Contoh kasus PERJANJIAN yang tidak memenuhi syarat objektif

Perjanjian adalah hal yang telah lama kita kenal, terutama apabila kita berjanji untuk melakukan sesuatu kepada pihak lainnya. Definisi perjanjian sendiri diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tepatnya pada Pasal 1313, yang bunyinya:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dalam perjanjian terdapat syarat sah yang harus disepakati oleh para pihak terlebih dahulu sebelum mengikatkan dirinya, singkatnya, masing-masing pihak harus memiliki kemauan dan kehendak sendiri dalam melakukan perjanjian. Syarat sah perjanjian dimaksud diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, yakni:

  1. Adanya kesepakatan para pihak;
  2. Adanya kecakapan para pihak;
  3. Adanya suatu objek tertentu;
  4. Adanya sebab yang halal.

Angka 1 dan 2 merupakan syarat yang bersifat subjektif, sedangkan angka 3 dan 4 merupakan syarat yang bersifat Objektif. Keempat hal tersebut merupakam syarat sahnya suatu perjanjian yang memiliki akibat hukum jika salah satu atau lebih di antaranya tidak terpenuhi, akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Misalnya dalam perjanjian perdamaian terdapat kesepakatan yang mengandung pemaksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1859 KUHPer, maka perjanjian perdamaian tersebut dapat dimohonkan ke pengadilan untuk dibatalkan. Atau semisal salah satu pihak dalam perjanjian belum cukup umur berdasarkan Pasal 330 KUHPer adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum kawin. Maka salah satu pihak bisa mengajukan pembatalan perjanjian dengan dasar pihak lain dalam perjanjian belum cakap hukum.

Sedangkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, semisal dikarenakan tidak ada unsur sebab yang halal dalam perjanjian dan bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Maka perjanjian tersebut batal demi hukum sejak awal artinya dari semula, pembuatan perjanjian itu sendiri sudah dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilahirkan.

Untuk memahani lebih jauh tentang pembuatan perjanjian terutama perjanjian yang fokusnya pada pengembangan bisnis, ada baiknya anda mengikuti pelatihan ataupun pendidikan tentang penyusunan perjanjian. Dalam pelatihan tersebut, anda akan mempelajari tata cara lengkap pembuatan perjanjian mulai dari syarat yang harus dipenuhi hingga teknik penyusunan bahkan analisa suatu perjanjian.

Untuk mengikuti pelatihan tersebut juga sangat mudah. Anda dapat mengikuti Kelas Pengetahuan Mandiri tentang Teknik Penyusunan Kontrak. Waktunya fleksibel dengan biaya pendidikan yang sangat terjangkau

Penulis: Feliks Gerald Ferguson Purba

Contoh kasus PERJANJIAN yang tidak memenuhi syarat objektif

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang berhak menuntut sesuatu hal dan wajib memenuhi tuntuan dari pihak yang lain.[1] Perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji pada orang lain atau dua orang berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[2] Perjanjian diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata syarat sahnya suatu perjanjian sebagai berikut:[3]

  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
  3. Mengenai suatu hal tertentu; dan
  4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.[4]

            Ketika syarat-syarat subyektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak sepakat secara bebas atau pihak yang tidak cakap hukum.[5] Sedangkan jika syarat-syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian batal demi hukum.[6] Dasar hukum melakukan gugatan ‘dapat dibatalkan’ (voidable) dan ‘batal demi hukum’ (void) diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata sebagai berikut:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.”

Hasil dari proses gugatan tersebut berbentuk suatu putusan hakim. Putusan hakim penting dalam proses gugatan karena menjadi hasil akhir yang memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi para pihak yang berperkara dalam menyelesaikan sengketa.[7] Putusan hakim dapat ditinjau dari 3 (tiga) hal yaitu dari aspek kehadiran para pihak, sifat, dan waktu penjatuhan putusan.[8] Putusan hakim yang ditinjau dari sifatnya terbagi menjadi tiga yaitu putusan hakim yang bersifat deklarator, konstitutif, dan kondemnator.[9] Putusan deklarator atau deklaratif (declatoir vonnis) adalah pernyataan hakim yang tertuang dalam putusan yang dijatuhkannya. Pernyataan yang dimaksud merupakan penjelasan atau penetapan tentang sesuatu hak atau titel maupun status. Pernyataan dicantumkan dalam amar atau diktum putusan.[10] Putusan konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru.[11] Putusan Kondemnator adalah putusan yang memuat amar yang menghukum salah satu pihak yang berperkara.[12]

Putusan hakim terhadap gugatan ‘dapat dibatalkan’ (voidable) disebut putusan konstitutif, sedangkan putusan hakim terhadap gugatan ‘batal demi hukum’ (void) disebut putusan deklarator. Alasan gugatan ‘dapat dibatalkan’ (voidable) menghasilkan putusan konstituif adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dilakukan penguatan/penetapan perjanjian tersebut untuk tetap berlaku dan memiliki kekuatan mengikat sehingga hakim dalam putusannya hanya membatakan satu atau beberapa pasal dalam perjanjian dan memberikan rumusan baru terhadap pasal yang dibatalkan.[13] Sedangkan alasan gugatan ‘batal demi hukum’ (void) menghasilkan putusan deklarator adalah perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif menyebabkan suatu perjanjian batal demi hukum secara serta-merta atau perjanjian dianggap tidak ada sehingga hakim dalam putusannya membatalkan semua isi perjanjian dan tidak dilakukan rumusan baru.[14]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang merupakan bagian dari bentuk perikatan memiliki empat syarat keabsahan yang harus dipenuhi. Empat syarat tersebut terbagi lagi menjadi syarat subyektif dan obyektif. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan dengan gugatan ‘dapat dibatalkan’ (voidable) yang menghasilkan putusan konstitutif. Sedangkan jika syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum dengan gugatan ‘batal demi hukum’ (void) yang menghasilkan putusan deklarator.

Dasar Hukum:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetbook voor Indonesie, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).

Referensi:

[1] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), halaman 1.

[2] Ibid.

[3] Ibid., halaman 17.

[4] Ibid.

[5] Ibid., halaman 20.

[6] Ibid.

[7] Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), halaman 124.

[8] Sigar Aji Poerana, Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt58ed9048160ee/perbedaan-sifat-putusan-deklarator–konstitutif–dan-kondemnator/, (diakses 19 November 2021).

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibid.

[13] Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010), halaman 21,  https://putusan3.mahkamahagung.go.id/restatement/download_file/11e9b3892cfdcda8ab85313834383535/pdf/11e9b3892cfdcaf68b7b313834383535.html, (diakses 15 Februari 2022).

[14] Ibid., halaman 1.

PERJANJIAN “BATAL DEMI HUKUM” DAN “DAPAT DIBATALKAN”

Tujuan dari Perjanjian adalah untuk melahirkan suatu perikatan hukum , untuk melahirkan suatu perikatan hukum diperlukan syarat sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat sahnya perjanjian adalah :

1.          Kesepakatan para pihak

2.          Kecakapan

3.          Suatu hal tertentu

4.          Sebab yang halal

Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut “DAPAT DIBATALKAN”. Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah “BATAL DEMI HUKUM”. Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Bahwa dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara perjanjian yang batal demi hukum dengan perjanjian yang dapat dibatalkan yaitu dilihat adanya unsur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu dua unsur yang menyangkut  unsur subjektif dan dua unsur yang menyangkut unsur objektif dan pembatalan tersebut dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan.