Bahasa daerah yang hilang kebanyakan berasal dari bahasa

Merdeka.com - Indonesia sebagai negara terbesar kedua akan keragaman bahasa mulai tergerus. Saat ini badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Budaya mencatat 15 bahasa daerah di Indonesia yang ada telah punah.

Adapun 139 bahasa terancam punah. Yang terancam ini masuk dalam beberapa kategori seperti aman, stabil tapi ada penurunan, dan terancam punah.

"Kalau terancam punah angkanya mencapai 139. Ini hitungan kami, karena kalau di luar penghitungannya ada yang mencapai 178. Sedangkan yang punah mencapai 15 bahasa daerah," kata Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Dadang Suhendar, usai menghadiri Kongres Bahasa Daerah Nusantara, di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Selasa (2/8).

Dari 15 bahasa yang punah kebanyakan berasal dari Maluku, dan Papua. Beberapa penyebab punahnya bahasa daerah tersebut lantaran sedikitnya pengguna penuturan.

Dadang menambahkan, catatan terakhir hingga 2015 ada 617 bahasa daerah yang teridentifikasi di Indonesia. Jumlah itu 13 di antaranya penuturannya digunakan lebih dari satu juta jiwa.

"Kaya Jawa dan Sunda yang saya rasa itu merupakan terbesar," ungkapnya.

Agar bahasa daerah tetap terjaga seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2009, Dadang mengingatkan pada Pemerintah Daerah untuk membina bahasa daerah agar tidak punah.

"Banyak kita lakukan pengembangan dan pelindungan bahasa daerah. Kan Undang-undang 24 nomor 2009. Pemda wajib membina bahasa daerah bekerja sama dengan lembaga kebahasaan," terangnya.

Melalui Kongres Bahasa Daerah Nusantara (KBDN) yang diselenggarakan pada 2 hingga 4 Agustus mendatang, beberapa stakeholder akan dilibatkan mulai dari peneliti, pendidik, mahasiswa, jurnalis, seniman akan akan mengamplifikasi gerakan cinta bahasa daerah.

Bersamaan dengan kongres ini berkat kerja sama Pemprov Jabar dan Yayasan Kebudayaan Rancage menganugerahkan Hadiah Satera Rancage untuk sastrawan Sundan, Jawa, Bali dan Batak serta hadiah Hardjapamekas untuk guru Bahasa Sunda.

Wagub Jawa Barat Deddy Mizwar mengatakan, bahasa daerah adalah lambang, penghubung, dan pendukung identitas bahasa Indonesia. Makannya penyelamatan bahasa daerah sangat penting. "Pemprov Jabar pertama kali menggelar kongres bahasa daerah nusantara untuk tetap menjaga pelestarian bahasa," tandas Deddy. (mdk/ary)

Kuasai satu dari 5 bahasa ini, pekerjaan bergaji tinggi menanti

Bupati Dedi ingin bahasa sunda jadi bahasa pergaulan

Pelesir ke Singapura? Jangan Lupa Coba 'Singlish'

Silbo, bahasa unik dan eksotis yang berupa siulan

Bahasa Kayeli ini sebelumnya dituturkan oleh masyarakat di Desa Kayeli, Maluku. Penutur bahasa ini hanya tinggal satu orang. Namun tidak tinggal di Desa Kayeli. Bahasa Kayeli hanya dipergunakan ketika berada di rumah, perkawinan hingga perselisihan di antara orang Kayeli.

Bahasa daerah yang hilang kebanyakan berasal dari bahasa

Bahasa daerah yang hilang kebanyakan berasal dari bahasa
Lihat Foto

Dokumen Ajiep

Guru SDN Kadahang, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), menggunakan bahasa daerah setempat dalam proses belajar mengajar di sekolah

KOMPAS.com - Sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia punah berdasarkan catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Maluku menjadi daerah yang paling banyak kehilangan bahasa daerah yaitu sebanyak 9 bahasa. Dua bahasa lainnya berasal dari Papua Barat dan Papua.

Adapun bahasa daerah yang punah yaitu Bahasa Tandia (Papua Barat), Bahasa Mawes (Papua), Bahasa Kajeli/ Kayeli (Maluku), Bahasa Piru (Maluku), Bahasa Moksela (Maluku), Bahasa Palumata (Maluku), Bahasa Ternateno (Maluku Utara), Bahasa Hukumina (Maluku), Bahasa Hoti (Maluku), Bahasa Serua (Maluku), dan Bahasa Nila (Maluku).

Baca juga: Jembatan Bahasa, Solusi Inovasi Pembelajaran di Tengah Bahasa Daerah

Kepala Badan Bahasa Kemendikbud, Prof. Dr. Dadang Sunendar mengatakan kepunahan 11 bahasa tersebut berdasarkan data kajian yang dilakukan Badan Bahasa sejak tahun 2011-2019.

Badan Bahasa Kemendikbud mengkategorikan status bahasa daerah Indonesia menjadi kategori aman, rentan, mengalami kemunduran, terancam punah, kritis dan punah.

