Bagaimana Kontroversi yang muncul terkait penemuan fosil manusia purba tersebut

Tempo

Selasa, 27 September 2005

Homo floresiensis adalah satu spesies dari manusia kerdil yang ditemukan di Liang Bua, gua batu kapur berada sekitar 14 kilometer sebelah utara Roteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Ditemukan oleh tim arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang bekerja sama dengan tim ilmuwan Australia pada 2003. Penemuan itu dipublikasikan oleh peneliti Australia Peter Brown dan Mike Morwood dari University of New England di New S...

Mulai dari

Rp.58.000*/Bulan

Akses tak terbatas di situs web dan mobile Tempo

Aplikasi Tempo Media di Android dan iPhone

Podcast, video dokumenter dan newsletter

Arsip semua berita Majalah Tempo sejak terbit 1971 dan Koran Tempo sejak edisi perdana 2001

Jakarta -

Pithecanthropus erectus adalah manusia purba yang pertama kali ditemukan fosilnya di Pulau Jawa, Indonesia. Fosil Pithecanthropus erectus ditemukan di desa Trinil, Solo, Jawa Tengah pada tahun 1891.

Sejarah Penemuan Pithecanthropus erectus

Pertama kali, fosil yang ditemukan adalah sebuah atap tulang tengkorak dan femur atau tulang paha, seperti dikutip dari Encyclopaedia Britannica. Penemu Pithecanthropus erectus adalah Eugène Dubois, ahli geologi dan ahli anatomi asal Belanda.

Dubois semula melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk menemukan nenek moyang manusia modern. Setelah mencari fosil di Sumatera, ia pindah ke Pulau Jawa pada 1890.


Eugene Dubois mulai melakukan pencarian fosil di sepanjang sungai Bengawan Solo di desa Trinil pada Agustus 1891. Atap tulang tengkorak manusia purba ditemukan Dubois pada Oktober 1891, sementara femur ditemukan setelahnya di lubang yang sama.

Dubois mengklasifikasikan temuannya sebagai Pithecanthropus erectus yang juga memiliki arti manusia kera yang berjalan tegak.

  • Ciri-ciri Pithecanthropus erectus


Ciri Pithecanthropus erectus adalah sebagai berikut:

- Volume otak Pithecanthropus erectus adalah 900 cm kubik (cc)

- Tengkorak datar dengan dahi sempit

- Bagian naik di sepanjang bagian atas kepala untuk merekatkan otot rahang yang kuat

- Tulang tengkorak yang sangat tebal

- Alis tebal

- Rahang besar tanpa dagu

- Gigi pada dasarnya seperti gigi manusia, meskipun dengan beberapa fitur mirip kera, seperti taring besar yang sebagian tumpang tindih.

- Berjalan tegak sepenuhnya seperti manusia modern (dengan adanya tulang femur)

- Tinggi mencapai 170 cm (5 kaki 8 inci)

  • Kontroversi Pithecanthropus erectus


Dengan temuan tulang atap tengkorak sebagai sebuah otak yang kecil dan tulang femor, Dubois berargumen bahwa ia telah menemukan Missing Link. Missing Link sebuah makhluk yang posisi evolusinya berada di antara kera dan manusia.

Selama lebih dari tiga dekade, Dubois tidak mengizinkan ilmuwan lain untuk memeriksa tulang atap tengkorak dan femur tersebut sampai 1923.

Sejumlah orang mengkritik bahwa temuan Pithecanthropus erectus Dubois adalah hoax. Mereka melontarkan kritik tersebut karena kecenderungan Dubois untuk berahasia terkait fosil tersebut dan sindiran bahwa fosil tersebut mungkin milik makhluk primitif yang lebih mirip kera atau owa daripada manusia. Sindiran itu ditulis Dubois sendiri dalam surat-suratnya sesaat sebelum meninggal pada tahun 1940.

Namun, setelah penyelidikan lebih lanjut ahli biologi Amerika Ernst Mayr pada tahun 1944, Pithecanthropus erectus diklasifikasikan sebagai bagian dari Homo erectus.

