juga mendirikan madrasah pertama di Damaskus terutama untuk pengembangan Ilmu Hadis. Madrasah ini terus berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Suriah.

Baca Juga:  Solusi Apabila Asta Ideologi Lemah Di Indonesia

Madrasah yang didirikan Nuruddin di Aleppo (Halb), Emessa, Hamah, dan Ba’labak mengikuti mazhab Syafi’i. Madrsah tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masjid atau disebut sekolah masjid. Namun demikian, madrasah ini secara formal, yaitu menerima murid-murid dan mengikuti model madrasah yang dikembangkan masa Dinastu Nizamiyah.

Nuruddin juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Rumah Sakit al-Nuri. Ini menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah Rumah Sakit al-Walid. Fungsinya pun tidak hanya sebagai tempat pengobatan, tetapi juga sebagai sekolah kedokteran.

Pada bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni menulis indah (kaligrafi). Prasasti-prasasti yang ditulisnya menjadi daya tarik para ahli paleografi (ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu, diperkirakan seni kaligrafi Arab bergaya Kufi muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui dan melahirkan gaya kaligrafi Naskhi.

Salah satu Prasasti yang masih biasa dilihat dan dibaca sampai saat ini terdapat ddi menara Benteng Aleppo. Menurut catatan orang Suriah dan Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan mahakarya arsitektur Arab kuno. Berkat jasa Nuruddin, keberadaannya terus dipertahankan, dipelihara, dan direnovasi hingga sekarang. Makam Nuruddin sendiri yang terletak di akademi Damaskus al-Nuriyah, hingga kini juga masih dihormati dan diziarahi.

Pada masa Nuruddin, fungsi masjid dikembangkan sebagai lembaga pendidikan atau sekolah di Suriah. Bahkan pada pemerintahan selanjutnya, lahir suatu tradisi baru yaitu pemakaman para pendiri sekolah masjid di bawah kubah kuburan yang mereka dirikan, baik masa Dinasti Ayyubiah maupun masa Pemerintahan Dinasti Mamluk.

Salahuddin al-Ayyubi juga mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan dan arsitektur. Ia memperkenalkan pendidikan madrasah ke berbagai wilayah yang dikuasainya, seperti ke Yerusalem, Mesir dan lain-lain. Ibnu Jubayr (1145-1217 M), seorang ahli geografi menyebutkan bahwa terdapat beberapa madrasah di kota Iskandariah. Madrasah terkemuka dan terbesar berada di Kairo yang memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Salahiyah.

Baca Juga:  Penghubung Sumber Listrik Dan Penstabil Aliran Listrik Disebut

Hanya saja, madrasah bersejarah tersebut tidak bisa ditemukan lagi saat ini, namun sisa-sisa arsitekturnya masih bisa dilihat. Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur Arab ini melahirkan beberapa monumen bersejarah di Mesir. Salah satunya yang terindah adalah Madrsah Sultan Hasan di Kairo.

Di samping mendirikan sejumlah madrasah, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Rancangan bangunannya mengikuti model Rumah Sakit Nuriyah di Damaskus. Ciri khasnya adalah tempat pengobatan yang sekaligus dijadikan sekolah kedokteran. Salah seorang dokter terkenal yang menjadi dokter pribadi Salahuddin bernama Ibnu Maymun, meskipun ia beragama Yahudi.

Pada masa Salahuddin Al-Ayyubi, umat Islam mulai mengenal perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw. Di Indonseia, perayaan tersebut dikenal dengan istilah Maulid Nabi.

Bidang Ekonomi dan Perdagangan

Dalam hal perekonomian, Dinasti Ayyubiah bekerja sama dengan penguasa Muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah dan Laut Hindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan. Saat itu, jalur perdagangan Islam dengan dunia internasional semakin ramai, baik melalui jalur darat maupun jalur laut. Hal itu juga membawa pengaruh bagi negara Eropa dan negara-negara yang dikuasainya.

Selain itu, dunia perdagangan sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas dan perak (dinar dan dirham), termasuk pengenalan mata uang dari tembaga yang disebut fulus. Percetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad al-Kamil bin al-‘Adil al-Ayyubi. Fulus disediakan sebagai alat tukar untuk barang yang nilainya kecil. Ketika itu, setiap ane dirham setara dengan 48 fulus.

Dalam bidang industri, masa Ayyubiyah sudah membuat kincir hasil ciptaan orang Syiria. Kincir tersebut lebih canggih dibanding buatan orang Barat saat itu. Di zaman Ayyubiyah juga sudah dibangun pabrik karpet, pabrik kain, dan pabrik gelas.

Bidang Militer dan Sistem Pertahanan

Pada masa pemerintahan Salahuddin, kekuatan militernya terkenal sangat tangguh. Pasukannya bahkan diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika. Mereka sudah menciptakan alat-alat perang, pasukan berkuda, pedang, dan panah. Dinasti ini juga memiliki burung elang sebagai mata-mata dalam peperangan.