Status aman berarti bahasa daerah masih dipakai oleh semua anak dan semua orang dalam etnik tersebut. Status rentan berarti semua anak-anak dan kaum tua menggunakan bahasa daera tetapi jumlah penutur sedikit.

Bahasa daerah yang hilang kebanyakan berasal dari bahasa

Bahasa daerah yang hilang kebanyakan berasal dari bahasa
Lihat Foto

Badan Bahasa Kemendikbud

Taklimat media di Jakarta, Jumat (21/2/2020), pada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional Tahun 2020 bertema Melestarikan Bahasa Daerah untuk Pemajuan Bangsa yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa Kemendikbud bekerja sama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.

Status mengalami kemunduran berarti sebagian penutur anak-anak, kaum tua, dan sebagian penutur anak-anak lain tak menggunakan bahasa daerah. Status terancam punah berarti semua penutur 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri.

Status kritis berarti penutur bahasa daerah berusia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit. Status terakhir yaitu punah yang berarti tidak ada lagi penutur bahasa daerah.

Baca juga: Peduli Bahasa Daerah? Yuk, Ikut Seminar dan Dapat Sertifikat Kemendikbud

Seperti diketahui, Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah bahasa terbanyak kedua di dunia mempunyai kewajiban untuk melindungi bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan takbenda yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya.

Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebahasaan, terutama Pasal 25—Pasal 45.

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Sebanyak 11 bahasa daerah yang ada di Indonesia dinyatakan punah. Selain itu, ada empat bahasa daerah yang dinyatakan kritis dan dua bahasa daerah mengalami kemunduran.

Bahasa yang punah tersebut berasal dari Maluku yaitu bahasa daerah Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Ternateno, Hukumina, Hoti, Serua dan Nila serta bahasa Papua yaitu Tandia dan Mawes. Sementara bahasa yang kritis adalah bahsa daerah Reta dari NTT, Saponi dari Papua, dan dari Maluku yaitu bahas daerah Ibo dan Meher.

"Ada juga 16 bahasa yang stabil tapi terancam punah dan ada 19 bahasa yang masuk dalam kategori aman," tutur Kepala Bidang Perlindungan Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Bahasa Jakarta Ganjar Harimansyah di aula kampus UNTAG Banyuwangi, Sabtu (10/2/2018).

(Baca juga: "Saya Hanya Keturunan Belanda, Mengapa Diusir dari Tanah Kelahiran Indonesia?")

Saat ini, menurut Ganjar, hingga Oktober 2017 ada 652 bahasa yang telah diidentifikasi dan divalidasi dari 2.452 daerah pengamatan di wilayah Indonesia.

"Namun jika akumulasi persebaran bahasa daerah per provinsi, bahasa di Indonesia berjumlah 733 dan jumlahnya akan bertambah karena bahasa di Nusa Tengga Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat belum teridentifikasi," ungkap Ganjar.

Menurut dia, ada beberapa penyebab kepunahan bahasa antara lain penyusutan jumlah penutur, perang, bencana alam yang besar, kawin campur antarsuku, sikap bahasa penutur dan letak geografis. Dia mencontohkan bahasa-bahasa di Maluku yang jumlah penuturnya hanya 0,76 persen.

"Setiap tahun beberapa bahasa daerah yang ada di Indonesia terancam punah atau mengalami penurunan status. Unesco pada 2009 juga mencatat sekitar 2.500 bahasa di dunia termasuk lebih dari 100 bahasa daerah di Indonesia terncam punah. Sedangkan sebanyak 200 bahasa telah punah dalam 30 tahun terakhir dan 607 tidak aman," kata Ganjar.

(Baca juga: Kenapa Solo Disebut Kota Paling Nyaman untuk Dihuni di Indonesia?)

Untuk regulasi perlindungan bahasa dan sastra daerah, menurut Ganjar, seharusnya adalah tugas pemerintah daerah setempat. Namun di Indonesia, hanya ada satu peraturan daerah yang mengatur tentang pelindungan bahasa daerah dan sastra Indonesia yaitu Provinsi Sumatra Utara.

"Harus ada pelindungan akan bahasa daerah, karena kepunahan bahasa berarti kematian kekayaan batin kelompok etnis pengguna bahasa," pungkasnya.

Sementara itu, Antariksawan Yusuf, Ketua Sengker Kuwung Blambangan, mengatakan, untuk melestarikan bahasa daerah yang ada di Banyuwangi, komunitasnya sudah menerbitkan 18 buku yang berbahasa daerah Using yang ditulis oleh penulis-penulis asal Banyuwangi.

"Ada novel atau cerpen dalam berbahasa daerah Using atau artikel yang berkaitan dengan Banyuwangi. Ini adalah sebagai usaha kami untuk melestarikan bahasa Using termasuk juga hari ini pelatihan menyusun kamus yang ke depannya adalah untuk mengembangkan kamus bahasa Using yang telah disusun oleh Hasan Ali pada tahun 2002 lalu," tuturnya.

Kompas TV

Ridwan Remin: Bahasa Daerah Terbanyak - SUCI 7

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya