Bagaimana sikap dan tanggapan masyarakat terhadap warisan budaya Islam

Jakarta - Watak agama sesungguhnya adalah sebagai perekat solidaritas sosial karena nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan di dalamnya. Sudah tentu, agama berasal dari tradisi yang dimodifikasi oleh para pembawa pertamanya disesuaikan dengan apa yang dia yakini berasal dari perintah Tuhan. Seorang pembawa ajaran agama (nabi) mulanya menganggap agama adalah persoalan individual, karena jelas apa yang dimaksud oleh perintah Tuhan hanya dipahami dan dijalankan oleh seseorang yang dipilih-Nya untuk menjadi penyebar agama kepada masyarakatnya. Kemunculan sebuah "agama baru" dalam masyarakat tidak mungkin menjauhkan diri dari beragam tradisi atau nilai-nilai kemasyarakatan yang dianut. Agama selalu mengikuti dan menyesuaikan dengan berbagai tradisi yang ada dan bukan memberangusnya sama sekali. Dengan demikian, agama adalah cerminan dari tradisi masyarakat itu sendiri dan secara lebih sederhana, agama adalah warisan tradisi bukan sebaliknya.

Islam sebagai agama setelah dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama baru dibanding agama-agama kuno lainnya, seperti Nasrani atau Yahudi. Islam lahir dari sebuah kondisi kebodohan (jahiliyah) bangsa Arab, dan hampir-hampir waktu itu bangsa Arab tidak mempunyai peradaban sama sekali. Situasi kekacauan masyarakat yang barbar, nomaden, penuh dengan kekerasan, tak bermoral adalah ciri utama bangsa Arab sebelum Islam, kemudian mendorong seseorang bernama Muhammad mulai peduli untuk memperbaiki "kerusakan total" lingkungan masyarakatnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Muhammad pada awalnya mengisi hari-hari kehidupannya dengan ber-tahannuts atau berada dalam ruang-ruang keheningan yang sepi dari hiruk-pikuk masyarakat, berdoa dan memohon kepada Tuhan agar kondisi carut-marut bangsanya dapat segera terselesaikan. Muhammad seringkali menyepi di sebuah bukit yang bernama Jabal Nur, beberapa kilometer dari pusat kota Mekkah untuk sekadar menjauhi keramaian masyarakat Arab.

Kehidupan Muhammad dalam keheningan jiwanya,senantiasa dituntun oleh warisan tradisi nenek moyangnya, Nabi Ismail yang secara turun temurun menganut agama bapaknya, Ibrahim, yakni agama ketauhidan (millah) yang hanif. Seluruh warisan tradisi yang berasal dari Ibrahim, seperti berkhitan, berhaji ke baitullah (Mekkah), dan berpuasa masih tetap dijalankan Muhammad yang mentradisi dalam keluarga dan masyarakatnya.

Masa Nabi Muhammad sudah dikenal istilah "agama" atau dalam bahasa Arab "ad-diin", dan seluruh masyarakat Arab berbaur dalam nuansa perbedaan keyakinan dan agama, tanpa dibatasi oleh sekat-sekat tradisi di antara mereka. Agama tetap dianggap sebagai warisan dari tradisi nenek moyang mereka yang tetap dipegang-teguh tanpa adanya paksaan atau tekanan dari kelompok-kelompok agama lainnya. Oleh karena itu, seorang ahli bahasa dan antropolog Arab, Ibn al-Mandzur (1232 M) menyebut bahwa istilah "ad-diin" yang berarti "agama" mengacu pada "suatu adat atau tradisi yang diikuti" (ad-ddinu huwa al-'aadatu wa as-sya'n).