Salahuddin telah membangun monumen berupa tembok kota di Kairo dan Muqattam, yaitu Benteng Qal’al Jabal atau lebih dikenal dengan Benteng Salahuddin al-Ayyubi, yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya. Benteng ini terletak disekitar Bukit Muqattam, berdekatan dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide pembangunan benteng merupakan hasil pemikirannya sendiri yang terwujud tahun 1183 M. Bahkan untuk pondasi benteng diambilkan dari bebatuan pada Piramid di Giza. Benteng ini bahkan dikelilingi pagar yang tinggi dan kokoh.

Benteng Qa’al Jabal memiliki beberapa pintu utama, diantaranya pintu Fath, pintu Nasr, pintu Khalk, dan pintu Luq. Di benteng ini terdapat pula saluran air yang berasal dari sungai Nil. Saluran air itu pernah menjadi tempat minum para tentara. Di bagian utara benteng terdapat Masjid Muhammad Ali Pasha yang terbuat dari marmar dan granit.

Dalam kawasan benteng, terdapat juga Muzium Polis, Qasrul Jawhara (Muzium permata) yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Sementara itu, Mathaf al-Fan al-Islami (Muzium Kesenian Islam) yang terletak di pintu Khalk, menyimpan ribuan barang yang melambangkan kesenian Islam semenjak zaman Nabi Muhammad Saw, termasuk surat Rasulullah Saw kepada penguasa Mesir bernama Maqauqis untuk memeluk Islam.

Memelihara Kesehatan di Rumah Sakit Pada Abad Pertengahan Islam

Oleh: Azhar Rasyid

Saat membicarakan relasi antara Islam dan ilmu kedokteran, memori kita biasanya langsung tertuju pada sosok ilmuwan di bidang kedokteran maupun dokter ternama dalam sejarah Islam. Dua nama yang kerap disebut ialah Abu Al-Qasim Al-Zahrawi (936-1013 M) yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Bedah dan Ibnu Sina (980-1037 M) yang dipandang sebagai peletak dasar ilmu kedokteran modern.

Abad pertengahan Islam (abad kedelapan hingga ketiga belas) memang menghasilkan banyak sarjana kedokteran. Para sarjana Muslim berpandangan bahwa merawat kesehatan bukan hanya persoalan fisik, melainkan juga perintah agama. Nabi Muhammad saw sendiri selama hidupnya sering berbicara tentang pentingnya kesehatan bagi seorang Muslim. Ajaran ini dipegang oleh para sarjana Muslim abad pertengahan yang kebetulan juga memiliki minat mempelajari berbagai literatur pengobatan dari masa sebelumnya dan peradaban lama, mulai dari Yunani, Persia hingga India.

Para penguasa lokal menyediakan fasilitas penunjang penelitian kesehatan, terutama sekali akses pada perpustakaan. Dengan kombinasi ini, para sarjana kedokteran Muslim ini pun mengembangkan berbagai pengetahuan dan keterampilan dalam mencegah penyakit dan menyembuhkan pasien. Cukup banyak buku kedokteran yang mereka tulis yang menjadi saksi kontribusi besar mereka pada ilmu kedokteran.

Akan tetapi, sebenarnya ada satu elemen penting lain yang tak kalah krusial perannya dalam pesatnya kemajuan ilmu kedokteran dan perawatan kesehatan di masa pertengahan Islam. Tapi ia jarang disebut orang. Yang dimaksud di sini ialah institusi bernama rumah sakit. Di zaman sekarang orang mungkin menerima begitu saja eksistensi rumah sakit sebagai suatu hal yang wajar di tengah masyarakat modern. Tapi tidak demikian di zaman dahulu, masa ketika perawatan kesehatan bagi si sakit umumnya hanya dilakukan di rumah atau di tempat praktisi kesehatan tradisional.

Dengan kata lain, rumah sakit adalah sebuah terobosan yang membawa persoalan perawatan kesehatan ke level yang lebih maju, saintifik, terorganisir dan masif. Rumah sakit melahirkan tradisi baru dalam cara bagaimana orang menjaga kondisi fisik dan mentalnya serta mencari penyembuhan untuk penyakitnya. Para pengamat sejarah Islam mengakui bahwa rumah sakit adalah salah satu institusi terpenting di abad pertengahan Islam dan salah satu bentuk pencapaian tertinggi dari peradaban Islam era itu.

Tampaknya terinsipirasi oleh akademi kesehatan serta rumah sakit pendidikan tertua di dunia, Akademi Gundishapur di Iran, Kalifah Dinasi Umayyah, Walid ibn Abdul Malik, menjadi sosok yang mendirikan rumah sakit tertua yang tercatat dalam sejarah Islam. Rumah sakit ini dibangun di Damaskus pada tahun 707 M.