Simak Video "Melihat Penemuan Fosil Stegodon di Sumedang"



(twu/pay)

Bagaimana Kontroversi yang muncul terkait penemuan fosil manusia purba tersebut
Hobbit alias Homo Floresiensis

Jakarta - Seorang profesor asal Australia bernama Michael J Moorwood menemukan fosil 'Hobbit' di Flores, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2003. Ukuran fosil yang kecil dari ukuran tulang manusia modern itu membuat Moorwood meyakini hobbit adalah manusia purba berbadan kecil.Namun Hobbit yang dikenal dengan nama Homo floresiensis ini menuai kontroversi. Banyak pakar yang menilai fosil berusia 12.000 tahun itu berukuran kecil karena penyakit, namun banyak juga yang meyakini ukuran fosil itu 'sehat'.Penelitian terkait Hobbit ini masih berjalan hingga sekarang, namun tampaknya muncul harapan untuk menyudahi kontroversi tersebut. Para peneliti kini bergerak memanfaatkan teknologi penguraian DNA dari fosil hobbit, bekerja sama dengan peneliti asal Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Begitu banyak manusia purba yang ada di sini, lalu yang paling muda Hobbit itu. Temuan itu yang kontroversial sampai sekarang. Saya ditanya, apakah benar itu spesies baru atau karena penyakit? Saya sendiri tidak bisa menjawab," kata Deputi Direktur Eijkman Institute Herawati Sudoyo usai acara diskusi 'Human Evolution and Archaic Admixture' di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2013).Terpilihnya teknologi DNA untuk menjawab misteri Hobbit ini berawal dari penemuan fosil manusia purba di gua Denisova, Siberia, Rusia, pada tahun 2006. Fosil tersebut berhubungan dengan manusia purba 400.000 tahun lalu yang disebut Neanderthal, dan yang mengejutkan juga memiliki kaitan dengan manusia modern di Filipina, Papua, Maluku, Australia, Oceania, dan Flores."Rabu (30/10) besok, kita berangkat ke Flores. Kalau mereka (peneliti asing) hanya mendampingi, kita mau ketemu kepala adat, lalu lihat data-datanya. Biasanya kita tak pernah turun langsung, biasanya pendekatan dulu, dan mulai dari awal kita selalu dibantu warga. Kita ingin melihat perbedaan antara yang normal dan pendek, orang situ yang tahu. Jadi kita kumpulkan dan kita data," tutup Herawati.Herawati menambahkan melalui teknologi DNA, peneliti bisa mengetahui penyakit yang dialami Hobbit, makanannya, dan informasi lainnya yang tak terbayangkan banyaknya. Teknologi ini juga bisa menentukan manusia purba yang disebut Hobbit ini spesies baru atau tidak dari temuan fosil-fosilnya."Tapi data awalnya memang dari fisik dan antropologi. Cuma memang DNA memberikan jawaban lebih tepat dan lebih bisa dianalisis. Misalnya, kita bisa melihat gen-gen yang berhubungan dari metabolik, nutrisi, apa makanan mereka, kemudian gen yang berurusan dengan kepekaan terhadap penyakit. Jadi dari situ banyak informasi," ujar Herawati.Penggunaan DNA dalam penelitian ini juga diharapkan mampu menjawab keterkaitan antara manusia modern saat ini dengan manusia purba yang hidup sejak masa pra sejarah. Sehingga para peneliti membutuhkan genom DNA dari fosil manusia purba dan DNA dari manusia modern yang diduga atau terbukti memiliki hubungan."Kita bisa mengungkap urutan DNA Naenderthal, seperti kita ketahui bahwa Neanderthal itu terakhir hidup 30.000 tahun lalu, dan pemurnian dari DNA dapat dilakukan saat ini. Jadi kita dengan memiliki sample sedikit, bisa melakukan pemeriksaan DNA," kata Deputi Direktur Eijkman Institute Herawati Sudoyo di lokasi yang sama.Penemuan ini selangkah lebih maju untuk menjawab mata rantai yang hilang dari teori evolusi manusia Charles Darwin. Rahasianya adalah meneliti DNA fosil yang ditemukan untuk mendapatkan segudang informasi kehidupan si pemilik fosil saat hidup."Tantangan khusus dalam menganalisis urutan DNA dari gugus kromosom atau genom Neanderthal adalah bahwa fragmen DNA yang paling Neanderthal diharapkan identik dengan manusia masa kini," kata peneliti dari Universitas California, Richard Edward Green, di lokasi yang sama.