Agama tentu saja berimplikasi pada adanya ketaatan setiap pemeluknya untuk tetap menjaga dan melestarikan tradisinya yang baik, dan meninggalkan tradisi lainnya yang dianggap buruk. Tradisi-tradisi sebelum Islam, seperti praktik khitan, haji, berpuasa, pernikahan, soal pembagian warisan dan lainnya merupakan peninggalan tradisi Ibrahim yang tetap dijunjung tinggi dalam adat masyarakat Arab, termasuk bagian tradisi keagamaan yang dijalankan oleh Muhammad pra-Islam. Agama dengan demikian adalah "warisan" dari tradisi-tradisi masyarakat atau kepercayaan sebelumnya yang saling melengkapi, dan tentu saja agama berkecenderungan untuk memperbaiki setiap "penyimpangan" sebuah tradisi.Agama dan tradisi atau budaya kemudian menjadi pola hidup yang "bernilai" di tengah masyarakat karena mampu merekatkan kehidupan sosial secara lebih harmonis. Kita tentu sadar dan tahu bahwa sejarah bangsa Indonesia sejak dulu tidak pernah ada sama sekali pertentangan soal keberagamaan yang dihadapkan dengan tradisi. Agama tidak pernah sama sekali menjadi sekat dalam kehidupan sosial, tetapi agama justru mampu menjadi perekat tradisi yang "berserakan". Masyarakat beragama tentu saling menghormati dan menghargai perbedaan tradisi yang ada tanpa harus mempertentangkannya.

Masyarakat tidak perlu belajar secara mendalam soal agama dari kitab-kitab keagamaan yang tersedia, mereka cukup mendengar dan mentaati pitutur para kiai kampung atau ulama setempat tentang bagaimana bersosialisasi secara baik dengan masyarakat. Cermin masyarakat terdahulu adalah soal ketaatan mereka terhadap tradisi dan agama, sehingga beragama benar-benar dipahami sebagai keyakinan yang melekat secara pribadi ke dalam hati masing-masing pemeluknya, tidak diungkapkan menjadi "perbedaan" tatkala berada dalam lingkungan masyarakat.

Hal itu selaras bahwa agama pada awalnya adalah masalah individual, seperti Islam yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad bercorak "individualistik". Islam secara individu lebih dahulu dipahami dan diaplikasikan oleh diri Nabi sendiri, sebelum kemudian menjadi bersifat sosial, ketika agama itu menyebar dan diyakini menjadi "tradisi" oleh sebagian masyarakat. Persoalan baru muncul justru ketika agama bersentuhan dengan realitas sosial, karena persoalan yang tadinya individual kini berubah menjadi entitas sosial sehingga butuh sebuah kebijaksanaan agar agama tetap berfungsi menjadi perekat dan penguat ikatan-ikatan sosial.Menarik ketika kemudian keberislaman di Indonesia terkait erat dengan tradisi dan budaya masyarakatnya, sehingga muncul istilah "Islam Nusantara" yang dipopulerkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya Islam Nusantara sebenarnya, bahwa Islam Arab pun terkait dengan tradisi masyarakat Arab yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim yang secara turun temurun diwariskan hingga kepada Nabi Muhammad dan akhirnya sampai kepada kita saat ini. Mempertentangkan agama dengan warisan tradisi bisa jadi ahistoris, terlebih menganggap bahwa Islam bukanlah "agama turunan" yang dibawa oleh orangtua dan leluhur kita. Bukankah Nabi Muhammad juga sama, mengikuti agama Ibrahim dan tidak pernah mempersoalkannya? Bahkan Nabi Muhammad bangga dengan agama yang diwariskan Ibrahim dan menolak ajakan untuk mengikuti agama Yahudi dan Nasrani yang ditawarkan kepadanya (Lihat misalnya, Surat Al-Baqarah: 135).Saya muslim, dan saya beragama karena warisan dari orangtua saya, dan terus-menerus dari keturunan yang di atasnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad, dan puncak tertinggi adalah agama warisan dari Nabi Ibrahim. Agama dan tradisi atau budaya jelas tak mungkin dipisahkan karena selalu "menyesuaikan", dan berakulturasi dalam ruang hidup kemanusiaan. Hampir dipastikan seluruh agama bermuara pada nenek moyang yang sama, dan masing-masing diyakini sebagai kebenaran oleh para pemeluknya.

