Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan

Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Kepolisian Daerah Metro Jaya menggelar rekonstruksi kasus pengguguran kandungan yang tidak sesuai ketentuan pada Rabu (19/8/2020) di rumah tempat praktik dokter SWS di Jalan Raden Saleh I, Jakarta Pusat.

TN (31) adalah seorang ibu tunggal. Ia bekerja di salah satu panti pijat refleksi di Jakarta. Pada suatu hari, saat tengah bekerja, ia diperkosa oleh salah seorang pelanggannya. Namun, ia tidak berani menceritakan kejadian tersebut kepada teman-temannya.

Enam bulan berselang sejak kejadian tersebut, ia menyadari bahwa dirinya hamil dan memutuskan melakukan aborsi dengan meminum obat-obatan yang dijual bebas di pasar. Beberapa hari kemudian setelah meminum obat-obatan tersebut, janin TN keluar saat berada di tempat kerja. Karena panik dan ketakutan, TN langsung memasukkan janin tersebut ke dalam kantong plastik.

Namun, TN diketahui telah melakukan aborsi dan dilaporkan ke polisi. Ia pun diproses hukum hingga akhirnya diajukan ke pengadilan dengan dakwaan melanggar Pasal 80 Ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 342 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Jaksa menuntut TN dengan pidana 11 tahun penjara dan diputus 6 tahun penjara oleh majelis hakim.

TN bukanlah satu-satunya korban perkosaan yang akhirnya menjadi ”korban” untuk kedua kalinya oleh sistem hukum pidana yang kurang melindungi perempuan yang mendapatkan kekerasan seksual. LBH Apik mencatat masih banyak korban lainnya, seperti BL (15), yang menjadi korban perkosaan oleh pacarnya. Tiga bulan setelah perkosaan BL belum mengetahui jika dirinya hamil. BL sempat memeriksakan diri ke dokter, tetapi dokter menyatakan bahwa dirinya sakit mag dan memberinya obat mag.

Baca juga : Perempuan Sulit Akses Layanan Aborsi Berstandar Medis

Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan
KOMPAS/YOLA SASTRA

Obat keras yang disalahgunakan untuk aborsi (depan) dan obat tradisional tanpa izin BPOM milik apotek Indah Farma yang disita Kepolisian Resor Kota Padang, Sumatera Barat, Senin (15/2/2021).

Karena tidak mengetahui kehamilannya, BL pergi ke Jakarta untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sebulan kemudian, ia melahirkan bayi yang langsung meninggal. Malang nasib BL, ia dituduh melakukan pembunuhan dan diproses hukum. Jaksa menuntut BL dengan pidana 8 tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan kekerasan terhadap anak sehingga mengakibatkan kematian sesuai dengan Pasal 76 C juncto Pasal 80 Ayat (3) UU Perlindungan Anak. Majelis hakim memidana BL dengan hukuman pembinaan selama 1 tahun 2 bulan di sebuah panti sosial.

Masih banyak kisah perempuan yang berhadapan dengan hukum karena kasus perkosaan dan kekerasan seksual lainnya. Namun, dua kisah di atas dapat menjadi gambaran bagaimana tidak beruntungnya perempuan saat berhadapan dengan hukum.

Bagaimana pengaturan yang ada saat ini mengenai aborsi saat ini? Ketentuan ini diatur di KUHP Bab XIX Pasal 229, 346, 347, 348, dan 349. KUHP memberi ancaman 4 tahun penjara bagi perempuan yang menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain melakukannya, 12 tahun penjara bagi pelaku yang melakukan aborsi tanpa persetujuan perempuan tersebut, dan 15 tahun jika mengakibatkan kematian si perempuan. Jika dokter, bidan, atau juru obat membantu melakukan aborsi, hukumannya ditambah sepertiga.

Tidak ada pengecualian aborsi untuk kehamilan akibat perkosaan dalam KUHP. Pengecualian ini diberikan oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pada Pasal 75 Ayat (2). Namun, kehamilan akibat perkosaan yang dapat dihentikan ketika usia kandungan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis (Pasal 76). Pelanggaran atas ketentuan tersebut diancam dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan
KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Jajaran Kepolisian Resor (Polres) Magelang bersama tim dari Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah membongkar halaman belakang rumah Yamini di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Yamini adalah tersangka praktik aborsi. Di halaman belakang inilah polisi menemukan 20 kantong hasil buangan aborsi.

Namun, pada praktiknya, masih banyak kriminalisasi terhadap korban perkosaan yang hamil kemudian kehamilannya terhenti seperti yang terjadi pada TN dan BL.