(vid/nwk)

Bagaimana Kontroversi yang muncul terkait penemuan fosil manusia purba tersebut

Bagaimana Kontroversi yang muncul terkait penemuan fosil manusia purba tersebut
Lihat Foto

Wikimedia Commons

Homo Floresiensis

KOMPAS.com - Homo floresiensis adalah spesies manusia purba berukuran kecil yang mendiami Pulau Flores.

Manusia purba ini ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood bersama-sama dengan tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada September 2003.

Homo floresiensis ditemukan di Gua Liang Bua di Flores.

Temuan itu kemudian diberi nama Homo floresiensis atau Manusia Liang Bua, sesuai dengan lokasi penemuannya.

Fosil yang ditemukan berupa tengkorak manusia purba yang memiliki bentuk sangat mungil.

Diperkirakan ukuran tubuhnya tidak lebih besar dari anak-anak usia lima tahun.

Karena ukurannya yang lebih kecil dari manusia pada umumnya, Homo Floresiensis juga sering mendapat julukan sebagai Hobbit dari Liang Bua.

Mereka diduga hidup di Kepulauan Flores pada 18.000 tahun lalu, bersama dengan gajah-gajah pigmi (gajah kerdil) dan kadal-kadal raksasa (komodo).

Baca juga: Homo Soloensis: Penemu, Ciri-ciri, dan Hasil Kebudayaan

Penemuan

Pada 1950-an, sebenarnya Manusia Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya kehidupan praaksara.

Pada saat itu, Th. Verhoeven lebih dulu menemukan beberapa fragmen tulang iga manusia di Liang Bua yang berasosiasi dengan berbagai alat serpih dan gerabah.

Kemudian pada 1965, ditemukan tujuh buah rangka manusia beserta beberapa bekal kubur berupa beliung dan gerabah.

Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik.

Pada 1970, R. P. Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melajutkan penelitian yang menunjukkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis menunjukkan hunian dari Zaman Paleolitik, Mesolitik, dan Neolitik.

R. P. Soejono kembali melakukan penggalian pada 2003 bersama Mike J. Morwood dan berhasil menemukan fosil enam individu.

Baca juga: Meganthropus Paleojavanicus: Penemuan, Kehidupan, dan Ciri-ciri

  • Tengkorak berukuran kecil dan memanjang
  • Bagian dahi tidak menonjol dan sempit
  • Volume otak 380 cc
  • Tinggi badan sekitar 100 cm
  • Beratnya sekiar 30 kg
  • Berjalan tegak dan tidak memiliki dagu

Homo floresiensis telah hidup menetap dan mencari makan dengan berburu, beternak, serta bercocok tanam.

Mereka menggunakan alat-alat dari batu, tulang, dan kayu yang telah dilancipkan untuk membantu dalam berburu.

Manusia Homo floresiensis juga memiliki keterampilan dalam membuat gerabah dan membuat pakaian dari kulit hewan.

Baca juga: Pithecanthropus Erectus: Penemuan, Ciri-ciri, dan Kontroversi

Kontroversi

Penemuan Homo floresiensis yang dipublikasikan pada 2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan.

Tim ilmuwan yang menemukan fosil tersebut menganggap Homo floresiensis sebagai keturunan spesies Homo erectus yang hidup di Asia Tenggara sekitar satu juta tahun lalu.

Akibat proses seleksi alam, tubuh mereka berevolusi menjadi lebih kecil.

Hipotesis ini didasarkan pada penemuan berbagai peralatan yang biasa digunakan oleh Homo erectus di sekitar fosil Homo floresiensis.

Selain itu, penemuan di Flores juga menemukan fosil gajah purba (stegodon) berukuran kecil.

Penemuan tersebut semakin menguatkan hipotesis para ilmuwan bahwa banyak makhluk hidup di Flores yang menyesuaikan diri dengan habitatnya dengan cara berubah bentuk menjadi lebih kecil.

Sementara itu, ilmuwan lain berargumen bahwa Homo floresiensis adalah spesies baru manusia.

Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh Teuku Jacob, yang mengatakan bahwa Homo floresiensis bukan merupakan spesies baru.

Mereka adalah nenek moyang orang-orang Flores yang menderita penyakit microcephalia, yaitu bertengkorak dan berotak kecil.

Penyakit tersebut saat ini juga masih ditemukan pada beberapa penduduk di sekitar Gua Liang Bua.

Referensi:

  • Pujiani, Sri. (2019). Zaman Prasejarah. Singkawang: Maraga Borneo Tarigas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.