Tuhan pun tidak pernah membedakan manusia karena agama, justru yang ada adalah perbedaan kesukuan, kekelompokan dan kebangsaan sehingga manusia dapat saling mengenal (ta'aruf). Agama bukan menjadi "sekat" dalam kehidupan sosial, apalagi keluar dari "sunnatullah"-nya, sebagai perekat dan pemersatu realitas sosial secara turun-temurun.

Memang, istilah "Islam Nusantara" yang digaungkan NU seakan melahirkan "konflik horiziontal", padahal sesungguhnya NU sedang memperkenalkan bahwa agama itu tak bisa lepas dari unsur tradisi dan budaya sebagaimana diungkapkan sejararawan Arab, Ibnul Mandzur. Islam Nusantara tidak berarti "membedakan" antara Islam Arab atau bukan Arab, tetapi lebih diarahkan untuk lebih memahami, bahwa Islam yang hadir di Nusantara tak pernah "mempertentangkan" antara agama dan tradisi atau budaya masyarakat setempat, karena agama dan budaya pada awalnya satu entitas, bukan terpisah.

Bahkan, jika dalam konteks kesejarahan yang lebih luas, tradisi dan budaya lebih dahulu ada dalam masyarakat, jauh sebelum agama itu datang. Secara fenomenologis, jahiliyah mendahului Islam, walaupun secara substansial, Islam mendahuluinya.

(mmu/mmu)

Cara pandang umat Islam terhadap agamanya selalu dinamis, nilai sakralitas tidak dimaknai sebagai sesuatu yang benar-benar suci tanpa ada negosiasi dengan pikiran-pikiran umatnya. Oleh karenanya, tidaklah mungkin memisahkan antara wahyu dan akal sebab keduanya seperti mata rantai yang tak terputus.

Yang profan, katakanlah budaya, juga selalu berkembang secara dinamis. Praktik berbudaya boleh jadi tetap, tetapi cara bagaimana masyarakat memahami budaya selalu berkembang dan menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Bolehlah jika dikatakan bahwa budaya selalu muncul dari pikiran-pikiran yang mengendap dan pada saat yang sama menghasilkan nilai yang tetap.

Setiap pemeluk agama pasti memiliki tradisi kebudayaan yang diwarisi dan dikembangkan secara turun-temurun. Dalam perkembangan itu selalu terjadi perkawinan antara keyakinan keagamaan dan budaya sebagai praktik kreativitas manusia. Islam pun juga demikian, berkembang melintasi batas dengan terlebih dahulu berinteraksi dengan unsur-unsur budaya lokal.

Sejak kemunculannya, nalar Islam selalu terbuka terhadap budaya lokal. Al-Qur’an sendiri turun dalam bahasa Arab. Nilai-nilai komunal yang berkembang di mayarakat Arab waktu itu, seperti moralitas dan tata pergaulan Arab banyak sekali yang dipertahankan. Misalnya, adab dalam memelihara kehormatan, kedermawanan, wara’, muru’ah, dan lain sebagainya.

Nabi Muhammad Saw. juga tidak datang dengan suatu peradaban lengkap yang sama sekali baru, tetapi justru melengkapi peradaban yang sudah ada dengan semangat dan orientasi yang baru. Meski begitu, Nabi sangat selektif, tidak semua bentuk kebudayaan diterima begitu saja, ada yang ditolak sama sekali, ada yang dirubah dan ada pula yang dibiarkan hidup.

Hal ini dilakukan sebab budaya-budaya itu harus mengalami penyesuaian dengan ajaran Islam, begitupun sebaliknya, Islam juga menyesuaikan dengan budaya setempat bukan semata-mata ajarannya kurang lengkap dan tidak sempurna, tetapi lebih mengacu pada bagaimana orientasi ajaran Islam dapat dipraktikkan sesuai dengan koridor kebudayaan yang masih dipelihara.

