Bagaimana pengaruh sistem dewa raja terhadap kedudukan raja pada masa kerajaan Hindu budha?

Perwujudan Airlangga sebagai Wisnu. yang sedang mengendarai Garuda, Arca ini ditemukan di desa Belahan dan menjadi koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur. (Wikipedia).

Dia berbadan Dewa Wisnu. Dia dalam keadaan makmur di dunia dan di negara. Dia adalah Cri Jayawarsadigjayasastraprabhu. Ia disembah di seluruh dunia betul-betul sebagai matahari, bulan dan air. Dirinya yang sebagai seribu bulan disembah di dunia.

Pembukaan Prasasti Sirah Keting dari 1104 itu menyebut Raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu yang dikeramatkan bagai Dewa Wisnu. Konsep semacam ini mengingatkan pada tokoh dalam kesusastraan, Rama atau Kresna yang dikisahkan sebagai penjelmaan Wisnu di dunia.  

Apa yang tergambar dalam prasasti masa Kadiri itu bukan satu-satunya. Pada masa kuno, umum terjadi jika seorang pemimpin, yaitu raja, dipuja bagai penjelmaan dewa.

Advertising

Advertising

“Pada masa itu mulai dikenal konsep dewaraja atau raja suci, raja yang memiliki sifat keramat seperti dewa,” kata Sudrajat, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta.

Baca juga: Penobatan Raja pada Masa Hindu-Buddha

Hal itu bukan hanya di Jawa atau Nusantara. Sudrajat dalam “Konsep Dewa Raja dalam Negara Tradisional Asia Tenggara” yang disampaikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara di Pusat Studi Asia Tenggara UGM (2012) menjelaskan, di Asia Tenggara banyak pula raja yang mengidentifikasi dirinya sebagai titisan dewa. Dewa Wisnu dan Siwa banyak dipilih raja-raja terdahulu sebagai kekuatan yang ada dalam diri mereka.

Raja sebagai titisan Wisnu akan dinilai sebagai raja pencipta kesuburan dan kemakmuran bagi kerajaan. “Sehingga tercipta stigma raja sebagai pengatur dan pemelihara kerajaan,” kata Sudrajat.

Bukti-bukti paling tua tentang pemujaan terhadap raja terdapat di Champa dan di Kamboja (Khmer) pada era Pra-Angkor. Di Khmer kuno terdapat pemujaan kepada pemimpin yang dianggap keramat. Pemujaan itu setelah dia dilantik menjadi raja.

“Pemimpin itu dianggap mempunyai hubungan khusus dengan Dewa Siwa atau Wisnu,” kata Sudrajat.

Prasasti Sdok Kak Thom (802) menguraikan, Raja Jayavarman II mengidentifikasikan diri sebagai Dewa Indra. Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Indra adalah raja para dewa yang bersemayam di Indrolaka. Indra pada masa awal Veda dijuluki dengan Devaraja atau rajanya para dewa.

Raja-raja di Champa juga kerap menyatakan diri sebagai jelmaan dewa tertentu. Salah satu Prasasti Champa abad ke-9 menyebutkan seorang penguasa bernama Uroja sebagai pendiri dinasti. Ia dipercaya sebagai anak Siwa Mahadeva.

Baca juga: Silsilah Penguasa untuk Berkuasa

Raja-raja Pagan di Myanmar (Burma) juga menggunakan nama dewa sebagai gelar. Misalnya Makutarajanamarajadhiraja yang artinya “mahkota raja para raja”, gelar Dewa Indra. Iswararaja artinya “dewanya para raja”, yaitu Siwa.

Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munadar dalam Mitra Satata menilai, raja di Asia Tenggara memang sengaja memilih gelar yang “keren” sebagai julukan. “Rakyat di kerajaannya tentu akan lebih menghormati raja yang memiliki gelar dengan kata-kata yang berasal dari bahasa impor, yaitu Sanskerta,” jelas Agus.

Menurut Agus, pada masa lalu Sanskerta dianggap bahasa bergengsi yang baku oleh kaum agamawan India, terutama dari kalangan Veda dan Hindu Trimurti.

Bagi penganut Buddha pun begitu. Kendati menggunakan bahasa Pali sebagai bahasa pengantar penyebaran agama, kata-kata dari Sanskerta tetap digunakan untuk menamakan konsep dharma Buddha.

Baca juga: Merebut Kekuasaan Bersama Agamawan

Menurut Agus, konsep dewaraja bukan hal yang baru dilakukan pada masa kerajaan Hindu Buddha. Bukan pula berasal dari kebudayaan India. Konsep ini bisa dibilang lanjutan dari kepercayaan pada masa prasejarah. “Yaitu transformasi konsep pemujaan arwah leluhur yang telah dikenal oleh penduduk Asia Tenggara sejak masa perundagian menjelang awal Masehi,” katanya.