Uli Pangaribuan dari LBH Apik dalam diskusi ”Pengaturan Aborsi dalam Upaya Pembaruan KUHP” yang digelar Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Senin (28/6/2021), mengungkapkan, meskipun sudah ada pengecualian bagi kehamilan akibat perkosaan, praktiknya ketentuan yang diatur di dalam UU Kesehatan itu sulit dilaksanakan. Sebab, korban perkosaan yang datang meminta bantuan ke LBH Apik sudah hamil lebih dari 40 hari. Rata-rata baru menyadari kehamilannya setelah membesar.

Kalaupun kehamilan masih di bawah 40 hari pun, kata Uli, tidak jelas siapa yang akan melakukan aborsi aman dan legal. Meski telah membuat aturan di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah (PP), pemerintah belum menunjuk layanan kesehatan yang akan melakukannya. Selain itu, aparat penegak hukum dan masyarakat juga masih melihat persoalan ini dari perspektif moral sebagai tindakan yang tidak baik dan berdosa.

Tumpang tindih

Pemerintah pada Juli mengajukan revisi KUHP untuk dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Dalam rapat 9 Juni lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly sepakat dengan Komisi III untuk segera menindaklanjuti penyelesaian RKUHP dalam rangka mewujudkan penataan sistem peradilan pidana yang terpadu.

Baca juga : RKUHP Segera Dibawa ke DPR, Pemerintah Janji Partisipasi Publik Masih Terbuka

Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI

Tim ahli penyusun Rancangan KUHP menyampaikan sosialisasi perubahan rancangan undang-undang terutama pada 14 isu krusial yang mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat di Jakarta, Senin (14/6/2021).

Pemerintah pun telah menyosialisasikan RKUHP versi 2019 ke 12 kota, khususnya terkait 14 isu krusial, di mana aborsi menjadi salah satunya.

Di dalam draf RKUHP versi 17 September 2019, pengaturan mengenai aborsi terdapat pada Bab XXI tentang Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Janin. Di bagian kedua, ada ketentuan tentang pengguguran kandungan, tepatnya di Pasal 469.

Disebutkan, setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta orang lain melakukan hal tersebut dihukum 4 tahun penjara (Ayat 1). Sementara pelaku pengguguran kandungan diancam dengan hukuman 12 tahun penjara (Ayat 2). Ancaman terhadap pelaku pengguguran kandungan diperberat menjadi 15 tahun apabila mengakibatkan matinya perempuan yang tengah hamil tersebut (Ayat 3).

Dalam kegiatan penyerahan prosiding Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 beberapa waktu lalu, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej mengatakan, pihaknya sudah melakukan sejumlah perubahan terhadap draf RKUHP versi 2019 sehingga lebih sesuai dengan keinginan Koalisi Masyarakat Sipil.

”Terhadap 14 isu krusial, ada pasal-pasal yang kita drop berdasarkan masukan teman-teman karena dianggap over kriminalisasi. Ada pula yang diformulasi ulang. Yang didrop, antara lain, pasal pemidanaan terhadap dokter gigi. Yang direformulasi, di antaranya, pasal tentang aborsi dan tentang pemerkosaan. Ada pula pasal-pasal yang dipertahankan dengan berbagai argumentasi,” ujar Eddy.

Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan
KOMPAS/INGKI RINALDI

Suasana saat Komisi III DPR dan pemerintah menyetujui pengesahan RKUHP di tingkat pertama di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (18/9/2019). Namun, pengesahan di tingkat kedua dibatalkan menyusul unjuk rasa penolakan RKUHP di banyak daerah di Indonesia.

Berdasarkan draf terbaru yang beredar, ada penambahan satu ayat di Pasal 469 yang berbunyi, ”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan yang menggugurkan kandungannya korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 120 hari atau memiliki indikasi kedaruratan medis.”

Dengan demikian, kriminalisasi perempuan yang menggugurkan kandungan dikecualikan untuk korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 120 hari atau memiliki kedaruratan medis.

Pengaturan ini direspons secara positif oleh beberapa kalangan. Riska Carolina dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia mengatakan, hal tersebut merupakan suatu kemajuan dibandingkan dengan draf RKUHP sebelumnya. Akan tetapi, pengaturan di draf terbaru tersebut masih tumpang tindih dengan ketentuan di UU Kesehatan.

Misalnya, Pasal 76 Huruf a UU Kesehatan yang memberi pengecualian kriminalisasi terhadap perempuan korban perkosaan yang kehamilannya berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama menstruasi terakhir dan adanya kedaruratan medis. Draf RKUHP tidak memuat pencabutan Pasal 76 Huruf a UU Kesehatan tersebut sehingga berpotensi adanya tumpang tindih aturan.

Di dalam hukum pidana, memang dikenal asas lex posterior derogate legi priori atau hukum yang paling baru mengesampingkan hukum yang lama. Namun, perlu diingat pula adanya asas lex speciali derogate legi generali, yakni satu asas hukum yang mengandung makna aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum. Dalam konteks ini, UU Kesehatan merupakan aturan khusus sedangkan kitab hukum pidana memuat aturan-aturan pidana secara umum.