Ada beberapa keadaan yang menunjukkan bahwa Islam menginternalisasi budaya lokal sekaligus menolaknya sebagai bentuk penyesuaian sekaligus mempertahankan tradisi-tradisi yang baik. Pertama, menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip ajaran Islam dan bermanfaat pada kehidupan umat manusia. Seperti mengembangkan ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan Persia kala itu. Pengembangan ini tidak hanya diperuntukkan umat Islam semata, tetapi umat manusia pada umumnya.

Kedua, menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya, kebiasaan-kebiasaan buruk minum khamar dan adanya keadaan di mana laki-laki dapat menikahi sejumlah perempuan secara tidak terbatas. Untuk yang terakhir, ajaran Islam hanya membatasi empat saja dan menganjurkan monogami jika tak mampu berbuat adil.

Ketiga, cara berpakaian. Sebelum era Islam, cadar dan hijab misalnya, seperti juga pakaian jubah untuk laki-laki, sudah ada dan menjadi pakaian adat-istiadat masyarakat Arab. Islam lalu mengakomodir adat berpakaian itu sebagai sesuatu yang bercirikan syar’iat, yakni aturan-aturan teknis tentang bagaimana umat Islam menjalani agamanya. Batasan aurat, oleh karenanya, menjadi salah satu ajaran penting dalam Islam yang harus dipatuhi.

Hal di atas sebenarnya hanya contoh kecil di mana Islam berinteraksi dengan budaya lokal dan mengakomodirnya sebagai sesuatu yang baik. Ketika Islam dapat secara terbuka menyikapi budaya lokal, itu bukan hanya karena semata-mata budaya itu baik dan layak dipertahankan. Tetapi juga sifat keluwesan ajaran Islam itu sendiri yang dapat berdialog secara dinamis dengan tradisi-tradisi yang sudah berkembang begitu lama dalam komunitas masyarakat.

Begitu juga era Walisongo di Nusantara waktu itu, para Sunan berdakwah melalui jalan akulturasi dan menyesuaian diri dengan budaya yang sudah ada. Mereka tidak menghilangkan sama sekali, tetapi sebagaimana dakwah era Nabi Muhammad di Arab kala itu, tradisi kebudayaan yang sudah ada dipilah-pilah dan jika baik, diserap sebagai bagian penting dari negosiasi antara ajaran Islam dan budaya setempat.

Hal ini dilakukan semata-mata agar ajaran agama dapat mudah diterima dan secara tidak langsung tidak menghapus sama sekali alam pikiran masyarakat yang sudah terlanjur berkembang turun-terumun, hanya saja dilakukan penyesuaian dan kalau perlu, budaya itu menjadi mediator utama bagi proses Islamisasi.

Proses asimilasi ini penting, di samping sebagai suksesi dakwah Walisongo, juga antara Islam dan budaya, dalam pengertian yang luas, memiliki karakter lentur dan dapat mempengaruhi satu sama lain. Itu artinya, Islam bukanlah budaya, tetapi tidak mungkin menjalankan ajaran Islam, jika lepas sama sekali dari budaya, khususnya budaya lokal dan nilai lokalitas di mana masyarakat hidup dan berkembang.

Sebagaimana dawuhnya Kang Said Agil Siraj, jika Islam hanya akidah dan syari’at saja, maka sudah pasti umatnya sedikit dan Islam hanya akan diikuti oleh segelintir orang saja. Oleh karena umat Islam mengembangkan hal-ikwal selain kedua prinsip pokok itu, misalnya seperti mengembangkan ilmu pengetahuan, politik dan juga budaya, maka Islam menjadi agama yang besar, maju dan berperadaban. Itulah sesungguhnya esensi Islam, kebesaran dan kemajuannya sangat ditentukan oleh bagaimana Islam dapat bernegosiasi dengan budaya, terlebih budaya lokal.