Ketika budaya India mengenalkan nama dewa untuk menjuluki kekuatan supranatural, masyarakat Austronesia menerimanya. Mereka menyetarakan konsep dewa itu dengan arwah nenek moyang yang mereka puja.

Raja Sailenda dan ratu di hadapan para kawulanya di relief Candi Borobudur. (Gunawan Kartapranata/Wikimedia Commons).

Sama halnya dengan masa kini, penobatan seorang penguasa pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadi suatu hal yang penting bahkan bukan sekadar seremonial. Pada dasarnya, sulit menemukan data tekstual, baik prasasti maupun karya sastra yang secara khusus memberitakan penobatan seorang raja atau pejabat.

“Beda dengan proses penetapan sima, banyak sekali mendapatkan infonya,” ujar Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang kepada Historia.

Padahal, tradisi notulensi sudah ada sejak masa Hindu-Buddha. Salah satunya dikenal dengan sebutan citralekha, yaitu orang yang bertugas mencatat perintah raja. Dalam relief Candi Panataran pun diabadikan gambar murid yang mencatat ajaran dari seorang guru.

Advertising

Advertising

“Pencatatan mungkin dalam bentuk lontar. Ini kenapa tidak sampai ke kita, bahannya tidak awet,” kata Dwi.

Namun, perihal penobatan penguasa pada masa Hindu-Buddha tetap dapat diperoleh gambarannya. Dalam sebuah penobatan raja, simbol-simbol kebesaran hadir. Yang paling utama adalah mahkota sebagai simbol alih kekuasaan. “Ada simbol lain yang diserahkan antarpenguasa. Prasasti-prasasti Majapahit akhir menyebut terompah, tombak, dan payung,” ujar Dwi.

Baca juga: Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda

Terompah, Dwi menjelaskan, adalah alas kaki atau wujud telapak kaki seorang raja. Dalam beberapa cerita klasik, seperti Ramayana, digambarkan ketika Rama menitipkan kekuasaan pada adiknya hanya meninggalkan alas kakinya. Itulah mengapa dalam prasasti Tarumanegara terdapat cap kaki raja. Tapak ini simbol kekuasaan.

Lancana juga termasuk benda yang diserahterimakan ketika penobatan penguasa. Dalam prasasti terdapat tanda khusus dari penguasa tertentu. Misalnya Surya Majapahit, Crnggalancana milik Kertajaya, atau Garudamukha milik Airlangga.

“Di era kesultanan biasanya berbentuk cincin stempel, kalau kerajaan (Hindu-Buddha, red) namanya lancana, ini sama saja, semacam ada stempel di prasasti. Pada masa Kadiri, masing-masing penguasa punya lancana berbeda,” jelas Dwi.

Penguasa baru juga biasanya akan mengirimkan kabar ke wilayah luar kekuasaannya, sebagai bagian dari diplomasi. Misalnya kepada kerajaan adidaya di Tiongkok. “Memberitakan sudah ada perubahan penguasa, dengan kirim utusan misalnya. Apalagi kalau ada perebutan kekuasaan, perlu banget pengakuan dari luar,” jelas Dwi.

Baca juga: Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa

Penobatan penguasa baru bukan hanya soal seremonial. Pengangkatan raja baru merupakan wujud komitmen dari raja pengganti, termasuk kesinambungan program terdahulu, rencana ke depan, dan legitimasi kekuasaan.

Kesinambungan kebijakan biasanya berupa pengembangan dari program yang lalu. Misalnya, doktrin Hamukti Palapa yang dideklarasaikan Gajah Mada, patih Kerajaan Majapahit. Awalnya ini merupakan doktrin politik Ratu Majapahit, Tribhuwana Wijayattungadewi. Oleh Raja Hayam Wuruk, sebagai pengganti ibunya, doktrin politik ini diteruskan. “Jadi, tidak kemudian penguasa baru semuanya baru,” kata Dwi.

Contoh lain dilakukan Kertanagara, raja Singhasari. Dia mengembangkan program raja terdahulu, Jaya Wisnuwardhana yang berniat mengintegrasi seluruh Jawa dalam Cakrawala Mandala Jawa. Krtanagara kemudian memperluasnya menjadi Cakrawala Mandala Dwipantara, yang mencakup wilayah lebih luas.

Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris

“Untuk mencapai itu ada reformasi, ada penataan ulang dalam internal kepemerintahan,” ujar Dwi. Doktrin itu sudah disampaikan ketika penobatan raja dilakukan. Menurut Dwi, ini bisa disamakan dengan penyampaian visi dan misi pejabat pada masa kini.

“Penguasa berikutnya menyampaikan programnya ke khalayak. Kalau sekarang kan ini masuknya pada saat pilkada, untuk kompetisi yang menarik yang mana,” jelasnya.