”Ini mana yang mau dipakai?” tanya Riska.

Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan

Ia menambahkan, ada tumpang tindih peraturan pidana sehingga perlu dilakukan penataan ulang dalam aturan mengenai kriminalisasi aborsi tersebut. Ketentuan-ketentuan di dalam UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak yang tidak selaras dengan RKUHP perlu dicabut.

Definisi tak jelas

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono, mengatakan, politik hukum pidana aborsi memang telah bergeser dari KUHP ke UU Kesehatan. UU Kesehatan selama ini diterapkan untuk kasus-kasus aborsi berdasarkan asas hukum lex posterior derogate legi priori dan lex specialis derogate legi generali.

Problem hukumnya, menurut dia, UU Kesehatan hanya memberi pengecualian untuk aborsi akibat perkosaan. Perkosaan di sini mengacu pada Pasal 285 KUHP. Padahal, data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menunjukkan, ada banyak kasus kekerasan seksual yang mengakibatkan kehamilan itu bukan hanya perkosaan. Dalam catatan Komnas Perempuan Tahun 2020, inses menjadi kekerasan seksual tertinggi yang terjadi pada 2019 dengan 822 kasus. Perkosaan menempati urutan kedua dengan 792 kasus, kemudian persetubuhan (503 kasus), dan lain-lainnya.

Kekerasan seksual lain itu, seperti persetubuhan dengan anak di bawah usia 15 tahun (Pasal 287), persetubuhan dengan seseorang yang sepatutnya belum dapat dikawini dan menyebabkan luka (Pasal 288), persetubuhan dengan seorang perempuan dalam keadaan pingsan atau tidak sadar (Pasal 286), serta perkosaan dalam rumah tangga dan eksploitasi seksual yang diatur di dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

”Ada problem hukum serius karena hanya mengacu pada satu (Pasal 285),” ujar Sri Wiyanti.

Bagaimana pasal tentang wanita hamil karena pemerkosaan
Kompas/Raditya Helabumi

Beragam sepatu diletakkan di depan gerbang Gedung DPR, Senayan, Jakarta, dalam aksi 500 Langkah Awal Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), Rabu (25/11/2020).

Dengan melihat pada kondisi tersebut, menurut dia, perlu ada diskusi ulang mengenai definisi perkosaan tersebut supaya tidak misleading. Jika situasi tetap dipertahankan, dikhawatirkan hukum pidana yang ada tidak dapat melindungi korban-korban kekerasan seksual, khususnya kekerasan seksual terhadap anak yang jumlahnya lebih besar.

Sementara itu, Tono Hadi Susiarno yang mewakili Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mengungkapkan, pihaknya menyoroti tentang tidak jelasnya definisi aborsi atau abortus di dalam KUHP saat ini ataupun draf RKUHP. Keduanya tidak menyebut secara eksplisit definisi aborsi, baik secara medik maupun secara medis, bahkan hanya disebutkan dengan istilah pengguguran kandungan.

”Jadi, sebetulnya tidak jelas batasan antara aborsi dan pengguguran kandungan. Ini merupakan ancaman bagi seorang dokter,” ujarnya.

Mengapa menjadi ancaman? Sebab, setiap pengakhiran kehamilan sebelum usia 37 minggu (sembilan bulan) dapat dikategorikan sebagai pengguguran kandungan. Merujuk pada ketentuan KUHP, ada ancaman pidana bagi dokter, bidan, dan pihak lain yang melakukan pengakhiran kehamilan. Padahal, pengakhiran kehamilan tersebut barang kali dibutuhkan karena keadaan-keadaan tertentu, misalnya tensi si ibu hamil naik sehingga dapat terjadi preeklamsia atau sebab lain.

Baca juga : Gunung Es Aborsi Ilegal

Seperti disebutkan sebelumnya, aborsi diperbolehkan oleh UU Kesehatan karena faktor kedaruratan medis, seperti cacat genetika dan karena adanya perkosaan. Di luar dua ketentuan itu, aborsi bersifat ilegal. Dalam situasi ini, praktik aborsi ilegal yang tidak aman masih terjadi, bahkan, menurut Tono, angkanya relatif tinggi. Mengutip sebuah penelitian, ada 2 juta perempuan yang melakukan aborsi ilegal.

Berkaitan dengan pengaturan di dalam draf RKUHP yang memberi batas usia kehamilan 120 hari, menurut Tono, POGI tidak ada persoalan dengan hal itu.

Perjalanan untuk merumuskan pasal aborsi yang tepat dan berpihak pada korban kekerasan seksual masih panjang. Perlu diskusi-diskusi dengan para pihak yang berkepentingan, termasuk mencari padanan ke negara-negara lain yang pengaturannya beragam.