Rumah sakit kian berkembang di Dunia Islam pada abad kesembilan hingga abad ketiga belas. Kala itu di Baghdad berdiri lima rumah sakit. Rumah sakit paling terkenal di kota ini ialah Rumah Sakit Al-‘Adudi, yang didirikan sekitar tahun 979 M dan mampu bertahan selama lebih dari dua ratus lima puluh tahun. Kota-kota lain menyusul Baghdad untuk mempunyai rumah sakitnya sendiri. Pada abad kedua belas di Damaskus didirikan Rumah Sakit Nuri.

Seabad kemudian, Kairo menjadi saksi lahirnya Rumah Sakit Mansuri di kota itu. Berdirinya beberapa rumah sakit dalam hitungan abad menunjukkan bahwa pendirian rumah sakit tidaklah mudah di masa itu, masa tatkala jumah dokter masih sedikit dan dukungan finansial masih sulit serta kesadaran masyarakat belum cukup tinggi untuk menyerahkan perawatan kesehatannya pada dokter di tempat publik.

Salahuddin Al Ayyubi, panglima perang Muslim di Perang Salib dan juga pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir sebenarnya bukan hanya penting dalam bidang militer dan politik, tapi juga sosial dan kesehatan. Pada tahun 1182 M ia mendirikan rumah sakit bernama Al-Bimaristan Al-Nasiri di Al-Qahira. Pelayanan kesehatan plus makan dan minum diberikan kepada mereka yang sakit. Usia rumah sakit ini mencapai tiga abad, tepatnya hingga ke awal kelima belas.

Mungkin sebuah rumah sakit lain di Mesir merupakan rumah sakit dari masa pertengahan Islam yang paling lama bertahan. Rumah sakit ini didirikan oleh seorang sultan Kesultanan Mamluk, Sultan Al Mansur Qalawun (1222- 1290), pada tahun 1284. Tenaga kesehatan di rumah sakit Qalawun mencakup dokter umum, dokter bedah, dokter mata, dan perawat. Urusan non-medis ditangani oleh administrator dan akuntan. Rumah sakit yang ditempatkan di dalam sebuah kompleks wakaf besar ini eksis hingga di penghujung abad kedelapan belas. Di abad selanjutnya rumah sakit ini mengalami renovasi, namun akhirnya tutup juga di awal abad kedua puluh. Umurnya, dengan demikian, mencapai lebih dari enam abad.

Pengelolaan rumah sakit sudah dilakukan secara profesional. Kepala rumah sakit adalah seorang administrator tulen yang bertugas menangani urusan organisasi. Di bawahnya ada dokter dengan spesialisasinya masingmasing. Sistem pengelolaan rumah sakit dibuat sedemikian rupa agar pelayanan kesehatan bisa maksimal. Ruangan di rumah sakit dibagi sesuai dengan penanganan yang dilakukan, misalnya ruang khusus bedah dan ruang bagi mereka yang berpenyakit mental. Perawatan untuk wanita dipisahkan dengan perawatan untuk pria.

Bahkan ada sejumlah rumah sakit yang menyediakan perpustakaan, yang buku-bukunya dipakai oleh para dokter sebagai referensi dalam bekerja. Apotek adalah bagian lain yang juga dipunyai sebagian rumah sakit ini. Rumah sakit juga berupaya menjangkau penduduk desa yang jauh dari rumah sakit. Caranya adalah dengan mengirim stafnya ke kawasan pedesaan.

Pemasukan dari properti wakaf adalah salah satu sumber dana pendirian dan pemeliharaan rumah sakit. Jumlahnya sangat besar. Ini tidaklah mengherankan, karena rumah sakit kala itu didirikan atas dasar penyediaan sarana perawatan kesehatan untuk publik dengan tanpa biaya. Di samping itu, dana ini juga dipakai untuk membiayai para staf yang mengelola rumah sakit. Oleh sebab itu, rumah sakit biasanya didirikan oleh pemerintah atau penguasa lokal. Namun ada juga individu yang mampu yang mendirikan rumah sakitnya sendiri.

Rumah sakit di era pertengahan Islam membuka dirinya kepada siapapun dari kelas sosial manapun bahkan juga kepada kalangan non-Muslim sehingga melahirkan kesadaran bahwa perlindungan kesehatan adalah hak semua orang. Di sisi lain, sebagaimana disebutkan Seyyed Hossein Nasr dalam studinya, Science and Civilization in Islam (2001), bila madrasah dan masjid adalah tempat untuk membahas ilmu kesehatan secara teoretis, maka rumah sakit adalah tempat di mana ilmu tersebut diimplementasikan. Artinya, madrasah atau sekolah dan rumah sakit adalah dua sisi yang tak terpisahkan yang membawa ilmu kedokteran Muslim mencapai puncaknya.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 tahun 2018

Baca juga

Rumah Sakit Islam Pertama

Rufaidah binti Sa’ad, Perempuan Perawat Pertama di Dunia Islam

Gempa Lokal di Geladi Lapang MDMC dan RS PKU Bima