Yang lebih penting, untuk menjadi seorang penguasa, raja-raja dulu harus melalui proses magang. Biasanya putra atau putri mahkota akan ditempatkan terlebih dahulu di daerah vassal. Mereka akan menjabat sebagai raja muda atau yang biasa disebut rajakumari, yuwaraja atau kumararaja.

“Pada masa lalu, penguasa itu tidak instan. Dia juga butuh restu dari raja terdahulu dan juga dari Dewan Penasihat atau puruhita,” pungkas Dwi.

Karena pada masa Hindu – Budha terdapat sebuah konsep bahwa seorang raja adalah titisan dewa. Raja dianggap sebagai titisan dari Dewa dan raja berkuasa layaknya dewa.

Bagaimana sistem pemilihan pemerintahan pada masa Hindu Budha?

Sistem pemerintahan Indonesia pada masa Hindu dan Buddha adalah sistem pemerintahan kerajaan. Dalam hal ini, muncul raja sebagai pimpinan tertinggi dibantu sejumlah pejabat yang bertugas sesuai fungsinya.

Pada sistem kerajaan dimana pengganti raja adalah?

Namun, di beberapa negara, terdapat sistem di mana pengganti sang raja bukanlah otomatis berdasarkan keturunan, namun harus dipilih atau harus mendapat persetujuan terlebih dahulu. Inilah yang disebut sistem monarki elektif (elective monarchy).

Bagaimanakah pengaruh sistem dewa raja terhadap kedudukan raja pada masa kerajaan Hindu Budha?

Jawaban: sistem dewa raja pada masa kerajaan hindu dan budha adalah anggapan raja raja yang menganggap dirinya adalah sebagai titisan para dewa. ken arok yang berasal dari kerajaan singasari yang dimitoskan sebagai inkarnasi dewa wisnu.

Mengapa agama Hindu relatif lebih mudah masuk ke Indonesia?

alasan mengapa agama Hindu Budha mudah diterima oleh masyarakat Nusantara ialah karena masyarakat Indonesia itu bersifat ramah dan terbuka, tertarik dengan kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Hindu-Budha berkembang pesat lewat para penguasa tradisional.

Upacara penobatan raja dengan cara Hindu disebut apa?

Selain itu, upacara penobatan raja dengan cara Hindu juga disebut Abhiseka.

Bagaimana sistem pemerintahan di Indonesia sebelum masuknya pengaruh Hindu Budha?

Sebelum masuknya Hindu Buddha, masyarakat Indonesia belum mengenal sistem pemerintah. Semula pemimpinnya adalah kepala suku, setelah Hindu Buddha pemimpinnya adalah raja.

Bagaimanakah sistem pemerintahan di Indonesia sebelum mendapat pengaruh Hindu Buddha?

Sebelum masuknya pengaruh Hindu dan Buddha ke Indonesia, sistem pemerintahan yang dianut bangsa Indonesia adalah sistem pemerintahan desa yang dipimpin oleh seorang kepala suku.

Apa yang dimaksud dengan monarki elektif?

Sebuah monarki elektif secara harfiah adalah monarki diperintah oleh seseorang yang adalah dipilih daripada keturunan raja, cara pemilihan, sifat pencalonan dan pemilih bervariasi dari kasus ke kasus.

Setelah masuknya pengaruh Hindu Budha muncul konsep dewa raja Apakah yang dimaksud dengan konsep dewa raja tersebut?

Konsep Dewa Raja memiliki arti bahwa raja dianggap sebagai titisan dari Dewa. Raja berkuasa layaknya dewa. Konsep dewa raja memandang raja merupakan dewa yang hidup dimuka bumi. Setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh raja tidak pernah salah dan tidak boleh dibantah oleh rakyatnya.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konsep dewa raja dalam akulturasi pemerintahan Hindu Budha?

“Dewaraja” adalah konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan, bentuk pemujaan ini berkembang di Asia Tenggara.

Mengapa agama Hindu Buddha relatif masuk ke Indonesia?

Masuknya Hindu dan Buddha di nusantara dimulai pada awal masehi, melalui jalur perdagangan. Hal ini dipengaruhi oleh posisi Indonesia yang sangat srategis dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Melalui hubungan perdagangan, muncul pengaruh bagi kedua belah pihak dan terjadilah akulturasi kebudayaan.

Mengapa Hindu Buddha relatif mudah masuk ke Indonesia Jawab?

Jawaban: Agama Buddha Hindu relatif mudah untuk masuk ke Indonesia karena terjalinnya hubungan dagang antara Indonesia dan negara-negara Asia di sekitarnya, terutama India.

Apa yang dimaksud dengan upacara Vratyastoma?

Di dalam kepercayaan agama Hindu, seseorang yang sudah dikeluarkan dari kastanya dapat diterima kembali masuk ke dalam kastanya tersebut. melalui upacara penyucian diri yang disebut vratyastoma.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA